Anda di halaman 1dari 27

Subyek : TugasKelompok

Mata Kuliah : Hukum danEtikaBisnis


WaktuPenyerahan : 25 Mei 2012
Dosen : Prof. Dr. Ir Aida Vitayala

Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja


PT Dirgantara Indonesia
Ditinjau dari Teori Egoisme Kelompok

DISUSUN OLEH:

ARIE WIBOWO IRAWAN (P056110763.40E)


BASUKI RAHMANTO (P056110803.40E)
MOCHAMAD MULJANA (P056110883.40E)
MUHAMMAD IQBAL (P056110893.40E)
PRASETIYO (P056110923.40E)
YUNIASTUTI W (P056111003.40E)

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS


PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang atas seizin-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja pada PT Dirgantara
Indonesia ditinjau dari teori Egoisme Kelompok. Kami menyadari makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, sehingga kami berharap akan mendapat masukan dari semua pihak (dosen, rekan-rekan dari
kelompok lain, dan pembaca) guna perbaikan di masa-masa yang akan datang.

Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak
yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis, selaku dosen mata Kuliah Hukum dan Etika Bisnis.
2. Nara sumber yang tulisannya kami jadikan referensi dalam penulisan makalah ini.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini.

Semoga apa yang telah kami kerjakan dapat bermanfaat bagi pengembangan diri kami dan bagisiapa saja yang
membacanya.

Bogor, 24 Mei 2012

1 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................................ 1

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................................... 2

1. PENDAHULUAN .......................................................................................................................................................... 3

1.1. LATAR BELAKANG ......................................................................................................................................... 3


1.2. TUJUAN PENULISAN ...................................................................................................................................... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................................................ 5

2.1. PENGERTIAN EGOISME ................................................................................................................................ 5


2.2. TEORI EGOISME PSIKOLOGIS ..................................................................................................................... 5
2.2.1.ARGUMEN PENDUKUNG TEORI EGOISME PSIKOLOGIS .............................................................. 5
2.2.2.TANGGAPAN KRITIS TEORI EGOISME PSIKOLOGIS...................................................................... 6
2.3. TEORI EGOISME ETIS ................................................................................................................................... 7
2.3.1.ARGUMEN PENDUKUNG TEORI EGOISME ETIS ............................................................................. 8
2.3.2.TANGGAPAN KRITIS TEORI EGOISME ETIS .................................................................................... 9
2.4. TEORI EGOISME KELOMPOK, EGOISME DICERAHI &UTILITARIANISME .......................................... 11
2.5. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) .................................................................................................. 12

3. PROFIL SINGKAT PERUSAHAAN (PT DIRGANTARA INDONESIA) ................................................................. 14

4. STUDI KASUS ........................................................................................................................................................... 15

4.1. PENYEBAB TERJADINYA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)..................................................... 15


4.2. KRONOLOGIS KASUS/PERKARA ............................................................................................................... 16

5. PEMBAHASAN .......................................................................................................................................................... 18

5.1. EGOISME KELOMPOK DEWAN DIREKSI DAN PEMERINTAH ....... 18


5.2. EGOISME KELOMPOK KARYAWAN YANG DI PHK ................................................................................. 19
5.3. EGOISME KELOMPOK KARYAWAN YANG INGIN MEMPERTAHANKAN DAN MELAKUKAN
PEMBAHARUAN DI PT DIRGANTARA INDONESIA .................................................................................. 20
5.4. EGOISME DICERAHI .................................................................................................................................... 23

6. KESIMPULAN ............................................................................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................................... 26

2 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada dasarnya suatu perusahaan dibentuk dalam rangka untuk menciptakan nilai tambah dan
mendapatkan keuntungan. Sebagai entitas bisnis (business entity) banyak orang menganggap bahwa
keberadaan perusahaan hanya sekedar sebagai mesin dan sarana untuk memaksimalkan keuntungannya dan
melipatgandakan modal yang telah ditanamkan oleh pemiliknya. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, sebuah
bisnis terikat dengan etika. Etika dalam bisnis mengikat semua orang yang terlibat di dalamnya, baik secara
personal maupun lembaga. Dengan kata lain etika mengikat pemilik, direktur, manajer, pimpinan unit kerja dan
kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab.
Perusahaan yang hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan semata tanpa mengindahkan etika
dan norma bisnis, akan membuat manajemen perusahaan cenderung berpandangan bahwa suatu nilai dianggap
baik apabila menguntungkan perusahaan dan sebaliknya dianggap buruk apabila merugikan perusahaan.
Modal, mesin dan karyawan hanya dianggap sebagai faktor produksi dan semua aktivitasnya diarahkan untuk
mencapai tujuan utama, yaitu memaksimalkan keuntungan. Dalam teori etika bisnis, pandangan seperti ini
disebut sebagai egoisme. Karena perusahaan sebagai lembaga yang dikelola oleh manajeman yang terdiri
beberapa orang, maka egoisme seperti ini disebut sebagai egoisme kelompok. Ketika perusahaan sudah tidak
mendatangkan keuntungan lagi, manajemen perusahaan akan melakukan tindakan yang menurutnya rasional
dan baik, misalnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya secara sepihak.
Di perusahaan, egoisme kelompok tidak hanya terjadi pada manajemen saja. Dari sisi karyawanpun
juga dapat timbul egoisme kelompok, karena pada dasarnya, kepentingan setiap orang yang bekerja di sebuah
perusahaan adalah sama, yaitu mendapatkan manfaat dari segi ekonomi. Ketika perusahaan melakukan PHK
secara sepihak, namun disisi lain karyawan tersebut masih membutuhkan pekerjaan sebagai sumber nafkah
atau mata pencahariannya, maka secara manusiawi ia akan merasa bahwa kepentingannya terganggu. Dalam
kondisi seperti ini, karyawan bersangkutan cenderung akan memandang sesuatu dari sudut pandang
kepentingannya. Dan tindakan perusahaan yang berlawanan dengan kepentingannya dianggap sebagai
tindakan yang tidak benar. Pandangan seperti ini dapat disebut sebagai egosime etis, yaitu pandangan yang
dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Apabila PHK dilakukan secara massal, egoisme etis akan
meningkat derajatnya menjadi egoisme kelompok, karena semua karyawan yang terkena PHK akan cenderung
memiliki pandangan yang sama dan merasa kepentingan mereka terganggu. Egoisme kelompok manajemen
dan egoisme kelompok karyawan yang berbenturan akan menimbulkan konflik.
PT Dirgantara Indonesia (PT DI), pada tahun 2002 melakuan PHK terhadap ribuan karyawannya.
Tindakan perusahaan yang notabene dimiliki oleh pemerintah tersebut menimbulkan konflik yang berlarut-larut

3 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

dan penyelesaiannya memakan waktu sangat lama. Serikat Pekerja PT DI menilai langkah tersebut melanggar
Undang-undang Ketenagakerjaan. Keputusan soal pemutusan hubungan kerja sebagian besar karyawan PT DI,
membuat kecewa ribuan karyawan PT DI yang diwakili Ketua Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP
FKK) PT DI, Bapak Arif Minaldi. Arif mengingatkan, keputusan sidang kabinet terbatas tersebut makin membuat
para karyawan untuk melakukan perlawanan terhadap Direksi PT DI. Arif juga menilai, jika PHK benar-benar
dilakukan, berarti direksi telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. Arif menambahkan, cara-cara yang
dilakukan terhadap para karyawan PT DI yang akan di PHK adalah cara-cara biadab dan tidak mengerti kondisi
karyawan PT DI.1
Kasus yang terjadi pada PT DI menarik perhatian kelompok kami untuk menganalisa dari sisi etika
bisnis, khususnya tentang Egoisme Kelompok. Analisa ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman kami
terhadap mata kuliah Hukum dan Etika Bisnis.

