Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN: BISNIS DAN ETIKA DALAM DUNIA MODERN

 Tiga Aspek Pokok dari Bisnis


1. Sudut Pandang Ekonomis
Bisnins adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini
adalah tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-
mempekerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya, dengan maksud memperoleh
untung. Dalam bisnis modern untung itu diekspresikan dalam bentuk uang,
tetapi hal itu tidak hakiki untuk bisnis. Yang penting ialah kegiatan antar-
manusia ini bertujuan mencari untung dank arena itu menjadi kegiatan
ekonomis.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik
adalah bisnis yang membawa banyak untung. Orang bisnis akan selalu berusaha
membuat bisnis yang baik. Contohnya, manajer kepala perusahaan industri
kimia ingin mempertahankan produktivitas perusahaan. Perusahaannya harus
bersaing dengan perusahaan kimia lainnya. Jika produktivitas menurun, biaya
produksi akan bertambah, sehingga harga produknya perlu dinaikkan. Tetapi
dengan demikian harga produknya bisa menjadi terlalu tinggi, dibanding dengan
harga yang ditetapkan oleh pesaing. Akibatnya, perusahaan bisa memasuki
daerah “angka merah”, fenomena yang sangat ditakuti setiap manajer. Karena
itu, salah satu solusi yang dilakukan oleh manajer kepala ialah menuntut agar
unit produksi secara minimal akan mempertahankan tingkat produktivitas yang
sama seperti sebelumnya.

2. Sudut Pandang Moral


Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang
menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral.
Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi
kata “baik”. Perilaku yang baik—juga dalam konteks bisnis— merupakan
perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, sedangkan perilaku yang
buruk bertentangan dengan atau menyimpang dari norma-norma moral. Suatu
perbuatan dapat dinilai baik menurut arti terdalam justru kalau memenuhi
standar etis itu.

3. Sudut Pandang Hukum


Tidak bisa diragukan, bisnis juga terikat oleh hokum. “Hukum dagang”
atau “hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan
dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis,
pada taraf nasional maupun internasional. Hukum merupakan sudut pandang
normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan lebih jelas dari etika, karena
peraturan hukum dituliskan hitam atas putih da nada sanksi tertentu bila terjadi
pelanggaran.
Dalam bidang bisnis, seperti dalam banyak bidang lain pula, hukum dan
etika kerap kali tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal
yang diatur oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
etika. Di sini peraturan hukum harus ditentukan supaya keadaan tidak menjadi
kacau, tetapi cara diaturnya tidak berkaitan dengan etika. Hukum meneguhkan
keyakinan moral dalam masyarakat. Pembunuhan, perampokan, penipuan, dan
sebagainya adalah tidak etis dan serentak juga dilarang menurut hukum. Di sini
peraturan hukum merupakan pengendapan atau kristalisasi dari keyakinan oral
dan serentak juga mengukuhkan keyakinan moral itu.

4. Tolak Ukur untuk Tiga Sudut Pandang Ini


a. Hati Nurani
Suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan
hati nurani, dan perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan
bertentangan dengan suara hati nurani. Dalam bertindak bertentangan
dengan hati nurani, kita menghancurkan integritas pribadi, karena
kita menyimpang dari keyakinan kita yang terdalam.
Dalam dunia bisnis, suara hati nurani mudah dininabobokan
oleh keinginan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Tergiur
oleh keinginan ini, orang malah bisa berbohong tentang suara hati
nuraninya. Ia bisa saja mengatakan bahwa hati nurani mengizinkan
sesuatu, padahal hati nuraninya justru melarang. Kita tidak pernah
bisa melihat ke dalam hati nurani seseorang.
Hati nurani memang merupakan moral yang penting, tetapi
sifatnya subyektif, sehingga tidak terbuka untuk orang lain. hati
nurani hanya bisa dipakai sebagai pegangan, kalau terbentuk dengan
baik. Tidak semua yang dikatakan hati nurani bisa diandalkan dari
segi moral. Hati nurani yang berbicara jujur pun bisa tersesat, karena
terbentuk atau terdidik dengan kurang tepat. Bahkan bisa terjadi orng
fanatik melakukan kejahatan seperti pembunuhan, yang—katanya—
dilakukan atas dorongan hati nurani. Hati nurani yang tidak terdidik
dengan semestinya bisa menjadi terlalu longgar atau malah tumpul
sama sekali.

b. Kaidah Emas
Cara lebih efektif untuk menilai baik buruknya perilaku
moral adalah mengukurnya dengan kaidah emas yang bebunyi:
“Hendaklah memerlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri
ingin diperlakukan.”. Perilaku saya bisa dianggap moral baik, bila
saya memerlakukan orang tertentu sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan. Karena saya (dan setiap orang) tentu menginginkan
agar diperlakukan dengan baik, saya harus memerlakukan orang lain
dengan cara demikian pula. Kalau begiu saya berperilaku dengan
baik. (dari sudut pandang moral).
Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun
negatif. Tadi diberikan perumusan positif. Bisa dirumuskan secara
negatif, kaidah emas berbunyi: “Janganlah melakukan terhadap
orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan
terhadap diri Anda.” Says kurang konsisten dalam tingkah laku saya,
bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak
mau akan dilakukan terhadap saya sendiri. Kalau begitu, saya
berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).

