Anda di halaman 1dari 47

ETIKA BISNIS

BAB I
Bisnis Dan Etika Dalam Dunia Modern

Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis


Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor yang turut mempengaruhi
dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada faktor organisatoris – manajerial, ilmiah –
teknologis, dan politik – sosial – kultural.Bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti sekurang –
kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan, yaitu
sudut pandang ekonomi, hokum, dan etika.
a.Sudut Pandang Ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar menukar, jual –
beli, memproduksi – memasarkan, bekerja – memperkerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya
dengan maksud memperoleh untung. Bisnis dapat dilogiskan sebagai kegiatan ekonomis yang
kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan keuntungan. Dalam bisnis
modern, untung diekspresikan dalam bentuk uang. Tetapi hal itu tidak hakiki untuk bisnis. Bisnis
berlangsung sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan untuk kedua belah pihak yang
melibatkan diri. Bisnis bukanlah karya amal. Bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu
orang dengan sepihak, tanpa mengharapkan suatu kembali.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas para pengusaha
dengan memanfaatkan sumber daya langka, menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi
masyarakat.
Efisiensi ekonomis artinya hasil maksimal akan dicapai dengan pengeluaran minimal. Efisiensi
merupakan kata kunci dalam ekonomi modern.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang
membawa banyak untung.

b. Sudut Pandang Moral


Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis, perlu segera
ditambahkan adanya sudut pandang lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral.
Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik
adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah perlu ditekankan, arti moralnya merupakan
salah satu arti penting bagi kata “ baik “. Perilaku yang baik merupakan perilaku yang sesuai
dengan norma – norma moral, perilaku yang buruk bertentangan atau menyimpang dari norma –
norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai baik menurut arti terdalam justru kala memenuhi
standard etis tersebut.
c.Sudut Pandang Hukum
Tidak bisa diragukan lagi, bisnis terikat juga oleh hukum. “ Hukum Dagang “ atau “ Hukum
Bisnis “merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Seperti etika pula, hukum
merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.
Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal pepatah : “
Quid leges sine moribus? “, yang berarti “ Apa artinya undang – undang, kalau tidak disertai
moralitas? “
Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam
norma itu tidak sama. Disamping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang
moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, banyak hal bersifat tidak etis,
sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak semuanya yang bersifat immoral adalah ilegal
juga. Malah ada perilaku yang dari segi moral sangat penting, tetapi tidak diatur oleh hukum.
Kedua, bahwa proses terbentuknya undang – undang atau peraturan hukum memakan waktu
lama, sehingga masalah – masalah baru tidak bisa segera diatur secara hukum. Ketiga, bahwa
hukum itu sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna sehingga
orang yang beritikat buruk bisa memanfaatkan celah – celah dalam hukum. Alasan yang keempat
cukup dekat dengan itu. Bisa terjadi, hukum memang bisa dirumuskan dengan baik, tetapi karena
salah satu alasan sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan control yang efektif.
Kelima, hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri
tidak di definisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral.

Tolak Ukur Untuk Tiga Sudut Pandang Ini


a. Hati Nurani
Suatu perbuatan adalah baik jika dilakukan sesuai hati nurani dan suatu perbuatan adalah buruk
jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani adalah norma yang sering kali sulit
dipakai dalam forum umum dan harus dilengkapi dengan norma – norma yang laen.

b. Kaidah Emas
Cara lebih objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan
kaidah emas yang berbunyi : “ hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri
ingin diperlakukan. “
Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negatif. Tadi diberikan perumusan
positif. Bila dirumuskan secara negatif, kaidah emas berbunyi : “ janganlah melakukan terhadap
orang lain, apa yang anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri anda. “
c. Penilaian Umum
Cara ketiga dan barangkali yang paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan
adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga “
audit sosial. “
Sejauh masyarakat yang menilai masih terbatas, hasil penilaiannya mudah bersifat subjektif.
Untuk mencapai suatu tahap objektif, perlu penilaian moral dijalankan dalam suatu forum yang
seluas mungkin. Karena itu “ audit sosial “ menuntut adanya ketebukaan.
Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good business, tingkah laku bisnis harus memenuhi
syarat – syarat dari semua sudut pandang tadi.

2.Apa Itu Etika Bisnis?

Kata “ etika “ dan “ etis “ tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Untuk menganalisis arti –
arti etika adalah membedakan antara “ etika sebagai praksis “ dan “ etika sebagai refleksi. “ Etika
sebagai praksis berarti : nilai – nilai dan norma – norma moral sejauh dipraktekkan atau justru
tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Dapat juga dikatakan, etika sebagai
praksis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas : apa yang harus dilakukan, tidak
boleh dilakukan, pantas dilakukan, dsb.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi, kita berpikir tentang
apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang.
Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan
seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu
etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya manusia. Karena itu etika dalam
arti ini disebut juga filsafat praktis.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis dapat dijalankan pada tiga taraf : taraf makro,
meso, dan mikro. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek – aspek moral dari sistem
ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, disini masalah – masalah etika disoroti pada skala besar.
Pada taraf meso, etika bisnis menyelidiki masalah – masalah etis dibidang organisasi. Pada taraf
mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Disini
mempelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, dll.

3.Perkembangan Etika Bisnis

Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Sejak
manusia terjun dari perniagaan, kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis. Aktivitas perniagaan
selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus mempertimbangkan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Belum pernah dalam sejarah, etika bisnis mendapat perhatian begitu besar
dan intensif seperti sekarang ini. Richard De George mengusulkan untuk membedakan antara
etika dalam bisnis dan etika bisnis. Etika dalam bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu
topik disamping sekian banyak topik lainnnya. Etika dalam bisnis belum merupakan suatu
bidang khusus yang memiliki corak dan identitas tersendiri. Etika dalam bisnis mempunyai
riwayat yang sudah panjang sekali, sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali. Etika bisnis
dalam arti khusus ini pertama kali timbul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Dengan
memanfaatkan dan memperluas pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima periode
dalam perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis, yaitu situasi dahulu, masa
peralihan : tahun 1960an, etika bisnis lahir di Amerika Serikat tahun 1970an, etika bisnis meluas
ke Eropa tahun 1980an, dan etika bisnis menjadi fenomena global tahun 1990an.

4.Profil Etika Bisnis Dewasa Ini

Praktis di segala kawasan dunia etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi.
Menurut dugaan De George, tahun 1987, di Amerika Serikat saja diberikan lebih dari 500 kuliah
etika bisnis, yang melibatkan lebih dari 40.000 mahasiswa.
Banyak sekali publikasi diterbitkan tentang etika bisnis. Pada tahun 1987 De George menyebut
paling sedikit 20 buku pegangan tentang etika bisnis dan 10 buku kasus di Amerika Serikat.
Sekurang – kurangnya ada tiga seri buku tentang etika bisnis, yaitu The Ruffin Series In
Business Attics, Issues In Business Attics, Sage Series In Business Attics.
Sudah ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis.
Dalam bahasa Jerman sudah tersedia kamus tentang etika bisnis : Lexikon der Wirtschaftsethik
(Kamus Etika Ekonomi)
Sekarang dapat ditemukan juga cukup banyak institut penelitian yang mendalami masalah etika
bisnis.
Sudah didirikan beberapa asosiasi dengan tujuan khusus memajukan etika bisnis.
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program studi tingkat S2 dan S3
khusus di bidang etika bisnis.

5.Faktor Sejarah Dan Budaya Dalam Etika Bisnis

Dewasa ini orang akan merasa bangga, bila dapat menunjukkan kartu nama yang
menyingkapkan identitasnya sebagai direktur atau manajer perusahaan yang ternama. Bisnis
sebagai pekerjaan tidak dinilai kurang dari profesi lain, terutama kalau menghasilkan pendapatan
tinggi.
Jika kita mempelajari sejarah dunia barat, sikap positif ini tidak selamanya menandai pandangan
terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad – abad lamanya terdapat tendensi cukup kuat yang
memandang bisnis atau perdagangan sebagai kegiatan yang tidak pantas bagi manusia beradab.
Pedagang tidak mempunyai nama baik dalam masyarakat barat di masa lampau. Orang seperti
pedagang jelas – jelas dicurigai kualitas etisnya. Sikap negatif ini berlangsung terus sampai
zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu industrialisasi.

