Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERLAWANAN RAKYAT

DIBERBAGAI DAERAH SEBELUM ABAD 20


MATA PELAJARAN : SEJARAH INDONESIA

DISUSUN OLEH :
MENTARI NESTIA PUTRI
XI MIPA 3

SMAN 22 BANDUNG
Jl. Rajamantri Kulon No.17A, Turangga, Kec. Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat 40264
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “
Perlawanan Rakyat Diberbagai Daerah Sebelum Abad 20” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penuliusan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata pelajaran Sejarah Indonesia. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang perang-perang yang terjadi sebelum abad 20 bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Ikhsan, selaku guru mata
perlajaranb Sejarah Indonesia yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurrna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 24 November 2021


Penulis,
DAFTAR ISI

JUDUL...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PEMBAHASAN................................................................................1
A. PERANG PADRI...........................................................................1
B. PERANG PATTIMURA...............................................................3
C. PERANG DIPONEGORO.............................................................5
D. PERANG JAGARAGA BALI.......................................................7
E. PERANG BANJAR.......................................................................8
BAB I
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERANG PADRI


Perang Padri merupakan peperangan yang terjadi di Sumatera
Barat pada wilayah Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1803-1838. Perang
Padri bermula terjadi perbedaan prinsip terhadap agama antara kaum
Padri dengan kaum adat. Kala itu pada tentang tahun 1803 hingga 1804,
sekelompok ulama dari kaum Padri telah melakukan ibadah haji dan
kembali ke Sumatera Barat. Terjadi pertentangan antara kaum Padri
terhadap kaum Adat karena ajaran dan kebiasaan kaum Adat tidak sejalan
dengan ajaran agama Islam. Namun, Perang Padri pada akhirnya berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda yang menimbulkan
banyak korban jiwa pada saat itu.

Awal Mula Perang Padri

Perang Padri ini dimulai dengan pertentangan kaum Padri terhadap


kebiasaan buruk yang terjadi di masyarakat Sumatera Barat kala itu.
Kebiasaan yang bertentangan dengan agama tersebut seperti judi, sabung
ayam, mabuk, menggunakan tembakau dan lainnya. Perang Padri ini
melibatkan suku minang dan mandailing. Pada kaum Padri dipimpin oleh
Harimau Nan Salapan dan kaum adat dipimpin oleh Sultan Arifin
Muningsyah.

Kronologi Perang Padri


Perang Padri ini dimulai pada tahun 1821 yang mana Belanda
tengah menduduki beberapa wilayah di Sumatera Barat. Peperangan
berangsur hingga 1825 dan terjadi gencatan senjata dan dimulainya
Perjanjian Masang karena pada saat itu Belanda juga sedang menghadapi
peperangan melawan Pangeran Diponegoro di Jawa dan mengeluarkan
biaya yang banyak. Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol melakukan pemulihan kekuatan dan mengajak kaum Adat untuk
berjuang bersama melawan Belanda. Setelah perang Diponegoro usai,
Belanda kembali mendirikan pos di wilayah Padri dan memicu Perang
Padri Kedua dan berlangsung dari 1830 hingga 1837.
Berakhirnya Perang Padri

Setelah Perang Diponegoro berakhir pada 1830 dan ditangkapnya


Pangeran Diponegoro , Belanda kembali ke tanah Minangkabau dan
membangun benteng Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, Belanda
diserang kaum Padri dan kaum Adat. Belanda pun kembali melakukan
strategi untuk melakukan penyerangan kepada mereka. Pada tahun 1837,
Belanda melakukan penangkapan kepada pemimpin Kaum Padri, Tuanku
Imam Bonjol dan melakukan pengasingan ke Cianjur, Ambon dan
Minahasa. Perang dimenangkan oleh pihak Belanda dan berakhir di
Daludalu pada tahun 1838. Akhirnya Kerajaan Pagaruyung jatuh ke
tangan pemerintahan Hindia Belanda.
B. SEJARAH PERANG PATTIMURA
Kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
para pahlwan kemerdekaan dalam mengusir penjajah dari nusantara.
Ada banyak nama pahlawan nasional yang berjasa kepada bangsa
Indonesia, salah satunya adalah Pattimura yang berjuang melawan
penjajahan Belanda di tanah Maluku dan dikenal dengan perang
Pattimura. Maluku merupakan salah satu daerah yang pernah dijajah
oleh Belanda karena hasil rempah-rempahnya yang berkualitas dan
melimpah. Mengingat, rempah-rempah yang ada di Indonesia selalu
diburu oleh bangsa-bangsa Eropa. Bahkan mereka juga menginginkan
pemonopolian pasar, sehingga merusak tatanan ekonomi di Nusantara.