c. Penilaian Umum
Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan
baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkannya
kepada masyarakat untuk dinilai. Cara ini disebut juga “audit sosial”.
Sebagaimana melalui “audit” dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan
finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis
suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
Sejauh masyarakat yang menilai masih terbatas, hasil
penilaiannya mudah bersifat subyektif, karena dilihat melalui
kacamata kelompok atau Negara tertentu. Guna mencapai suatu
tahap obyektif, perlulah penilaian moral dijalankan dalam suatu
forum yang seluas mungkin. Karena itu “audit sosial” menuntut
adanya keterbukaan.
Mungkin tidak semua orang akan menyetujui pandangan ini.
Terutama mereka yang menganut relativisme moral, akan
menegaskan bahwa dalam masyarakat yang berbeda nilai-nilai dan
norma-norma moral bisa berbeda juga. Sebagai contoh sering disebut
praktek-praktek korupsi. Di banyak negara maju, seperti Amerika
Serikat atau Jerman, korupsi ditolak dengan tegas dan dinilai tidak
etis. Sedangkan di banyak negara berkembang korupsi merajalela
dan dianggap sebagian dari bisnis normal.
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut sebagai good business, tingkah
laku bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang tadi.

 Apa Itu Etika Bisnis?


Etika sebagai praksis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak
sesuai dengan nilai dan norma moral. Etika sebagai praksis sama artinya dengan
moral atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas
dilakukan, dan sebagainya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi
kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika
sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya. Etika sebagai
refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini
dapat dijalankan pada taraf popular maupun ilmiah.
Seperi etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada
tiga taraf: taraf makro, meso, dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga
kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis.
Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem
ekonomi sebagai keseluruhan. Misalnya masalah keadilan: bagaimana sebaiknya
kekayaan di bumi ini dibagi dengan adil?
Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki masalah-
masalah etis di bidang organisasi. Organisasi di sini terutama berarti perusahaan,
tapi bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain.
Pada taraf mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan denan
ekonomi dan bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan
majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok dan investor.

 Perkembangan Etika Bisnis


Dengan memanfaatkan pemikiran Richard De George kita dapat
membedakan lima periode dalam perkembangan etika-dalam-bisnis menjadi etika
bisnis ini.

1. Situasi Dahulu
Berabad-abad lamanya etika berbicara—pada taraf ilmiah— tentang
masalah ekonomi dan bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak
topik lain. topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula
dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika Serikat selama paro
pertama abad ke-20, De George melukiskan bagaimana di perguruan tinggi
masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi.
Pada waktu itu di banyak universitas diberikan kuliah agama di mana
mahasiswa mempelajari masalah-masalah moral sekitar ekonomi dan bisnis.
Dengan demikian di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20
etika-dalam-bisnis terutama dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi.
Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai hari ini, di Amerika Serikat
maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan ensiklik-ensiklik sosial baru
sampai dengan Caritas in Veritate (2009) dari Paus Benediktus XVI.

2. Masa Peralihan: Tahun 1960-an.


Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat
sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade
berikutnya. Dasawarsa 1960-an ini di Amerika Serikat (dan dunia Barat pada
umumnya) ditandai dengan pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi
mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulai Mei 1968), penolakan terhadap
establishment (kemapanan).
Dunia pendidikan menanggapi situasi ini dengan cara berbeda-beda.
Salah satu reaksi paling penting adalah memberi perhatian khusus kepada social
issues dalam kuliah tentang manajemen. Beberapa sekolah bisnis mulai
mencantumkan mata kuliah baru dalam kurikulumnya yang biasa diberi nama
Business and Society. Salah satu topik yang menjadi populer dalam konteks itu
adalah corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan).
Pendekatan ini diadakan dari segi manajemen, dengan sebagian melibatkan juga
hukum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis di sini belum dimanfaatkan.

3. Etika Bisnis Lahir di Amerika Serikat: Tahun 1970-an


Etika bisnis lahir sebagai sebuah ilmu pertama kali terbentuk di Amerika
Serikat sejak tahun 1970-an. Para filsuf memulai memikirkan soal etika bisnis
dan ini merupakan sebuah tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang
menyelimuti dunia bisnis di Amerika Serikat. Konfernsi perdana etika bisnis
terjadi di Universitas Kansas oleh Philosophy Depertement yakni Richard De
George dan Collage of Business, Joseph Pichler pada November 1974. Selain itu
pula, adanya sebuah krisis moral di Amerika Serikat yang mana melahirkan
aneka demonstran di jalan-jalan yang mengutuk keterlibatan Amerika Serikat
dalam perang melawan Vietnam. Krisis moral itu menguak dengan mendesak
presiden Richard Nixon untuk mengundurkan diri. Selain itu, ada pula praktek
suap-menyuap antara para politisi menjadi persoalan utama penurunan nilai-
nilai moral. Atas reaksi ini, para akademisi melakukan sebuah refleksi atas
situasi itu dan melahirkan etika bisnis itu sendiri. Hal ini ditandai dengan
dibentuknya Committee for Education in Business Ethics.

