Anda di halaman 1dari 18

BAB XI

ETIKA BISNIS

A. PENDAHULUAN

B
isnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai suatu
profesi pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang
profesional. Profesionalitas di sini tidak hanya diartikan dalam
kaitannya dengan keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis
seperti halnya dalam bidang manajemen operasi, pemasaran, keuangan,
sumber daya manusia dan lainnya, terutama dikaitkan dalam prinsip
efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.1
Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa
Etika Bisnis merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial. Hal
ini dilihat lebih jauh oleh Kees Bertens yang menegaskan, bahwa
kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan langsung dengan kompleksitas
masyarakat modern dan bisnis juga dipandang sebagai suatu kegiatan
sosial dalam pengertian aspek hubungan antar manusia.2
Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat
dari aspek bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi
perusahaan yang mendatangkan keuntungan serta melakukan efisiensi,
akan tetapi kegiatan bisnis juga melibatkan hubungan antara
pengusahaan dengan karyawannya, pelanggan, masyarakat pada
umumnya hingga pemerintah (hubungan antar manusia). Sehingga,

1
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
46-47
2
Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm.
13

99
100 Etika Bisnis

diperlukan komitmen pribadi pengusaha yang tinggi, serius dalam


menjalankan pekerjaannya, bertanggung jawab agar tidak sampai
merugikan pihal lain. Dengan demikian sikap pengusaha yang
diharapkan disini adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara
tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik dan tanggung jawab
moral pribadinya.

Tiga Aspek Pokok dari Bisnis


Kegiatan bisnis menurut K. Bertens dapat disorot dalam tiga
sudut pandang yang berbeda yang tidak selalu dapat dipisahkan, yaitu:
(1) sudut pandang ekonomi, (2) sudut pandang hukum, dan (3) sudut
pandang etika, sebagai berikut di bawah ini:3
(1) Sudut pandang ekonomis. Dalam sudut pandang ekonomis ini,
bisnis dipandang sebagai suatu kegiatan tukar-menukar, jual-
beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan
interaksi manusia lainnya, dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan. Pencarian keuntungan dalam bisnis disini tidak
bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi, komunikasi
sosial yang menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat
dalam kegiatan bisnis tersebut. Dalam konteks seorang yang
bekerja pada suatu perusahaan, motivasi utama untuk bekerja di
perusahaan tersebut adalah untuk mendapatkan gaji. Walaupun
seseorang bekerja pada perusahaan saudaranya, motivasi
saudaranya tersebut bukan dalam rangka membantu usahanya,
akan tetapi motivasi terbesar bekerja di sana adalah
mendapatkan gaji.
Good Business atau bisnis yang baik dalam pandangan ekonomis
ini sedapat mungkin bisnis membawa paling besar keuntungan
bagi perusahaannya. Dengan demikian kita dapat memaklumi
bila seorang manajer operasi mempertahankan produktivitas
perusahaannya menghasilkan barang pada suatu titik tertentu
yang dianggap optimal agar biaya produksi dan biaya variabel
lainnya menjadi bertambah besar yang ujung-ujungnya akan
menaikan harga.
(2) Sudut pandang moral. Dengan tidak meninggalkan motivasi
ekonomis dalam berbisnis, perlu ditambahkan adanya sudut

3
Ibid, hlm. 13-32
Etika Bisnis 101

pandang lain yang tidak boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut
pandang dari aspek moral. Pertimbangannya adalah selalu ada
masalah etis dari perilaku kita yang terlibat dalam kegiatan
bisnis tersebut. Tidak semua yang dapat kita lakukan dalam
rangka mencapai keuntungan tersebut boleh kita lakukan. Kita
harus menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan
pertimbangan kita pun tidak mau kepentingan dan hak kita
dilanggar yang berakibat kerugian bagi diri kita. Dengan
demikian menghormati kepentingan dan hak orang lain harus
dilakukan dalam menjaga kepentingan bisnis kita.
Good Business dalam sudut pandan moral ini, bukan saja bisnis
yang menguntungkan. Namun bisnis yang juga baik secara
moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah
satu arti terpenting bagi kata “baik”. Perilaku yang baik di sini
merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral
(berperilaku etis).
(3) Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat juga
oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum bisnis” merupakan
cabang penting dari ilmu hukum modern. Ada banyak masalah
hukum dalam praktik hubungan bisnis, baik dalam tataran
nasional maupun internasional. Seperti halnya etika, hukum
merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentunya
antara hukum dan etika, jelas sangat terkait. Quid leges sine
moribus?, apa artinya undang-undang kalau tidak disertai
moralitas? Dengan demikian etika selalu harus menjiwai
hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus
menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik”
antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi
sudut pandngan hukum itu tidaklah cukup, perlu juga sudut
pandang moral. Tidak semua hal yang pantas dan tidak pantas
dilakukan diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi perlu juga
pandangan moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum
merupakan suatu syarat yang minimum, patuh pada hukum dan
tidak juga melanggar moral itulah yang seharusnya dilakukan
oleh setiap pebisnis. “If it’s morally wrong, it’s probably also illegal.”
102 Etika Bisnis

Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita
dapat dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu
dengan melihat kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu
juga dengan apakah perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi
hukum, dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau bahkan dapat menanyakan langsung kepada pengadilan dan
meminta putusan hakim. Namun, dari aspek moral sulit mengukurnya
apakah baik atau buruk secara moral dari bisnis yang dijalankan
tersebut. Sehingga untuk membantu mengukurnya ada tiga tolok ukur,
yaitu: hati nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum.
Ukurang pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini
mengikat diri kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan
oleh hati nurani dan bila mengabaikannya itu berarti kita sedang
menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi dalam berbagai kasus bisnis
yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga tingkat
produktivitas yang diinginkan supervisor melangggar standar
keamanan. Yang pertama menilai dari masalah ini adalah hati nurani,
apakah hati nurani mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat
subjektif hanya ada pada seorang supervisor tersebut. Tentunya ini
sangat subjektif, dan bila hati nurani orang tersebut tidak dibina atau
terdidik, maka akan membentuk hati nurani yang tidak semestinya,
menjadi terlalu longgar atau bahkan tumpul sama sekali.
Kaidah emas, “Hendaklah memperlakukan orang lain
sebagaimana Anda memperlakukan orang lain sebagaimana Anda
sendiri ingin diperlakukan”. Atau dalam rumusan yang negatif
berbunyi,”Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda
sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda.” Melalui prinsip
kaidah emas ini, masing-masing kita akan mengukur apa yang akan kita
lakukan terhadap orang lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak
ingin rugi, maka kita pun tidak boleh merugikan orang lain pula.
Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan
baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan
kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga
“audit sosial”. Kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian
masyarakat umum.
Etika Bisnis 103

B. ETIKA BISNIS
Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan
menyelidiki dan menjernihkan kata seperti “etika” dan “etis” yang
dibedakan antara “etika sebagai praksis dan “etika sebagai refleksi”.
Berikut ini dijelaskan etika sebagai praksis dan refleksi tersebut, di
bawah ini:4
 Etika sebagai praksis5 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat
kita lihat dari tema-tema pemberitaan di media, misalnya “Ada
unsur tidak etis dalam proses akuisisi”, “Tegakkan etika bisnis
dengan Undang-undang Anti Korupsi”, contoh kalimat tersebut
menunjuk kepada etika sebagai praksis, misalnya orang yang
memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-
undang itu harus secara konsisten dan ketat dijalankan
sedemikian rupa sehingga nilai dan norma dalam bisnis bisa
ditegakkan. Dengan demikian Etika sebagai praksis sama artinya
dengan moral (apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan).
 Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral.
Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau
mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Dalam surat kabar,
majalah maupun media lainnya dapat kita baca komentar atau
analis-analis dari berbagai peristiwa yang berkonotasi etis,
misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir ini.
Baik berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain
berikut analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang
membicarakan kasus etis tersebut merupakan wujud dari etika
sebagai refleksi pada taraf popular. Etika sebagai refleksi dalam
taraf ilmiah, dijalankan dan secara kritis, metodis dan sistematis
menjadikan refleksi ini mencapai taraf ilmiah.