Dalam sejarahnya, perang Pattimura terjadi karena pendudukan


kembali Belanda di Maluku pada awal abad 19 membawa banyak
masalah dan kesengsaraan bagi rakyat Maluku. Dimana, pemerintahan
Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan seperti kewajiban kerja
paksa, penyerahan hasil kelautan, memberhentikan guru demi
kehematan, dan menjadikan kawula muda sebagai tentara. Ada juga
ketidakmauan Belanda untuk membayar terhadap perahu yang
dipesannya sehingga membuat suasana semakin panas. Rakyat Maluku
tidak mau terus menderita dibawah keserakahan bangsa Belanda, maka
perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda
yang tidak masuk akal tersebut di bawah pimpinan komando Thomas
Matulessy atau biasa disebut Kapitan Pattimura.

Pada waktu pecah perang Pattimura melawan penjajah Belanda


tahun 1817, raja-raja Patih, Para Kapitan, tua-tua adat, dan rakyat
mengangkat Kapitan Pattimura sebagai pemimpin dan panglima perang
karena berpengalaman dan memiliki sifat-sifat kesatria. Pada 16 Mei
1817, operasi penyerangan pos-pos dan benteng Belanda di Saparua
dimulai oleh Kapitan Pattimura dan pasukannya. Operasi tersebut
membuahkan hasil karena berhasil merebut benteng Duurstede dan
menewaskan kepala residen Saparua bernama Van den Berg beserta
pasukannya. Namun, Belanda terus berupaya merebut kembali benteng
Duurstede dengan meminta bantuan dari Ambon lewat jalur perairan.
Akan tetapi bala bantuan berhasil digagalkan oleh pasukan Pattimura.
Kemenangan dalam pertempuran lain juga didapatkan oleh
Pattimura di sekitar pulau Seram, Hatawano, Hitu, Haruku, Waisisil, dan
Larike. Namun, Belanda semakin menguatkan pertahanannya seperti di
Benteng Zeelandia dimana Pattimura tidak berhasil merobohkan
pasukan Belanda disana. Akhirnya Belanda mulai serius dengan
membawa semua pasukannya untuk merebut benteng Duurstede
termasuk bantuan dari Batavia. Naasnya,benteng pertahanan tersebut
jatuh kembali ke tangan Belanda. Karena hal tersebut, sisa pasukan
Pattimura diperintahkan untuk meloloskan diri dan meninggalkan
tempat. Belanda masih tidak puas karena mereka belum menangkap
Pattimura. Maka dibuatlah sayembara dimana siapa yang mampu
menangkap Pattimura akan diberikan hadiah 1000 gulden. Enam bulan
lamanya perlawanan, Pattimura akhirnya tertangkap. Pada 16 Desember
1817, Pattimura dihukum gantung di alun-alun kota Ambon sedangkan
sisa pemimpin lainnya juga tertangkap dan dibuang ke Jawa untuk
bekerja rodi.
C. SEJARAH PERANG DIPONEGORO
Indonesia pernah mengalami masa kelamnya dijajah oleh kolonial
Belanda selama 3,5 abad. Pada masa penjajahan ini, banyak perlawanan
yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dari berbagai daerah. Salah satu
perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan kolonial Belanda
adalah Perang Diponegoro.

Perang Diponegoro atau perang Jawa merupakan perang besar


dan berlangsung selama lima tahun dari tahun 1825-1830. Perang ini,
dilatarbelakangi oleh kebencian rakyat Jawa terhadap Belanda atas
penindasan yang terjadi di tanah Jawa. Sesuai dengan namanya, perang
ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang merupakan pangeran dari
Kesultanan Yogyakarta.

Dalam sejarahnya, sejak kedatangan Marsekal Herman Willem


Daendels di Batavia, pengaruh kolonial Belanda semakin kentara di
pulau Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta. Dimana, Daendels
mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya
kebencian dari pihak Keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton
Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya
alam dan manusia dengan mengerahkan kekuataan militernya.

Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IV wafat, Residen Yogyakarta


Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert banyak mencampuri urusan
kekuasaan keraton. Dimana, banyak kebijakan sepihak yang dimuluskan
olehnya. Saat itu, Pangeran Diponegoro yang menjabar sebagai Wali
Raja tidak tahan dengan kehadiran Belanda di Keraton Yogyakarta dan
akhirnya ia memilih untuk kembali ke kediamannya di Tegalrejo.

Mulainya Perang

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk


memperbaiki jalan-jalan kecil disekitar Yogyakarta. Namun,
pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang
melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo
dan Belanda memasang patok-patok perbaikan jalan di sepanjang
makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Ulah Belanda inilah yang memancing kemarahan Pangeran
Diponegoro dan rakyat setempat. Akhirnya, Pangeran Diponegoro
mengganti patok-patok tersebut dengan tombak sebagai tanda
pernyataan perang terhadap Belanda.

Pangeran Diponegoro melancarakan strategi perang melawan


Belanda selama lima tahun. Ia menggunakan taktik gerilya dengan
melakukan pengelabuan, serangan kilat, dan pengepungan tak terlihat.
Sedangkan untuk melawan dan mengalahkan pasukan Diponegoro,
Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Hendrik De Kock menerapkan
strategi Benteng Stelsel yaitu dengan mendirikan benteng di setiap
daerah yang dikuasai dan dihubungkan dengan jalan agar komunikasi
serta pergerakan pasukan bergerak lancar.

Pada akhirnya, strategi Benteng Stelsel ini berhasil memecah


pasukan lawan sehingga lebih mudah untuk dikalahkan. Dimana, pada
tahun 1829 Kyai Mojo sebagai pemimpin spiritual pemberontakan
ditangkap, menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.

Akhirnya, pada 28 Maret 1830 Jenderal De Kock berhasil menjepit


pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makasar hingga wafatnya
di Benteng Roterdam pada 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar


yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di
Nusantara. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200
ribu jiwa sedangkan korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000
tentara Belanda dan 7.000 serdadu pribumi. Akhir Perang Diponegoro ini
menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
D. SEJARAH PERANG JAGARAGA BALI
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah
Prancak (daerah Jembara), yang saat itu berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Buleleng. Kerajaan-kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada
saat itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal
dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng.

Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang


dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden
inilah yang memicu pecahnya Perang Bali, atau dikenal juga dengan
nama Perang Jagaraga.

Sejarah Perang Jagaraga di Bali


Belanda melakukan penyerangan terhadap Pulau Bali pada tahun
1846. Yang menjadi sasaran pertama dan utama adalah Kerajaan
Buleleng. Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan menghadapi
serbuan Belanda dengan gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi
di Jagaraga yang merupakan salah satu benteng pertahanan Bali.
Belanda melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Bali di
benteng Jagaraga.

Dalam pertempuran tersebut, pasukan Bali tidak dapat menghalau


pasukan musuh. Akhirnya pasukan I Gusti Ktut Jelantik terdesak dan
mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga. Waktu benteng
Jagaraga jatuh ke pihak Belanda, pasukan Belanda dipimpin oleh
Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van Swieten.
Raja Buleleng dan patih dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan
Belanda menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara keseluruhan
dapat dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-
kerajaan lainnya di Pulau Bali. Ternyata perlawanan sengit dari rakyat
setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan.
E. SEJARAH PERANG BANJAR
Perang Banjar merupakan perang untuk melawan kolonial
Belanda yang dimulai pada tahun 1859 hingga 1906. Perang ini
termasuk dalam masa penjajahan Belanda di Indonesia. Nama lainnya
adalah Perang Kalimantan Selatan atau Perang Banjar-Barito karena
letaknya Kesultanan Banjar. Wilayah perang ini meliputi Kalimantan
Selatan dan Tengah. Konflik ini dimulai ketika Belanda memonopoli
perdagangan di Kesultanan Banjar. Ternyata Belanda menginginkan hal
lebih yaitu ikut campur di urusan kerajaan yang tentu membuat situasi
kerajaan bertambah kalut. Perang ini berakhir dengan kemenangan
Belanda.

