ETIKA BISNIS
A. PENDAHULUAN
B
isnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai suatu
profesi pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang
profesional. Profesionalitas di sini tidak hanya diartikan dalam
kaitannya dengan keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis
seperti halnya dalam bidang manajemen operasi, pemasaran, keuangan,
sumber daya manusia dan lainnya, terutama dikaitkan dalam prinsip
efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.1
Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa
Etika Bisnis merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial. Hal
ini dilihat lebih jauh oleh Kees Bertens yang menegaskan, bahwa
kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan langsung dengan kompleksitas
masyarakat modern dan bisnis juga dipandang sebagai suatu kegiatan
sosial dalam pengertian aspek hubungan antar manusia.2
Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat
dari aspek bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi
perusahaan yang mendatangkan keuntungan serta melakukan efisiensi,
akan tetapi kegiatan bisnis juga melibatkan hubungan antara
pengusahaan dengan karyawannya, pelanggan, masyarakat pada
umumnya hingga pemerintah (hubungan antar manusia). Sehingga,
1
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
46-47
2
Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm.
13
99
100 Etika Bisnis
3
Ibid, hlm. 13-32
Etika Bisnis 101
pandang lain yang tidak boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut
pandang dari aspek moral. Pertimbangannya adalah selalu ada
masalah etis dari perilaku kita yang terlibat dalam kegiatan
bisnis tersebut. Tidak semua yang dapat kita lakukan dalam
rangka mencapai keuntungan tersebut boleh kita lakukan. Kita
harus menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan
pertimbangan kita pun tidak mau kepentingan dan hak kita
dilanggar yang berakibat kerugian bagi diri kita. Dengan
demikian menghormati kepentingan dan hak orang lain harus
dilakukan dalam menjaga kepentingan bisnis kita.
Good Business dalam sudut pandan moral ini, bukan saja bisnis
yang menguntungkan. Namun bisnis yang juga baik secara
moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah
satu arti terpenting bagi kata “baik”. Perilaku yang baik di sini
merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral
(berperilaku etis).
(3) Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat juga
oleh hukum. “Hukum dagang” atau “Hukum bisnis” merupakan
cabang penting dari ilmu hukum modern. Ada banyak masalah
hukum dalam praktik hubungan bisnis, baik dalam tataran
nasional maupun internasional. Seperti halnya etika, hukum
merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentunya
antara hukum dan etika, jelas sangat terkait. Quid leges sine
moribus?, apa artinya undang-undang kalau tidak disertai
moralitas? Dengan demikian etika selalu harus menjiwai
hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus
menaati hukum dan peraturan yang berlaku. “Bisnis yang baik”
antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi
sudut pandngan hukum itu tidaklah cukup, perlu juga sudut
pandang moral. Tidak semua hal yang pantas dan tidak pantas
dilakukan diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi perlu juga
pandangan moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum
merupakan suatu syarat yang minimum, patuh pada hukum dan
tidak juga melanggar moral itulah yang seharusnya dilakukan
oleh setiap pebisnis. “If it’s morally wrong, it’s probably also illegal.”
102 Etika Bisnis
Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita
dapat dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu
dengan melihat kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu
juga dengan apakah perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi
hukum, dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau bahkan dapat menanyakan langsung kepada pengadilan dan
meminta putusan hakim. Namun, dari aspek moral sulit mengukurnya
apakah baik atau buruk secara moral dari bisnis yang dijalankan
tersebut. Sehingga untuk membantu mengukurnya ada tiga tolok ukur,
yaitu: hati nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum.
Ukurang pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini
mengikat diri kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan
oleh hati nurani dan bila mengabaikannya itu berarti kita sedang
menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi dalam berbagai kasus bisnis
yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga tingkat
produktivitas yang diinginkan supervisor melangggar standar
keamanan. Yang pertama menilai dari masalah ini adalah hati nurani,
apakah hati nurani mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat
subjektif hanya ada pada seorang supervisor tersebut. Tentunya ini
sangat subjektif, dan bila hati nurani orang tersebut tidak dibina atau
terdidik, maka akan membentuk hati nurani yang tidak semestinya,
menjadi terlalu longgar atau bahkan tumpul sama sekali.
Kaidah emas, “Hendaklah memperlakukan orang lain
sebagaimana Anda memperlakukan orang lain sebagaimana Anda
sendiri ingin diperlakukan”. Atau dalam rumusan yang negatif
berbunyi,”Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda
sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda.” Melalui prinsip
kaidah emas ini, masing-masing kita akan mengukur apa yang akan kita
lakukan terhadap orang lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak
ingin rugi, maka kita pun tidak boleh merugikan orang lain pula.
Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan
baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan
kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga
“audit sosial”. Kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian
masyarakat umum.