Etika merupakan cabang filsafat yang mempalajari baik


buruknya perilaku manusia, karena itu etika sering disebut juga sebagai

4
Ibid, hlm. 32 - 35
5
Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus
merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan
praktik, dengan demikian praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan
dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan.
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit
BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
104 Etika Bisnis

“filsafat praktis”. Secara keseluruh etika membicarakan berbagai hal


mengenai pemikiran moral yang lebih terarah kepada masalah-masalah
konkret dan membuka diri pada topik-topik konkret dan aktual sebagai
objek penyelidikannya. Dalam hal etika yang membuka diri dalam
topik konkret inilah sering kita sebut sebagai “etika terapan”
Etika bisnis sebagai etika terapan karena memfokuskan diri pada
masalah-masalah moral aktual dibidang bisnis. Sebagaimana etika
terapan etika bisnis dapat dijalankan dalam taraf makro, meso dan
mikro. Dalam taraf makro, etika bisnis membicarakan masalah moral
skala besar, misalnya keadilan dalm suatu masyarakat terutama
berkaitan dengan kaum buruh. Sementara dalam taraf meso
(menengah), etika bisnis meneliti masalah etis di bidang organisasi
misalnya perusahaan, lembaga dan lainnya. Sementara dalam tataran
mikro, memfokuskan diri pada masalah-masalah moral dalam bisnis di
kalangan manajer, karyawan, produsen, konsumen dll.6

1. Bisnis dan Etika


Telah dijelaskan di atas secara panjang lebar mengenai etika
sebagai filsafat praktis yang mengkaji masalah-masalah moral, sampai
dengan pembahasan etika bisnis sebagai etika terapan yang
mengkhususkan dirinya mengkaji masalah-masalah moral di bidang
bisnis. Dalam bagian ini penekanan tulisannya lebih kepada bagaimana
bisnis tersebut dijalankan secara etis? Dan apakah memang benar bisnis
memerlukan etika? Dan bagaimana hubungan antara bisnis dan etika?

2. Mitos Bisnis Amoral


Business is business, sering kita dengar ungkapan ini yang intinya
menekankan bahwa urusan bisnis tidak ingin dicampuri dengan
berbagai hal yang tidak berhubungan dengan bisnis. Ungakan ini
menurut De George dalam buku Etika Bisnis Sonny Keraf disebut
sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan ini menggambarkan, bahwa
orang berbisnis adalah semata-mata berbisnis dan bukan sedang
beretika. Singkat kata, mitos bisnis amoral ini menyatakan bahwa
kegiatan bisnis tidak ada hubungannya dengan masalah etika atau
moralitas. Keduanya adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain.
Karena itu bisnis tidak boleh dicampuradukkan, bisnis hanya dapat

6
K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37
Etika Bisnis 105

dinilai dengan kategori dan norma-norma bisnis dan bukan dengan


kategori dan norma-norma etika.7
Dalam pandangan bisnis adalah bisnis tidak berkaitan dengan
etika, maka yang menjadi fokus dari bisnis itu sendiri tidak lain dari
memperoleh keuntungan. Maka kegiatan operasi perusahaan berfokus
pada menekankan biaya serendah mungkin, mengejar output produksi
yang optimal, bisa saja untuk mengejar produksi yang optimal pebisnis
memaksa kerja mesin dan termasuk orang di dalamnya tanpa
memperhatikan kepentingan tenaga kerja tersebut. Sementara itu di
bidang pemasaran, tim pemasaran ditekan sedemikian rupa dengan
target-target penjualannya, tidak peduli bagaimana cara mencapai target
tersebut yang penting target terpenuhi. Demikian pun dengan bagian
sumber daya manusia, bisa saja mengabaikan aturan-aturan normatif
dibidang ketenagakerjaan demi mempertahankan tingkat efisiensi
produksi. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya bisnis tersebut
dijalankan dengan menghalalkan berbagai cara ini, pasti pebisnis
tersebut akan menemui berbagai persoalan di dalamnya.
Dengan demikian pandangan mitos bisnis amoral, kita tidak
dapat terima sepenuhnya. Walau pun bagaimana bisnis tetap memiliki
kaitan dengan masalah moral.

C. KEADILAN
Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun
memanfaatkan sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat
diaplikasikan dalam kegiatan bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar
abad ke 19, di Eropa Barat telah berkembang pemikiran di bidang
kegiatan ekonomi yang cenderung mengadopsi cara berpikir
utilitarianisme. Seperti halnya sudah dipahami bersama, bahwa cara
berpikir utilitarianisme ini didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility)
yang paling besar bagi kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu
dianggap baik dan memadai ukurannya adalah manfaat yang
mendatangkan kebahagiaan yang terbesar yang menjadi pilihan
tindakannya.8

7
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56
8
Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi,
dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36
106 Etika Bisnis