1.2. TujuanPenulisan

Tujuan dari penulisan analisis kasus ini antara lain :

1. Untuk mengetahui bagaimana relevansi antara tindakan PT Dirgantara Indonesia dalam melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan etika, norma bisnis dan hukum ketenagakerjaan.
2. Untuk mengetahui apakah tindakan pemutusan hubungan kerja oleh manajemen PT Dirgantara
Indonesia didasarkan oleh faktor egoisme kelompok atau ada faktor lain yang lebih sesuai dari sisi etika
dan norma bisnis.
3. Untuk mengetahui apakah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh karyawanPT Dirgantara Indonesia
didasarkan oleh faktor egoisme kelompok semata atau karena faktor lain yang bersifat normatif.

1 Dikutip dari sumber : TEMPO Interaktif, terbit di Jakarta pada Kamis, 15 Januari 2004

4 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PengertianEgoisme

Egoisme adalah tingkah laku yg didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk
kesejahteraan orang lain. Biasanya teori egoism mengemukakan tentang segala perbuatan atau tindakan yang
disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. Sebelum berbicara lebih jauh tentang teori-teori
egoisme (egoisme kelompok dan egiosme etis), kita perlu memahami tentang teori Egoisme Psikologis sebagai
dasarnya.

2.2. PengertianEgoisme Psikologis

Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara
psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut faham ini, apa yang
disebut sebagai sikap altruis (sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah
mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya terjadi, hal itu memang hanya nampaknya
saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan
tindakan itu, akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta diri.

2.2.1. Argumen Pendukung Teori Egoisme Psikologis


Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan pelakunya untuk
melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke
proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis,
dan yang memakainya untuk menonton film juga tidak dapat dikatakan bersikap egois. Karena pada keduanya,
si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru
merasa senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang
lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia
inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk dirinya
sendiri.
Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi sesungguhnya
dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya
orang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia
merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena merasa telah
menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial,

5 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

maka hati nuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia
mempunyai pamrih pribadi.
Untuk menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian dikembangkan oleh
Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan
motivasi sesungguhnya dari tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada penafsiran
yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis menurut dia merupakan suatu
penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian yang sesungguhnya. Kalau orang mau mengakui kenyataan,
motivasi yang sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa yang disebut
cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong orang lain adalah mau menunjukkan
bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan
berbelaskasih, alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama manusia
yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita berada dalam situasi macam itu orang lain
pun berbelaskasih atau mau menolong kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran bahwa
penderitaan atau kemalangan yang sama mungkin saja suatu saat nanti menimpa dirinya.

2.2.2. Tanggapan Kritis Teori Egoisme Psikologis


Pendapat berbeda diungkapkan oleh beberapa ahli tentang egoisme psikologis. Salah satunya seperti
yang dikemukakan oleh James Rachels, argumentasi yang mendasari faham egoisme psikologis sepintas
nampak sulit dibantah, namun argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian.
Kalau kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme
psikologis tidak dapat dipertahankan. Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam
argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis.
Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam arti mendahulukan
kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest), keduanya
tidaklah sama. Sebagai ilustrasi, apabila saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor, ini
tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya sendiri.
Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat atau bernilai) untuk diri saya sendiri.
Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois sebenarnya selalu
terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya
mementingkan kepentingan dirinya sendiri.
Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan diri
(self-interested behavior) dan perilaku yang disukai, karena memberi nikmat (the pursuit of pleasure). Dalam
kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya. Tetapi kenyataan
bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan itu membawa
kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul

6 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

berdasarkan motif egoisme, dalam arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri. Sebagai contoh, apabila ada
orang yang suka menghisap rokok kretek setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat untuknya, kita tidak
dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan sendirinya bermotifkan egoisme. Namun apabila dalam
menghisap rokok tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang terganggu dengan asap
rokok, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri
sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas bahwa
setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para
penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara
sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain. Tentu saja anggapan ini keliru. Pengejaran
kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Walaupun memang
tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain.
Namun hal ini tidak dapat digeneralisasikan dan diartikan bahwa kita mendahulukan kepentingan diri sendiri
seraya mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang secara tulus berkorban untuk
orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya membuktikan bahwa
dalam berbuat seseorang pada dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut
egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat kompleks. Menyatakan
bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan
yang mengabaikan kompleksitas tersebut. Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu
juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan
kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguhnya menjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis
terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain.

2.3. Teori Egoisme Etis

Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih
tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang
baik dan dengan demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya
kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin. Ini tidak berarti bahwa
kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling
menguntungkan untuk diri sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini
kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah hal yang
membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu
menunjang usaha untuk memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.

7 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti
halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian
nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme
Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan
untuk dirinya (A person ought to do what really is to his or her own best advantage, over the long run)
Egoisme Etis memang menganjurkan selfishness tetapi bukan foolishness.

2.3.1. Argumen Pendukung Teori Egoisme Etis


Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa
kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing orang justru wajib
memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh
seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain,
dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest (1968), The
individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests
(Masing-masing individu akan menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu] secara
rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik). Masing-
masing orang sendiri lah yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu
persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campur tangan
ini justru malah hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan
diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip privacy seseorang. Menjadikan orang lain sebagai
objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan
memperhatikan kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai
kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis dibandingkan dengan Etika
Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup masing-masing individu. Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam
bukunya The Virtues of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral yang menghormati
integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut dia, Etika Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia
sebagai individu di dunia ini. Etika Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang hidupmu hanyalah
sesuatu yang bersifat sementara dan pantas dikorbankan, dapat dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi
manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya di dunia ini, tetapi
bagaimana mati suci (bagaimana mengorbankan hidup ini) bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini dapat
membuat orang kurang menghargai dan memperkembangkan hidupnya semaksimal mungkin. Argumen tersebut
kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:

8 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap individu
bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka
kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan
dikembangkan sepenuhnya.
2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti direlakan
untuk dikorbankan bagi orang lain.
3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia.
4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya
sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing -masing individu
manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dikatakan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan
hal itu.
5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.

Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah
kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar untuk menjelaskan macam-
macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang mengikat
manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar,
wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri
sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri.
Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti
orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita
menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa karena kita menyakiti
orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita
sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak menyakiti
orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita
patuhi setiap hari.

2.3.2. Tanggapan Kritis Teori Egoisme Etis


Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa argumen
tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan
dalam argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang
dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial atau
terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu
apa yang dia butuhkan. Apabila Egoisme Etis kita asumsikan konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu
peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi.

9 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap
egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang
melandasinya justru tidak egoistik.
Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih baik atau
lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi karena faham Etika Altruis digambarkan
sedemikian ekstrim, sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen
tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri itu sama sekali tidak
bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbankannya demi
kepentingan orang lain wajib dipenuhi. Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh
Ayn Rand sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika Altruis tidak seekstrim
dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing
individu di dunia ini merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga bukan
nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebahagiaan hidup sejati manusia tidak lepas dari perlunya bersikap baik
terhadap orang lain dan kerelaan untuk berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut samasekali diabaikan,
karena nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan sejati manusia justru tidak
akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme
Etis justru akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi terpenuhinya
kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme Etis
sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen tersebut hanya mampu menunjukkan
bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk
melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku sehari-
hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri.
Tetapi hal ini tidak selalu demikian. Terkadang dalam kenyataannya, orang lebih beruntung kalau dapat
menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan
kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling
menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada
akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan diri
sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi
adalah bahwa motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan untuk diri
sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut.
Seandainya betul bahwa semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial
manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap perbuatan baik akan selalu
ditanggapi dengan sikap sinis, karena bukan kepentingan orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian,

10 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

tetapi diri sendiri. Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya
dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis. Tetapi
kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana
Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa
yang menguntungkan bagi diri sendiri, namun ini tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis
dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang
menguntungkan bagi diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya
dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya
dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.

2.4. Egoisme Kelompok, Egoisme Dicerahi &Utilitarianisme

Egoisme kelompok (in group egoism) adalah egoisme yang hanya melihat kepentingan/kenikmatan
atau kebahagiaan kelompok. Sedangkan kelompok adalah kumpulan individu yang saling memiliki hubungan
dan saling berinteraksi sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa kebersamaan dan dan rasa memiliki. Menurut
Soerjono Soekarto adanya kesadaran sebagi anggota kelompok yang bersangkutan, adanya hubungan timbal
balik antara anggota dengan anggota yang lainnya dalam kelompok tersebut. Adanya faktor pengikat yang
dimiliki bersama misalnya kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dll. Memiliki
struktur, kaidah, dan pola prilaku yang sama dalam bersistem dan berproses.
Sedangkan egoisme dicerahi (enlightened egoism) adalah egoisme yang mengikuti standar moral
yang didasarkan pada pengejaran kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain melalui negosiasi untuk
kepentingan bersama. Selangkah lebih maju dari egoisme dicerahi adalah universalisme etis atau
utilitarianisme (utilis = berguna; utility=kegunaan) yaitu "the greatest happiness of the greatest number of the
people". Disebut universalisme karena yang menjadi norma moral bukanlah hasil atau akibat baik bagi si pelaku
sendiri, melainkan juga bagi semua atau sebagian besar orang. Utilitarianisme adalah suatu aliran filsafat yang
menyatakan bahwa manfaat terbesar untuk paling banyak orang haruslah menjadi tujuan utama tindakan
manusia. Utilitarianisme itu sendiri dibedakan menjadi utilitarianisme hedonistik (mengukur tingkat kesenangan
dan ketidaksenangan) dan utilitarianisme eudaimonistik (jumlah kebahagiaan tertinggi di antara pihak yang
terlibat).

11 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

2.5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Tidak ada jaminan perusahaan selalu berhasil dalam bisnis karena dalam menjalankan operasinya
perusahaan dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Dengan keuntungan ini, perusahaan dapat beroperasi
normal dan berkembang. Namun, ada kalanya keuntungan tidak selalu diperoleh. Sekalipun biaya telah
dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan dan usaha-usaha penghematan telah dilakukan, perusahaaan
bisa saja merugi. Pada kondisi ini, pimpinan perusahaan bisa membuat beberapa opsi untuk menyelamatkan
perusahaan, dimana salah satu opsinya adalah melakukan PHK dengan alasan efisiensi.
PHK itu sendiri diatur oleh KUHPerdata bab 7a bagian 5, dan bersifat publik yaitu mengenai ijin untuk
memutuskan hubungan kerja diatur dalam UU No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan
swasta, dan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep78/Men/2001 tentang
perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Nomor Kerja Kep150/Men/2000tentang
penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu
perusahaan.2
Pemutusan hubungan kerja ialah pemberhentian waktu kerja secara sepihak yang dilakukan oleh
perusahaan atau pun tempat kerja. Berdasarkan UU RI No.13 pasal 150 Tahun 2003 yang berkaitan dengan
pemutusan hubungan kerja, bahwa perusahaan dilarang pemutusan kerja dengan alasan (pasal 153):
Sakit tidak melebihi 12 bulan dengan keterangan dokter.
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara.
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
pekerja/buruh menikah.
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di
dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian
kerja bersama;
mendirikan, menjadi anggota,pengurus serikat pekerja berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik,
atau status perkawinan.

2KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep - 150/Men/2000 dengan sumber:
http://www.djlk.depkeu.go.id/danapensiun/Data/Peraturan/Kepnaker1502000.pdf

12 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

Hak yang diperoleh pekerja dari perusahaan diatur dalam pasal 156,yang berisikan perhitungan pesangon
atau uang.Jaminan yang berhak diterima. Pekerja berhak meminta hakhak nya yang ada pada
perusahaan. Apabila Perusahaan menyelewengkan maka pekerja berhak mengadukan kepada pihak
berwajib.

Pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. PHK demi hukum, hal tersebut terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya
misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja.
2. PHK oleh pihak pekerja, hal tersebut terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan
prosedur tertentu.
3. PHK oleh pihak pengusaha, hal tersebut terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan,
persyaratan dan prosedur tertentu.
4. PHK oleh putusan pengadilan, hal tersebut terjadi karena alasan-alasan tertentu yang mendesak dan
penting, misalnya terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit.

Apabila pada kasus PHK telah dilakukan maka pekerja dan pengusaha dapat melakukan mediasi
berupa perundingan. Jika perundingan benarbenar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.

