b. Kaidah Emas
Cara lebih efektif untuk menilai baik buruknya perilaku
moral adalah mengukurnya dengan kaidah emas yang bebunyi:
“Hendaklah memerlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri
ingin diperlakukan.”. Perilaku saya bisa dianggap moral baik, bila
saya memerlakukan orang tertentu sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan. Karena saya (dan setiap orang) tentu menginginkan
agar diperlakukan dengan baik, saya harus memerlakukan orang lain
dengan cara demikian pula. Kalau begiu saya berperilaku dengan
baik. (dari sudut pandang moral).
Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun
negatif. Tadi diberikan perumusan positif. Bisa dirumuskan secara
negatif, kaidah emas berbunyi: “Janganlah melakukan terhadap
orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan
terhadap diri Anda.” Says kurang konsisten dalam tingkah laku saya,
bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak
mau akan dilakukan terhadap saya sendiri. Kalau begitu, saya
berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).
c. Penilaian Umum
Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan
baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkannya
kepada masyarakat untuk dinilai. Cara ini disebut juga “audit sosial”.
Sebagaimana melalui “audit” dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan
finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis
suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
Sejauh masyarakat yang menilai masih terbatas, hasil
penilaiannya mudah bersifat subyektif, karena dilihat melalui
kacamata kelompok atau Negara tertentu. Guna mencapai suatu
tahap obyektif, perlulah penilaian moral dijalankan dalam suatu
forum yang seluas mungkin. Karena itu “audit sosial” menuntut
adanya keterbukaan.
Mungkin tidak semua orang akan menyetujui pandangan ini.
Terutama mereka yang menganut relativisme moral, akan
menegaskan bahwa dalam masyarakat yang berbeda nilai-nilai dan
norma-norma moral bisa berbeda juga. Sebagai contoh sering disebut
praktek-praktek korupsi. Di banyak negara maju, seperti Amerika
Serikat atau Jerman, korupsi ditolak dengan tegas dan dinilai tidak
etis. Sedangkan di banyak negara berkembang korupsi merajalela
dan dianggap sebagian dari bisnis normal.
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut sebagai good business, tingkah
laku bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi.
1. Situasi Dahulu
Berabad-abad lamanya etika berbicara—pada taraf ilmiah— tentang
masalah ekonomi dan bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak
topik lain. topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula
dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika Serikat selama paro
pertama abad ke-20, De George melukiskan bagaimana di perguruan tinggi
masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi.
Pada waktu itu di banyak universitas diberikan kuliah agama di mana
mahasiswa mempelajari masalah-masalah moral sekitar ekonomi dan bisnis.
Dengan demikian di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20
etika-dalam-bisnis terutama dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi.
Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai hari ini, di Amerika Serikat
maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan ensiklik-ensiklik sosial baru
sampai dengan Caritas in Veritate (2009) dari Paus Benediktus XVI.
2. Agama Kristen
Masalah pandangan Kristen pra-reformasi tentang perdagangan perlu
didekati dengan nuansa yang seperlunya. Pada waktu itu memang ada teks-teks
yang sangat negatif terhadap moralitas perdagangan. Ada juga cukup banyak
pengarang Kristen yang memandang perdagangan dengan cara lebih positif.
Mereka melihat bisnis sebagai suatu usaha yang secara moral sekurang-
kurangnya netral.
3. Agama Islam
Dalam agama Islam tampak pandangan lebih positif terhadap
perdagangann dan kegiatan ekonomis. Dalam periode pra-modern pun tidak
ditemukan sikap kritis dan curiga terhadap bisnis. Nabi Muhammad sendiri
adalah seorang pedagang dan ajaran agama Islam mula-mula disebarluaskan
mula-mula melalui para pedagang Muslim.
4. Kebudayaan Jawa
Jika Clifford Geertz pada tahun 1950-an menyelidiki struktur sosial dari
kota Jawa Timur yang disebutnya Modjokuto (nama samaran untuk Pare), ia
menemukan 4 golongan: priyayi, para pedagang pribumi (wong dagang), orang
kecil yang bekerja sebagau buruh tani atau tukang (wong cilik), orang Tionghoa
(wong Cina) yang hampir semua bekerja di bidang perdagangan.
Hakikat Keadilan
Penjelasan hukum Roma tentang keadilan bisa diterjemahkan sebagai:
memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya.
Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan:
- Keadilan selalu tertuju kepada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-
directedness. Artinya bahwa masalah keadilan hanya bida timbul dalam konteks
antar-manusia. Mustahil bila saya berlaku adil atau tidak adil terhadap diri saya
sendiri.
