Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Pecahnya Perang Diponegoro, Keterlibatan Santri, dan Siasat Licik Belanda Dalam
Menangkap Pangeran Diponegoro (1825-1830)

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Masa Islam

Disusun Oleh:

Lidya Agustina

212171048

PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SILIWANGI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
serta selesai tepat waktu. Adapun judul dari makalah ini adalah “Pecahnya Perang
Diponegoro, Keterlibatan Santri, dan Siasat Licik Belanda Dalam Menangkap
Pangeran Diponegoro (1825-1830).”

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Sejarah
Indonesia Masa Islam yang diampu oleh Bapak Iyus Jayusman, Drs., M.Pd.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca.

Bagi penulis sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Tasikamlaya, 10 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN................................................................... 3
A. Pecahnya Perang Jawa ................................................................. 3
B. Keterlibatan Santri Dalam Perang Jawa ...................................... 5
C. Siasat Licik Belanda Dalam Menangkap Perang Diponegoro .... 6
BAB III : PENUTUP........................................................................... 8
A. Kesimpulan .................................................................................. 8
B. Saran ............................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada awalnya Belanda masuk ke Indonesia bertujuan untuk mencari rempah-rempah karena
pada saat itu harga rempah-rempah di pasar Eropa sangat mahal akibat jatuhnya Konstatinopel
ke tangan Turki Usmani. Belanda datang ke Indonesia dibawah komando Cornelis de Houtman
pada tahun 1595 dengan membawa 4 buah kapal. 64 pucuk Meriam, serta 249 anak buah kapal.

Setahun setelah keberangkatan kelompok penjelajah Cornelis de Houtman tiba di Banten


tepatnya pada tahun 1596, namun kedatangan mereka tidak disambut baik oleh warga Banten
karena sikap dari Conerlis de Houtman yang buruk dan sampai terlibat perang dengan
penduduk lokal yang akhirnya menyebabkan mereka memutuskan pergi dari Banten dan
berlayar ke timur Nusantara melalui pantai utara Jawa hingga ke Bali.

Rombongan Cornelis de Houtman berhasil membawa banyak rempah-rempah dan kembali ke


Belanda pada tahun 1597. Keberhasilan pelayaran pertama yang dilakukan Belanda dalam
mencari rempah-rempah mendorong pelayaran lainnya datang menuju Nusantara.

Rangkaian pelayaran yang dilakukan oleh Belanda menyebabkan mereka memonopoli


perdagangan rempah-rempah di beberapa daerah Nusantara yang pada akhirnya melahirkan
sebuah perusahaan kongsi dagang bernama Vereenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC)
pada 20 Maret 1602 yang berfungsi sebagai wadah para pengusaha Belanda.

VOC dapat dikatakan sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, karena memiliki
pengaruh yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan di Asia sehingg VOC diberikan hak-
hak istimewa atau dikenal dengan hak octrooi oleh pemerintah kerajaan Belanda. Adapun hak-
hak istimewa yang didapat oleh VOC adalah monopolu perdagangan, mempunyai mata uang,
mewakili pemerintah Belanda di Asia, mendirikan pemerintahan sendiri, melakukann
perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, melakukan kekuasaan kehakiman, memungut
pajak, memiliki angkatan perang sampai menyatakan perang.

Hak-hak istimewa yang diperoleh VOC membuat mereka sewenang-wenang dalam


mengambil keputusan maupun tindakan tanpa memikirkan nasib pribumi seperti yang terjadi
di pulau Jawa yang mana rakyat banyak dikenakan pajak yang berlebihan membuat rakyat
semakin tertekan dan banyak hal lain yang merugikan rakyat pribumi.

1
Hal ini membuat Pangeran Dipenogoro atau bernama asli Raden Mas Ontowiryo merupakan
putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki tekad dan semangat juang untuk
melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, tekad Pangeran
Dipenogoro mendapat banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat.