6.Kritik Atas Etika Bisnis

Etika bisnis sebagai usaha intelektual dan akademis yang baru pasti masih menderita banyak “
penyakit anak. ” Banyak hal yang perlu dikerjakan lagi dan banyak hal yang sudah dikerjakan
perlu disempurnakan. Karena itu etika bisnis harus terbuka bagi kritik yang membangun.
Dibawah ini akan dibahas beberapa contoh. Barangkali penjelasan ini bisa membantu
mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang maksud etika bisnis sekarang ini.

a.Etika Bisnis Mendiskriminasi

Kritik pertama ini berasal dari Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen. Inti
keberatan Drucker ialah bahwa etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi. Mengapa dunia
bisnis harus dibebankan dengan etika? Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang tidak bersifat
immoral atau ilegal kalau dilakukan orang biasa menjadi immoral atau ilegal kalau dilakukan
oleh orang bisnis. Dan Drucker menyimpulkan bahwa etika bisnis itu menunjukkan adanya sisa –
sisa dari permusuhan yang lama terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis. Kritiknya berasal dari
salah paham besar terhadap etika bisnis. Justru karena orang bisnis merupakan orang biasa,
mereka membutuhkan etika. Adanya etika bisnis membuktikan bahwa bagi bisnis justru tidak
ada pengecualian.

b.Etika Bisnis Itu Kontradiktif

Kritik ini ditemukan dalam kalangan populer yang cukup luas. Orang – orang ini menilai etika
bisnis sebagai suatu usaha naïf. Dunia bisnis itu ibarat rimba raya dimana tidak ada tempat untuk
etika. Etika dan bisnis bagaikan air dan minyak.

c.Etika Bisnis Tidak Praktis

Andrew Stark, seorang dosen manajemen di Universitas Toronto memberikan kritik yang cukup
pedas. Menurut Stark, etika bisnis adalah “ too general, too theoretical, too impractical. “ Ia
menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para professional di
bidang manajemen. Dan ia memberi komentar : apa yang mereka hasilkan itu seringkali lebih
mirip filsafat sosial yang muluk – muluk daripada advis etika yang berguna untuk para
profesional. Karena itu kita mencoba untuk menanggapinya sebagai berikut. Pertama, Stark
hanya memandang dan mengutip artikel dan buku ilmiah tentang etika bisnis. Kedua, Stark
merupakan contoh tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam
etika bisnis. Ia hanya memperhatikan aspek – aspek etis dari keputusan yang harus diambil
manajer dan kurang berminat untuk kerangka menyeluruh dimana pekerjaannya ditempatkan.
Ketiga, sebagai ilmu, etika bisnis selalu bergerak pada taraf refleksi dan akibatnya pada taraf
teoritis juga.

d.Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggung Jawab

Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh
para pebisnis dan manajer itu sendiri. Kritik tersebut merupakan salah paham. Etika bisnis sama
sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para pebisnis. Etika bisnis tidak
berpretensi memiliki keahlian yang sama sifatnya seperti banyak keahlian yang lain. Etika bisnis
tidak bermaksud mengganti tempat dari orang yang mengambil keputusan moral. Etika bisnis
bisa membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi tidak
berniat mengganti tempat dari para pelaku moral dalam perusahaan. Bagi etika bisnis berlaku
peribahasa inggris : “ you can lead the horse to the water, but you cannot make him drink. “
BAB II
TEORI ETIKA
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” = Adat Istiadat
Etika merupakan nilai-nilai, tata cara, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut
dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain
yang terwujud dalam pola perilaku dan dilakukan berulang dalam waktu yang lama. Etika tidak
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus
bertindak.

A. Norma
Norma merupakan sebuah aturan atau ukuran mengenai bagaimana manusia hidup dan bertinda
dengan baik dan menjadi dasar baik buruknya suatu perilaku / tindakan. Norma dibagi menjadi 2
macam:
(1) Norma Umum
Norma Umum bersifat umum dan sampai pada tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat
universal.
–Norma Sopan Santun atau norma etiket : norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah
dalam pergaulan sehari-hari
Etika tidak sama dengan Etiket, Etiket hanya menyangkut perilaku lahiriah yang
menyangkut sopan santun atau tata krama
–Norma Hukum: norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena
dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
– Norma Moral: aturan mengenai sikap dan perilaku manusia
(2) Norma Khusus : aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan khusus / tertentu. contoh:
aturan pendidikan

B. Teori Etika
1. Etika Teleologi
Berasal dari kata Yunani, telos = tujuan -> Mengukur baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang
ditimbulkan oleh tindakan itu. Contoh: seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan
ibunya yang sedang sakit (tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh
tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik). Atas
dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu
tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.Adapun Alirannya adalah:
– Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme -> tindakan setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar
pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egoisme akan menjadi persoalan yang serius ketika
cenderung menjadi hedonistis ( ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan
semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar)
– Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin “utilis” -> Bermanfaat
Menurut teori ini, suatu tindakan atau perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat, tidak
hanya 1 atau 2 orang saja melainkan bermanfaat untuk masyarakat
Dalam rangka pemikirannya, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu tindakan atau
perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam :
a. Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
b. Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)

2. Deontologi
Berasal dari kata Yunani “deon” -> kewajiban. ‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu
harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
– Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban
– Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu
melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik
– Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan
yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal

3. Teori Hak: pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu
perbuatan atau perilaku.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak
dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia
dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran
demokratis.

4. Teori Keutamaan ( Virtue): Memandang sikap atau akhlak seseorang.


Apa yang dimaksud dengan keutamaan?keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut: diposisi
watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara
moral. Ada banyak keutamaan dan semua keutamaan dan semua keutamaan untuk setiap orang
dan untuk setiap kegiatan. Diantara keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan bisa
disebut: kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan.
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus
dimiliki oleh pelaku bisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan berbohong
atau menipu dalam transaksi bisnis, bahkan kalau penipuan sebenarnya gampang. Perlu diakui,
tentang keutamaan kejujuran kadang-kadang ada kesulitan juga. Garis perbatasan antara
kejujuran dan ketidakjujuran tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.
Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan “keadilan” dan memang fairness dekat dengan paham
“keadilan” tapi tidak sama juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah: sikap
wajar. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dengan
semeua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua orang yang
terlibat dalam suatu transaksi.
Kepercayaan (trust) juga adalah keutamaan yang pentng dalam konteks bisnis. Kepercayaan
harus ditempatkan dalam relasi timbale balik. Ada beberapa cara untuk mengamankan
kepercayaan. Salah satu cara ialah member garansi atau jaminan.
Keutamaan keempat adalah keuletan (Solomon menggunakan kata toughness). Pebisnis harus
bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang
terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia harus berani juga mengambil
risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak bisa diramalkan
sebelumnya.
Kelompok keutamaan lain menandai orang bisnis pada taraf perusahaan. Dengan kata lain,
keutamaan-keutamaan ini dimiliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan.
Keempat keutamaan ini adalah: keramahan, loyalitas, kehormatan, dan rasa malu.
BAB III
EKONOMI DAN KEADILAN
Hakikat keadilan
Keadilan dapat diartikan sebagai to give everybody his own (memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya).
Ciri khas keadilan :
1. Keadilan tertuju pada orang lain
2. Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan
3. Keadilan menuntut persamaan (equality)
4. Pembagian keadilan
Pembagian keadilan menurut Thomas Aquinas (1225-1274) yang mendasarkan pandangan
filosofisnya atas pemikiran Aristoteles (384-322 SM) disebut juga pembagian klasik,
membedakan keadilan menjadi :
1. Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat
diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa yang menjadi haknya.
2. Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini negara (pemerintah)
harus membahi segalanya ddengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat.
3. Keadilan Komutatif (commutative justice) : berdasarkan keadilan ini setiap orang harus
memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya.
Pembagian keadilan yang dikemukakan oleh pengarang modern tentang etika bisnis, khususnya
John Boatright dan Manuel Velasquez dapat dibedakan menjadi :
1. Keadilan Distributif (distributive Justice)
2. Keadilan Retributif (retributive justice) : berkaitan dengan terjadinya kesalahan
3. Keadilan Kompensatoris (compensatory justice) : berdasarkan keadilan ini orang
mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada
orang atau instansi yang dirugikan
Disamping pembagian tersebut, keadilan juga dapat dibedakan menjadi keadilan sosial dan
keadilan individu
1. Keadilan distributif pada khususnya
Dalam teori etika modern, ada dua macam prinsip untuk keadilan distributif, yaitu : prinsip
formal dan prinsip material. Prinnsip formal yang dirumuskan dalam bahasa Inggris berbunyi
“equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequals”. Yang dapat diartikan
bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-
kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara yg tidak sama. Sedangkan prinsip
material menunjukkan kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi
dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Beauchamp dan Bowie menyebut enam
prinsip keadilan distributif terwujud apabila diberikan kepada setiap oraang dengan syarat :
1. Bagian yang sama
2. Sesuai dengan kebutuhan individualnya
3. Sesuai dengan haknya
4. Sesuai dengan usaha individualnya
5. Sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
6. Sesuai dengan jasanya
Berdasarkan prinsip material tersebut, telah dibentuk beberapa teori keadilan distributif. Antara
lain :
1. Teori egalitariasme (membagi dengan adil berarti membagi rata)
2. Teori sosialistis (membagi adil sesuai dengan kebutuhan individualnya)
3. Teori liberalistis
BAB IV
LIBERALISME DAN SOSIALISME SEBAGAI PERJUANGAN MORAL