4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an


Di Eropa Barat etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-
kira 10 tahun kemudian. Mula-mula di Inggris yang secara geografis maupun
kultural paling dekat dengan Amerika Serikat, kemudian meluas ke negara-
negara Eropa Barat lainnya. Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah
bisnis di Eropa mencantumkan mata kuliah etika bisnis dalam kurikulumnya.
Pada tahun 1987 didirikan European Business Ethics Network (EBEN)
yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta
sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional dan
internasional (seperti misalnya serikat buruh).

5. Etika Bisnis Menjadi Fenomena Global: Tahun 1990-an


Pada era ini sangat jelas bahwa etika bisnis tidak hanya terlihat di dunia
Barat semata namun bertumbuh dan berkembang secara global. Etika bisnis
tidak hanya bersifat nasional tetapi secara internasional. Kini etika bisnis
diajarkan di seluruh dunia.

 Faktor Sejarah dan Budaya Dalam Etika Bisnis


1. Kebudayaan Yunani Kuno
Masyarakat Yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap
kegiatan dagang dan kekayaan.
Bukti lain yang kerap lain dikemukakan untuk nama buruk dari
perdagangan dalam masyarakat Yunani kuno adalah kenyataan bahwa dewa
Yunani Hermes dihormati sebagai dewa pelindung baik bagi pedagang maupun
pencuri. Memang benar, Hermes menjadi dewa pelindung untung dua golongan
itu. Tetapi rupanya dengan itu tidak dimaksudkan suatu kualifikasi etis, yaitu
bahwa pedagang dapat disetarafkan dengan pencuri.

2. Agama Kristen
Masalah pandangan Kristen pra-reformasi tentang perdagangan perlu
didekati dengan nuansa yang seperlunya. Pada waktu itu memang ada teks-teks
yang sangat negatif terhadap moralitas perdagangan. Ada juga cukup banyak
pengarang Kristen yang memandang perdagangan dengan cara lebih positif.
Mereka melihat bisnis sebagai suatu usaha yang secara moral sekurang-
kurangnya netral.

3. Agama Islam
Dalam agama Islam tampak pandangan lebih positif terhadap
perdagangann dan kegiatan ekonomis. Dalam periode pra-modern pun tidak
ditemukan sikap kritis dan curiga terhadap bisnis. Nabi Muhammad sendiri
adalah seorang pedagang dan ajaran agama Islam mula-mula disebarluaskan
mula-mula melalui para pedagang Muslim.

4. Kebudayaan Jawa
Jika Clifford Geertz pada tahun 1950-an menyelidiki struktur sosial dari
kota Jawa Timur yang disebutnya Modjokuto (nama samaran untuk Pare), ia
menemukan 4 golongan: priyayi, para pedagang pribumi (wong dagang), orang
kecil yang bekerja sebagau buruh tani atau tukang (wong cilik), orang Tionghoa
(wong Cina) yang hampir semua bekerja di bidang perdagangan.

5. Sikap Modern Dewasa Ini


Sikap masyarakat modern tentang bisnis tentu saja berbeda dengan
masyarakat tradisional atau zaman dahulu. Sekarang pandangan terhadap bisnis
sangatlah luas artiannya. Pekerjaan bisnis zaman kini banyak yang
menggemarinya sebab membawa sukses dan dipandang sebagai sesuatu yang
terhormat jika dibandingkan dengan zaman dulu. Hal ini disebabkan oleh
perspektif negatif akan bisnis itu sendiri yang sangat menonjolkan sikap
egoisme. Hal ini kemudian dalam perjalanan dikritik oleh Adam Smith (1723-
1790) yang membuat distingsi antara kepentingan diri dan egoisme. Bagi
Smith, orang yang melakukan aktivitas bisnis memang mementingkan diri
sendiri, tapi tidak sampai merugikan orang lain. Artinya dalam relasi ini
keduanya sama-sama diuntungkan. Tentu saja dalam aktivitas bisnis itu sendiri
perlu dipegang nilai-nilai moral.
Problematika etika bisnis dewasa ini terletak pada persoalan kuasa.
Bisnis sekarang mewujudkan kuasa ekonomis yang luar biasa besar. Hal ini
membuat orang awam berada di luar control yang normal. Hal ini mau
menggambarkan bahwa adanya kesalahgunaan kuasa dalam tindakan bisnis
sehingga bisnis berada di luar rel etika.

 Kritik Atas Etika Bisnis


1. Etika Bisnis Mendiskriminasi
BAB 3
EKONOMI DAN KEADILAN

 Hakikat Keadilan
Penjelasan hukum Roma tentang keadilan bisa diterjemahkan sebagai:
memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya.
Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan:
- Keadilan selalu tertuju kepada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-
directedness. Artinya bahwa masalah keadilan hanya bida timbul dalam konteks
antar-manusia. Mustahil bila saya berlaku adil atau tidak adil terhadap diri saya
sendiri.
- Keadilan harus ditegakan atau dilaksanakan. Artinya bahwa keadilan itu
merupakan hak sekaligus kewajiban. Oleh karena itu bersifat “should” atau
harus dilakukan oleh siapa pun. Gambaran keadilan adalah timbangan seperti
yang dilukiskan dengan baik dalam mitologi Romawi, Dewi Iustita digambarkan
memegang timbangan dalam tangan. Artinya bahwa keadilan harus
dilaksanakan persis sesuai dengan bobot hak seseorang.
- Keadilan menuntut adanya persamaan (equality). Artinya bahwa harus
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa memandang
bulu.