13 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

3. PROFIL SINGKAT PERUSAHAAN (PT DIRGANTARA INDONESIA)

PT Dirgantara Indonesia (DI) atau sering disebut Indonesian Aerospace Inc. merupakan industri
pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini
dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. PT. DI didirikan pada 26 April1976 dengan nama PT. Industri Pesawat
Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian
berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah
direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000.

Gambar 1. Sikumbang - Pesawat Era Nurtanio


PT. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai pesawat tetapi juga helikopter, senjata,
menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat.
PT. Dirgantara Indonesia juga menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia
seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, Fokker dan lain sebagainya. PT. Dirgantara Indonesia pernah
mempunyai karyawan sampai 16 ribu orang. Karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia, PT. Dirgantara
Indonesia melakukan rasionalisasi karyawannya hingga menjadi berjumlah sekitar 4.000 orang. Pada awal
hingga pertengahan tahun 2000-an PT. Dirgantara Indonesia mulai menunjukkan kebangkitannya kembali,
banyak pesanan dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia, Brunei, Korea, Filipina dan lain-lain. Meskipun
begitu, karena dinilai tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan jaminan hari
tua kepada mantan karyawannya, DI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada 4 September 2007. Namun pada tanggal 24 Oktober 2007 keputusan pailit tersebut dibatalkan.
Tahun 2012 merupakan momen kebangkitan PT. Dirgantara Indonesia. Pada awal 2012 PT. Dirgantara
Indonesia berhasil mengirimkan 4 pesawat CN235 pesanan Korea Selatan. Selain itu juga sedang berusaha
menyelesaikan 3 pesawat CN235 pesanan TNI AL, dan 24 Heli Super Puma dari EUROCOPTER. Selain
beberapa pesawat tersebut PT. Dirgantara Indonesia juga sedang menjajaki untuk membangun pesawat C295
(CN235 versi jumbo) dan N219, serta kerja sama dengan Korea Selatan dalam membangun pesawat tempur
siluman KFX.

14 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

4. STUDY KASUS

4.1. Penyebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

PT Dirgantara Indonesia adalah BUMN yang didirikan berdasarkan cita-cita founding father Republik
Indonesia. Dalam pidato pada tahun 1950-an, berjudul "Meng-Garudalah Bangsaku", Soekarno meminta
kesungguhan warga negara Indonesia yang cinta dirgantara untuk menguasai dan mendirikan industri pesawat
terbang di Indonesia. Dengan semangat itu, Wiweko, Nurtanio dll, dengan peralatan seadanya, mendirikan
bengkel pesawat terbang dan pesawat terbang kecil. Kemudian Soekarno mendirikan Industri Pesawat Terbang
Berdikari pada tahun 1960-an, yang kemudian dikembangkan oleh Soeharto menjadi industri dirgantara dengan
nama PT. Nurtanio yang selanjutnya berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Kini cita-cita, hasil jerih payah, keringat, darah dan airmata putra-putra Indonesia yang cinta
dirgantara kandas di tengah jalan. Sebanyak 6.600 karyawan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara, para
engineer dan teknisi yang mempunyai keahlian dan pengalaman belasan tahun, akan diberhentikan karena
lemahnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh sektor industri.
Apakah benar PHK merupakan benar solusi satu-satunya?, ataukah mungkin terdapat alternatif lain untuk
menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia sehingga bisa menjadi kebanggaan untuk generasi mendatang.
Akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998, pemerintah pada saat itu terpaksa menghentikan
investasi tambahan yang diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut dari PT. IPTN, terutama dalam kaitannya
dengan investasi pengembangan pesawat N250 yang sangat mahal. Harus pula diakui bahwa sebelumnya,
biaya pengembangan dan operasi PT. IPTN sangat tidak efisien terutama terlihat dalam bentuk pembelian
peralatan yang serba mahal tetapi tidak tepat guna. Selama kepemimpinan Habibie tersebut, banyak inefisiensi
terjadi sehingga dapat dikatakan PT. IPTN merupakan suatu industri serba mahal (high-cost aircraft industry),
yang tidak sensitif terhadap permintaan pasar. Padahal banyak kasus di negara lain yang juga memiliki industri
penerbangan yang bekerja dengan prinsip efisiensi dan struktur biaya yang kompetitif seperti industri pesawat di
China, India, Korea Selatan, Brazil, dll.
Selama tahun 1998 sampai akhir 1999, PT. IPTN terus mengalami kesulitan likuiditas dan modal
kerja yang berdampak pada operasi perusahaan. Menko Perekonomian pada tahun 2000 berupaya keras
mencari solusi untuk menyelamatkan PT. IPTN. Salah satu pilihan adalah penutupan perusahan seperti yang
dianjurkan oleh IMF. Namun saat itu Indonesia mempunyai keyakinan lain, kerugian finansial bagi negara jika
perusahaan ditutup akan sangat mahal dan investasi sumber daya manusia dalam bentuk belasan ribu pegawai
yang terdidik dan memiliki keahlian akan hilang sia-sia. Disamping itu, negara kepulauan yang sangat luas
seperti Republik Indonesia jelas memerlukan industri penerbangan dan maritim asalkan kompetitif dan sesuai
dengan permintaan pasar.

15 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

Dengan pertimbangan seperti itu, akhirnya pemerintah memutuskan untuk tetap mempertahankan
PT. IPTN tetapi dengan melakukan perubahan paradigma dari high-cost aircraft industry (industri penerbangan
serba-mahal) menjadi competitive-cost aircraft industry (industri penerbangan kompetitif). Pengembangan
produk tidak boleh dilakukan atas dasar pengaruh kekuasaan Negara atau (power approach). Strategi
"technology push" diubah menjadi "market pull". Produksi harus ditentukan berdasarkan analisa permintaan
pasar serta kemampuan daya saing. Bukan ditentukan oleh selera managemen yang "hobby dengan teknologi".

4.2. Kronologis Kasus/Perkara

Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan Serikat Pekerja Karyawan PT Dirgantara pada Hari
Rabu Tanggal 18 Februari 2004.3 Dengan gugatan ini, hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang
salah satunya adalah memutuskan ada rasionalisasi karyawan, dibatalkan. Inilah kronologi kasus ini:
Tahun 2003
11 Juli
PT Dirgantara Indonesia ditutup. Keluar SK Dirut Edwin Soedarmo yang merumahkan semua (9.600)
karyawan.
14 Juli
Menaker Jacob Nuwa Wea menyatakan tindakan merumahkan karyawan ilegal.
19 Agustus
RUPSLB Dirgantara mengukuhkan SK Dirut dan menyetujui PHK 6.000 karyawan. BPPN menjadi pemilik
92,7 persen saham Dirgantara.
21 Agustus
Menaker minta SK Dirut dicabut.
3 September
Ratusan karyawan Dirgantara unjuk rasa di Jakarta.
1 Oktober
Karyawan Dirgantara hanya menerima 10-25 persen gaji.
6 Oktober
Dirut Dirgantara mencabut SK merumahkan karyawan. Sebagai gantinya, diterbitkan 2 SK baru:
permohonan izin PHK 3.900 karyawan yang tidak mengikuti seleksi ulang dan merumahkan sementara
2.600 karyawan yang menunggu hasil seleksi.
7 Oktober
PTUN memerintahkan pencabutan SK 11 Juli.