1. Tinjuan historis
1.1. John Locke dan milik pribadi
John Locke (1623-1704), seorang filsuf inggris yang banyak mendalami masalah-masalah social
politik, secara umum diakui sebagai orang yang pertama kali mendasarkan teori liberalisme
tentang milik. Menurut Locke, manusia mempunyai tiga “hak kodrat: (natural right): “life,
freedom, and property”. Yang penting adalaha hak atas milik karena keidupan dan kebebasan
kita miliki juga. Jadi, hak atas milik menyedia pola untuk memahami kedua hak lain juga.
Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang milik di kemudian hari.
Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa cirri kapitalisme liberal yang dengan tegas
akan ditolak oleh Karl Marx. Pertama, Locke mengandaikan begitu saja bahwa pekerjaan pun
harus diukur atas dasar nilai tukarnya, artinya sebagai komoditas pasaran. Kedua, Locke
mengandaikan juga bahwa hasil kerja karyawan menjadi milik sah dari pemilik tanah atau
pemilik sarana produksi.
1.2. Adam Smith dan pasar bebas
Tokoh lain yang pantas dibahas dalam rangka liberalism adalah orang Skotlandia, Adam Smith
(1723-1790). Adam Smith menjadi terkenal karena dengan gigih membela pasar brbas di bidang
ekonomi. Adam Smith tentu bukan filsuf pertama yang membedakan antara kepentingan-diri dan
egoisme, tapi ia melihat pentingnya khusus untuk relasi-relasi ekonomis. Kepentingan diri
merupakan motIvasi utama yang mendorong kita untuk mengadakan kegiatan ekonomis.
Kegiatan ekonomis di pasar bukan saja menguntungkan bagi pihak-pihak yang langsung terlibat
di dalamnya, tetapi bermanfaat juga untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Smith menekankan
bahwa dengan mengejar kepentingan diri masing-masing dalam sistem pasar para anggota
masyarakat mewujudkan kesejahteraan umum yang paling besar.
1.3. Marxisme dan kritiknya atas milik pribadi
Yang dimaksud dengan marxisme adalah pemikiran Karl Marx (1818-1882) bersama dengan
teman seperjuangannya, Friedrich Engels (1820-1895). Marxisme adalah ajaran social-
ekonomis-politik yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk disingkatkan tanpa
mengorbankan cukup banyak unsure yang sebenarnya hakiki juga. Bisa dikatakan juga marxisme
menolak pemilikan pribadi atas capital atau modal, sebab yang memiliki capital dengan
sendirinya memilki juga sarana-sarana produksi. Ciri kapitalisme yang jelek adalah bahwa
mereka memperkerjakan orang lain untuk memperkaya diri sendiri. Menurut Marxisme, lembaga
pribadi pada dasarnya merupakan penindasan atau eksploitasi kaum pekerja. Di sini dengan jelas
tampak inspirasi etis dari marxisme. Tujuannya bukan menghapus milik pribadi begitu saja,
melainkan secara radikal menentang penindasan atau eksploitasi yang berasal dari pemilikan
eksklusif atas sarana-sarana produksi. Menurut mereka, cara pemilikan itu harus diganti dengan
sistem milik kolektif.
1. Pertentangan dan perdamaian antara liberalism dan sosialisme
2.1. Liberalisme
Inti pemikiran liberalism adalah tekanannya pada pada kebebasan individual (liber Lat.=bebas).
Tugas pokok Negara menurut pandangan liberalism secara klasik dilukiskan sebagai nighwatch
state, “Negara jaga malam”, karena Negara hanya membatasi diri pada perlindungan dan
pengamanan para warga Negara.
2.2. Sosialisme
“Sosialisme” berasal dari kata Latin socius yang berarti “teman” atau “kawan”. Sosialisme
memandang manusia sebagai makhluk social sebagai sesame yang hidup bersama orang lain.
Liberalisme lebih cenderung melihat manusia sebagai individu yang mempunyai kebebasan
masing-masing. Masyarakat yang diatur secara liberalism ditandai egoism, sedangkan
masyarakat yang diatur secara sosialistis atau kesetiakawanan.
1. Sosialisme komunistis
Sosialisme komunistis atau komunisme (communis Lat.=bersama) menolak milik pribadi.
Menurut mereka, milik harus menjadi milik bersama atau milik kolektif. Tetai, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Karl Marx tidak menolak semua milik pribadi. Marx dan pengikut-
pengikutnya membedakan antara pemilikan barang konsumsi dan pemilikan sarana-sarana
produksi. Barang konsumsi adalah barang yang dipakai oleh seseorang bersama dengan
keluarganya, seperti rumah, kendaraan, fasilitas olah raga, koleksi buku dan lain sebagainya.
Yang tidak boleh menjadi milik pribadi adalah sarana-sarana produksi, seperti pabrik.
1. Sosialisme demokratis
Sosialisme demokratis juga menempatkan masyarakat di atas individu. Tetapi berbeda dengan
komunisme, mereka tidak bersedia mengorbankan sistem pemerintahan demokratis yang mereka
anggap sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga.
2.3. Kekuatan dan kelemahan
Kekuatan lliberalisme adalah bahwa milik pribadi diakui sebagai cara penting untuk
mewujudkan kebebasan pribadi. Tetapi liberalisme juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya
yang utama adalah bahwa mereka kurang memperhatikan nasib kaum miskin dan orang kurang
beruntung dalam perjuangan hidup, seperti kaum buruh dalam masyarakat berindustri.
Kekuatan Sosialisme adalah mereka menemukan dimensi transindividual dari milik. Milik selalu
mempunyai suatu fungsi social dan tidak boleh dibatasi pada kepentingan pribadi saja.Tetapi,
sosialisme mempunyai juga kelemahan dan kelemahan itu terasa cukup besar, bahkan menjadi
fatal untuk sistem pemerintahan sosialistis. Ekonomi yang direncakan dengan ketat dari atas
ternyata tidak bisa berhasil.
1. Kapitalisme dan demokratisasi
Demokratisasi dalam ekonomi dijalankan secara kapitalistis di Negara-negara industry Barat
merupakan fenomena yang sangat menarik. Pertama, sistem pemerintahan demokratis berhasil
mengoreksi beberapa ekses kapitalisme. Kedua, antagonism antara kelas-kelas seperti dimengerti
marxisme, dalam sistem pemerintahan demokratis cukup teratasi. Kaum pekerja tidak lagi
berpolarisasi dengan kau majikan karena mereka menyadari mempunyai banyak kepentingan
bersama. Ketiga, fenomena yang barangkali menarik adalah pemilikan sarana produksi yang
semakin merata.