 Pembagian Keadilan
1. Pembagian Klasik
Pembagian ini disebut klasik karena mempunyai tradisi yang panjang.
Cara pembagian keadilan ini ditemukan dalam kalangan thomisme, aliran
filsafat yang mengikuti jejak filsuf dan teolog besar, Thomas Aquinas.Keadilan
bisa dibedakan menjadi tiga:
- Keadilan umum (general justice): berdasarkan keadilan ini para anggota
masyarakat diwajibkan untuk memberikan kepada masyarakat apa yang
menjadi haknya. Landasannya adalah common good atau kebaikan bersama,
yang artinya harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
- Keadilan distributif (distributif justice): berdasarkan keadilan ini negara
harus memberikan keadilan yang sama bagi setiap warganya. Salah satunya
adalah perlindungan hukum bagi setiap individu dalam kehidupan
bernegara.
- Keadilan komutatif (communitative justice): berdasarkan keadilan ini setiap
orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal
ini berlaku bagi individu atau pun sosial.

2. Pembagian Pengarang Modern


John Boatright dan Manuel Velasquez menandaskan bahwa pembagian ini
melanjutkan pemikiran Aristoteles. Pengelompokkan keadilan menurut mereka:
- Keadilan distributif (distributive justice): dimengerti dengan cara yang sama
seperti pembagian klasik. Benefits and burdens, hal-hal yang enak untuk didapat
maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan, harus dibagi dengan adil.
- Keadilan retributif (retributive justice): berkaitan dengan terjadinya kesalahan.
Hukuman atau denda kepada orang yang bersalah harus bersifat adil. Ada 3
syarat dari hukum yang dapat dinilai adil:
a) Orang atau instansi yang dihukum harus tahu apa yang dilakukan dan
dilakukan dengan bebas.
b) Harus dipastikan bahwa orang yang dihukum itu benar-benar melakukan
perbuatan yang bersalah dan kesalahan itu dapat dibuktikan.
c) Hukuman harus konsisten dan proporsional dengan pelanggaran yang
dilakukan.
- Keadilan kompensatoris (compensatory justice): berdasarkan keadilan ini orang
mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi
kepada orang atau institusi yang dirugikan. Ada 3 syarat berlakunya kewajiban
kompensasi:
a) Tindakan yang mengakibatkan kerugian harus salah atau menyebabkan
kelalaian. Kalau kerugian disebabkan karena tindakan yang sah, tidak
ada kewajiban kompensasi.
b) Perbuatan seseorang harus sungguh-sungguh menyebabkan kerugian.
c) Kerugian harus disebabkan oleh orang yang bebas.

3. Keadilan Individual dan Keadilan Sosial


Keduanya keadilan ini berbeda karena pelaksanaannya berbeda pula.
Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu
orang saja atau beberapa orang. Sedangkan keadilan sosial tergantung dari
struktur-struktur masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya. Keadilan sosial tidak akan terlaksana apabila struktur-struktur
masyarakat tidak memungkinkan. Keadilan individu terpenui apabila hak-hak
individu terpenuhi. Keadilan sosial terlaksana, bila hak-hak sosial terpenuhi.

 Keadilan Distributif Pada Khususnya


Dalam teori etika modern, sering disebut dua macam prinsip untuk keadilan
distributif: prinsip formal dan prinsip material. Prinsip formal hanya ada satu.
Prinsip formal menyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan
dengan cara yang sama, sedangkan kasus-kasus yang tidak sama boleh saja
diperlakukan dengan cara tidak sama.
Prinsip-prinsip material keadilann distributif melengkapi prinsip formal.
Prinsip material menunjuk kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar
untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Beauchamp
dan Bowie menyebut prinsip material ada enam:
1) Kepada setiap orang bagian yang sama
Arti dari prinsip ini adalah kita membagi kepada semua orang dengan
adil atau kepada semua orang diberikan secara merata.
2) Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya
Arti dari prinsip ini adalah kita berlaku adail apabila kita membagi
sesuai dengan kebutuhan tiap orang.
3) Kepada setiap orang sesuai dengan haknya
Hak merupakan prinsip yang paling berpengaruh bagi keadilan pada
umumnya, termasuk keadilan distributif.
4) Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya
Pebagian dikatakan adil apabila dibagikan kepada mereka yang
mengeluarkan banyak usaha dan keringat patut diberikan yang pantas dari pada
yang tidak berusaha.
5) Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
Pejabat tinggi boleh diperlakukan dengan cara khusus dari masyarakat
biasa kerena kontribusinya kepada masyarakat lebih besar.
6) Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit)
Jasa juga menjadi alasan untuk memberikan sesuatu kepada satu orang
dan hal itu tidak untuk orang lain.