3Dikutip dari TEMPO Interaktif, Bandung dengan Headline: Kronologi Kasus PT Dirgantara Indonesia pada tanggal 19
Pebruari 2004

16 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

22 Oktober
Karyawan Dirgantara mengajukan gugatan perdata hasil RUPS 19 Agustus 2003 tentang restrukturisasi dan
rasionalisasi serta RUPSLB 22 Agustus 2003 tentang penggantian komisaris.
4 November
Rapat KKSK memutuskan BPPN akan menalangi pesangon karyawan.
13 November
Sidang kabinet terbatas menyetujui PHK 6.600 karyawan. Ditargetkan selesai pada 21 November 2003.
1 Desember
Perundingan bipartit karyawan dan manajemen Dirgantara buntu. Depnaker mengambil alih persoalan ini
23 Desember
Dirgantara tidak mampu lagi membayarkan gaji karyawan yang terkena PHK. Karyawan memblokir
perusahaan.
30 Desember
Dirut Dirgantara Edwin Soedarmo menolak anjuran Menaker membayar pesangon 2 kali ketentuan UU.

Tahun 2004
13 Januari
Sidang pertama perundingan karyawan dan manajemen Dirgantara di Depnaker gagal.
15 Januari
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) meminta manajemen dan karyawan Dirgantara
melakukan negosiasi ulang, dan 718 karyawan setuju PHK.
29 Januari
P4P meluluskan rencana PHK terhadap 6.600 karyawan.
12 Februari
Serikat Pekerja Dirgantara mengajukan banding atas putusan P4P ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
18 Februari
PTTUN mengabulkan gugatan Serikat Pekerja.
23 Februari
Pesangon untuk 6.600 karyawan yang diberhentikan sebesar Rp 440 miliar, akan dibayarkan.

17 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

5. PEMBAHASAN

Dalam kasus PT Dirgantara Indonesia, dilihat dari sisi etika bisnis terkait dengan teori egoisme
kelompok, melibatkan 3 pihak yang saling berhadapan, yaitu kelompok jajaran direksi dengan dukungan
pemerintah yang berkuasa yang ingin menutup dan mem-PHK karyawan, berhadapan dengan karyawan yang
terancam di PHK dan memperjuangkan nasibnya agar mendapat pesangon dengan layak, dan pihak ke 3 yang
ingin mempertahankan dan melakukan pembaharuan di PT Dirgantara Indonesia.

5.1. Egoisme Kelompok Dewan Direksi dan Pemerintah

Selama krisis moneter sejak tahun 1997 kondisi perekonomian nasional mengalami keterpurukan.
Kondisi ini sangat berpengaruh besar terhadap iklim usaha di Negara kita. Banyak perusahaan-perusahaan baik
kecil, sedang maupun perusahaan besar tidak mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Perusahaan-
perusahaan banyak melakukan efisiensi usaha untuk tetap dalam kondisi yang survive. Efisiensi tersebut
dilakukan untuk mengurangi jumlah biaya produksi, salah satu efisiensi yang dilakukan adalah dengan
melakukan Pemutusan Hubungan kerja (PHK) masal. PT Dirgantara Indonesia sebagai suatu Badan Usaha Milik
Negara pun juga ikut terimbas permasalahan krisis moneter tersebut. Sesuai anjuran dari IMF, upaya yang
dilakukan juga sama, yaitu melakukan PHK masal terhadap jumlah karyawan.
Egoisme kelompok yang muncul dari Dewan Direksi dan Pemerintah sebagai alasan utama dari
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT Dirgantara Indonesia (DI) adalah bahwa Pemerintah sudah tidak sanggup
lagi membiayai semua operasional perusahaan misalnya pembelian bahan baku pesawat, dan pembelian
barang-barang yang diperlukan perusahaan. Selain itu pemerintah tidak sanggup lagi menanggung beban biaya
dan kerugian yang dialami oleh PT Dirgantara Indonesia secara terus menerus. Dengan tidak adanya
kemampuan pemerintah ini, maka PT DI tidak sanggup untuk menyelesaikan proyek-proyek yang sudah
disepakati dalam pembuatan pesawat yang bernilai besar misalnya pesanan negara Pakistan, Thailand,
Malaysia, dan lain-lain. Maka direksi PT DI mengambil keputusan dengan merumahkan semua karyawan
sebanyak 9.600 karyawannya.
Tanggapan Direksi terhadap PHK PT DI, pihak direksi menganggap bahwa seluruh hak dari karyawan
telah dipenuhi PT DI. Dalam hal ini PT DI sudah memenuhi kewajibannya setelah PHK yaitu membayar
pesangon, pesangon dibayarkan yaitu dua kali dari ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
kompensasi pensiun, dan jaminan hari tua, berdasarkan rumusan yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut.
Menurut direksi PT DI bila rumusan mengenai pembayaran pesangon tidak tepat, maka MA harus memberikan
rumusan baku berapa jumlah jumlah pesangon yang harus dibayarkan ke karyawan, sebab sekarang ini
rumusannya memang tidak ada, lagipula perusahaan setelah memPHK-kan karyawannya beberapa waktu
kemudian ada seratusan lebih karyawan yang ditarik lagi oleh perusahaan untuk menjadi karyawan kontrak.
Karyawan tersebut direkrut sesuai dengan kompetensinya dan kebutuhan proyek serta karyawan inipun bisa

18 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

bertambah sesuai dengan volume bisnis perusahaan. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan ini direksi
PT DI sangat menentang keras pendapat dari mantan karyawan yang menyatakan bahwa dalam proses PHK
yang dilakukan tidak sesuai prosedur, sebab dalam beberapa hal direksi telah memenuhi hak-hak karyawan dan
bahkan memperkerjakan mantan karyawannya lagi menjadi pekerja kontrakan. Selain itu juga didukung putusan
MA yang memenangkan Direksi untuk dalam hal ini berhak dan sah memberhentikan sebagian karyawannya
dikarenakan alasan-alasan yang telah diajukan oleh perusahaan.