Kedatangan Belanda di Tanah Banjar

Pada abad keenam belas, Belanda atas nama East United India
Company sudah datang dan menjalin kontrak di Pulau Kalimantan.
Tepatnya pada tahun 1606. Pada tahun 1635, kontrak pertama
perdagangan lada ditandatangani bersama dengan Kesultanan Banjar.
Waktu itu, lada merupakan produk mewah di Eropa dan tentunya
menjadi alasan utama Belanda berada di tempat ini. Beberapa dekade
berikutnya sudah muncul peperangan kecil dan bentrokan senjata
karena kontrak lada yang tidak dipenuhi. Yang paling serius adalah
insiden pembunuhan 64 orang Belanda dan 21 orang Jepang di Kota
Waring pada tahun 1638.

Pada abad kesembilan belas, Herman Willem Daendels selaku


Gubernur Hindia Belanda, memutuskan untuk meninggalkan
Banjarmasin atas pertimbangan tidak ekonomis. Kemudian Inggris
mengambil alih Kalimantan sebagai akibat dari Perang Napoleon pada
tahun 1811. Namun, pada Desember 1816, kewenangan Kalimantan
kembali dari Inggris ke Belanda. Belanda menandatangi kontrak baru
dengan Sultan. Pada Januari 1817, bendera Sultan diganti dengan
bendera Belanda. Perlahan, kekuasaan Sultan digantikan oleh Hindia
Belanda. Di tahun-tahun berikutnya, timbul pemberontakan kecil dan
ada kontrak tidak adil yang ditandatangani.
Sejarah Perang Banjar
Sejarah Perang BanjarSultan Tahmidillah I memiliki tiga orang
anak yang bisa menggantikan kedudukannya sebagai sultan yaitu
Pangeran Amir, Pangeran Abdullah dan Pangerah Rahmat. Muncullah
Pangeran Nata yang merupakan saudara Sultan Tahmidillah I. Antagonis
ini membunuh Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat atas bantuan
Belanda. Hanya Pangeran Amir yang selamat. Belanda lalu mengangat
Pangeran Nata menjadi Sultah Tahmidillah II.

Pangeran Amir yang selamat tentu tidak menerima Sultan


Tahmidillah II menjadi Sultan Banjar. Konflik pun meletus selama
beberapa tahun. Namun dengan mudahnya Sultan Tahmidillah II dan
Belanda mengalahkan Pangeran Amir. Pangeran Amir ditangkap dan
dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka. Tapi kemenangan atas Pangeran Amir
ini tidaklah gratis. Sultan Tahmidillah II harus membayar daerah
Kotawaringin, Bulungan, Pasir dan Kutai kepada Belanda.

Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Amir yang lahir di


tahun 1809. Pangeran Antasari kecil sudah membenci kehidupan istana
yang penuh politik, intrik dan pengaruh kekuasaan kolonial Belanda. Dia
lebih sering hidup di masyarakat biasa, bermain bersama rakyat biasa,
hidup bertani dan berdagang serta mempelajari agama Islam pada para
ulama.

Agama Islam sangat berpengaruh ke kehidupan Pangeran


Antasari. Tak heran Pangeran Antasari memiliki akhlak yang baik. Seperti
jujur, ikhlas dan pemurah. Tak hanya itu, Pangeran Antasari juga sangat
tabah dalam menghadapi cobaan dan memiliki pandangan yang cukup
luas dan jauh sehingga dia sangat disukai oleh rakyat. Sehingga Pangeran
Antasari menjadi pemimpin yang baik bagi rakyat Kalimantan Selatan.
Kondisi Kesultanan cukup memprihatinkan, tidak stabil dan kacau. Sultan
Tahmidillah II wafat dan diganti oleh Sultan Sulaiman yang hanya dua
tahun memerintah. Lalu Sultan Adam yang melanjutkan pemerintahan.
Wilayah Kesultanan Banjar sekarang tinggal sedikit yaitu Banjarmasin,
Hulusungai dan Martapura. Wilayah yang dimiliki sebelumnya sudah
diambil oleh Belanda karena suatu perjanjian.

