Bisnis Amoral
Mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada
hubungan sama sekali. Etika justru bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku
bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan
imbauan-imbauan, norma-norma, dan nilai moral.
Istilah amoral yaitu adalah suatu tindakan yang tidak punya keterkaitan dengan
moralitas, bersifat netral artinya tindakan ini tidak bisa dinilai dengan menggunakan tolok
ukur moralitas. Dengan kata lain amoral tidak bisa dinilai salah satu benar secara moral.
Mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan moralitas atau etika tidak ada
hubungan sama sekali. Etika justru bertentangan dengan bisnis dan akan membuat pelaku
bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat. Kegiatan orang bisnis adalah melakukan
bisnis sebaik mungkin untuk mendapat keuntungan, maka yang menjadi pusat perhatian
orang bisnis adalah bagaimana memproduksi, memasarkan, menjual, dan membeli barang
dengan memperoleh keuntungan. Jadi, sasaran dan tujuan satu-satunya adalah mendatangkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Mitos bisnis amoral tidak sepenuhnya benar, karena:
Beberapa perusahaan ternyata bisa berhasil karena memegang teguh kode etis dan
komitmen moral tertentu. Bisnis adalah bagian aktivitas yang penting dari masyarakat,
sehingga norma atau nilai yang dianggap baik dan berlaku di masyarakat ikut dibawa serta
dalam kegiatan bisnis. Harus dibedakan antara legalitas dan moralitas. Etika harus dibedakan
dari ilmu empiris. Etika tidak mendasarkan norma atau prinsipnya pada kenyataan faktual
yang terus berulang. Menurut Hume : dari kenyataan yang ada tidak bisa ditarik sebuah
perintah normatif. Contoh : sogok, suap, kolusi, monopoli, nepotisme. Berbagai aksi protes
yang mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis menunjukkan bahwa bisnis
harus dijalankan secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma moral.
Dari sudut pandang ekonomis tolok ukurnya yaitu bila bisnis memberikan profit dan
hal ini akan jelas terbaca pada laporan rugi/laba perusahaan di akhir tahun.
Dari sudut pandang hukum pun jelas, bahwa bisnis yang baik adalah yang
diperbolehkan oleh system hokum yang berlaku (penyelundupan adalah bisnis yang
tidak baik).
Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur yaitu :
Hati nurani
Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan sesuai dengan hati nuraninya, dan
perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau
kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang
diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut memenuhi
kehendak Tuhan.
Kaidah Emas
Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah
mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi : "Hendaklah
memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan"
Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik.
Rumusan Kaidah Emas secara negatif : "Jangan perlakukan orang lain, apa
yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda"
Penilaian Umum - Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk
menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan
kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit
sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan
finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu
perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
Pelaksanaan tangung jawab sosial suatu bisnis merupakan penerapan kepedulian bisnis
terhadap lingkungan, baik lingkungan alam, teknologi, ekonomi, sosial, budaya,perintah
maupun masyarakat Internasional. Bisnis yang menerapkan tanggung jawab sosial itu
merupakan bisnis yang menjalankan etika bisnis, sedangkan bisnis yang tidak melaksanakan
tanggung jawab sosial itu merupakan penerapan yang tidak etis. Penerapan etika bisnis ini
murupakan penerapan dari konsep “ StakeHolder” sebagai pengganti dari konsep lama yaitu
konsep “StockHolder” . Pengusaha yang menerapkan konsep Stock Holder berusaha untuk
mementingkan kepentingan para pemengang saham (Stockholder) saja, di mana para
pemegang saham tentu saja akan mementingkan kepentinganya yaitu penghasilan yang tinggi
baginya yaitu yang berupa deviden atau pembagian laba serta harga saham dipasar bursa.
Dengan memperoleh deviden yang tinggi maka penghasilan mereka akan tinggi, sedangkan
dengan naiknya nilai atau kurs saham akan merupakan kenaikan kekayaan yang dimilikinya
yaitu sahamnya itu dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Pemenuhan kepentingan
ataupun tuntutan dari para pemengan saham itu sering kali mengabaikan kepentingan –
kepentingan pihak-pihak yang lain yang juga terlibat dalam kegiatan bisnis. Pihak lain yang
terkait dalam kegiatan bisnis tidak hanya para pemegang saham saja akan tetapi masih
banyak lagi seperti :
Pekerja/ karyawan
Konsumen
Kreditur
Lembaga-lembaga keuangan
Pemerintah.