1. Etika pasar bebas


Pandangan Gauthier yang pernah mengemukakan pendapat bahwa pasar tidak membutuhkan
moralitas. Pasar sempurna dimaksudkan pasar di mana kompetisi berjalan dengan sempurna.
Pada kenyataanya, proses-proses di pasaran selalu disertai macam-macam kegagalan dan
kekurangan. Namun demikian, sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap
merupakan sistem ekonomi yang paling unggul. Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama
tampak dari dua segi. Pertama dari segi keadilan social, supaya kepada semua peserta dalam
kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar bebas etika
sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua
peserta dalam pasar bebas harus berlaku dengan fair.
BAB V
KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN

Perdagangan memiliki arti yang luas hingga meliputi kegiatan ekonomis seperti barter.
Sedangkan bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus memperoleh keuntungan
finansial. Robert Solomon menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil
suatu transaksi moneter. Profit berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua pihak
menggunakan uang. Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat uapaya khusus dari orang yang
mempergunakan uang. Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Dan keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu
alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika.

’Tidak semua kegiatan usaha menguntungkan’, merupakan salah satu contoh penjelasan
tentang keuntungan sebagaimana dibahas dalam beberapa poin dibawah ini:

Tidak bisa dikatakan bahwa setiap kegiatan bisnis menghasilkan keuntungan

Keuntungan atau profit baru muncul dalam kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuangan

Dalam penukaran barang dengan barang (barter) tidak diperoleh profit, walaupun kegiatan itu bisa
menguntungkan kedua belah pihak. Profit diperoleh tidak secara kebetulan, tetapi berkat upaya
khusus dari orang yang mempergunakan uang.

Uang diperoleh berdasarkan kupon undian atau karena main judi tidak bisa dikatakan profit,
berbeda dengan uang yang dihasilkan dengan perdagangan saham.

Profit berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil, tetapi tidak berarti seluruhnya tergantung
pada kepiawaian si pebisnis, untuk sebagian orang perolehan profit tergantung juga pada faktor
mujur atau sial. Karena hubungan dengan transasksi uang, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme.

Menurun pandangan ini, kapitalis meliputi 3 unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek
pencarian keuntungan, dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas.

Keuntungan hanya dapat diperoleh dengan menggunakan modal yang menjadi milik pribadi, dan
perolehan keuntungan hanya dimungkinkan dalam rangka pasar bebas.

Akumulasi modal merupakan inti kapitalis, dengan meningkatnya keuntungan bobot modal akan
bertambah besar, kemudian dapat diinvestasikan dalam usaha produktif, sehingga menghasilkan
kekayaan yang lebih besar lagi, dst..
1. Maksimalisasi Keuntungan Sebagai Cita-cita Kapitalisme Liberal

Jika maksimalisasi keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan


sendirinya timbul keadaan tidak etis. Memperalat karyawan, berarti tidak menghormati mereka
sebagai manusia dan tidak menghormati martabat manusia. Karena semua dikerahkan dan
dimanfaatkan demi tercapainya tujuan, termasuk karyawan yang bekerja dalam perusahaan
tersebut. Hal diatas sesuai dengan statement dari Immanuel Kant, seorang filsafat Jerman pada
abad ke-18, prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan: ” Hendaklah meperlakukan
manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya, dan tidak pernah sebagai sarana belaka”.

Nasib buruh anak merupakan prototipe dari penderitaan kaum buruh pada permulaan
industrialisasi. Tetapi gerakan sosialisme berhasil memperbaiki nasib kaum buruh. Yang dalam
hal ini menjadi sarana ampuh adalah serikat buruh: dengan bersatu kaum buruh bisa menuntut
haknya.

2. Masalah Pekerja Anak

Yang dimaksud masalah disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur
demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Tidak bisa diragukan,
pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan ttopik dengan banyak implikasi etis.
Dari sudut pandang etika, pekerjaan anak ini ditolak karena, pertama, bahwa pekerjaan itu
melanggar hak para anak. Kedua, bahwa mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang
tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian
melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau
menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu sebagai cara berproduksi yang tidak etis.

Namun tidak semua pekerjaan yang mempekerjakan anak dibawah umur dianggap tidak
etis. contoh yang mempunyai tradisi yang sudah lama dan tersebar luas dapat ditemukan dalam
sektor pertanian dan peternakan. Dimana-mana didaerah pertanian anak-anak diikutsertakan pada
perkerjaan dalam masa panen, terutama bila mekanisme pertanian belum begitu maju. Dalam
konteks peternakan tradisional, anak-anak sering diluar waktu sekolah membantu orangtuanya
menjalankan tugas-tugas rutin seperti memeras sapi atau memberi pakan kepada ternak. Kasus-
kasus seoerti itu pada umumnya belum menimbulkan masalah-masalah etis. Pekerjaan anak baru
menjadi sutu masalah etis yang serius dalam zaman indusrtrialisasi.
Dalam convention on the rights of child yang diterima dalam sidang PBB pada 1989
diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk “menetapkan usia minimum atau usia-
usia minimum memasuki lapangan kerja” (pasal 32,2-a). Organisasi Ketenagakerjaan
Internasional (ILO) menganjurkan negara-negara anggota untuk ILO untuk meningktakan usia
minimum, yaitu 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan yang ringan.
Sementara Indonesia menyerahkan usia minimum bekerja kepada ILO pada 1999 yaitu pada usia
15 tahun, yang sebelumnya adalah pada usia 14 tahun.

Betapa pun banyaknya upaya menetapkan batas usia minimum pekerja, namun dalam
sebuah laporan ILO pada tahun 1996, diestimasikan bahwa di negara-negara berkembang masih
ada 250 juta anak dibawah umur 14 tahun yang bekerja. Diantaranya 120 juta anak bekerja purna
waktu, sedangkan 130 juta anak bekerja penggal waktu. Anak-anak yang bekerja itu umunya
memiliki 9 jam waktu bekerja selaa enam atau malah 7 hari seminggu. Dihitung secara absolut
paling banyak anak bekerja di Asia, tetapi secara proporsional paling banyak di afrika, yaitu 40%
dari semua anak disana. India dianggap sebagai negara dimana keadaannya paling jelek, yaitu
sekitar 100 juta anak dibawah umur 14 disitu bekerja secara ilegal dalam pabrik atau tempat lain,
sering kali penuh dengan resiko.

3. Relativasi Keuntungan

Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral
dikesampingkan. Seandainya keuntungan menjadi hal mutlak dalam berbisnis, perdagangan
heroin, kokain, marijuana atau obata terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business,
karena sempat membawa untung sangat banyak. Namun hal tersebut tidak sesuai dan tidak etis
(tidak good secara moral) maka hal ini menjadi dilarang, karena maksud bisnis adalah
menjediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan tidak merupakan
maksud bisnis, tetapi merupakan motivasi untuk mengadakan bisnis.

Manajemen modern sering disifatkan sebagai management by objective. Manajemen yang


ingin berhasil harus menentukan dengan jelas tujuan yang dicapai. Dan dalam manajemen
ekonomi, salah satu unsur yang penting adalah cost – benefit analisys. Untuk mencapai sukses,
hasil dari suatu bisnis harus melebihi biaya yang dikeluarkan. Usaha ekonomis baru bisa dianggap
berhasil apabila dapat memungkinkan laba. Semua hal tersebut dapat diterima, asalkan tetapat atas
pertimbangan etis.