Berdasarkan prinsip-prinsip material ini telah dibentuk beberapa teori


keadilan distributif:
1) Teori Egalitarianisme
Teori egalitarianisme didasarkan atas prinsip pertama. Mereka
berpendapat bahwa kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat
bagian yang sama (equal).
Egalitarianisme ini pantas menyedot simapati kita, bahwa perlakuan
setiap manusia adalah sama. Secara historis ini merupakan cetusan sejak adanya
revolusi Prancis yang mana menumbangkan monarki absolut dan feodalisme.
Dalam artikel pertama dari “Deklarasi hak manusia dan warga negara” (1789)
yang dikeluarkan saat Revolusi Prancis dapat dibaca: “Manusia dilahirkan bebas
serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu.” Beberpa tahun
sebelumnya, Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence (1776)
sudah ditegaskan: “All men are created equal.” Hal ini kemudian merembes
kepada pemilihan umum sehingga pemilu pun diatur secara egalitarian, atas
dasar prinsip “one person one vote”.
Prinsip ini sangat sulit diterapkan dalam hal ekonomi dan bisnis.
Kesulitannya terletak pada bidang penggajian. Oleh karena itu, muncul juga
aneka reaksi menuntut diterapkannya teori ini. Salah satu tokoh terkenal adalah
Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialisme yang mendirikan sebuah surat
kabar “Liberation”. Forum ini digunakan untuk mengkritisi, melawan
kapitalisme dan menerapkan sistem penggajian egalitarian.

2) Teori Sosialitis
Pandangan dari teori ini adalah masyarakat diatur dengan adil, jika
kebutuhan tiap warga terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi; sandang, pangan, dan
papan. Secara konkret, sosialisme memperhatikan masalah-masalah sosial
seperti permasalahan kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Teori
sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip yang diutarakan oleh Karl
Marx yang diambil oleh seorang sosialis, Louis Blanc: “from each according to
his ability, to each according to his needs.”
Bagian pertama dari prinsip ini berbicara tentang bagaimana burdens
harus dibagi-bagi; hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian kedua
dari prinsip ini menjelaskan bagaimana benefits harus dibagi; hal-hal yang enak
untuk didapat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dan
kemampuan memang tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan keadilan
ditributif. Tetapi ada kesulitan besar juga apabila prinsip ini dipakai sebagai
pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif.

3) Teori Liberalistis
Liberalistis justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai
tidak adil. Liberalistis menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider, benalu
yang menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat
sendiri.
Dalam teori liberalistis tentang keadilan distributif digarisbawahi
pentingnya prinsip 3 (hak), prinsip 4 (usaha) tapi secara khusus prinsip 6 (jasa
atau prestasi). Terutama prestasi mereka lihat sebagai perwujudan pilihan bebas
seseorang
Salah satu kesulitan pokok dengan teori keadilan distributif ini adalah:
bagaimana dengan orang yang tidak bisa berprestasi karena cacat mental atau
fisik, orang yang menganggur di luar kemauannya sendiri, dan sebagainya,
mereka pun sebenarnya ingin berprestasi juga, tetapi tidak bisa. Apakah cara
seperti itu adil?

 John Rawls Tentang Keadilan Distributif


John Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, tahun
1921. Pendidikannya di bidang ekonomi dan filsafat. Rawls dikenal melauhi karya-
karyanya. Salah satu karyanya adalah buku A Teory of Justice yang dipublikasikan
pada tahun 1971. Ini adalah salah satu buku filsafat yang lahir dari abad-20 yang
paling banyak disoroti dan dikritisi. Buku kedua yang begitu pengaruh bagi dunia
adalah Political Liberalism.
Terkadang pandangan Rawls tentang keadilan disebut egalitarianisme. Hal
itu pasti tidak boleh dimengerti dalam arti egalitarianisme radikal, tetapi titik
tolaknya memang egalitarian. Rawls berpendapat, kita membagi dengan adil dalam
masyarakat, jika kita membagi rata, kecuali ada alasan untuk membagi dengan cara
lain.
Bagi Rawls, yang harus dibagi dengan adil dalam masyarakat adalah the
social primery goods (nilai-nilai sosial yang primer). Artinya hal-hal yang sangat
kita butuhkan untuk dapat hidup lebih baik atau pantas sebagai manusia dan warga
masyarakat. Menurut Rawls, yang termasuk nilai-nilai sosial primer, adalah:
1) Kebebasan-kebebasan dasar, seperti kebebasan mengemukaan pendapat, bebas
berkumpul, integritas pribadi, dan bebas dalam politik
2) Kebebasan bergerak dan kebebasan memilih profesi
3) Kuasa dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi
penuh tanggung jawab
4) Pendapat dan milik
5) Dasar-dasar sosial dan harga diri (self-respect).
Menurut Rawls keadilan harus dipahami secara fairness. Fairness berarti
keadilan yang yang didasarkan atas prosedur yang wajar (tidak direkayasa atau
manipulasi).Pada perumusan prinsip keadilan distributif ini, terlebih dahulu kita
harus memasuki the original position atau posisi asali. Artinya kita seolah-olah
harus keluar dari masyarakat di mana kita hidup adanya. Menurut Rawls, sambil
berada di posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut:
Prinsip pertama : setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan
dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-
kebebasan yang sejenis untuk semua orang
Prinsip kedua : ketidak samaan sosial dan ekonomis diatur demikian rupa
sehingga:
a) Menguntungkan terutama orang-orang yang minimal
beruntung, dan serentak juga
b) Melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka
bagi semua orang dalam keadaan yang menjalin persamaan
yang fair.
Prinsip 1 dapat disebut “kebebasan yang sedapat mungkin sama”. Dalam
hal ini Rawls menganut egalitarianisme. Prinsip 2 bagian a disebut prinsip
perbedaan (difference principle). Supaya masayarakat diatur dengan adil, tidak
perlu semua orang mendapat hal-hal yang sama. Dengan itu Rawls menolak
egalitarianisme radikal. Prinsip 2 bagian b disebut “prinsip persamaan peluang yang
fair. Adanya jabatan dan posisi yang penting juga mengakibatkan ketidaksamaan
dalam masyarakat. Keadaan akan menjadi tidak adil apabila adanya diskriminasi.
Dari prinsip-prinsip ini, Rawls kemudian membuat sebuah kesimpulan
bahwa prinsip yang harus dijadikan prioritas adalah prinsip “kebebasan yang
sedapat mungkin sama”.
 Robert Nozick Tentang Keadilan Distributif
Robert Nozick adalah seorang professor filsafat di Universitas Harvard.
Pemikiran tentang keadilan bisa dilihat sebagai antipode Rawls. Sasaran kritiknya
adalah prinsip perbedaan dari Rawls.Teori tentang keadilan distributif oleh Nozick
disebut sebagai “entitlement theory”. Term entitlement dapat diterjemahkan dengan
“landasan hak”. Menurut Nozick, kita memiliki sesuatu dengan adil, jika pemilikian
itu berasal dari keputusan bebas yang mempunyai landasan hak. Ada tiga
kemungkinan yang menelurkan tiga prinsip, yakni:
- Prinsip originalacquisition: kita memperoleh sesuatu untuk pertama kali
- Prinsip transfer: kita memperoleh sesuatu karena diberikan oleh orang lain
- Prinsip rectification of injustice: kita memperoleh sesuatu kembali yang
sebelumnya dicuri dari kita, umpamanya.

