Anda di halaman 1dari 9

Peran Etika Bisnis Dalam

Mendukung Keberhasilan Berbisnis

Disusun Oleh :

Yohanes Anindra Bagas W (142180132)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
A. Peranan Etika dalam Bisnis
Tiga hal pokok yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai kesuksesan dalam
suatu bisnis menurut Richard De George, yaitu:
1. Produk yang baik
2. Manajemen yang mulus
3. Etika Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta berguna
bagi masyarakat dan di samping itu dikelola dengan manajemen yang
tepat di bidang produksi, finansial, sumber daya manusia, dan lain-lain,
tetapi tidak mempunyai etika, maka cepat atau lambat akan hancur dengan
sendirinya.
Beberapa dekade terakhir ini, etika dalam bisnis dianggap sangat penting.
Dibandingkan dengan usaha dan program yang diadakan untuk meningkatkan
kemampuan manajemen dalam bisnis, perhatian bagi etika dalam bisnis masih terbatas.
Namun akhir-akhir ini peranan etika mulai diakui dan diperhatikan. menggunakan
pandangan ideal, bisnis tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan melainkan
untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika dalam bisnis tidak memperhatikan
etika, maka bisnis itu akan mengorbankan hidup banyak orang, bahkan hidup orang
bisnis itu sendiri.
 

B. Bisnis dalam konteks moral Bisnis


Merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat. Hampir semua orang terlibat
di dalamnya. Kita membeli barang atau jasa untuk bisa bertahan hidup ataupun
setidaknya kita bisa hidup dengan lebih nyaman. Kita terlibat dalam produksi barang atau
jasa yang dibutuhkan oleh orang lain. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak yang
diperlukan dalam masyarakat modern. Bisnis tidak bisa dilepaskan dari aturan-aturan
main yang harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.
Tetapi kadang-kadang kehadiran etika bisnis masih diragukan.
1. Mitos mengenai bisnis amoral
Dalam masyarakat beredar opini bahwa bisnis tidak ada hubungannya
dengan etika atau moralitas. Pebisnis hanya menjalankan pekerjaannya saja.
Richard De George menyebut pandangan ini the myth of morl business. MItos ini
mengatakan bahwa bisnis itu moral saja. Dalam bisnis, orang menyibukkan diri
dengan jual beli, dengan membuat produk atau menawarkan jasa, dengan merebut
pasaran, dengan mencari untung juga, tapi orang tidak berurusan dengan etika
atau moralitas. Moralitas menjadi urusan individu, tetapi kegiatan bisnis itu
sendiri tidak berkaitan langsung dengan etika. Moralitas tidak punya relevansi
bagi bisnis. Bisnis itu amoral (tapi itu tentu tidak berarti immoral!)

Namun mitos itu lambat laun ditinggalkan. Bisnis itu netral terhadap
moralitas, jadi bisnis moral itu hanya sekedar mitos atau cerita dongeng saja. De
George mengemukakan tiga gejala dalam masyarakat yang menunjukkan sirnanya
mitos tersebut :

1) Bisnis disorot tajam oleh masyarakat melalui media massa.


