Anda di halaman 1dari 3

NAMA: YOGI GIOVANI ERLANDA

NIM: BBA 118 059

ANALISIS MANAJEMEN RESIKO DALAM STUDI KASUS AICE

Latar Belakang Perusahaan


Aice merupakan  perusahaan dibawah naungan PT Alpen Food Industry. Aice sendiri
merupakan perusahaan yang berlisensi dari Singapura yang memiliki tim berpengalaman
selam 20 tahun di industri es krim. Hingga saat ini Aice sudah memiliki 21 macam produk,
8000 outlet, dan 5 penghargaan. Produk es krim yang dimiliki Aice sangat beragam yaitu
seperti choco cookies, mochi durian, pure durian, aice obor, mango slush, dan berbagai
macam varian rasa lainnya (Aice.co.id, 2018).
Pada tahun 2017 es krim merupakan salah satu es krim yang banyak diminati oleh
masyarakat. Es krim asal Singapura ini berhasil menjadi es krim yang paling diminati oleh
masyarakat karena bentuknya yang unik, rasa yang berbeda dari produk es krim pada
umumnya, dan harga yang terjangkau. Selain itu, produk es krim Aice mudah ditemukan
mu;ai dari toko-toko kecil, minimarket hingga supermarket menjual berbagai produk es krim
Aice (Angie, 2017).
Studi Kasus

Di tahun yang sama teryata perusahaan Aice memiliki krisis salah satunya mengenai
eksploitasi buruh. Terdapat pernyataan dari salah satu buruh yang bekerja di pabrik Aice
yang bernama Agus. Agus menyatakan bahwa awalnya ia bekerja tanpa kontrak. Ia hanya
mendapatkan libur sebanyak satu kali dalam tiga minggu. Gaji yang ia terima tidak sesuai
dengan UMR Bekasi pada tahun 2017 yaitu sebesar 3,3 Juta tetapi yang dibayarkan oleh
pabrik Aice sebanyaj 2,7 Juta. Ia menyadari bahwa tindakan yang dilakukan oleh pabrik Aice
tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dari situlah ia bersama teman-
temannya yang bernasib serupa ingin membuat aksi mogok. Tetapi sebelum terlaksananya
demo tersebut, Agus sudah diPHK. Pada proses PHK ini pun juga menyalahi aturan yang
ada. Ia diPHK tanpa diberitahu satu minggu sebelumnya (Nathaniel, 2017).

Tindakan yang mengabaikan hukum lainnya juga dilakukan oleh Aice yaitu mengenai sistem
kontrak. Terdapat sekitar 16 buruh yang dikontrak lebih dari 3 kali ditambah 56 buruh yang
diperpanjang pada kontrak ketiga tanpa 30 hari jeda. Berdasarkan regulasi ketenagakerjaan di
Indonesia, kontrak terhadap para buruh Aice ini hanya bisa disepakati paling lama 2 tahun
dan diperpanjang 1 kali dengan waktu perpanjangan paling lama setahun. Perpanjangan ini
harus diberitahukan paling lama 7 hari secara tertulis, tapi perusahaan mengikuti aturan
tersebut (Nathaniel, 2017).

Aice atau PT AFI juga tidak mematuhi aturan hukum mengenai hak-hak buruh. Hak buruh
tersebut berupa BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Dalam kasus ini, Aice atau PT
AFI tidak memberikan hak-hak tersebut kepada para buruhnya. PT AFI juga memberikan
surat pernyataan kepada para buruhnya untuk selalu masuk kerja tanpa adanya izin dan tidak
adanya cuti seperti cuti hamil atau cuti haid. Jika terdapat buruh yang tidak masuk maka
buruh tersebut harus lembur untuk mengganti jam kerjanya. Jika para buruh tidak melakukan
NAMA: YOGI GIOVANI ERLANDA
NIM: BBA 118 059

hal tersebut, gaji buruh yang melanggar akan dipotong sesuai dengan jumlah absen kerja
(Nathaniel, 2017).

Tak berhenti sampai disitu, jam kerja yang belaku di PT AFI juga menyalahi aturan. PT AFI
menerapkan tiga shift pekerjaan. Jam 7 sampai jam 3 sore, jam 3 sore sampai 12 malam, dan
jam 11 malam sampai jam 7 pagi. Mesin produksi di pabrik Aice bekerja selama 24 jam, dan
buruh yang mendapatkan jadwal kerja hanya diberi 1 jam untuk istirahat setiap harinya. Yang
menjadi permasalahan pada kasus ini adalah tidak adanya hari libur atau bahkan hitungan
lembur di hari Sabtu dan Minggu. Dalam sebulan, para buruh es krim Aice dipaksa masuk
berturut-turut selama 25 hari. Sisanya baru mendapatkan jatah lembur. Jika dihitung, buruh
Aice bekerja selama 49 jam per minggu.  Hal tersebut  diperburuk dengan biaya lembur yang
mengabaikan kesepakatan. Setiap buruh yang lembur dijanjikan Rp20 ribu per jam, tapi
mereka hanya menerima upah lembur Rp10 ribu per jam (Nathaniel, 2017).