Perjanjian yang ditandatangani tahun 1826 itu cukup merugikan


Kesultanan Banjar. Isinya yaitu Kesultanan Banjar tidak bisa membuka
hubungan diplomasi dengan negara selain Belanda. Pengecilan wilayah
Kesultanan Banjar karena beberapa bagian wilayah menjadi milik dan
diawasi oleh Belanda. Tokoh yang memangku jabatan Mangkubumi pun
harus disetujui oleh pemerintah Belanda. Padang perburuan yang
menjadi tradisi dan penuh dengan menjangan pun harus diserahkan ke
Belanda.

Seperti Padang Bajingah, Padang Pacakan, Padang Simupuran,


Padang Ujung Karangan dan Padang Atirak. Penduduk sekitar dilarang
berburu di menjangan itu. Pajak penjualan intan pun didapat oleh
Belanda dengan jumlah sepuluh persen dari harga intan dan harga
pembeliannya juga diatur oleh Belanda. Satu-satunya yang terlihat baik
adalah Belanda melindungi Kesultanan Banjar apabila diserang oleh
musuh. Baik musuh dari dalam negeri maupun luar negeri. Kelihatannya
Belanda melindungi kedaulatan Kesultanan Banjar. Tapi justru musuh
Kesultanan Banjar adalah Belanda sendiri.

Perjanjian yang tidak seimbang ini tentu dipengaruhi oleh


tindakan pendahulu Sultan Adam yaitu Pangeran Nata. Pangeran Nata
yang dibantu oleh Belanda untuk merebut kekuasaan bagaikan
bersekutu dengan setan. Akibatnya, Pangeran Nata harus membalas
budi Belanda dengan perjanjian yang sangat menguntungkan Belanda
baik dari jangka pendek maupun jangka panjang.

Perang Banjar pada 28 April 1859

Setelah Sultan Adam mangkat, Pangeran Tamjidillah diangkat oleh


Sultan Banjar. Padahal rakyat Banjar ingin agar Pangeran Hidayatullah
yang menjadi sultan karena dia adalah putra dari Sultan Adam. Tapi
Belanda tetap memaksa agar Pangeran Tamjidillah tetap menjadi Sultan
dan Pangeran Hidayatullah hanya sebagai Mangkubumi. Penindasan dan
perlakuan Belanda yang seenaknya sendiri pada rakyat Kesultanan
banjar membuat rakyat marah.

Pemerintah Hindia Belanda mulai waspada akan kemunculan


pemberontakan. Penduduk Banjar mulai melawan Belanda dan
membawa semangat Perang Agama. Kelemahan Sultan Tamjidillah mulai
mengakibatkan kekacauan. Kondisi yang semakin panas membuat
Pangeran Antasari tampil menjadi pemimpin rakyat Banjar. Awalnya,
Pangeran Antasari menghimpun kekuatan rakyat yang sudah muak pada
Belanda. Tak lupa Pangeran Hidayatullah juga diajak yang kini menjadi
Mangkubumi. Pangeran Hidayatullah pun setuju.

Pada tanggal 28 April 1859 pecahlah Perang Banjar. Pihak


Kesultanan Banjar dipimpin oleh pahlawan nasional yang sangat dikenal
yaitu Pangeran Antasari. Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran
Hidayatullah, Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin,
Pangeran Amrullah dan lain-lain. Serangan mengarah ke tambang
Nassau Oranje milik belanda dan Benteng Pengaron. Sebagai reaksi,
Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi dan mengutus Kolonel
Augustus Johannes Andersen untuk mengambil alih komando militer.
Dia dibantu oleh Letnan Kolonel G. M. Verspyck.

Setelah berhasil menguasai dua tempat tersebut, muncullah


pertempuran di beberapa tempat lain. Pertempuran Benteng Tabanio di
Agustus 1859, Pertempuran Benteng Gunung Lawak pada September
1859, Pertempuran Munggu Tayur pada Desember 1859, Pertempuran
Amawang pada Maret 1860. Tumenggung Surapati sukses merusakkan
kapal Onrust di Sungai Barito.