Masyarakat tidak ragu-ragu langsung mengaitkan bisnis dengan
moralitas.
2) Bisnis diamati dan dikritik oleh banyak LSM, terutama LSM
konsumen dan LSM pecinta lingkungan hidup. Apa yang disimak
oleh LSM-LSM tersebut jelas-jelas berkonotasi etika.
3) Bisnis mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya. Hal
ini tampak pada refleksi yang mereka buat mengenai aspek-aspek
etis dari bisnis serta timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh
banyak perusahaan. Hal-hal di atas secara tidak langsung telah
menunjukkan bahwa bisnis tidak terlepas dari segi-segi moral.
Bisnis tidak hanya berurusan dengan angkaangka penjualan (sales
figures) atau adanya profit pada akhir tahun anggaran. Good
business memiliki suatu makna moral.
2. Mengapa bisnis harus berlaku etis?
Pertanyaan di atas dalam sejarah pemikiran sudah lama diberikan jawaban.
Jawaban pertama berasal dari agama, jawaban kedua berasal dari filsafat modern,
dan jawaban ketiga sudah ditemukan dalam filsafat Yunani Kuno. Berikut
penjelasannya:
1) Tuhan adalah hakim kita
Semua yang kita lakukan pasti akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Begitu juga jika kita
melakukan bisnis yang tidak bermoral, pasti di akhirat kelak kita akan
diberi hukuman atas kejahatan kita. Pandangan ini didasarkan atas iman
dan kepercayaan dan karena itu termasuk perspektif teologis, bukan
perspektif filosofis. Untuk itulah dalam berbisnis diharapkan pebisnis
menggunakan iman dan kepercayaannya untuk tetap berpegang teguh pada
motivasi moral ini.
2) Kontrak sosial
Pandangan ini melihat perilaku manusia dalam perspektif sosial.
Setiap kegiatan yang kita lakukan bersama-sama dalam masyarakat,
menuntut adanya norma-norma dan nilai-nilai moral yang kita sepakati
bersama. Hidup dalam masyarakat berarti mengikat diri untuk berpegang
pada norma-norma dan nilainilai tersebut. Kalau tidak, hidup bersama
dalam masyarakat menjadi kacau tak karuan. Hidup sosial menjadi tidak
mungkin lagi, jika tidak ada moralitas yang disetujui bersama.
Oleh karena itu beberapa filsuf modern menganggap kontrak sosial
sebagai dasar moralitas. Umat manusia seolah-olah pernah mengadakan
kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada
normanorma moral. Kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga
tidak ada seorang pun yang bisa melepaskan diri darinya.
De George menegaskan: “morality is the oil as well as the glue of
society, and, therefore, of business”. Moral diibaratkan minyak pelumas,
karena moralitas memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain
dalam masyarakat. ibarat lem, karena moralitas mengikat dan
mempersatukan orangorang bisnis, seperti juga semua anggota masyarakat
lainnya. Moralitas merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua
orang, jika kita ingin terjun dalam kegiatan bisnis.
3) Keutamaan
Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang
baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik,
artinya yang baik adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai
disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan
tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik
begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu saja.
Pikiran tersebut bisa diterapkan dalam situasi bisnis. Orang bisnis
juga harus melakukan yang baik, karena hal itu baik. Atau dirumuskan
dengan terminologi modern, orang bisnis juga harus mempunyai
integritas. Dalam pekerjaannya, si pebisnis memang mencari untung.
Perusahaan memang perusahaan for profit. Tetapi pebisnis atau
perusahaan tidak mempunyai integritas, kalau mereka mengumpulkan
kekayaan tanpa pertimbangan moral. Selama pebisnis itu seorang manusia,
maka ia tidak bisa dipisahkan dari moralitas.

C. Kode Etik Perusahaan


1. Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan
Fenomena kode etik perusahaan mencuat sekitar tahun 1970-an, antara
lain karena terjadinya beberapa skandal korupsi dalam kalangan bisnis. Karena
pengalaman pahit itu, mulai tumbuh keinsyafan bahwa sebaiknya perusahaan
mempunyai peraturan-peraturan ketat dan jelas guna mencegah terjadinya hal-hal
negatif seperti itu.

Patrick Murphy menggunakan istilah ethics statements dan


membedakannya menjadi tiga macam. Pertama, terdapat values statements atau
pernyataan nilai. Misi sebuah perusahaan seringkali menjadi nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh pendiri perusahaan. Kedua, corporate credo atau kredo
perusahaan, yang biasanya merumuskan tanggungjawab perusahaan terhadap para
stakeholder, khususnya konsumen karyawan, pemilik saham, masyarakat umum,
dan lingkungan hidup. Ketiga, kode etik (dalam arti sempit) yang disebut juga
code of conduct atau code of ethical conduct. Kode etik ini menyangkut kebijakan
etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (dan mungkin di
masa lalu pernah timbul), seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing
dan pemasok, menerima hadiah, dll.

Pembuatan kode etik perusahaan adalah cara ampuh untuk melembagakan


etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Jika perusahaan memiliki kode etik
sendiri, ia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perusahaan yang
tidak memiliki kode etik. Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai
berikut:

a. Dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah


dijadikan sebagai corporate culture. Dengan adanya kode etik, secara
intern semua karyawan terikat dengan standar etis yang sama sehingga
diharapkan akan mengambil keputusan yang sama pula.
b. Dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan kelabu di
bidang etika. Beberapa ambiguitas moral yang sering merongrong kinerja
perusahaan dapat dihindarkan.
c. Dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggungjawab
sosialnya. Sangat diharapkan perusahan tidak membatasi diri pada standar
minimal. Melalui kode etiknya perusahaan dapat menyatakan bagaimana
ia memahami tanggungjawab sosial dengan melampui minimum tersebut.
d. Kode etik menyediakan bagi perusahaan-perusahaan dan dunia bisnis pada
umumnya kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation).
Dengan demikian, Negara tidak perlu campur tangan.