Beberapa cara lain untuk melukiskan revalitas keuntungan dalam bisnis dalah sebagai
berikut:
Keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan suatu perusahaan atau efisiensi
suatu perusahaan,

Keuntungan adalah suatu pertanda bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat,

Keuntungan adalah cambuk utnuk meningkatkan usaha,

Keuntungan adalah syarat kelangsungan perusahaan,

Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.

4. Keuntungan Merupakan Efek Samping dari Bisnis

Menurut Norman Bowie, bahwa kebahagiaan merupakan efek samping dari kerja; seorang
suami hidup dan bekerja demi isteri dan anaknya, dia memperoleh gaji, yang akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup bersama isteri dan anaknya, dia bahagia. Demikian pula dengan
keuntungan, apabila suatu bisnis berjalan dengan baik, sesuai rencana, serta memperhatikan hal-
hal etis dalam menjalankannya keuntungan adalah timbal balik atau efek dari kegiatan tersebut.

5. Manfaat Keuntungan bagi Perusahaan

Beberapa manfaat keuntungan bagi sebuah perusahaan dijelaskan dalam poin-poi berikut ini :

Merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajamen dalam
perusahaan

Merupakan pertanda bahwa produk atau jasanya dihargai masyarakat

Merupakan cambuk untuk meningkatkan usaha

Merupakan syarat kelangsungan hidup perusahaan

Mengimbangi resiko dalam usaha

6. Manfaat Keuntungan bagi Stakeholder

Selain manfaat bagi perusahaan, keuntungan tentu saja memberikan manfaat sendiri bagi
Stakeholder, antara lain sebagai berikut:

Pelanggan : memperoleh produk yang aman dan berkualitas, memperoleh pelayanan yang
memuaskan

Pemasok : menerima pembayaran tepat waktu, memperoleh order secara teratur


Pemodal : pemegang saham memperoleh deviden, kreditur menerima bunga dan pengembalian
pokok pinjaman sesuai dengan yang sudah ditetapkan

Karyawan : memperoleh gaji yang wajar dan kepastian kelangsungan pekerjaan

Pemerintah : mengharapkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran, memperoleh


pajak

Masyarakat : peran serta perusahaan dalam program kesejahteraan

Media massa : menginformasi semua kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan isu etika, nilai-
nilai, kesehatan, keamanan dan kesejahteraan
BAB VI
kewajiban karyawan dan perusahaan

Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain
kewajiban adalah suatu yang sepatutnya diberikan. Seorang filosof berpendapat bahwa selalu ada
hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan yang disebut “teori korelasi” itu
mengatakan bahwa setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan sebaliknya
setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut.

A. KEWAJIBAN KARYAWAN
Ada 3 kewajiban karyawan :

1. Kewajiban ketaatan

Bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu implikasi dari
statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya.
Tetapi, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia
melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Selain itu karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah
atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Kemudian, karyawan
juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai
dengan penugasan yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.

2. Kewajiban konfidensialitas

Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat


konfidensial dan kareana itu rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi.
Konfidensialitas berasal dari kata Latin confidere yang berarti mempercayai. Dalam konteks
perusahaan konfidensialitas memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu
perusahaan, bisa saja ia mempunyai akses kepada informasi rahasia. Sehingga tidak perlu
dipertanyakan lagi mengapa karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan karena alasan etika
mendasari kewajiban ini yaitu bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka
rahasia itu berarti sama saja dengan mencuri. Milik tidak terbatas pada barang fisik saja, tetapi
meliputi juga ide, pikiran, atau temuan seseorang. Dengan kata lain, disamping milik fisik terdapat
juga milik intelektual. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan adalah
intellectual property rights dari perusahaan. Alasan kedua adalah bahwa membuka rahasia
perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas.

3. Kewajiban loyalitas
Kewajiban loyalitas pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan
perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan
perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan
tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan.

Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan
artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak
boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersain dengan kepentingan perusahaan. Karena bahay
konflik kepentingan potensial itu, beberapa jenis pekerjaan tidak boleh dirangkap.

Dalam konteks ini termasuk juga masalah etis seperti menerima komisi / hadiah selaku
karyawan perusahaan. Masalh komisi berkaitan erat dengan apa yang sekarang dikenal sebagai
triade “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)”. Jalan keluar dari permasalahan ini sebagian besar
tergantung dari sikap yang diambil perusahaan bersangkutan. Begitupun tantang hadiah yang
diberikan oleh perusahaan / intansi lain kepada karyawan waktu menjalankan tugasnya. Hal itu
dimaksudakan untuk mempengaruhi karyawan tersebut. Jalan keluarnya pun dengan membuat
peraturan yang jelas dalam kode etik perusahaan / dengan cara lain.

Selain memiliki kewajiban karyawan pun memiliki hak.Hak itu dicantumkan dalam kontrak
kerja, dimana pasti ada ketentuan bahwa karyawan wajib memberitahaukan satu, dua, tiga bulan
sebelumnya (tergantung posisinya dan kesulitan mencari pengganti), jika ia mau meninggalkan
perusahaan. Kewajiban loyalitas memang tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja.

B. MELAPORKAN KESALAHAN PERUSAHAAN


Dalam etika, whistle blowing mendapat arti khusus yaitu menarik perhatian dunia luar
dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam rangka bisnis whistle
blowing dibagi menjadi whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal. Whistle blowing
internal dimengerti pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan
langsung. Sedangkan whistle blowing eksternal adalah pelaporan kesalahan perusahaan kepada
instansi di luar perusahaan, entah kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui
media komunikasi.

Pelaporan kesalahan perusahaan itu dinilai dengan cara yang sangat berbeda. Di satu pihak
seorang whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai moral
yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Dilain pihak justru disebut sebagai penghianat,
karena ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas
dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan.
Dari sudut pandang etika jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas. Kalau memang
diperbolehkan whistle blowing dapat dipandang sebagai pengecualian dalam bidang kewajiban
loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang lebih mendesak. Jadi, kadang-kadang mungkin ada
kewajiban untuk melaporkan suatu kesalahan demi kepentingan orang banyak. Meskipun sulit
sekali untuk memastikan kapan situasi seperti itu secara obyektif terealisasi. Pada kenyataannya
hati nurani si pelapor harus memutuskan hal itu, setelah mempertimbangkan semua faktor terkait.
Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila memenuhi syarat berikut :

1. Kesalahan perussahaan harus besar

2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar

3. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak
ketiga, bukan karena motif lain.

4. Penyelesdaiaan masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan
dibawa keluar.

5. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.

Adanya whistle blowing selalu menunjukan bahwa perusahaan gagal dalam menjalankan
kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Asalkan perusahaan mempunyai kebijakan etika yang
konsisten dan konsekuen, semua kesulitan sekitar pelaporan kesalahan tidak perlu terjadi.

C. KEWAJIBAN PERUSAHAAN TERHADAP KARYAWAN


Berturut-turut akan dibicarakan tentang kewajiban perusahaan untuk tidak diskriminasi,
untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas dan
untuk tidak memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Kewajiban perusahaan biasanya
sepadan dengan hak karyawan.

1. Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi

Diskriminasi adalah masalah etis yang baru nampak dengan jelas dalam paro kedua dari abad
ke 20. Biasanya mengenai warna kulit dan gender (jenis kelamin). Di Indonesia diskriminasi
timbul berhubungan dengan status asli / tidak asli, pribumi / non-pribumi, dari para warga negara
dan agama.

a. Diskriminasi dalam konteks perusahaan

Istilah diskriminasi berasal dari bahas Latin “discernee” yang berarti membedakan, memisahkan,
memilah. Dalam konteks perusahaan diskriminasi dimaksudkan membedakan antara pelbagai
karyawan karena alasan tidak relevan yang berakar dari prasangka. Membedakan antara karyawan
tentu sering terjadi karena alasan yang sah. Dalam menerima karyawan baru, perusahaan sering
menentukan syarat seperti mempunyai pengalaman kerja sekian tahun, memiliki ijazah S-1 (malah
bisa ditambah dengan IPK minimal 2,75), menguasai bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis
dll. Dalam hal imbalan, bisa terjadi bahwa suatu karyawan mendapat bonus akhir tahun karena
lebih berprestasi daripada karyawan lainnya. Hal-hal diatas adalah alasan yang relevan.

Bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena alasan yang tidak relevan.
Biasanya alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhdap ras, agama atau jenis kelamin
bersangkutan. Dengan kata lain, latar belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme,
sektarianisme / seksisme.

b. Argumentasi etika melawan diskriminasi

1) Dari pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan perusahaan itu
sendiri. Terutama dalm rangka pasar bebas, menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki
karyawan berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber
daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan memperhatikan
faktor-faktor lain selain kualitas karyawan ia bisa ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan
lain. Karena itu perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.

2) Deontologi berpendapat bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari orang yang


didikriminasi.Berarti tidak menghormati martabat manusia yang merupakan suatu pelanggaran
etika yang berat.

3) Teori keadilan berpendapat bahwa praktek diskriminasi bertentangan dengan keadilan,


khususnya keadilan distributif / keadilan membagi. Keadilan distributif menuntut bahwa kita
memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk
memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Pikiran itu sudah dikenal sebagai prinsip moral
keadilan distributif.

c. Beberapa masalah terkait

Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena kondisi historis,
sosial / budaya dalam masyarakat. Karena keterkaitan dengan faktor sejarah dan sosio-budaya ini,
masalah diskriminasi tidak bisa ditangani dengan pendekatan hitam putih. Artinya tergantung
dengan tempatnya sehingga bersifat relativitas.

Dalam konteks perusahaan, favoritisme dimaksudkan kecenderungan untuk


mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan,
menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus dll. Seperti diskriminasi, favoritisme pun
memperlukan orang dengan cara tidak sama, tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak
terjadi karena prasangka buruk, melainkan justru prefensi dan bersifat positif (mengutamakan
orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila perusahaan mengutamakan karyawan yang
berhubungan famili, berasal dari daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dll. Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa menghindari favoritisme selalu merupakan pilihan terbaik dari
sudut pandang etika. Dengan itu pula lebih mudah dihindari nepotisme, yang bertentangan dengan
keadilan distributif. Tetapi sulit untuk ditentukan pada saat mana favoritisme pasti melewati
ambang toleransi etika.

Untuk menanggulangi akibat diskriminasi, kini lebih banyak dipakai istilah affirmative action
“aksi afirmatif”. Melalui aksi itu orang mencoba mengatasi / mengurangi ketertinggalan golongan
yang dulunya di diskriminasi.

2. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja

a. Beberapa aspek keselamatan kerja

Keselamatan kerja dapat terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja itu
aman kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau
bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat.
Tempat kerja bisa dianggap sehat kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan / penyakit.

Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak
perusahaan mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Sedangkan di
Amerika Serikat didirikan Occupational Safety and Health Administration (OSHA) untuk
mengawaasi pelaksanaan UU yang bertujuan untuk to assure as far as possible every working man
and woman in the nation safe and healthful working conditions.

b. Pertimbangan etika

Tiga pendasaran segi etika dari masalah perlindungan kaum pekerja.

1) The right of survival (hak untuk hidup)

2) Manusia selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana
belaka.

3) Kewajiban etis harus sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri dan terutama
ekonomi negara akan mengalami kerugian besar jika proses produksi tidak berlangsung dalam
kondisi aman dan sehat.

Kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan beresiko. Si


pekerja sendiri harus mengambil resiko dengan sukarela. Tetapi supaya si pekerja sungguh-
sungguh bebas dalam hal ini, perlu beberapa syarat :

1) Harus tersedia pekerjaan alternatif.


2) Diberi informasi tentang resiko yang berkaitan dengan pekerjaannya sebelum si pekerja mulai
bekerja.

3) Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin.

c. Dua masalah khusus

Si pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah diberi informasi tentang risiko bagi
pekerja. Mereka sendiri harus mempertimbangkan kesejahteraan ekonomis mereka (gaji yang
lebih tinggi) dan resiko bagi keturunannya. Jika tidak sanggup bisa mengajukan permohonan untuk
dipindahkan ke bagian produksi lain dengan konsekuensi gaji yang lebih rendah. Begitupun
dengan kebijakan yang diterapkan suatu perusahaan, terkadang secara tidak langsung terlihat
memaksakan kepada para pekerja jika didukung juga oleh suasana resesi ekonomi saat mencari
pekerjaan lain menjadi sulit. Sehingga membuat para pekerja tidak memiliki alternatif lain dan
akhirnya bertahan dengan resiko yang tidak kecil.

3. Kewajiban memberi gaji yang adil

Motivasi seseorang untuk bekerja tidak lepas dari untuk mengembangkan diri, memberi
sumbangsih yang berguna bagi pembangunan masyarakat namun yang sangat penting adalah untuk
memperoleh upah atau gaji. Namun dalam gerakan sosial zaman industri upah yang adil sering
menjadi pokok perjuangan yang utama.

a. Menurut keadilan distributive

Gaji / upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan keadilan, khususnya keadilan
distributif. Di kebanyakan negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang
tidak dirasakan lagi. Tanpa banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan gaji yang
adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperan. Prinsip pertama adalah bagian yang sama.
Supaya adil, gaji semua karyawan memang tidak perlu sama, tetapi perbedaan juga tidak boleh
terlalu besar. Jelas pemerataan pendapatan adalah tuntutan etis yang berkaitan dengan prinsip ini.
Prinsip-prinsip hak, usaha dan kontribusi kepada masyarakat ikut pula menentukan gaji yang adil.
Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia masalah gaji yang adil disinggung juga. Adil tidaknya gaji
menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih luas daripada take home pay
saja. Fasilitas khusus seperti rumah, kendaraan, bantuan beras dll harus dipandang sebagai imbalan
kerja. Lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun dll. Gaji yang
relatif rendah bisa mencukupi asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-
fasilitas lain.

b. Tujuh faktor khusus

Berikut adalah usulan dari Thomas Garrett dan Richard Klonoski supaya gaji / upah itu adil
/ fair :
1) Peraturan hokum.

Di sini yang paling penting adalah ketentuan hukum tentang upah minimum sebagai salah satu
perjuangan sosialisme dalam usahanya memperbaiki nasib kaum buruh. Adanya upah minimum
berarti bahwa kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan upah.

2) Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu / daerah tertentu.

Dalam semua sektor industri, gaji / upah tidaklah sama. Karena itu rupanya suatu kriteria yang
baik adalah : gaji / upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberika dalam sektor industri bersangkutan
asalkan keadaan di sektor itu cukup mantap. Namun gaji yang sama belum tentu menjamin daya
beli yang sama. Karena perbedaaan daya beli itu di Indonesia upah minimum ditetapkan sebagau
upah minimum regional (UMR).

3) Kemampuan perusahan.

Perusahaan kuat yang menghasilkan laba besar, harus memberi gaji yang lebih besar pula daripada
perusahaan yang mempunyai marjin laba yang kecil saja. Di sini berlaku pandangan sosialistis
tentang hak karyawan mengambil bagian dalam laba. Harus dinilai tidak etis, bila perusahaan
mendapat untung besar dengan menekan gaji karyawan.

4) Sifat khusus pekerjaan tertentu.

Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalani oleh orang yang mendapat pendidikan /
pelatihan khusus, kadang-kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi. Kelangkaan tenaga
mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji yang lebih tinggi.

5) Perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan.

Kalau pekerjaan tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut pengalaman lebih ama /
mengandung resiko tertentu, maka gaji / upah harus sama. Sehingga berlaku prinsip equal pay for
equal work.

6) Perundingan upah / gaji yang fair.

Perundingan langsung antara perusahaan dan para karyawan merupakan cara yang ampuh untuk
mencapai gaji dan upah yang fair. Tentu saja, perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup
besar dari pihak perusahaan. Lebih bagus bila perundingan gaji itu dilakukan untuk suatu sektor
industri sehingga dihasilkan kesepakatan kerja bersama.

7) Senioritas dan imbalan rahasia.

Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji karena dilihat dari pengalamannya bekerja
dengan waktu yang begitu lama dan kesetiaannya pada perusahaan, zaman sekarang sudah tidak
diperhitungkan lagi. Zaman modern sekarang lebih memperhatikan prestasi dan hak. Pembayaran
sama untuk pekerjaan yang sama memang dilatarbelakangi suasana modern itu dan karenanya
dapat di mengerti jika tekanan pada senioritas akan berkurang. Pembayaran khusus / kenaikan gaji
yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja pun tidak etis karena tidak mengadakan kontrol
sosial dan akan merusak suasana kerja. Jelas, disini berlaku prosedur yang terbuka dan demokratis
untuk menjamin mutu etis sebuah sistem.

3. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena.

Menurut Garret dan Klonoski ada tiga alasan yang lebih konkrit untuk memberhentikan
karyawan, yaitu :

a. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat

b. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya.

c. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin.
BAB VII
MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN

Konsumen mereupakan stakeholder yang sanagt hakiki dalam bisnis modern . bisnis tidak
mungkin berjalan , kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk / jasa yang dibuat dan
ditawarkan oleh pebisnis . dalam hal ini tentu tidak cukup , bila konsumen tampil stu kali saja
pada sa’at bisnis dimulai . supaya biasnis berkesinambungan , perlulah konsumen yang secara
teratur memakai serta membeli produk / jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan .
“the customer is king” sebenarnya tidak merupakan slogan saja yang dimaksud sebanyak
mungkin pembeli . ungkapan inimmenunjukkan tugas pokok bagi perodusen / penmyedia jasa :
mengupayakan kepuasan konsumen .
Pelanggan adalah raja damal arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama
kegiatan produsen. Tidak mengherankan , kalau peter drucker , perintis teori manajemen ,
menggaris bawahi peranan sentral pelanggan atau konsumen dengan menandaskan bahwa
maksud bisa didefinisikan secara tepat sebagai “too creat a cutomer”
Bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral , tidak saja merupakan tuntutan
etis , melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis . sebagaimana
halnya dengan banyak topik etika bisnis lainnya , disini pun berlaku bahwa etika dalam praktek
bisnis sejalan dengan kesuksesan bisnis . perhatian untuk etika dalam hubungan dengan
konsumen , harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri . perhatian untuk segi etis
dari relasi bisnis – konsumen itu mendesak , karena posisi konsumen sering kali agak lemah .
walaupun konsumen digelari raja , pada kenyata’annya “kuasanya” sangat terbatas karena
berbagai alasan . dalam konteks modern si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan
korban manipulasi produsen . karena bisnis itu mempunyai kewakjiban moral untuk melindungi
konsumen dan menghindari kerugian baginya .
Perhatian untuk konsumen
Secara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada produknya , bukan
kepada konsumen . perkembangan itu juga terlihat dalam sejarah bisnis amerika serikat yang dari
banyak segi menjadi perintis dalam bisnis modern . disitupun perhatian buat konsumen hal yang
masih agak baru . selangkah penting dalam memutarkan fokus ke arah konsumen ditempuh oleh
presiden John F. Kenedy . pada tahun 1962 ia mengirim pada kongres amerika yang
disebut special message on protecting the consumer interest , dimana ia mendapatkan 4 hak yang
dimiliki setiap konsumen . maka dari itu ada baiknya kita mempertimbangkan 4 hak ini secara
rinci .
Hak atas keamanan
Banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen , khususnya resiko untuk kesehatan
dan keselamatan . sebagai contoh dapat disebut pestisida , obat obatan . makanan , mainan anak ,
kendaraan bermotor dan alat kerja . konsumen berhak atas produk yang aman , artinya produk
yang tidak mempunyai kesalahan teknia atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan
atau bahkan membahayakan kehidupan konsumen . bila sebuah produk karena hakikatnya selalu
menganmdung resiko , contohnya gergaji listrik : resiko itu harus dibatasi sampai tingkat
seminimal mungkin .
Hak atas informasi
Konsumen berhak memperoleh informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya , baik
apa sesungguhnya produk itu ( bahan bakunya , umpamanya ), maupun bagaimana cara
memakainya , maupun juga resiko dari pemakaiannya . hak ini meliputi segala aspek pemasaran
dan periklanan . semua informasi yang disebut pada label produk tersebut haruslah benar : isinya
, beratnya , tanggal kadarluarsanya , ciri – ciri khusus dan sebagainya . informasi yang relevan
seperti “makanan ini halal untuk umat islam“atau”makanan ini tidak mengandung
kolestrol”harus sesuai kebenaran .
Hak untuk memilih
Dalam sistem ekonomi pasar bebas , dimana kompetisi merupakan unsur hakiki , konsumen
berhak untuk memilih antara berbagai produk / jasa yang ditawarkan . kualitas dan harga produk
bisa berbeda . konsumen berhak membandingkannya sebelum mengambil keputusan untuk
membeli .
Hak untuk didengarkan
Karena konsumen adalah orang menggunakan produk/jasa , ia berhak bahwa keinginannya
tentang produk /jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan , terutama keluhannya . hal itu juga
berati bahwa para konsumen harus dikonsultasikan , jika pemerintah ingin membuat peraturan
atau undang – undang yang menyangkut produk/jasa tersebut . hak – hak konsumen ini tentu
tidak boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit . hak – hak ini tidak merupakan hak legal
yang dapat dituntut di pengadilan , umpamanya . lebih baik hak hak konsumen dipahami sebagai
cita – cita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat .
Hak konsumen atas pendidikan .
Melalui produk yang digunakannya , konsumen memanfa’atkan sumber daya alam . ia berhak
bahwa produk dibikin sedemikian rupa , sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan
atau merugikan keberlanjutan proses – proses alam .
Hak konsumen atas pendidikan
Tidak cukup, bila konsumen mempunyai hak , ia juga harus menyadari hak nya . bahkan
menyadari hak saja belum cukup , karena konsumen harus mengemukakan kritik atau
keluhannya , apabila haknya dilanggar . karena itu konsumen mempunyai hak juga untuk secara
positif dididhk ke arah itu . terutama melalui sekolah dan meddia massa , masyarakat juga hrus
dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya . dengan itu ia sanggup
memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan mutu bisnis pada
umumnya.
Kini dinegara maju gerakan konsumen merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam
duinia bisnis . seperti banyak hal lain dalam bidang ekonomi dan bisnis , gerakan konsumen pun
berkembang dia amerika serikat . sejak kira – kira tahun 1950-an konsumen mulai
memperdengarkan suaranya .
Kita di indonesia bisa belajar dari gerakan konsumen di amerika serikat dan negara maju lainnya
. sejauh ekonomi kita sudah tumbuh dan daya beli masyarakat semakin tinggi , peranan gerakan
konsumen harus semakin bertambah pula . undang – undang tentang perlindungan konsumen
(1999) yang disebut diatas merupakan selangkah maju yang menggembirakan . pemerintah
sepatutnya mendukung terus gerakan konsumen itu , tapi inisiatif dan pelaksanaan mestinya
berasal dari komsumen sendiri yang mengorganisasikan dirinya dalam bentuk lembaga swadaya
masyarakat .
Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman .
Disini produsen harus menjamin bahwa produknya pada sa’at pembelian dalam keada’an prima
sehingga biosa dipakai dengan aman . jadi , terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai ,
produsen maupun konsumen masing – masing mempunyai tanggung jawab .
Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen , telah dikemukakan 3 teori yang mendukung
nuansa yang berbeda : teori kontrak , teori perhatian semestinya dan teori biaya sosial .
Teori kontrak
Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi kuno yang berbunyi caveat
emptor “hendaknya si pembeli behati – hati” . senagaimana sebelum menandatangani sebuah
kontrak , kita harus membaca dengan teliti seluruh teksnya termasuk huruf – huruf terkecil
sekalipun , demikian sipembeli dengan hati – hati harus mempelajari keada’an produk serta ciri –
cirinya . sebelum dengan membayar ia menjadi pemiliknya . transaksi jual beli harus dijalankan
sesuai dengan apa yang tertera dlam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual
memperoleh dasarnya dari situ.