Lebih jauh, kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih
Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api
melewati makam leluhurnya. Ia kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap
perang. Pernyataan ini lah yang kemudian memicu serangan Belanda ke Tegalrejo pada 20
Juli 1825 sebagai awal dari dimulainya Perang Diponegoro.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pecahnya perang Jawa?


2. Bagaimana keterlibatan santri dengan perang Diponegoro?
3. Apa siasat licik Belanda dalam menangkap Pangeran Diponegoro?

C. Tujuan

1. Mengetahui pecahnya perang Jawa


2. Mengetahuin keterlibatan santri dengan perang Diponegoro
3. Mengetahui siasat licik Belanda dalam menangkap Pangeran Diponegoro

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pecahnya Perang Jawa

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan ibunya bernama
R.A. Mangkarawati yang lahir di Kraton Yogyakarta pada 11 November 1785 serta memiliki nama
kecil Bendoro Raden Mas Mustahar, lalu Bendoro Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro
digunakan ketika dewasa khususnya saat terjadi Perang Jawa 1825-1830.

Pada masa itu Perang Jawa atau yang dikenal dengan Perang Diponegoro merupakan perang
yang cukup besar dan di pimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi. Perang
tersebut bermula pada 21 Juli 1825. Perang terjadi kurang lebih lima tahun dengan persiapan
yang sangat panjang oleh para pimpinan perang.

Pada pertengahan Mei tahun 1825 ketika Smissaert menetapkan untuk memperbaiki beberapa jalan
di sekitar wilayah Yogyakarta, namun pembangunan jalan yang pada awalnya direncanakan dari
Yogyakarta menuju Magelang lalu melintasi Muntilan, secara mendadak berbelok sampai
menerjang pagar di sebelah timur Tegalrejo. Patok-patok yang telah dipasang oleh orang-orang
kepatihan itu juga pada akhirnya melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro. Keputusan
mengubah jalan yang dicetuskan oleh Smissaert ini tidak disampaikan kepada Diponegoro oleh
Patih Danurejo IV sehingga Ia baru mengetahui setelah patok-patok itu terpasang. Pemasangan
patok ini dapat diartikan bahwa bagian dari makam leluhur Pangeran Diponegoro berpotensi untuk
digusur. Akibatnya pada bulan Juli 1825 patok-patok yang telah terpasang dicabuti serta Pangeran
Diponegoro memerintahkan kepada para anak buahnya untuk mengganti patok-patok tersebut
dengan tombak sebagai tanda dari pernyataan perang.

Tindakan dari Pangeran Diponegoro beserta anak buahnya tersebut membuat pihak keraton tidak
terima sehingga membuat kondisi semakin panas dan pada 20 Juli 1825, pihak keraton
memerintahkan kepada dua bupati keraton senior yang menjadi pemimpin pasukan Jawa serta
Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro juga Mangkubumi di Tegalrejo yang menyulut
terjadinya perang. Para pendukung sang pangerah sudah menghadang ketika dua utusan keraton
tersebut sampai di Tegalrejo sehingga bentrok antara kedua belah pihak tak dapat dihindari. Akibat
dari bentrokan tersebut rumah Pangeran Diponegoro dibakar oleh tentara Belanda, walaupun
begitu Sang Pangeran tak dapat ditemukan.

Penyerangan yang terjadi di Tegalrejo oleh pasukan Belanda serta Keraton menandakan
dimulainya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini berlangsung selama
lima tahun. Pangeran Diponegoro dalam perang ini bertugas memimpin masyarakat Jawa yang
berasal dari berbagai kalangan seperti kalangan petani maupun priyayi yang dengan sukarela

3
menghibahkan tenaga, uang, sampai barang-barang berharga lainnya sebagai biaya perang, dengan
semboyan “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”yang berarti sejari kepala sejengkal
tanah dibela sampai mati. Perang ini terjadi sebagai bentuk dari penolakan atas diduduki dan
dirampasnya tanah mereka oleh penjajah.