5.2. Egoisme Kelompok Karyawan yang di PHK

Dari kelompok karyawan menyatakan bahwa perumahan karyawan (PHK) ini ilegal, karena
menganggap perumahan (PHK) ini tidak sesuai prosedur, sebab belum ada pertemuan bipartit antara serikat
pekerja dan direksi. Maka dengan ini bertentangan dengan Pasal 151 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa jika segala upaya telah dilakukan, akan tetapi PHK tidak dapat
dielakkan lagi. Maka maksud PHK tersebut harus dirundingkan oleh PT. DI dan serikat pekerja atau dengan
pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja. Bahkan penyebab PHK yang
dijadikan alasan oleh direksi PT DI tidak mendasar sesuai dalam ketentuan Pasal 153 UU No.13 Tahun 2003
tidak ada ketentuan yang mengharuskan perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang tidak
terdapat dalam Pasal tersebut. Dalam hal inipun tidak ada ketentuan dalam UU ketenagakerjaan tentang istilah
perumahan karyawan, maka dengan alasan ini dapat dikatakan bahwa alasan PHK PT.DI tidak sesuai dengan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 9.600 karyawan PT Dirgantara Indonesia
(PT DI) yang terjadi pada tahun 2003 yang lalu bisa dikatakan pelanggaran HAM, sebab dalam hal ini proses
tersebut dimulai dengan perumahan secara mendadak dan tidak disosialisasikan kepada karyawannya, selain itu
juga tidak dikonsultasikan dengan komisaris. Seharusnya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh Pemerintah.
yaitu masalah hukum berkaitan dengan pemecatan dan masa depan PT DI. Dalam masalah hukum misalnya,
direksi melakukan pelanggaran HAM dalam melakukan PHK karyawan sebab dilakukan tanpa dikonsultansikan
terlebih dahulu dengan komisaris. PHK massal ini telah mengabaikan hak-hak pekerja yang terdapat dalam UU
No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta telah melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati dahulu
antara karyawan dengan direksi PT DI. Selain itu akibat PHK itu juga muncul masalah-masalah kemanusiaan,
ekonomi, sosial, keamanan, dan lain-lain yang akan dihadapi pekerja dan keluarganya. Hal ini terlihat dari konflik
horizontal yang terjadi antara pekerja dengan jajaran manajemen. Akibat perselisihan itu, terjadi pengahancuran
barang-barang milik karyawan yang berbeda pendapat. Sedang mengenai masa depan PT DI sebaiknya
Pemerintah mempertahankan perusahan penerbangan tersebut karena ini adalah aset nasional dan proyek yang
strategis bagi masa depan bangsa.
Tanggapan Karyawan PT DI atas PHK Menanggapi keputusan MA tersebut (tentang sahnya PHK),
sebagian besar karyawan PT DI menyatakan bahwa tetap pada pendirian mereka bahwa PHK itu merupakan

19 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

pelanggaran HAM, dan pelanggaran UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Para karyawan bukan
hanya mendapatkan prosedur pemutusan hubungan kerja tidak manusiawi, akan tetapi juga kompensasi dana
pensiun secara penuh sesuai PP No.8 Tahun 1981 tentang Pengupahan. Menurut karyawan PHK ini tidak
memalui pengkajian yang matang, maka mereka menolak prosedur PHK yang dilakukan direksi dan menuntut
melalui jalur hukum, meskipun dalam hal ini karyawan kalah dan PHK tetap berjalan.
Bahkan setelah putusan PHK ini sah berdasarkan hukum dan sudah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap pun, karyawan tidak mendapatkan pesangonnya secara penuh, terutama kompensasi pensiun, ada yang
kurang 75%, ada yang 25% atau 10% akan tetapi rata-rata kekurangannya adalah 50% sehingga karyawan
tetap menuntut agar hak-hak mereka dipenuhi oleh perusahanan guna menjamin kehidupan keluarga mereka.
Karyawan mengakui memang pada saat ini perusahaan sedang merugi akan tetapi bukan berarti perusahaan
mesti melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan tanpa
mengorbankan karyawan, seperti meminimalisasi pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang tidak perlu, dan
yang paling penting adalah promosi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia terhadap negara lain agar
membeli pesawat terbang hasil buatan PT DI. Lebih lanjut, diperlukan kucuran dana yang besar ke PT. DI agar
proyek-proyek yang sudah ada dapat dilaksanakan, dengan asumsi nantinya dana yang diberikan oleh
pemerintah akan terganti pada saat perusahaan menjual pesawat-pesawatnya ke negara lain. Dengan skema
seperti ini PT.DI akan mendapatkan keuntungan yang signifikan serta dapat menutupi pengeluaran rutin
perusahaan, sehingga pada akhirnya PHK tidak perlu dilakukan.

5.3. Egoisme Kelompok yang Ingin Mempertahankan dan Melakukan Pembaharuan di PT DI.

Kelompok ini beranggapan kasus PT Dirgantara Indonesia (DI) merupakan salah satu contoh dari
ketidakmampuan pemerintahan yang berkuasa saat itu dalam menangani berbagai masalah sektor riil yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia, sehingga terjadi peningkatan pengangguran menjadi 40% pada akhir tahun
2003. Peningkatan pengangguran tersebut terjadi karena tidak adanya visi, lemahnya kepemimpinan dan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit di sektor riil, salah satunya adalah
PT. Dirgantara Indonesia.
Kelompok ini juga menganggap kasus PT Di merupakan penghianatan terhadap cita-cita founding
father Republik Indonesia (Soekarno) untuk mendirikan industri pesawat terbang mengingat wilayah indonesia
yang luas. Idealnya, PT Dirgantara Indonesia sebagai simbol BUMN yang merefleksikan kecintaan warga negara
Indonesia terhadap dirgantara. Ironisnya, ada sebanyak 6.600 karyawan PT. Industri Pesawat Terbang
Nusantara, para insinyur dan teknisi yang mempunyai keahlian dan pengalaman belasan tahun, akan
diberhentikan karena kepemimpinan yang tidak memiliki visi dan lemahnya kepemimpinan untuk menyelesaikan
masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh sektor industri. Menurut kelompok ini, hal ini sangat menyedihkan,
mengingat masih ada alternatif lain untuk menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia sehingga bisa kembali
menjadi kebanggaan untuk generasi mendatang. Kelompok ini menganggap bahwa PT DI perlu diselamatkan