Keberpihakan Pangeran Hidayatullah kepada rakyat semakin jelas


dan menjadi anti Belanda. Dia menolak tuntutan oleh Belanda agar
menyerah. Hingga akhirnya Belanda menghapus Kesultanan Banjar di
Juni 1860 dan memerintahkan seorang petinggi Belanda untuk
memerintah Kesultanan Banjar. Perang semakin meluas setelah para
kepala daerah dan para ulama juga bergabung dengan pemberontak.
Mereka memperkuat tentara Pangeran Antasari dan Pangeran
Hidayatullah melawan penjajah. Sayangnya, pasukan pemberontak kalah
oleh persenjataan Belanda yang begitu canggih dan modern. Setelah
terus berperang hingga tiga tahun, Pangeran Hidayatullah menyerah ke
Belanda pada tahun 1861 dan dibuang ke daerah Cianjur.

Menyerahnya Pangeran Hidayatullah membuat Pangeran Antasari


menjadi satu-satunya pemimpin pemberontakan dan keturunan
Kesultanan Banjar. Untuk memperkuat kedudukan sebagai pemimpin
tertinggi, Pangeran Antasari meneriakkan slogan, “Hidup untuk Allah dan
Mati untuk Allah,” sehingga rakyat, alim ulama dan pejuang mengakui
Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pangeran Antasari tidak bisa menolak dan dia harus mengemban
kedudukan yang dipercayakan rakyat dan kaum ulama sepenuhnya. Dia
begitu tawakkal kepada Allah. Sekarang Pangeran Antasari bertugas
sebagai Kepala Pemerintahan, Komando Tertinggi Perang dan Pemimpin
Islam Tertinggi.

Sejarah Perang Banjar semakin mendekati akhir dan kekalahan


Kesultanan Banjar sedikit demi sedikit semakin tampak. Pasukan
Belanda dipasok berbagai persediaan dan pasukan bantuan dari Batavia.
Karena terus terdesak, Pangeran Antasari memindahkan markas
komando di Sungai Teweh. Dari sana, Pangeran Antasari dibantu oleh
dua putranya seperti Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad
Seman. Selain itu juga dibantu oleh Kiai Demang Lehman dan
Tumenggung Surapati. Tapi beberapa hari kemudian Pangeran Antasari
wafat lalu dimakamkan di Hulu Teweh.

Meski Pangeran Antasari sudah wafat, pemberontakan pada


Belanda masih berlanjut. Sekarang dipimpin oleh dua putranya. Tapi
tetap saja perlawanan melemah karena perbedaan kekuatan yang
signifikan. Di tahun-tahun akhir perang, Belanda berhasil menangkap
dan membunuh beberapa tokoh perjuangan. Contohnya yang
tertangkap seperti Tumenggung Aria Pati dan Kiai Demang Lehman.
Sedangkan yang gugur yaitu Tumenggung Macan Negara, Tumenggung
Naro, Panglima Bukhari dan Rasyid. Menantu Pangeran Antasari, yaitu
Pangeran Perbatasari tertangkap di Belanda ketika bertempur di
Kalimantan Timur pada tahun 1866. Dia diasingkan ke Tondano di
Sulawesi Utara. Panglima Bakumpai juga tertangkap dan digantung pada
tahun 1905 di Banjarmasin. Gusti Muhammad Seman juga wafat di
Pertempuran Baras Kuning di daerah Barito.

Hasil Akhir dengan Kekalahan Kesultanan Banjar

Sejarah Perang Banjar selesai pada tahun 1906 yang ditandai


dengan kekalahan Pangeran Antasari dan Kesultanan Banjarmasin.
Korban di pihak Banjar lebih dari enam ribu jiwa. Sementara pihak
kolonial kehilangan tiga ribu hingga lima ribu orang dan dua kapal uap
yang tenggelam. Pasca perang ini, Belanda semakin menusukkan taring
dan kukunya di tanah Kalimantan.

Demikian informasi Sejarah Perang Banjar tentang perjuangan


Kesultanan Banjar melawan dominasi Pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun kalah, Perang Banjar ini memberi kita pelajaran bahwa
kegigihan para pahlawan dahulu, tokoh Islam dan ulama dalam
memperjuangkan tanahnya. Selain di Banjar, cukup banyak pula
perjuangan melawan penjajah di beberapa daerah yang menjadi titik
awal perkembangan nasionalisme di Indonesia. Contohnya seperti
sejarah Perang Kamang dan sejarah Perang Padri. Kesultanan di
Indonesia yang lain juga melawan Belanda seperti sejarah Kerajaan
Tidore, sejarah Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Demak beserta
peninggalan kerajaan demak.

Anda mungkin juga menyukai