Perang Jawa ini banyak dilakukan secara gerilya akan tetapi dilakukan juga secara terbuka. Di
dalam perang terbuka, banyak dilakukan pengerahan berbagai macam pasukan seperti infantry,
kavaleri, serta artileri yang berasal dari kedua belah pihak. Tentunya perang terbuka ini
berlangsung sangat sengit. Kota maupun desa yang ada di seluruh Jawa dijadikan medan
pertempuran. Peperangan terjadi dengan begitu keras juga sengit sehingga ketika sebuah kawasan
dapat dikuasai oleh tantara Belanda pada siang hari, maka ketika malam hari kawasan tersebut
dapat direbut kembali oleh pasukan Diponegoro, begitu pula sebaliknya.

Para mata-mata (telik sandi) serta kurir bekerja keras agar dapat menguak juga menyampaikan
informasi yang diperlukan. Informasi yang didapat oleh para mata-mata inilah berbagai keputusan
diambil seperti strategi perang disusun, kekuatan musuh, jarak tempuh serta waktu, kondisi medan,
cuaca, dan sebagainya. Cuaca merupakan faktor yang menjadi penentu dalam melakukan
penyerangan karena banyak serangan dari pribumi yang dilakukan ketika musim penghujan karena
hujan tropis membuat gerakan tantara Belandat terhambat. Oleh karena itu, pasukan Belanda
mensiati musim hujan dengan gencatan senjata.

Pada tahun 1827, pasukan Belanda berhasil melakukan tindakan penyerangan kepada Pangeran
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng, sehingga pasukan Diponegoro terjepit. Kyai
Mojo yang merupakan pemimpin spiritual juga pemberontakan berhasil ditangkap oleh pasukan
Belanda pada tahun 1829, disusul dengan Pangeran Mangkubumi serta panglima utamanya
bernama Alibasah Sentot Prawirodirjo berhasil ditangkap oleh pasukan Belanda.

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro
di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat
sisa anggota laskarnya dilepaskan.

4
B. Keterlibatan Santri Dalam Perang Jawa

Keterlibatan santri dalam perang Jawa tak dapat dipisahkan dengan sosok bernama Kiyai Mojo
yang merupakan tokoh santri yang bergabung dengan pasukan Diponegoro pada awal bulan
Agustus di daerah Selarong. Kiyai Mojo membawa keluagara besar serta para pelajar yang berada
di pesantrennya yang berlokasi di Mojo, Benderan, di kawasan Delanggu untuk ikut dalam
peperangan melawan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.

Terdapat dua puluh dua orang haji serta sebanyak tujuh belas orang tercatat memiliki gelar Syekh
atau Syarif, gelar ini umumnya diberikan oleh orang Jawa terhadap orang-orang yang merupakan
keturunan Arab dan mengaku memiliki pertalian darah dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Namun, gelar tersebut juga kerap kali disematkan kepada para tokoh yang memiliki pengaruh
dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, seperti hal nya walisongo dan tokoh penyebar Islam
lainnya.

Pada dasarnya Pangeran Diponegoro memiliki kedudukan sentral berkat sifat keagamaannya lalu
Ia dan pengikutnya meyakini jika perang ini adalah bagian dari Jihad Fisabillah untuk melawan
Belanda juga orang Jawa yang telah berkhianat juga murtad. Wells (1998: 23) menyatakan bahwa
Sebagai seorang muslim yang saleh dan memiliki latar belakang santri, Sang Pangeran tidak suka
terhadap menurunnya semangat keislaman di Keraton Yogyakarta akibat dari pengaruh penjajahan
bangsa asing dan juga kebijakan-kebijakan pro Belanda yang telah dikeluarkan oleh Keraton.