Namun dalam kenyataan konkret sering menimbulkan harapan terlalu


besar dengan adanya kode etik perusahaan. Membuat sebuah kode etik ternyata
tidak merupakan solusi yang cukup untuk memecahkan semua kesulitan moral
bagi perusahaan. Karena itu tidak mengherankan bila kode etik perusahaan
menemui kritik juga, antara lain :

a. Kode etik perusahaan seringkali merupakan formalitas belaka. Fungsinya


sebatas windows dressing – membuat pihak luar kagum dengan
perusahaan.
b. Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum, sehingga
tidak menunjukkan jalan keluar bagi masalah moral konkret yang dihadapi
oleh perusahaan.
c. Kritik yang paling berat adalah bahwa jarang sekali tersedia enforcement
untuk kode etik perusahaan. Jarang sekali ada sanksi untuk pelanggaran.

Meskipun kode etik masih menuai kritikan, akan tetapi kode etik
perusahaan masih digunakan untuk merumuskan standar etis yang jelas dan
tegas untuk semua karyawan dan tanggungjawab sosial perusahaan. Supaya
kode etik bisa berhasil, berikut ada beberapa faktor yang bisa membantu:

a. Kode etik dirumuskan berdasarkan masukan semua karyawan, sehingga


mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikat olehnya.
b. Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topiktopik
mana sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan.
c. Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan
dengan perkembangan intern maupun ekstern.
d. Paling penting adalah bahwa kode etik perusahaan ditegakkan secara
konsekuen dengan menerapkan sanksi. Tetapi tentu saja hal itu harus
dilakukan secara adil.

2. Ethical auditing
Untuk menilai kinerja finansial sebuah perusahaan sudah lama ada
standar-standar accounting yang diterima secara nasional dalam suatu negara dan
malah secara internasional. Jika perusahaan memiliki sebuah kode etik, ethical
auditing itu secara khusus terfokuskan pada kode etik tersebut. Hal itu bisa mudah
dimengerti, sehingga dengan demikian metode tersebut bisa digunakan untuk
menegakkan kode etik perusahaan secara sadar dan konsekuen. Kode etik tidak
lagi sebatas perhiasan saja. Pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial itu tidak saja
dilakukan terhadap perusahaan, tapi juga terhadap atau tidak.

The Body Shop sebagai contoh


The Body Shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari
Inggris dan bergerak di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan
oleh Anita Roddick pada 1976, dan 20 tahun kemudian sudah mempunyai omzet
setengah miliar dollar AS. Kini The Body Shop mempunyai toko tersebar di
seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di Amerika Serikat. Perusahaan ini
selalu 8 organisasi nirlaba. Organisasi-organisasi seperti itupun harus berpegang
pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik tertulis
menitikberatkan manajemen yang etis. “First and foremost are the values”
merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya Roddick pula yang
pertama kali melontarkan gagasan mengenai audit sosial etis.

Setiap dua tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi
sosial dan etis. Audit pertama itu dilakukan oleh Institute of Social and Ethical
Accountability dan diterbitkan dengan judul The Values Report 1995 (1996).
Dalam audit ini antara lain diperiksa pelaksanaan dua dokumen etik yang dimiliki
perusahaan ini yaitu, The Body Shop Mission Statement dan The Body Shop
Trading Charter.

D. Good ethics, good business

Ethics pay (etik membawa untung), Good business is ethical business, Corporate
ethics: a prime business asset. Dalam kode etiknya, kini banyak perusahaan mengakui
pentingnya etik untuk bisnis mereka.

Bahkan telah ditunjukkan secara empiris bahwa perusahaan yang mempunyai


standar etis tinggi tergolong juga perusahaan yang sukses. Kendatipun tidak ada jaminan
mutlak, pada umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses
juga. Good ethics, good business. Keyakinan ini sekarang terbentuk cukup umum.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa harapan akan sukses boleh menjadi satu-
satunya motivasi atau justru menjadi motivasi utama untuk berperilaku etis. Yang baik
harus dilakukan karena hal itu baik, bukan karena membuka jalan menuju sukses,
walaupun motivasi itu tidak senantiasa perlu dihayati secara eksplisit. Sudah sejak
Aristoteles, hal itu disebut bertingkah laku “menurut keutamaan”.

Anda mungkin juga menyukai