Sumbangan pemikiran seperti di atas cukup menolong para


pebisnis, mengingat kompleksitas bisnis saat ini. Melalui prinsip
utilitarianisme tersebut tampaknya merupakan cara sederhana dalam
memecahkan permasalahan yang kompleks dalam dunia bisnis, artinya
cukup berprinsip dari segi kemanfaatan pebisnis dapat mengambil
pilihannya. Pada kenyataannya prinsip pemikiran ini kurang memadai,
mengingat ukuran manfaat, kebaikan atau kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin orang yang berbeda-beda pemahamannya yang ujung-
ujunganya dapat menjadi perbedaan bagi satu sama lain.
Dengan demikian sumbangan utilitarianisme ini kurang memadai
dalam mengatasi kompleksitas di bidang bisnis tersebut. Apalagi
kegiatan bisnis ini berkaitan dengan masalah kelangkaan (scarcity),
sehingga perlu ada pemikiran lain yang membantu mengatasi masalah
ini, diantaranya adalah teori keadilan.

Teori Keadilan John Rawls9


John Rawls mengemukakan teorinya, ia meminta untuk
membayangkan sebuah keadaan, di mana sekelompok orang sedang
memperbincangkan mengenai isi dan bentuk suatu masyarakat yang
adil dengan kondisi belum ada apa-apa. Jadi masyarakat yang adil
tersebut diciptakan dari nol.
Selanjutnya menurut Rawls, dalam situasi yang memiliki tingkat
objektivitas yang maksimal, setiap orang akan memikirkan suatu
masyarakat yang mampu memberikan manfaat dan berkat bagi dirinya
sendiri. Dalam situasi demikian menurut Rawls akhirnya, bila orang-
orang itu berakal sehat maka, masyarakat itu harus bertindak “fair”
kepada setiap anggotanya siapa pun dia. Dengan kata lain, dalam
masyarakat tersebut tidak ada anggotanya diperlakukan secara tidak
“fair”. Rawls menyimpulkan bahwa bersikap adil adalah bersifat “fair”.
“Justice as fairness”.
Kemudian apakah “fairness” itu? Rawls menjelaskan dua
prinsip. Pertama, “Equality” atau kesamaan. Setiap orang berhak
mendapat perlakuan yang sama. “Fair” berarti setiap orang harus
tunduk pada peraturan main yang sama dan peraturan main itu tidak
dirumuskan hanya untuk menguntungkan sebagian orang. Kedua,
Kesamaan tidaklah sama dengan persamaan. Karena, memang orang tidak

9
Ibid, hlm. 37-40
Etika Bisnis 107

sama. Memperlakukan semua orang secara mutlak sama, justru tidak


menguntungkan semua orang, khususnya mereka yang berada dalam
keadaan tidak menguntungkan.
Dengan demikian, maka pembedaan adalah tidak adil,
sedangkan perbedaan itu diperlukan demi keadilan. Kemudian,
perbedaan manakah yang dikatakan adil atau “fair” tersebut? Rawls
menyatakan, perbedaan dapat dikatakan “fair” apabila “hasilnya
mendatangkan keuntungan bagi semua orang, khususnya anggota-anggota
masyarakat yang paling lemah kedudukannya”. Dengan demikian
perbedaan “diharamkan” bila ia hanya menguntungkan sekelompok
kecil orang yang kedudukannya kuat. Jadi, perbedaan dapat diterima,
bila mereka yang berada di tingkat paling bawah menganggap
perbedaan itu menguntungan mereka. Rawl mengatakan, “Bukanlah
suatu ketidakadilan bila keuntungan yang lebih besar dinikmati oleh yang
sedikit, dengan syarat bahwa melalui itu keadaan mereka yang lemah
mengalami perbaikan.” Selanjutnya Rawls berkeyakinan, bawah prinsip-
prinsip “fair” ini merupakan dasar yang adil dapat diterima oleh setiap
orang yang berakal sehat.
Apa yang disampaikan Rawls di atas merupakan “apa yang
seharusnya” merupakan nilai yang luhur dan berharga, sehingga orang
dengan sukarela dan sungguh-sungguh mau mengikatkan dirinya.
Sehingga dalam keputusan etis yang diambil dalam praktik berbisnis
bukan saja dari segi manfaat yang paling besar yang akan diperoleh,
tetapi juga memenuhi unsur keadilan (fairness) di dalamnya.