Etika Bisnis 103
B. ETIKA BISNIS
Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan
menyelidiki dan menjernihkan kata seperti “etika” dan “etis” yang
dibedakan antara “etika sebagai praksis dan “etika sebagai refleksi”.
Berikut ini dijelaskan etika sebagai praksis dan refleksi tersebut, di
bawah ini:4
Etika sebagai praksis5 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai
atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat
kita lihat dari tema-tema pemberitaan di media, misalnya “Ada
unsur tidak etis dalam proses akuisisi”, “Tegakkan etika bisnis
dengan Undang-undang Anti Korupsi”, contoh kalimat tersebut
menunjuk kepada etika sebagai praksis, misalnya orang yang
memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-
undang itu harus secara konsisten dan ketat dijalankan
sedemikian rupa sehingga nilai dan norma dalam bisnis bisa
ditegakkan. Dengan demikian Etika sebagai praksis sama artinya
dengan moral (apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan).
Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral.
Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau
mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Dalam surat kabar,
majalah maupun media lainnya dapat kita baca komentar atau
analis-analis dari berbagai peristiwa yang berkonotasi etis,
misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir ini.
Baik berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain
berikut analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang
membicarakan kasus etis tersebut merupakan wujud dari etika
sebagai refleksi pada taraf popular. Etika sebagai refleksi dalam
taraf ilmiah, dijalankan dan secara kritis, metodis dan sistematis
menjadikan refleksi ini mencapai taraf ilmiah.
4
Ibid, hlm. 32 - 35
5
Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus
merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan
praktik, dengan demikian praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan
dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan.
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit
BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
104 Etika Bisnis
6
K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37
Etika Bisnis 105
C. KEADILAN
Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun
memanfaatkan sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat
diaplikasikan dalam kegiatan bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar
abad ke 19, di Eropa Barat telah berkembang pemikiran di bidang
kegiatan ekonomi yang cenderung mengadopsi cara berpikir
utilitarianisme. Seperti halnya sudah dipahami bersama, bahwa cara
berpikir utilitarianisme ini didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility)
yang paling besar bagi kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu
dianggap baik dan memadai ukurannya adalah manfaat yang
mendatangkan kebahagiaan yang terbesar yang menjadi pilihan
tindakannya.8
7
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56
8
Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi,
dan penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36
106 Etika Bisnis
9
Ibid, hlm. 37-40
Etika Bisnis 107
D. KEUNTUNGAN
Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah:
berapa besar orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan
bagaimana pula ukuran-ukuran etisnya? Pandangan umum
mengatakan bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar bila orang
berusaha untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Pada jaman kejayaan liberalisme klasik, bahwa maksimalisasi
keuntungan atau profit maximization merupakan satu-satunya tujuan
bagi perusahaan.10 Hal ini dapat kita lihat dalam teks buku-buku
pegangan mahasiswa ekonomi, profit maximization ini masih dipelajari
10
Kees Bertens, Keprihatinan Moral – Telaah atas Masalah Etika,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 70
108 Etika Bisnis
sampai saat ini. Mari kita lihat sebagai misal bagaimana maksimalisasi
laba itu diperoleh dalam kondisi industri kompetitif sempurna, yang
mana produksi akan mencapai titik di mana harga outpunya tepat sama
dengan biaya marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus
MR=MC, pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan
mahasiswa Ekonomi Akuntansi dan Manajemen sekarang.11
Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh
mahasiswa ekonomi sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini
bukan menjadi satu-satunya pegangan dalam menjalankan berbisnis
dikemudian hari. Beberapa hal yang harus dikritis dalam memang
prinsip maksimalisasi profit secara ketat dan merupakan satu-satunya
tujuan di dalam praktik berbisnis, diantaranya berimplikasi kepada
pengerahan semua sumber daya perusahaan agar mencapai profit yang
maksimum. Pengerahan sumber daya ini termasuk juga tenaga kerja
yang terlibat di dalamnya, jangan-jangan demi profit maksimum ini
perusahaan menjadikan karyawan hanya sebagai alat semata. Tidak
heran bila beberapa waktu yang lalu kita menemukan sebuah
perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan buruhnya dengan
semena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang belum cukup
umur (masih usia anak-anak)12.
Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka
jelas sangat ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18,
yaitu Immanuel Kant. Kant menuturkan dalam bukunya Foundations of
the Metaphysics of Moral (1785), “Bertindaklah sedemikian sehingga
engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau
orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.”13
Dengan demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan
karyawannya sebagaimana manusia yang memiliki martabat dan tidak
menganggap karyawan mereka sebagai sarana atau alat untuk
memperoleh keuntungan yang menjadi tujuan utamanya.
Kalau begitu apakah salah perusahaan mengejar profit? Patut
kita akui bahwa bisnis tanpa profit bukan bisnis lagi. Kegiatan bisnis
agar dapat memiliki etika yang baik tidak perlu merubah menjadi suatu
11
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212
12
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gu
gat.Mantan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
13
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm.