- Keadilan harus ditegakan atau dilaksanakan. Artinya bahwa keadilan itu
merupakan hak sekaligus kewajiban. Oleh karena itu bersifat “should” atau
harus dilakukan oleh siapa pun. Gambaran keadilan adalah timbangan seperti
yang dilukiskan dengan baik dalam mitologi Romawi, Dewi Iustita digambarkan
memegang timbangan dalam tangan. Artinya bahwa keadilan harus
dilaksanakan persis sesuai dengan bobot hak seseorang.
- Keadilan menuntut adanya persamaan (equality). Artinya bahwa harus
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa memandang
bulu.
Pembagian Keadilan
1. Pembagian Klasik
Pembagian ini disebut klasik karena mempunyai tradisi yang panjang.
Cara pembagian keadilan ini ditemukan dalam kalangan thomisme, aliran
filsafat yang mengikuti jejak filsuf dan teolog besar, Thomas Aquinas.Keadilan
bisa dibedakan menjadi tiga:
- Keadilan umum (general justice): berdasarkan keadilan ini para anggota
masyarakat diwajibkan untuk memberikan kepada masyarakat apa yang
menjadi haknya. Landasannya adalah common good atau kebaikan bersama,
yang artinya harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
- Keadilan distributif (distributif justice): berdasarkan keadilan ini negara
harus memberikan keadilan yang sama bagi setiap warganya. Salah satunya
adalah perlindungan hukum bagi setiap individu dalam kehidupan
bernegara.
- Keadilan komutatif (communitative justice): berdasarkan keadilan ini setiap
orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal
ini berlaku bagi individu atau pun sosial.
2) Teori Sosialitis
Pandangan dari teori ini adalah masyarakat diatur dengan adil, jika
kebutuhan tiap warga terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi; sandang, pangan, dan
papan. Secara konkret, sosialisme memperhatikan masalah-masalah sosial
seperti permasalahan kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Teori
sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip yang diutarakan oleh Karl
Marx yang diambil oleh seorang sosialis, Louis Blanc: “from each according to
his ability, to each according to his needs.”
Bagian pertama dari prinsip ini berbicara tentang bagaimana burdens
harus dibagi-bagi; hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian kedua
dari prinsip ini menjelaskan bagaimana benefits harus dibagi; hal-hal yang enak
untuk didapat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dan
kemampuan memang tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan keadilan
ditributif. Tetapi ada kesulitan besar juga apabila prinsip ini dipakai sebagai
pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif.
3) Teori Liberalistis
Liberalistis justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai
tidak adil. Liberalistis menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider, benalu
yang menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat
sendiri.
Dalam teori liberalistis tentang keadilan distributif digarisbawahi
pentingnya prinsip 3 (hak), prinsip 4 (usaha) tapi secara khusus prinsip 6 (jasa
atau prestasi). Terutama prestasi mereka lihat sebagai perwujudan pilihan bebas
seseorang
Salah satu kesulitan pokok dengan teori keadilan distributif ini adalah:
bagaimana dengan orang yang tidak bisa berprestasi karena cacat mental atau
fisik, orang yang menganggur di luar kemauannya sendiri, dan sebagainya,
mereka pun sebenarnya ingin berprestasi juga, tetapi tidak bisa. Apakah cara
seperti itu adil?
Keadilan Ekonomis
Keadilan memegang peranan penting dalam konteks ekonomi dan bisnis,
karena menyangkut barang yang diincar banyak orang untuk dimiliki. Dipandang
dalam perspektif historis, pengertian “keadilan ekonomis” tidak selalu mendapat
perhatian yang sama. Sejarawan ide sosial dan politik berkebangsaan Kanada, C.B.
MacPherson, berpendapat bahwa pengertian ini mengalami gerak pasang-surut yang
cukup mencolok dalam sejarah. Dalam zaman kuno, keadilan ekonomis diberi
tempat penting, khususnya pada Aristoteles. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan
dalam masyarakat Abad Pertengahan, khususnya oleh Thomas Aquinas. Dalam
zaman modern keadilan ekonomis tidak banyak diperhatikan, sampai muncul lagi
dengan kuatnya sekitar pertengahan abad ke-19 dan berperan penting dalam
demokrasi-demokrasi parlementer sepanjang abad ke-20.
Masyarakat tidak mungkin diatur secara baik (well-ordered) jika tidak
ditandai dengan keadilan. Pada awalnya karya besar John Rawls menegaskan bahwa
keadilan merupakan keutamaan khas untuk lembaga-lembaga sosial, sama seperti
kebenaran merupakan ciri khas sebuah teori.