20 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

dengan melakukan pembaharuan secepatnya. Yaitu dengan melakukan perubahan paradigma dari high-cost
aircraft industry (industri penerbangan serba-mahal) menjadi competitive-cost aircraft industry (industri
penerbangan kompetitif). Pengembangan produk tidak boleh dilakukan atas dasar pengaruh kekuasaan Negara
atau (power approach). Strategi "technology push" diubah menjadi "market pull". Produksi harus ditentukan
berdasarkan analisa permintaan pasar serta kemampuan daya saing. Bukan ditentukan oleh selera manajemen
yang "hobby dengan teknologi".
Perubahan paradigma tersebut diperlukan agar PT. IPTN dapat bertahan dan berkembang
dikemudian hari. Dengan persetujuan Presiden pada waktu itu, pihak manajemen mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Mempertahankan visi pendirian industri penerbangan, tetapi mengubah cara kerja dan modus operandi dari
industri bersangkutan sesuai dengan paradigma baru yaitu industri penerbangan yang harus kompetitif.
Sebagai bagian dari perubahan paradigma tersebut, kami mengubah nama PT. IPTN menjadi PT Dirgantara
Indonesia (PT DI).
2. Menetapkan bahwa periode tahun 2000-2003 sebagai periode konsolidasi dan survival bagi PT DI. Jika
periode ini dilewati dengan selamat, maka setelah tahun 2004 PT DI baru dapat memasuki periode
pengembangan selanjutnya. Selama periode konsolidasi dan survival perlu dilakukan reorientasi bisnis,
restrukturisasi SDM, restrukturisasi keuangan dan peningkatan kinerja perusahaan.
3. Dalam rangka re-orientasi bisnis perusahaan selama periode konsolidasi, PT DI diminta untuk lebih
memfokuskan diri pada produksi spare parts dan komponen untuk raksasa perusahaan dunia seperti
Boeing, Airbus, British Aerospace dll, karena Indonesia kompetitif dalam produksi parts dan komponen.
Produksi lainnya hanya dibatasi pada produksi helikopter, pesawat CN-235 dan peralatan pendukung
persenjataan.
4. Melakukan perombakan direksi dan komisaris dengan kriteria integritas, kepemimpinan, kemampuan teknis,
dan dikenal dikalangan industri penerbangan dunia. Kriteria yang terakhir sangat diperlukan karena dalam
periode penyelamatan manajemen harus mampu mendapatkan order pekerjaan dari Boeing, Airbus, British
Aerospace. Disamping itu, dilakukan pengurangan jumlah direksi dari 9 menjadi 5 orang, dan menunjuk
kepala staf Angkatan Udara sebagai Komisaris Utama (Ex-Officio).
5. Meminta PT DI diaudit dari segi finansial maupun prospek masa depan. Audit finansial dilakukan oleh Ernst
& Young, sementara audit prospek masa depan dilakukan oleh Deloitte Touche. Kesimpulan audit Deloitte
Touche adalah bahwa PT DI memiliki infrastruktur, permesinan dan produk yang mampu dijadikan modal
untuk membangun masa depan PT DI yang lebih baik.
6. Melakukan restrukturisasi hutang dan pengurangan beban finansial. Berdasarkan hasil proses due dilligence
Ernst & Young dan Deloitte Touche, dan komitmen jajaran Direksi Baru untuk melakukan restrukturisasi
perusahaan, rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang kami pimpin memutuskan program
restruturisasi hutang, dengan pola "debt to equity swap", hutang PT Dirgantara Indonesia dijadikan

21 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

Penyertaan Modal Sementara. PT Dirgantara Indonesia berubah status, dari Debitur menjadi "anak
perusahaan" BPPN. Untuk meningkatkan efisiensi lalu lintas bahan baku dan komponen, serta untuk
mengurangi beban biaya untuk produksi pesawat terbang dan helikopter, Menteri Keuangan memberi status
Kawasan Berikat kepada PT Dirgantara.
Hasil Program Penyelamatan PT DI Periode 2000-2002 adalah dikeluarkannya laporan audit
keuangan PT Dirgantara Indonesia oleh Ernst & Young untuk tahun buku 2001 - 2002, dengan status wajar
tanpa pengecualian. Berdasarkan audit Ernst & Young tersebut, terbukti kinerja PT DI menunjukkan hasil
yang menggembirakan, antara lain :
1. Penjualan meningkat dari Rp. 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 689 milyar tahun 2000 dan
meningkat lagi menjadi Rp. 1,4 triliun tahun pada 2001.
2. Merubah perusahaan dari keadaan rugi menjadi untung. Tahun 1999 perusahaan mengalami kerugian
sebesar Rp. 75 milyar, sementara pada tahun 2000 kerugian menurun menjadi Rp. 73 milyar dan pada
tahun 2001 kerugian berubah menjadi keuntungan sebesar Rp. 11 milyar.
3. Diversifikasi bisnis menghasilkan segmen pasar baru seperti bisnis jasa rekayasa dan rancang bangun
pesawat terbang (Engineering & Technology Services) sebesar 3 %, jasa pembuatan perangkat lunak
sistim antariksa dan teknologi informasi sebesar 5 % dan bisnis rekayasa interior pesawat terbang
0,5%.
4. Penurunan beban biaya produksi seperti diperlihatkan oleh peningkatan efisiensi tenaga kerja. Rasio
penjualan per tenaga kerja meningkat dari 66 juta rupiah pada tahun 2000 menjadi 137 juta rupiah pada
2001.
5. Kepercayaan pelanggan luar negeri mulai kembali meningkat, ditandai dengan keberhasilan
memperoleh kontrak penjualan 2 buah pesawat terbang CN 235 versi VVIP untuk digunakan oleh
Presiden Korea Selatan, 2 buah pesawat terbang CN 235 versi VIP yang akan digunakan untuk pejabat
tinggi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Udara Malaysia, serta 2 buah pesawat CN 235 untuk
Angkatan Udara Pakistan. Disamping itu, PT DI memperoleh kontrak jangka panjang 10 tahun untuk
pembuatan komponen sayap untuk pesawat terbang penumpang terbesar di dunia super jumbo Airbus
A380 dari British Aerospace. Selain itu Angkatan Udara Turki juga telah menunjuk konsorsium
kerjasama PT DI dan Thales Perancis untuk mengembangkan pesawat CN 235 tipe patroli maritim.
Demikian juga Pemerintah Iran memberikan kepercayaan kepada tenaga ahli PT Dirgantara Indonesia
untuk mengerjakan proyek konversi pesawat terbang Rusia menjadi pesawat kargo untuk operasi
pasukan militer.

Tampak jelas bahwa upaya penyelamatan PT DI pada periode 2000-2002 berhasil mencapai target
perbaikan kinerja perusahaan seperti terlihat dalam bentuk peningkatan penjualan, kontrak baru,
keuntungan operasi dan pengurangan kerugian netto dari Rp. 73 milyar pada tahun 2000 menjadi

22 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

keuntungan sebesar Rp. 11 miliar pada tahun 2001. Ternyata jika ada visi yang jelas, dan kepemimpinan
yang memahami aspek teknis, PT DI dapat diselamatkan.
Komponen yang paling sulit dalam penyelamatan tersebut adalah perubahan budaya kerja
perusahaan. Budaya serba mahal, jor-joran tanpa memperhatikan aspek kompetitif sangat sulit untuk
berubah. Upaya manajemen untuk memperbaiki budaya kerja tersebut agar berdasarkan prinsip
kompentensi dan beban kerja, bukan senioritas ternyata mendapatkan perlawanan dari sejumlah karyawan
senior. Manajemen saat itu tidak melakukan sosialisasi yang memadai untuk mengubah budaya kerja dan
efisiensi perusahaan. Sementara itu, sebagian tokoh pekerja, tanpa memahami tujuan konsolidasi dan
survival perusahaan, menuntut kenaikan gaji pada saat kondisi perusahaan belum terlalu baik.