235-236
Etika Bisnis 109
Relativasi Keuntungan14
Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan
membedakan keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi
(motive). Maksud atau purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi
bersifat subjektif. Hal ini dapat dijelaskan, misalnya: kita memberikan
sedekah kepada pengemis supaya ia bias makan (merupakan maksud),
sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Demikian juga dengan
bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud (purpose) dari
bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa
yang ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan
merupakan motivasi dalam berbisnis.
Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit
bukanlah satu-satunya tujuan berbisnis. Beberapa hal yang
menggambarkan relativasi keuntungan dalam bisnis diantaranya:
keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan
perusahaan, keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa
barang dan jasa dihargai oleh masyarakat, keuntungan adalah cambuk
untuk meningkatkan usaha, keuntungan merupakan syarat
kelangsungan perusahaan dan keuntungan mengimbangi risiko dalam
usaha.
E. KONSUMEN
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan
transaksi ekonomi yang hak-haknya sering terabaikan. Konsumen
menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 2, dapat
didefinisikan sebagai berikut:
14
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162
110 Etika Bisnis
15
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008), hlm. 22-23
16
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-228
17
Ibid, hlm. 228-230
Etika Bisnis 111
18
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239
112 Etika Bisnis
F. IKLAN
Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai
bentuk informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai
kehidupan kita, dari mulai bangun pagi kita menyalakan TV sudah
ditawari berbagai iklan. Kemudian kita pergi ke tempat pekerjaan di
jalanan kita menemukan berbagai iklan media luar ruangan yang
memenuhi berbagai tempat. Setelah tiba di kantor kita buka komputer
kerja dan terhubung dengan internet, di internet pun kembali kita
menemukan iklan. Demikian seterusnya sampai kita terlelap tidur
barulah kita terbebas dari iklan tersebut.
Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang
menawarkan suatu produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui
suatu media. Iklan sebenarnya merupakan bagian dari bauran promosi
yang terdiri dari personal selling, sales promotion dan publicity. Sejatinya
iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain: memberikan informasi
atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi produk,
menciptakan kesan (image) yang baik tentang produk, alat komunikasi
dan menjaring khalayak.19
Kemudian bila melihat pengertian di atas, apa yang menjadi
masalah etis di dalam periklanan ini? Dan mengapa iklan ini diangkat
dalam topik etika bisnis?
Sebenarnya tidak ada kegiatan bisnis lain yang begitu banyak
kritik dan menjadi tanda tanya besar seperti periklanan. Seperti
dipahami secara umum, untuk membuat sebuah iklan perusahaan tidak
segan-segan membelanjakan dananya yang besar, kemudian budget
dana yang besar itu bila diamati tidak menambah suatu produk dan
tidak juga meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Iklan sepertinya
hanyalah penyedot biaya yang besar yang alih-alihnya dibebankan
kepada konsumen untuk membayarnya. Sebagai misal produk susu
formula untuk bayi, konsumen membayar mahal untuk satu kali susu
formula. Kalau dihitung biaya produksi saja sampai ke tangan
konsumen dikurangi biaya iklan, konsumen mungkin tidak harus
membayar mahal untuk sekaleng susu formula tersebut. Harga menjadi
mahal setelah ditambahkan dengan komponen biaya promosi mulai
dengan membiayai para tenaga penjualan (Sales Promotion Girl) yang
19
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori
dan Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo,
2010), hlm. 2-4
Etika Bisnis 113
20
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264
21
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-
nissan-berupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul
07:42
22
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-266
114 Etika Bisnis
23
Ibid, hlm. 266
24
Ibid, hlm. 269
Etika Bisnis 115
H. PENUTUP
Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di
atas merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis
25
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2004), hlm. 143
26
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297
116 Etika Bisnis
I. PERLATIHAN
1. Jelaskan tiga aspek bisnis?
2. Jelaskan pula tiga tolok ukur bisnis dari sudut pandang moral?
3. Jelaskan apa hubungannya etika dan bisnis? Dan apakah bisnis bebas
nilai atau tidak ada hubungannya dengan nilai moral?
4. Jelaskan konsep keadilan menurut John Rawls?
5. Apa kaitannya keuntungan dengan moralitas? Dan bagaimana
konsep keuntungan menurut Ronald Duska?
6. Apa yang dimaksud degan konsumen? Dan jelaskan pula tanggung
jawab produsen terhadap konsumennya?
7. Apakah iklan mengandung kebohongan? Menurut anda apakah
bahasa iklan harus selalu bersifat bombastis atau hiperbola (dilebih-
lebihkan)?
8. Jelaskan tanggung jawab perusahaan dari sisi ekonomi perusahaan
dan tanggung jawab sosial perusahaan?