Dalam konteks ekonomi dan bisnis, keadilan ekonomis harus diwujudkan
dalam masyarakat, tetapi keadilan juga merupakan keutamaan yang harus dimiliki
oleh pelaku bisnis. Pebisnis pun tidak merupakan homo economicus saja, tetapi
harus memberi tempat kepada nilai-nilai moral dalam mengadanya di dunia. Oleh
karena itu, keadilan menjadi sangat penting untuk ditegakan dan dijalankan.
BAB 4
LIBERALISME DAN SOSIALISME SEBAGAI PERJUANGAN MORAL
Tinjauan Historis
1. John Locke dan Milik Pribadi
John Locke (1623-1704), seorang filsuf Inggris yang banyak mendalami
masalah-masalah social politik, secara umum diakui sebagai orang yang pertama
kali mendasarkan teori liberalisme tentang milik. Menurut Locke, manusia
mempunyai tiga “hak kodrat” (natural rights): “life, freedom, and property”.
Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang milik di
kemudian hari. Pemikirannya ini diuraikan dalam buku Two Treatises of
Government (1690).
Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa ciri kapitalisme
liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx. Pertama, Locke
mengandaikan begitu saja bahwa pekerjaan pun harus diukur atas dasar nilai
tukarnya, artinya sebagai komoditas pasaran. Kedua, Locke mengandaikan juga
bahwa hasil kerja karyawan menjadi milik sah dari pemilik tanah atau pemilik
sarana produksi lain.
2. Sosialisme
Jika digambarkan secara agak kasar dan umum, pertentangan antara
liberalisme dan sosialisme dapat dirumuskan sebagai berikut. Liberalisme
menempatkan individu di atas masyarakat, sedangkan sosialisme menempatkan
masyarakat di atas individu. “Sosialisme” berasal dari kata latin socius yang
berarti “teman” atau “kawan”. Sosialisme memandang manusia sebagai
makhluk sosial atau sebagai sesama yang hidup bersama orang lain. liberalisme
lebih cenderung melihat manusia sebagai individu yang mempunyai kebebasan
masing-masing. Kalau liberalisme menekankan hak atas milik pribadi, maka
sosialisme ingin mengatur lembaga milik demikian rupa sehingga dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat. Di sini akan dibahas dua bentuk sosialisme:
a) Sosialisme Komunistis
Sosialisme komunistis atau komunisme (communis
Lat.=bersama) menolak milik pribadi. Menurut mereka, milik harus
menjadi milik bersama atau milik kolektif. Tetapi, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Karl Marx tidak menolak semua milik pribadi.
Karl Marx dan pengikut-pengikutnya membedakan antara pemilikan
barang konsumsi dan pemilikan sarana-sarana produksi. Barang
konsumsi adalah barang yang dipakai oleh seseorang bersama dengan
keluarganya, seperti rumah, kendaraan, fasilitas olah raga, koleksi buku
dan lain sebagainya. Yang tidak boleh menjadi milik pribadi adalah
sarana-sarana produksi, seperti pabrik.
Dengan amat tepat sistem ekonomi komunistis sering disebut
juga planned economy, “ekonomi berencana”. Di negara-negara
komunis, ekonomi direncanakan dengan ketat dari atas. Harga jual,
besarnya gaji, volume produksi dan semua faktor ekonomi lain
dikomando oleh pemerintah.
b) Sosialisme Demokratis
Sosialisme demokratis juga menempatkan masyarakat di atas
individu. Tetapi berbeda dengan komunisme, mereka tidak bersedia
mengorbankan sistem pemerintahan demokratis yang mereka anggap
sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga. Karena itu,
mereka ingin mewujudkan cita-cita sosialistis melalui jalan demokratis.
Marx dan Engels pernah menganjurkan: “Kaum buruh seluruh dunia
bersatulah.” Sosialisme demokratis pun beranggapan bahwa jumlah
besar kaum buruh merupakan peluang khusus untuk berhasil. Karena itu,
mereka terjun ke ajang politik melalui partai sosialis yang tulang
punggungnya adalah serikat-serikat buruh.
Usaha demokratis yang lain ialah memperbaiki kesejahteraan
kaum pekerja melalui perundang-undangan sosial. Kesejahteraan dan
keselamatan keja ditingkatkan, ditentukan syarat-syarat untuk
memberhentikan para pekerja. Ditetapkan jumlah upah minimum.
Dibangun sistem jaminan sosial untuk mereka yang sudah tidak bisa lagi
bekerja karena sakit atau sudah tua. Welfare state yang modern sebagian
besar dihasilkan oleh perjuangan sosialisme demokratis.
4. Menuju Perdamaian