5.4. Egoisme Dicerahi

Titik temu antara Karyawan dan Direksi PT DI, akhirnya tercapai setelah terjadi banyak perdebatan
dalam pertemuan-pertemuan antara direksi mantan-mantan karyawan dengan serikat pekerja karyawan dalam
hal ini diwakili oleh SP-FKK. Dalam hal ini sebagian besar karyawan anggota dari SPF-KK PT DI meminta surat
pemutusan kerja di kantor PT DI, pasalnya karyawan menyadari akan sangat sulit untuk benar-benar
mendapatkan haknya secara utuh yang diberikan oleh perusahaan karena sulitnya menghadapi masalah
administrasi yang akan membelit mereka. Oleh karena itu, karyawan pasrah dengan uang pesangon yang
sekarang sudah disepakati dalam pertemuan direksi yaitu dua kali gaji ditambah dana pensiun yang akan
dibayar perusahaan secara diangsur, walaupun mungkin dalam hati kecil sebagian dari meraka masih merasa
keberatan dan menginginkan hak meraka dibayar utuh.
Selain itu sebagian karyawan juga mengungkapkan rasa senang dengan adanya penarikan lagi
beberapa mantan karyawan PT DI sebagai pekerja kontrak, sebab meskipun hanya berstatus karyawan kontrak
namun dapat mengurangi beban meraka dalam menghidupi keluarga. Sedangkan bagi karyawan yang tidak
dipekerjakan lagi, mereka akan mendapatkan pesangon 25-100 juta bagi karyawan yang sudah bekerja minimal
10 tahun atau yang sudah mempunyai jabatan struktural. Keputusan ini sebetulnya masih menyisakan rasa
ketidakpuasan terutama bagi karyawan yang masa kerjanya belum lama, yang berarti hanya mendapatkan
sedikit pesangon. Terlepas dari berbagai argumen dan sikap pro-kontra terhadap kesepakatan akhir dari kedua
belah pihak, keputusan bersama ini sudah bisa dikatakan adil baik dari segi karyawan maupun direksi. Sampai
sejauh ini perusahaan telah mempersiapkan dana sebesar Rp 440 milyar untuk pesangon karyawan yang akan
dibayarkan secara bertahap.

23 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

6. KESIMPULAN

Dari kasus PT. Dirgantara Indonesia dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1) Egoisme kelompok yang muncul dari Dewan Direksi dan Pemerintah sebagai alasan utama dari
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah bahwa Pemerintah sudah tidak sanggup lagi membiayai
semua operasional perusahaan misalnya pembelian bahan baku pesawat, dan pembelian barang-
barang yang diperlukan perusahaan. Selain itu pemerintah tidak sanggup lagi menanggung beban
biaya dan kerugian yang dialami oleh PT Dirgantara Indonesia secara terus-menerus, sehingga PHK
merupakan pilihan terbaik yang dapat diambil untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Namun,
PHK terhadap 9.600 karyawan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang terjadi pada tahun 2003 yang lalu
bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM, sebab dalam hal ini proses tersebut dimulai dengan
perumahan secara mendadak dan tidak disosialisasikan kepada karyawannya, selain itu juga tidak
dikonsultasikan dengan komisaris. Dalam hal ini seharusnya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh
pemerintah, yaitu masalah hukum berkaitan dengan pemecatan dan masa depan PT Dirgantara
Indonesia itu sendiri.
2) Egoisme kelompok dari para karyawan korban PHK tercermin dari sikap mereka yang menolak
prosedur PHK yang dilakukan direksi dan menuntut melalui jalur hukum. Meskipun dalam hal ini
karyawan kalah dan PHK telah menjadi ketetapan hukum, mereka tetap melakukan berbagai penolakan
dan perlawanan hingga masalah menjadi berlarut-larut.
3) Selain dari pihak direksi dan pemerintah, tampak ada egoisme dari pihak ketiga, yaitu kelompok yang
Ingin mempertahankan dan melakukan pembaharuan di PT DI. Mereka beranggapan kasus
PT Dirgantara Indonesia (DI) merupakan salah satu contoh dari ketidakmampuan pemerintahan yang
berkuasa saat itu dalam menangani berbagai masalah sektor riil (salah satunya PT. Dirgantara
Indonesia) yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
4) Dari sisi hukum, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Berdasarkan hukum yang sudah tertulis di dalam UU No 37 tahun 2004 pasal 2 ayat (1) dan pasal
2 ayat (5) beserta penjelasan dalam pasal 2 ayat (5), seharusnya PT. Dirgantara Indonesia dapat
dipailitkan. Tetapi oleh MA dibatalkan karena terjadinya perbedaan persepsi terhadap Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik dengan penjelasan yang tedapat
di dalam UU No 37 tahun 2004 pasal 2 ayat 5 yaitu BUMN yang seluruhnya milik negara dan tidak
terbagi atas saham.
Terdapat pertimbangan oleh MA terhadap kasus pailit PT. Dirgantara Indonesia:
1. Pertambahan pengangguran jika PT. DI dipailitkan karena diprediksi tidak dapat membayar
hutanghutang yang sudah dimiliki,

24 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

2. Potensi dan asset yang dimiliki oleh PT. Dirgantara Indonesia mampu dioptimalisasi dalam
penggunaannya demi perekonomian Indonesia.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) memberikan kesempatan bipartit:
serikat karyawan dan direksi PT. Dirgantara Indonesia (PT DI), untuk menyelesaikan masalah di
perusahaan itu. Keputusan ini diambil, lantaran tidak tercapai kesepakatan pada sidang terakhir, di
kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), antara direksi PT DI yang
bersikeras melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 6.600 orang karyawan dan pihak
karyawan yang menilai proses PHK tidak dilakukan secara benar.

25 Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja HEB

7. DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, UU No. 13, Tahun 2003

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep150/Men/2000 tentang


penyelesaian pemutusanhubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uangpenghargaan masa
kerja, dan ganti kerugian diperusahaan menetapkan beberapa prosedur tentangpemutusan hubungan
kerja dalam suatu perusahaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep-
78/Men/2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan
Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan.

TEMPO Interaktif, terbit di Jakarta pada Kamis, 15 Januari 2004 dengan Headline: Kasus
Dirgantara Indonesia, P4P Putuskan Bipartit.

TEMPO Interaktif, Bandung dengan Headline: Kronologi Kasus PT Dirgantara Indonesia pada
tanggal 19 Pebruari 2004.

26 Kelompok 2

Anda mungkin juga menyukai