Nozick mempunyai dua keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip


(material) keadilan distributif yang tradisional. Prinsip-prinsip itu bersifat historis
dan mempunyai pola yang ditentukan sebelumnya (patterned). Ketiga prinsip
Nozick tadi merupakan prinsip-prinsip historis, artinya mereke tidak saja melihat
hasil pembagian tetapi mempertanggungjawabkan juga proses yang melandaskan
pembagian atau pemilihan. Keberatan yang disampaikan di atas juga berlaku bagi
prinsip perbedaan yang dikemukaan oleh Rawls. Rawls hanya melihat keadaan
actual dari mereka yang minimal beruntung.

Keberatan kedua adalah bahwa prinsip-prinsip tradisional menerapkan pada


pembagian barang suatu pola yang ditentukan sebelumnya. Prinsip-prinsip itu
semua bersifat “pattern”. Supaya adil, prinsip-prinsip yang berpola itu hanya bisa
dipakai pada keadaan awal ketika semua orang masih sama, tetapi tidak bisa dipakai
lagi setelah para anggota masyarakat memiliki harta milik yang berbeda-beda,
akibat menjalani hak-haknya yang legim dengan bebas. Ini juga berlaku bagi
pemikiran Rawls mengenai konsep posisi asli (original position).
Kesimpula Nozick adalah bahwa keadilan ditegakkan, jika diakui bakat-
bakat dan sifat-sifat pribadi beserta segala konsekuensinya (seperti hasil kerja)
sebagai satu-satunya landasan hak (entitlement).

 Keadilan Ekonomis
Keadilan memegang peranan penting dalam konteks ekonomi dan bisnis,
karena menyangkut barang yang diincar banyak orang untuk dimiliki. Dipandang
dalam perspektif historis, pengertian “keadilan ekonomis” tidak selalu mendapat
perhatian yang sama. Sejarawan ide sosial dan politik berkebangsaan Kanada, C.B.
MacPherson, berpendapat bahwa pengertian ini mengalami gerak pasang-surut yang
cukup mencolok dalam sejarah. Dalam zaman kuno, keadilan ekonomis diberi
tempat penting, khususnya pada Aristoteles. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan
dalam masyarakat Abad Pertengahan, khususnya oleh Thomas Aquinas. Dalam
zaman modern keadilan ekonomis tidak banyak diperhatikan, sampai muncul lagi
dengan kuatnya sekitar pertengahan abad ke-19 dan berperan penting dalam
demokrasi-demokrasi parlementer sepanjang abad ke-20.
Masyarakat tidak mungkin diatur secara baik (well-ordered) jika tidak
ditandai dengan keadilan. Pada awalnya karya besar John Rawls menegaskan bahwa
keadilan merupakan keutamaan khas untuk lembaga-lembaga sosial, sama seperti
kebenaran merupakan ciri khas sebuah teori.
Dalam konteks ekonomi dan bisnis, keadilan ekonomis harus diwujudkan
dalam masyarakat, tetapi keadilan juga merupakan keutamaan yang harus dimiliki
oleh pelaku bisnis. Pebisnis pun tidak merupakan homo economicus saja, tetapi
harus memberi tempat kepada nilai-nilai moral dalam mengadanya di dunia. Oleh
karena itu, keadilan menjadi sangat penting untuk ditegakan dan dijalankan.
BAB 4
LIBERALISME DAN SOSIALISME SEBAGAI PERJUANGAN MORAL