Permasalahan eksploitasi buruh Aice akhirnya terkuak dengan aksi demo yang dilakukan
oleh para buruh. Terdapat sekitar 644 buruh dari total 1.233 pekerja yang melakukan mogok
sejak awal November 2017 lalu lantaran kondisi lingkungan pabrik yang mengabaikan hak-
hak mereka dan jumlah buruh yang protes terus bertambah (Widhana, 2017).
Dapat kita simpulkan bahwa tindakan PT AFI sangat menyalahi etika bisnis dan kode etik.
P ihak mereka bertindak s ew enang w enang terhadap baw ahan (buruh)
demi terpenuhi target produksi serta menurunkan biaya produksi. Tindakan
yang harus dilakukan PT AFI adalah mendengarkan jeritan para buruh dan
menyelesaikan denganjantan tuntutan yang dipinta. Pemindahan karyawan kontrak ke
aktif misalnya, gaji ygdiatas UMR, dll
Identifikasi Resiko
Risiko Kepatuhan
Risiko kepatuhan berarti risiko atau ketidakpastian yang disebabkan karena ketidakpatuhan
terhadap peraturan, regulasi atau hukum yang ditetapkan pemerintah setempat secara tertulis
maupun tidak tertulis.
Risiko Operasional
Risiko operasional lebih mengarah pada sebuah kegagalan yang sangat tidak diharapkan dan
biasanya terjadi dalam kegiatan sehari-hari dalam perusahaan. Hal itu dapat terjadi karena
beberapa kegagalan teknis, seperti server yang sudah error, perseorangan (karyawan)
maupun proses pada kegiatan operasional perusahaan.
Risiko Reputasi
Reputasi dapat dibilang sebagai nama baik perusahaan. Jika nama baik perusahaan hancur
atau reputasinya buruk tentu hal tersebut akan menyebabkan kerugian yaitu ketidakpercayaan
pelanggan terhadap bisnis.
Pihak manajemen PT AFI seolah-olah seperti mengabaikan resiko-resiko yang ada diatas,
sehingga berbuntut kepada masalah-malah yang meraka alami.
NAMA: YOGI GIOVANI ERLANDA
NIM: BBA 118 059

Masalah yang didorong oleh internal mungkin merupakan yang paling sulit dari semua risiko
untuk dikelola, karena biasanya timbul dari semacam kegagalan yang mempertanyakan
perilaku, kinerja, tata kelola, strategi, nilai, dan bahkan tujuan organisasi (Griffin, 2014).
Apabila kasus yang terjadi di PT AFI tentang eksploitasi buruh ice cream Aice dikaitkan
dengan konsep management krisis, maka kasus tersebut masuk kedalam konsep isu internal.
Kenapa demikian, karena kasus yang terjadi di perusahaan AFI tersebut merupakan kasus
yang awal mulanya disebabkan oleh tata kelola yang kurang baik dari pihak perusahaan atau
organisasi sehingga menyebabkan krisis tersebut yang melibatkan karyawannya atau buruh,
seperti yang telah dijelaskan oleh Griffin.

Masalah di mana beberapa berita buruk atau keputusan yang sulit / kontroversial perlu
dikomunikasikan atau dipecahkan secara proaktif. Contoh paling jelas dari masalah ini adalah
hilangnya pekerjaan dan restrukturisasi perusahaan. Semua organisasi pada tahap tertentu
melalui masa-masa sulit atau periode perubahan yang signifikan, berpotensi mempengaruhi
ribuan orang dan komunitas lokal tempat mereka tinggal (Griffin, 2014). Hal ini berkaitan
dengan kasus buruh yang mogok kerja dikarenakan mereka tidak diangkat sebagai karyawan
tetap, padahal banyak diantara mereka yang sudah bekerja sangat lama dan hanya dijadikan
buruh kontrak saja. Sehingga para buruh tersebut mengajak buruh-buruh yang lain atau
teman-temannya di tempat mereka bekerja untuk melakukan aksi protes dengan melakukan
demo dan aksi mogok kerja dengan harapan aspirasi mereka mendapatkan respon dan hasil
yang positif.

Sesuai dengan teori issue management yaitu untuk menyelesaikan resiko reputasi  dapat


melalui perubahan dan inovasi, tetapi tidak mungkin untuk dapat sepenuhnya
menghilangkannya sebagai sebuah masalah. Jika dikaitakan dengan kasus Aice, PT AFI
melakukan perubahan dengan cara memperbaiki keamanan bekerja untuk para buruhnya dan
memperbarui peraturan yang berlaku di PT AFI.

Anda mungkin juga menyukai