Selain itu terdapat pernyataan yang dikemukakan oleh Menteri kelautan dan jajahan Belanda yaitu
C.Th. Elout (menjabat 1824-1929), dalam sepucuk suratnya pada tanggal Maret 1827 kepada raja
yang pada saat itu menolak untuk menyuap Diponegoro dengan menjanjikan suatu kerajaan yang
terpisah dalam wilayah Keraton Yogyakarta. Menteri kelautan tersebut menegaskan bahwa perang
sangat dipengaruhi oleh semangat keagamaan yang menandai hal tersebut adalah jubah putih serta
teriakan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang digunakan sebagai semangat juang untuk melawan Beland.

Keterlibatan santri dalam perang Jawa ini dapat disebut sebagai perang keagamaan, tak hanya
politik karena banyaknya kaum santri yang terdiri dari para ulama, syekh, dan orang-orang yang
berketurunan Arab ikut berpatisipasi dalam Perang Jawa tersebut. Dapa disimpulkan bahwa
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Diponegoro sangat hebat dan yang
mendasarinya adalah legitimasi agama yang sangat kental.

5
C. Siasat Licik Belanda Dalam Menangkap Perang Diponegoro

Dalam melakukan penangkapan Pangeran Diponegoro pihak Belanda melakukan siasat licik
dengan menjebak Diponegoro untuk berunding. Pada saat itu sedang memasuki bulan Ramadhan
yang mana dalam kesepakatan antara pihak Belanda dengan pasukan Diponegoro setiap kali bulan
puasa maka perang dihentikan. Akan tetapi, ketika bulan puasa berakhir atau tepatnya ketika hari
raya Idul Fitri, Pangeran Diponegoro dijebak oleh De Kock untuk ditangkap. Ketika hari raya,
tepatnya pada 28 Maret 1830, pihak Belanda yaitu De Kock mengajak Pangeran Diponegoro untuk
membahas perundingan. Adapun tempat yang dijadikan sebagai perundingan itu merupakan
Wisma Keresidenan Magelang. Pangeran Diponegoro beserta sejumlah panglima perangnya pun
mendatangi De Kock di tempat itu. Kedatangan Pangeran Diponegoro ini sebenarnya bukan untuk
mendatangi ajakan perundingan yang dilakukan oleh De Kock, namun sekadar untuk ramah tamah.

Alasan utama Pangeran Diponegoro serta sejumlah panglimanya menemui De Kock di Wisma
Karesidenan itu karena pada saat itu masih situasi damai juga berbarengan dengan datangnya hari
raya Idul Fitri, karena dalam adat istiadat Jawa ketika lebaran tiba maka yang tua harus dikunjungi
oleh yang muda untuk bermaaf-maafan. Hal ini membuat Pangeran Diponegoro mengunjungi De
Kock untuk berlebaran karena secara usia yang menjadi pihak tua ialah De Kock.

Setelah Diponegoro masuk ke dalam Wisma Keresidenan beliau disambut Valck lalu dipersilakan
masuk ke ruang baca De Kock. Di dalam ruangan itu Diponegoro ditemani oleh ketiga putranya,
penasihat agama, kedua punakawan, dan Basah Mertonegoro yang ikut dalam rombongan
sedangkan dari pihak Belanda terdiri dari Letkol Wiliem Adriaan Rost (1796-1875), perwira De
Kock, Mayor Ajudan De Stuers, serta juru bahasa militer untuk bahasa Jawa. Tak hanya di dalam
ruangan saja yang ramai, di luar ruangan perundingan pun banyak para pejabat militer untuk
bersiap-siap. Meskipun di luar ruangan terdapat banyak tantara yang telah siap siaga, hal ini tidak
serta merta menimbulkan kecurigaan dari pihak Belanda. Dalam pertemuan ini, perundingan
dilakukan dengan percakapan yang ramah tamah, maka dari itu pihak Jawa pun tidak menaruh rasa
curiga.

Dalam babadnya Pangeran Diponegoro menulis percakapan antara dirinya dengan De Kock,
sebagai berikut: “Mengapa saya tidak boleh pulang, Jenderal? Apa yang saya lakukan sebagai
kebiasaan orang Jawa setelah selesi puasa, yang muda mendatangi rumah orang yang dituakan
untuk menghilangkan segala kesalahan. Yang tua adalah anda, Jenderal [adat-istiadat]. Maka,
berlaku juga.”