 Tinjauan Historis
1. John Locke dan Milik Pribadi
John Locke (1623-1704), seorang filsuf Inggris yang banyak mendalami
masalah-masalah social politik, secara umum diakui sebagai orang yang pertama
kali mendasarkan teori liberalisme tentang milik. Menurut Locke, manusia
mempunyai tiga “hak kodrat” (natural rights): “life, freedom, and property”.
Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang milik di
kemudian hari. Pemikirannya ini diuraikan dalam buku Two Treatises of
Government (1690).
Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa ciri kapitalisme
liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx. Pertama, Locke
mengandaikan begitu saja bahwa pekerjaan pun harus diukur atas dasar nilai
tukarnya, artinya sebagai komoditas pasaran. Kedua, Locke mengandaikan juga
bahwa hasil kerja karyawan menjadi milik sah dari pemilik tanah atau pemilik
sarana produksi lain.

2. Adam Smith dan Pasar Bebas


Tokoh lain yang pantas dibahas dalam rangka liberalisme adalah orang
Skotlandia, Adam Smith (1723-1790). Ia menjabat sebagai profesor moral
philosophy di Universitas Glasgow sampai 1764, ketika ia menerima tugas
sebagai guru pribadi untuk keluarga bangsawan yang kaya raya.
Adam Smith menjadi terkenal karena dengan gigih membela pasar bebas
di bidang ekonomi. Pemikirannya tentang sistem ekonomi pasar bebas
mempunyai beberapa implikasi etika yang menarik. Motivasi untuk mengambil
bagian dalam kegiatan tukar-menukar di pasar adalah kepentingan diri. Tetapi,
dari situ kita tidak boleh langsung menarik kesimpulan bahwa kegiatan
ekonomis di pasar tidak etis. Smith bertolak dari fakta bahwa setiap manusia
didorong oleh “the universal desire to better his own condition”.
Adam Smith tentu bukan filsuf pertama yang membedakan antara
kepentingan diri dan egoisme, tapi ia melihat pentingnya khusus untuk relasi-
relasi ekonomis. Kepentingan diri merupakan motivasi utama yang mendorong
kita untuk mengadakan kegiatan ekonomis.
Dengan menerima pasar bebas, Smith menerima juga kompetisi sebagai
cara yang efisien untuk mewujudkan kebebasan di bidang ekonomi. Berulang
kali ia memuji efek positif dari kompetisi ekonomis yang membawa manfaat
untuk produsen, pekerja, maupun konsumen. Tetapi, supaya betul-betul
mewujudkan kebebasan, perlulah kompetisi ditantai persamaan (equality),
artinya semua peserta harus bisa berangkat dari posisi yang sama.

3. Marxisme dan Kritiknya Atas Milik Pribadi


Yang dimaksud dengan marxisme adalah pemikiran Karl Marx (1818-
1882) bersama dengan teman seperjuangannya, Friedrich Engels (1820-1895).
Marxisme merupakan ajaran sosial-ekonomi-politik yang sangat kompleks dan
tidak mudah untuk disingkatkan tanpa mengobankan cukup banyak unsur yang
sebenarnya hakiki juga. Kita ingin memandang marxisme sebagai kritik atas
teori liberalistis tentang milik yang serentak juga merupakan usaha untuk
menyajikan suatu alternatif. Usaha itu meliputi dua aspek: aspek ilmiah dan
aspek etis.
Teori mereka sebagai suatu sosialisme ilmiah, bertentangan dengan
sosialisme utopis dari banyak pemikir sosial pada waktu itu yang menurut
mereka tidak mempunyai dsar yang kukuh. Bagi Marx dan Engels, hukum-
hukum ilmiah yang mereka rumuskan adalah hukum-hukum sejarah, bukan
hukum-hukum alam. Atas dasar hukum-hukum sejarah itu, mereka berpretensi
juga dapat memprediksi perkembangan masyarakat yang akan datang.
Teori marxisme juga mempunyai suatu segi etis. Inti kritik etis itu adalah
paham “aliensi” atau “keterasingan” (alienation). Menurut marxisme, dalam
sistem kapitalisme liberal manusia itu terasing dari dirinya sendiri, terasing dari
kodratnya sebagai manusia.
Bisa dikatakan juga marxisme menolak pemilikan pribadi atas kapital
atau modal, sebab yang memiliki kapital dengan sendirinya memilki juga
sarana-sarana produksi. Ciri kapitalisme yang paling jelek adalah bahwa mereka
mempekerjakan orang lain untuk memperkaya diri. Menurut marxisme, lembaga
milik pribadi pada dasarnya merupakan penindasan atau eksploitasi kaum
pekerja. Kapitalis menjadi pemilik dengan mengisap tenaga kerja orang lain. Di
sini dengan jelas tampak inspirasi etis dari marxisme. Tujuannya bukan
menghapus milik pribadi begitu saja, melainkan secara radikal menentang
penindasan atau eksploitasi yang berasal dari pemilikan eksklusif atas sarana-
sarana produksi. Menurut mereka, cara pemilikan itu harus diganti dengan
sistem milik kolektif.