D. KEUNTUNGAN
Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah:
berapa besar orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan
bagaimana pula ukuran-ukuran etisnya? Pandangan umum
mengatakan bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar bila orang
berusaha untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Pada jaman kejayaan liberalisme klasik, bahwa maksimalisasi
keuntungan atau profit maximization merupakan satu-satunya tujuan
bagi perusahaan.10 Hal ini dapat kita lihat dalam teks buku-buku
pegangan mahasiswa ekonomi, profit maximization ini masih dipelajari

10
Kees Bertens, Keprihatinan Moral – Telaah atas Masalah Etika,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 70
108 Etika Bisnis

sampai saat ini. Mari kita lihat sebagai misal bagaimana maksimalisasi
laba itu diperoleh dalam kondisi industri kompetitif sempurna, yang
mana produksi akan mencapai titik di mana harga outpunya tepat sama
dengan biaya marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus
MR=MC, pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan
mahasiswa Ekonomi Akuntansi dan Manajemen sekarang.11
Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh
mahasiswa ekonomi sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini
bukan menjadi satu-satunya pegangan dalam menjalankan berbisnis
dikemudian hari. Beberapa hal yang harus dikritis dalam memang
prinsip maksimalisasi profit secara ketat dan merupakan satu-satunya
tujuan di dalam praktik berbisnis, diantaranya berimplikasi kepada
pengerahan semua sumber daya perusahaan agar mencapai profit yang
maksimum. Pengerahan sumber daya ini termasuk juga tenaga kerja
yang terlibat di dalamnya, jangan-jangan demi profit maksimum ini
perusahaan menjadikan karyawan hanya sebagai alat semata. Tidak
heran bila beberapa waktu yang lalu kita menemukan sebuah
perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan buruhnya dengan
semena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang belum cukup
umur (masih usia anak-anak)12.
Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka
jelas sangat ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18,
yaitu Immanuel Kant. Kant menuturkan dalam bukunya Foundations of
the Metaphysics of Moral (1785), “Bertindaklah sedemikian sehingga
engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau
orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.”13
Dengan demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan
karyawannya sebagaimana manusia yang memiliki martabat dan tidak
menganggap karyawan mereka sebagai sarana atau alat untuk
memperoleh keuntungan yang menjadi tujuan utamanya.
Kalau begitu apakah salah perusahaan mengejar profit? Patut
kita akui bahwa bisnis tanpa profit bukan bisnis lagi. Kegiatan bisnis
agar dapat memiliki etika yang baik tidak perlu merubah menjadi suatu

11
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212
12
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gu
gat.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
13
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm.
235-236
Etika Bisnis 109

karya amal, bisnis tetaplah bisnis yang mencari keuntungan.


Keuntungan merupakan unsur yang hakiki dalam berbisnis, namun
keuntungan pebisnis tidak boleh memutlakan keuntungan.
Maksimalisasi keuntungan sebagai suatu tujuan perusahaan akan
berakibat timbulnya keadaan yang tidak etis. Dengan demikian kita
harus melihat ulang mengenai keuntungan itu dengan memandang
keuntungan sebagai suatu yang relatif.

Relativasi Keuntungan14
Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan
membedakan keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi
(motive). Maksud atau purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi
bersifat subjektif. Hal ini dapat dijelaskan, misalnya: kita memberikan
sedekah kepada pengemis supaya ia bias makan (merupakan maksud),
sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Demikian juga dengan
bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud (purpose) dari
bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa
yang ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan
merupakan motivasi dalam berbisnis.
Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit
bukanlah satu-satunya tujuan berbisnis. Beberapa hal yang
menggambarkan relativasi keuntungan dalam bisnis diantaranya:
keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan
perusahaan, keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa
barang dan jasa dihargai oleh masyarakat, keuntungan adalah cambuk
untuk meningkatkan usaha, keuntungan merupakan syarat
kelangsungan perusahaan dan keuntungan mengimbangi risiko dalam
usaha.

E. KONSUMEN
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan
transaksi ekonomi yang hak-haknya sering terabaikan. Konsumen
menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, dapat
didefinisikan sebagai berikut:

14
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162
110 Etika Bisnis

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepenting diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”15
Dengan demikian konsumen sebagai stakeholder yang dekat dengan
produsen sudah seharusnya mendapat perhatian.
Perhatian etika dalam hubungan dengan konsumen tersebut,
harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian
untuk segi-segi etis dari relasi bisnis (dalam hal ini konsumen sudah
mendesak), mengingat posisi konsumen sering dalam posisi yang
lemah. Walau pun konsumen memiliki gelas “raja” namun pada
kenyataannya “kuasanya” sangat terbatas karena berbagai sebab.16
Perumusan perhatian kepada konsumen itu dapat dirinci ke
dalam empat hak konsumen, sebagai berikut:17
1. Hak atas keamanan, banyak produk mengandung risiko
tertentu untuk konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan
dan keselamatan. Konsumen berhak atas produk yang aman,
artinya produk tersebut tidak mempunyai kesalahan teknis
atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan dan
keamanan produsen.
2. Hak atas informasi, konsumen berhak mengetahui segala
informasi yang relavan mengenai produk yang dibelinya, baik
bahan baku apa saja yang digunakan dalam membuat produk
tersebut, cara memakainya, maupun risiko yang menyertai
pemakaian itu.
3. Hak untuk memilih, konsumen berhak untuk memilih antara
pelbagai produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga
produk dapat berbeda, konsumen berhak untuk
membandingkan sebelum memutuskan membeli.
4. Hak untuk didengar, konsumen berhak atas keinginannya
tentang produk atau jasa itu didengarkan dan
dipertimbangkan, terutama keluhannya.
5. Hak lingkungan hidup, ia berhak produk dibuat sedemikian
rupa, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan

15
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008), hlm. 22-23
16
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-228
17
Ibid, hlm. 228-230
Etika Bisnis 111

atau merugikan keberlanjutan proses alam. Konsumen boleh


menuntut bahwa dengan memanfaatkan produk ia tidak akan
mengurangi kualitas kehidupan di bumi ini.
6. Hak konsumen atas pendidikan, konsumen diharapkan
menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya.

Tanggung jawab Menyediakan Produk yang Aman


Dalam bagian hak telah dijelaskan hak apa saja yang dimiliki
konsumen, sebaliknya produsen sendiri dituntut tanggung jawab untuk
menyediakan produk yang dihasilkannya tersebut aman. Tiga
pandangan tentang tanggung jawab produsen dalam menyediakan
produk yang ditawarkan kepada konsumen tersebut aman dapat
dipaparkan sebagai berikut:18
1. Teori kontrak, jika konsumen membeli sebuah produk atau jasa,
konsumen seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan
yang menjual produk tersebut, misal seseorang memarkir
kendaraannya di sebuah tempat parkir umum, ia mendapatkan
struk tanda parkir dan dibelakang struk tersebut tertera berbagai
ketentuan-ketentuan mengenai parkir di tempat tersebut, atau
jika anda membuka rekening tabungan di bank anda akan
disodori berbagai syarat dan ketentuan tabungan yang harus
anda ketahui.
2. Teori perhatian semestinya, atau disebut dengan the due care
theory. Pandangan ini bertolak dari posisi konsumen yang lemah,
maka produsen mempunyai lebih banyak pengetahuan dan
pengalaman pada produk tersebut. Maka kewajiban produsen
adalah menjaga agar konsumen tidak merasa dirugikan,
misalnya produsen mainan wajib mencantumkan dalam
kemasan akan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari
mainan yang dijualnya.
3. Teori biaya sosial, produsen bertanggung jawab atas semua
kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen
dalam memakai produk tersebut.
Demikianlah tanggung jawab produsen ini, agar konsumen tidak
mengalami kerugian atas pemakain barang dan jasa yang
ditawarkannya.

18
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239
112 Etika Bisnis

F. IKLAN
Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai
bentuk informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai
kehidupan kita, dari mulai bangun pagi kita menyalakan TV sudah
ditawari berbagai iklan. Kemudian kita pergi ke tempat pekerjaan di
jalanan kita menemukan berbagai iklan media luar ruangan yang
memenuhi berbagai tempat. Setelah tiba di kantor kita buka komputer
kerja dan terhubung dengan internet, di internet pun kembali kita
menemukan iklan. Demikian seterusnya sampai kita terlelap tidur
barulah kita terbebas dari iklan tersebut.
Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang
menawarkan suatu produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui
suatu media. Iklan sebenarnya merupakan bagian dari bauran promosi
yang terdiri dari personal selling, sales promotion dan publicity. Sejatinya
iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain: memberikan informasi
atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi produk,
menciptakan kesan (image) yang baik tentang produk, alat komunikasi
dan menjaring khalayak.19
Kemudian bila melihat pengertian di atas, apa yang menjadi
masalah etis di dalam periklanan ini? Dan mengapa iklan ini diangkat
dalam topik etika bisnis?
Sebenarnya tidak ada kegiatan bisnis lain yang begitu banyak
kritik dan menjadi tanda tanya besar seperti periklanan. Seperti
dipahami secara umum, untuk membuat sebuah iklan perusahaan tidak
segan-segan membelanjakan dananya yang besar, kemudian budget
dana yang besar itu bila diamati tidak menambah suatu produk dan
tidak juga meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Iklan sepertinya
hanyalah penyedot biaya yang besar yang alih-alihnya dibebankan
kepada konsumen untuk membayarnya. Sebagai misal produk susu
formula untuk bayi, konsumen membayar mahal untuk satu kali susu
formula. Kalau dihitung biaya produksi saja sampai ke tangan
konsumen dikurangi biaya iklan, konsumen mungkin tidak harus
membayar mahal untuk sekaleng susu formula tersebut. Harga menjadi
mahal setelah ditambahkan dengan komponen biaya promosi mulai
dengan membiayai para tenaga penjualan (Sales Promotion Girl) yang