Sesudah mendengar pernyataan dari Diponegoro, De Kock menjawab, “Alasan saya menahan
Tuwan adalah saya ingin agar semua persoalan yang ada di antara kita selesai pada hari ini
juga.” Sontak saja jawaban dari De Kock membuat kaget Pangeran Diponegoro karena pangeran
tidak berpikir sedikitpun mengenai suatu persoalan.

6
Tak hanya Pangeran Diponegoro saja yang kaget namun juga para perwira yang tidak menyangka
pertemuan antara Diponegoro dengan pihak Belanda merupakan urusan politik sehingga membuat
salah satu panglima Diponegoro menyela De Kock dan mengatakan, “Urusan politik (prakawis)
berada jauh di luar keprihatinan Sang Pangeran serta sebaiknya dicari hari lain untuk membahas
hal tersebut.” Namun De Kock kembali menjawab “Tidak!, Hal itu tidak dapat diterima. Dia suka
atu tidak,saya ingin menyelasaikan semuanya sekarang.”

Segera setelah percakapan tersebut Pangeran Diponegoro ditangkap lalu dibawa ke Batavia dan
Perang Jawa pun berakhir Sesudah perang Dipoengoro selesai, maka seluruh raja hingga bupati di
Jawa tunduk menyerah kepada Belanda, kecuali Ponorogo Warok Brotodiningrat III.

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Perang Jawa atau yang lebih dikenal dengan Perang Diponegoro merupakan perang yang
diakibatkan oleh pemasangan patok-patok jalan di makam leluhur Diponegoro yang berpotensi
digusur oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan membuat jalan sehingga
pangeran Diponegoro marah dan memerintahkan pengikutnya untuk mengganti patok dengan
tombak sebagai bentuk perlawanan. Tak hanya itu perampasan tanah yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial membuat situasi menjadi semakin sengit hingga akhirnya perang
Diponegoro dengan pasukan Belanda tak dapat dihindari dan berlangsung selama lima tahun
lamanya yaitu dari 1825-1830.

Perang Diponegoro tak hanya tentang politik saja, akan tetapi juga mengenai perang
keagaaman karena Pangeran Diponegoro yakin perang tersebut adalah perang suci atau
Jihad Fisabillah sebab melawan kaum kafir serta orang Jawa yang murtad juga berkhianat.
Oleh karena itu banyak dari golongan santri, syekh, syarif, hingga orang keturunan arab yang
memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW ikut serta dalam perang ini. Salah
satunya adalah Kiyai Mojo yang membawa seluruh keluarga besarnya jugas santrinya untuk
turut serta dalam perang Jawa ini.

Perang berlangsung selama lima tahun membuat Belanda kelelahan dan ingin segera
mengakhiri perang, oleh sebab itu pihak Belanda mensiasatinya dengan cara licik yaitu
memanfaatkan momen Idul Fitri dengan mengundang Pangeran Diponegoro ke Wisma
Keresidenan Magelang lalu ketika Pangeran Diponegoro datang dan masuk ke dalam Wisma,
beliau ditangkap oleh De Kock yang pada saat itu telah mempersiapkan tentara Belanda di
sekitar Wisma.

B. Saran

Demikian makalah yang penulis susun, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena
kurangnya pengetahuan dan referensi dari penulis yang ada hubungannya dengan judul
makalah ini. Maka saran dan kritik sangat diharapkan demi perbaikan makalah ini

8
DAFTAR PUSTAKA

Mardiyino, Peri. 2020. Melacak Gerakan Perlawanan dan Laku Spiritualitas Pangeran
Diponegoro.Yogyakarta:Araska.

Rohim, Abdul. 2022. DE JAVA OORLOG. Yogyakarta: ANAK HEBAT INDONESIA.

Anda mungkin juga menyukai