 Pertentangan dan Perdamaian antara Liberalisme dan Sosialisme


1. Liberalisme
Inti pemikiran liberalisme adalah tekanannya pada kebebasan individual
(liber Lat.= bebas). Tugas pokok negara menurut pandangan liberalisme secara
klasik dilukiskan sebagai nightwatch state, “negara jaga malam”, karena negara
harus membatasi diri dari perlindungan dan pengamanan para warga negara.
Di bidang ekonomi pun liberalisme menggunakan kebebasan pribadi.
Semboyan terkenal dari liberalisme klasik adalah laissez faire, kata-kata Prancis
yang berarti “biar saja berjalan” atau jika dirumuskan secara negatif “jangan
campur tangan”.

2. Sosialisme
Jika digambarkan secara agak kasar dan umum, pertentangan antara
liberalisme dan sosialisme dapat dirumuskan sebagai berikut. Liberalisme
menempatkan individu di atas masyarakat, sedangkan sosialisme menempatkan
masyarakat di atas individu. “Sosialisme” berasal dari kata latin socius yang
berarti “teman” atau “kawan”. Sosialisme memandang manusia sebagai
makhluk sosial atau sebagai sesama yang hidup bersama orang lain. liberalisme
lebih cenderung melihat manusia sebagai individu yang mempunyai kebebasan
masing-masing. Kalau liberalisme menekankan hak atas milik pribadi, maka
sosialisme ingin mengatur lembaga milik demikian rupa sehingga dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat. Di sini akan dibahas dua bentuk sosialisme:
a) Sosialisme Komunistis
Sosialisme komunistis atau komunisme (communis
Lat.=bersama) menolak milik pribadi. Menurut mereka, milik harus
menjadi milik bersama atau milik kolektif. Tetapi, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Karl Marx tidak menolak semua milik pribadi.
Karl Marx dan pengikut-pengikutnya membedakan antara pemilikan
barang konsumsi dan pemilikan sarana-sarana produksi. Barang
konsumsi adalah barang yang dipakai oleh seseorang bersama dengan
keluarganya, seperti rumah, kendaraan, fasilitas olah raga, koleksi buku
dan lain sebagainya. Yang tidak boleh menjadi milik pribadi adalah
sarana-sarana produksi, seperti pabrik.
Dengan amat tepat sistem ekonomi komunistis sering disebut
juga planned economy, “ekonomi berencana”. Di negara-negara
komunis, ekonomi direncanakan dengan ketat dari atas. Harga jual,
besarnya gaji, volume produksi dan semua faktor ekonomi lain
dikomando oleh pemerintah.

b) Sosialisme Demokratis
Sosialisme demokratis juga menempatkan masyarakat di atas
individu. Tetapi berbeda dengan komunisme, mereka tidak bersedia
mengorbankan sistem pemerintahan demokratis yang mereka anggap
sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga. Karena itu,
mereka ingin mewujudkan cita-cita sosialistis melalui jalan demokratis.
Marx dan Engels pernah menganjurkan: “Kaum buruh seluruh dunia
bersatulah.” Sosialisme demokratis pun beranggapan bahwa jumlah
besar kaum buruh merupakan peluang khusus untuk berhasil. Karena itu,
mereka terjun ke ajang politik melalui partai sosialis yang tulang
punggungnya adalah serikat-serikat buruh.
Usaha demokratis yang lain ialah memperbaiki kesejahteraan
kaum pekerja melalui perundang-undangan sosial. Kesejahteraan dan
keselamatan keja ditingkatkan, ditentukan syarat-syarat untuk
memberhentikan para pekerja. Ditetapkan jumlah upah minimum.
Dibangun sistem jaminan sosial untuk mereka yang sudah tidak bisa lagi
bekerja karena sakit atau sudah tua. Welfare state yang modern sebagian
besar dihasilkan oleh perjuangan sosialisme demokratis.

3. Kekuatan dan Kelemahan


Kekuatan liberalisme adalah bahwa milik pribadi diakui sebagai cara
penting untuk mewujudkan kebebasan pribadi. Sedangkan kelemahan
liberalisme yang utama adalah bahwa mereka kurang memperhatikan nasib
kaum miskin dan orang kurang beruntung dalam perjuangan hidup, seperti kaum
buruh dalam masyarakat berindustri.
Kekuatan sosialisme adalah mereka menemukan dimensi transindividual
dari milik. Milik selalu mempunyai suatu fungsi social dan tidak boleh dibatasi
pada kepentingan pribadi saja. Sosialisme mempunyai kelemahan yang terasa
cukup besar, bahkan menjadi fatal untuk sistem pemerintahan sosialistis.
Ekonomi yang direncakan dengan ketat dari atas ternyata tidak bisa berhasil.
Ekonomi yang dijalankan menurut pandangan sosialisme demokratis mengalami
nasib yang sama. Nasionalisasi industri penting ternyata tidak merupakan cara
terbaik untuk menggairahkan ekonomi.

4. Menuju Perdamaian

Anda mungkin juga menyukai