19
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori
dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo,
2010), hlm. 2-4
Etika Bisnis 113

selalu stand-by di outlet/supermarket, tenaga penjualan yang datang


berkunjung ke rumah sakit menemui dokter, bidan dan ibu-ibu yang
baru melahirkan, iklan diberbagai media (cetak, elektronik, media luar
ruangan dll).
Masalah tidak berhenti sampai pada biaya besar yang
dibebankan kepada konsumen, tetapi masalah sosio kultural juga
menjadi perhatian. Tidak jarang iklan yang hilir mudik di media
komunikasi menampilkan suatu suasana hedonis, materialis, tidak
mendidik, dan cenderung mendorong sikap konsumtif kepada
masyarakat.20 Demikianlah permasalahan etis yang dapat dikaji dalam
periklanan ini.

Periklanan dan Kebenaran


Tahun 2012 yang lalu seorang ibu yang bernama Milla tertarik
dengan “iklan” bermerek Nissan March. Milla pun membeli Nissan
March matic pada 7 Maret 2011 seharga Rp159,8 juta. “Nyatanya, mobil
(Nissan March) saya kok boros banget. Saya sih nggak mengharapkan
yang muluk-muluk seperti di iklan, ya sekitar 1:14 atau 1:13, saya rasa
sudah cukup bagus. Tetapi setelah melakukan pengujian beberapa kali,
hanya mampu 1:7 atau 1:8,” kata Milla. Milla pun akhirnya mengajukan
gugatan secara resmi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah
keluhannya ini tidak didengar oleh Nissan. 21
Apabila ibu Milla merasa tertipu dengan iklan yang ditawarkan
oleh produsen mobil tersebut, bagaimana dengan anda? Pernahkah
anda membaca iklan yang anda tahu, pernyataan dalam iklan tersebut
tidak mengandung kebenaran, ‘bombastis’ dan cenderung dibesar-
besarkan? Iklan memang memiliki stereotipe (mendapatkan ‘cap’ dari
masyarakat) yang suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan
menipu publik. Periklanan hampir apriori (dipastikan) disamakan
dengan tidak bisa dipercaya.22 Tentu saja berbohong merupakan suatu
perbuatan yang tidak etis.
Tetapi apakah benar iklan mengandung unsur kebohongan?
Dalam konteks moral harus dilihat “maksud” dalam perbuatan

20
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264
21
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-
nissan-berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul
07:42
22
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-266
114 Etika Bisnis

berbohong ini. “Maksud” disini adalah ada unsur kesengajaan. Dapat


saja sebuah iklan mengatakan sesuatu yang tidak benar, misalnya iklan
sebuah obat yang sangat efektif mengatasi rasa sakit, ternyata ada efek
samping yang tidak terduga sebelumnya. Iklan obat ini tidak
berbohong, karena tidak dengan sengaja menyimpang efek samping
yang ditimbulkan. Maksud berikutnya adalah agar orang lain percaya,
dalam hal ini iklan informatif dan iklan persuasif. Unsur informasi
selalu benar, misalnya menginformasikan kandungan makanan, zat
pewarna, pengawet dan infomrasi produknya halal.23
Iklan dalam penggunaan bahasa menggunakan retorika sendiri
yang cenderung produknya adalah yang terbaik dibidangnya atau
nomor satu di kelasnya. Misalnya “melezatkan setiap masakan”,
“membersihkan paling bersih”, “bintang segala bir”, dll. Bahasa
periklanan disini sarat dengan superlatif dan hiperbol. Dalam hal ini si
pemasang iklan tidak bermaksud sama sekali agar public percaya begitu
saja, dan tentunya publik pun tahun bahasa retorika tersebut tidak perlu
dimengerti secara harafiah. Maksudnya di sini bukan memberi
informasi yang belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya
dapat memikat calon pembeli.
Setelah mengamati masalah periklanan di atas, ternyata cukup
sulit memlihat hal yang etis dan tidak etis di dalam periklanan. Sama
halnya dengan sulit untuk membedakan antara “melebih-lebihkan” dan
“berbohong”, sehingga masalah kebenaran di dalam periklanan tidak
dapat dipecahkan dengan cara membedakan secara hitam dan putih.
Banyak bergantung pada situasi konkret dan kesediaan publik untuk
menerimanya atau tidak.24
Kembali ke kasus Ibu Milla di atas, pertanyaannya apakah
Nissan berbohong? Di dalam konten iklan itu dinyatakan kendaaran
irit/hemat bahan bakar dan di atas pernyataan irit itu ada tanda asteris
(*) yang menerangkan kendaraan tersebut telah diuji tingkat konsumsi
bahan bakarnya di sebuah sirkuit oleh outo bild. Akal sehat kita
membandingkan sirkuit yang bebas hambatan dan jalanan di Jakarta
yang macet parah, kira-kira kendaraan macam apa yang dapat
menghemat bahan bakar sampai dengan 21 Km /liter atau minimal 14
km/liter? Jadi apakah Nissan berbohong dalam iklannya?

23
Ibid, hlm. 266
24
Ibid, hlm. 269
Etika Bisnis 115

G. TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN


Tanggung jawab sosial diartikan sebagai menjalankan sebuah
bisnis yang memenuhi atau melampaui harapan etis dan legal yang
dimiliki masyarakat terhadap bisnis tersebut. Dalam hal ini memastikan
keberhasilan komersial dalam cara-cara yang menghormati nilai-nilai
etis dan menghormati orang, masyarakat dan lingkungannya.25
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat dibedakan dengan
tanggung jawab ekonomis perusahaan, tanggung jawab sosial
perusahaan yang dimaksud di sini merupakan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak
memperhitungkan untung atau rugi secara ekonomis. Perusahaan
dalam hal ini melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan
ekonomis dan semata-mata dilangsungkan demi kesejahteraan
masyarakat atau salah satu kelompok masyarakat, misalnya perusahaan
menyelenggarakan pelatihan keterampilan untuk para penganggur di
lingkungannya.26
Tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat dilihat dari sisi
negatif, di mana perusahan menahan diri untuk tidak melakukan
kegiatan tertentu, yang sebenarnya menguntungkan secara ekonomis.
Misalnya sebuah perusahaan kertas membuang limbahnya langsung ke
sungai, praktik ini menguntungkan secara ekonomis, karena tidak perlu
membuat pengolahan air limbah yang mahal. Dalam hal menanggung
kerugian masyarakat inilah perusahaan harus bertanggung jawab,
sehingga tanggung jawab sosial di sini diartikan dari sisi negatif.
Demikianlah perusahaan seyogyanya selain melakukan kegiatan
yang menguntungkan bagi perusahaannya, juga memperhatikan
berbagai kegiatan yang memberikan sumbangan yang berarti untuk
masyarakat secara luas.

H. PENUTUP
Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di
atas merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis

25
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2004), hlm. 143
26
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297
116 Etika Bisnis

yang ada dalam kegiatan bisnis. Untuk pokok bahasan lingkungan


hidup secara khusus akan dibahas dalam topik Etika Lingkungan hidup.

I. PERLATIHAN
1. Jelaskan tiga aspek bisnis?
2. Jelaskan pula tiga tolok ukur bisnis dari sudut pandang moral?
3. Jelaskan apa hubungannya etika dan bisnis? Dan apakah bisnis bebas
nilai atau tidak ada hubungannya dengan nilai moral?
4. Jelaskan konsep keadilan menurut John Rawls?
5. Apa kaitannya keuntungan dengan moralitas? Dan bagaimana
konsep keuntungan menurut Ronald Duska?
6. Apa yang dimaksud degan konsumen? Dan jelaskan pula tanggung
jawab produsen terhadap konsumennya?
7. Apakah iklan mengandung kebohongan? Menurut anda apakah
bahasa iklan harus selalu bersifat bombastis atau hiperbola (dilebih-
lebihkan)?
8. Jelaskan tanggung jawab perusahaan dari sisi ekonomi perusahaan
dan tanggung jawab sosial perusahaan?

Anda mungkin juga menyukai