Tetapi tudak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen – konsumen , selalu dan seluruhnya
berlangsung dalam kerangka kontrak . karena itu pandangan kontrak dari beberapa segi tidak
memuaskan juga terutama ada 3 keberatan berikut terhadap pandangan ini .
Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama . tetapi
pada kenyata’annya tidak terdapat persamaan antara produsen – konsumen . khususnya dalam
konteks bisnis modern .
Kritikl kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan langsung antara
produsen dan konsumen . padahal konsumen pada kenyata’annya jarang sekali berhubungan
langsung dengan produsen .
Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik . kalau perlindungan
terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga
bahwa konsumen terlkanjur menyetujui kontrak jual beli . padahal disitu tidak terjamin bahwa
produk bisa diandalkan , akan berumur lama , akan bersifat aman n dan sebagainya . bila
konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual beli hal itu belum berarti juga bahwa
perlindungan konsumen terlaksana .
Teri perhatian semetinya
Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara
konsumen dan produsen , melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen .
karena itu tekanannya bukan dari segi hukum saja , melainkan dalam etika dalam arti luas .
norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang
lain dengan kegiatannya .
Teori biaya sosial
Teori biaya sosila merupakan versi yang paling ekstrim dari senboyan caveat venditor. walaupun
teori ini paling menguntungkan bagi konsumen , rupanya sulit juga mempertahankan . kritik
yang dikemukakan dalam teori ini , bisa disingkatkan sebagao berikut : teori biaya soaial
tampaknya kurang adil , karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal – hal yang tidak
diketahui atau tidak dihindarkan . menurut keada’an kompensatoris orang yang bertanggung
jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya .
Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen
Selain harus menjamin keamanan produk , bisnis juga mempumyai kewajiban lain terhadap
konsumen . disini kita menyoroti tiga kewajiban moral lain yang masing – masing berkaitan
dengan kualitas produk , harganya , dan pemberian label serta pengemasan .
Kualitas produk
Dengan kualitas produk, disini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan
produsen dan apa yang secara wajar boleh diharapkan konsumen . konsumen berhak atas produk
yang berkualitas , karena ia membayar untuk itu . dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan
produk yang berkualitas , misalknya produk yang tidak kadarluarsa (bila ada batas waktu seperti
obat obatan atau makanan ).
harga
harga merupakan buah hasil perhitungan faktor – faktor seperti biaya produksi , biaya investasi ,
promosi , pajak , ditambah tentu laba yang wajar . dala, sistem ekonomi pasar bebas , sepintas
lalu rupanya harga yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan daya pasar . kesan spontan
adalah bahwa harga yang adil dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana dilakukan dipasar
tradisional , dimana sipembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan sipenjual
sampai pada minimum harga yang mau dipasang . tramsaksi itu terjadi bila maksimum dan
minimum itu bertemu .
pengemasan dan pemberiaan label
pengemasan dan label dapat menimbulkan masalah etis . dalam konteks ini tuntutan etis yang
pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar . informasi yang kurang
benar atau tidak pasti bukan saja merugikan konsumen tetapi pihak lain juga . disini contoh yang
jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu diamerika serikat tentang kemungkinan kelapa sawit bisa
meningkatkan kadar kolestrol dalam darah . kalau hal itu disampaikan sebagai informasi yang
benar , sedangkan pada kenyata’annya belum terbukti , negara kelapa sawit sangat dirugikan dan
penyiaran informasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair
BAB VIII
PERIKLANAN DAN ETIKA
Iklan merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang
yang hendak dijual kepada konsumen dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan
produsen.

Tujuan iklan sendiri yaitu sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang menginformasikan
konsumen perihal produk produk barang dan jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas
kebutuhan.

1. FUNGSI PERIKLANAN

Periklanan bermaksud untuk memberi informasi. Tujuan terpentingnya adalah memperkenalkan


sebuah produk atau jasa. Fungsi periklanan :

1. Informatif :

 Menginformasikan pasar mengenai keberadaan produk atau jasa

 Memperkenalkan cara pemakaian baru dari suatu produk tertentu

 Menyampaikan perubahan harga

 Menjelaskan kerja suatu produk

 Menginformasikan jasa-jasa yang disediakan lembaga

 Membangun citra perusahaan

2. Persuasif:

 Mempengaruhi atau membujuk konsumen

 Membentuk pilihan merk

 Mengalihkan pilihan ke merk tertentu

 Mengubah persepsi pelanggan terhadap produk

 Mendorong pembeli untuk membeli saat itu juga

3. Pengingat (Reminder)

 Mengingatkan pembeli bahwa produk yang dibutuhkan tersedia dalam waktu dekat

 Mengingatkan pembeli akan tempat atau outlet penjualan

 Membuat pembeli tetap ingat walau sedang tidak ada promosi


2. PERIKLANAN DAN KEBENARAN

Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang
kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan
menipu publik.

Iklan mempunyai unsur promosi. Iklan merayu konsumen

Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bisa dipecahkan dengan cara hitam
putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan publik untuk menerimanya atau
tidak.

3. MANIPULASI DENGAN PERIKLANAN

Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan :

1. Subliminal advertising

Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu
cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran.
Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio.

Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang
menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan
konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa.

2. Iklan yang ditujukan kepada anak

Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan
dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada
manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis.

4. PENGONTROLAN TERHADAP IKLAN

Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini :

1. Kontrol oleh pemerinah

Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan
periklanan. Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan
dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administrationdan Federal Trade
Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan
(POM) dari Departemen Kesehatan.

2. Kontrol oleh para pengiklan

Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri
(self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik,
sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-
biro periklanan.

3. Kontrol oleh masyarakat

Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan
mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek
negatif dari periklanan.

Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai
kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan.

Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan
memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi
Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

5. PENILAIAN ETIS TERHADAP IKLAN

Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis jika
kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan.

1. Maksud si pengiklan

Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik
juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi
tidak etis.

Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini
bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk
lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama
banyak kalorinya dengan roti merk lain.

2. Isi iklan

Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan
menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian,
kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu
informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti laporan dari instansi netral.

Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa
ragu-ragu akan ditolak secara umum.

3. Keadaan publik yang tertuju

Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai
informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.
Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat
dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu
harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata
lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju.

Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa
sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini
dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas
polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu.

4. Kebiasaan di bidang periklanan

Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa
dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan
terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana
praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar.
BAB IX
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Seperti yang sudah disinggung, sebuah perusahaan dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan usahanya harus memperhatikan etika dan tanggung jawab sosial. Adapun bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan seperti:

1. Tanggung jawab sosial kepada konsumen


Tanggung jawab sosial perusahaan kepada konsumen tidak hanya seputar masalah penyediaan
produk atau jasa saja tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lain. Merujuk pendekatan
utilitarian, maka perusahaan harus menghasilkan produk atau jasa yang memiliki banyak manfaat
kepada masyarakat.

2. Tanggung jawab sosial kepada karyawan


Perusahaan wajib memberikan rasa aman dan nyaman kepada karyawannya, memperlakukan
karyawan dengan adil. Selain itu, perusahaan juga memberikan kesempatan dan fasilitas untuk
pengembangan diri karyawan.

3. Tanggung jawab sosial kepada kreditor


Misalnya pada saat perusahaan harus menyelesaikan kewajiban atau utangnya namun ia sedang
memiliki masalah keuangan maka perusahaan wajib memberitahukan kepada kreditor.

4. Tanggung jawab kepada pemegang saham


Perusahaan juga bertanggung jawab kepada pemegang saham. Sehingga dalam operasional nya,
perusahaan juga harus memastikan keputusan yang diambil juga untuk kepentingan pemegang
saham.

5. Tanggung jawab sosial kepada lingkungan


Tanggung jawab ini berkaitan dengan lingkungan, misal dengan tidak membuang limbah
sembarangan, mencegah polusi disekitar tempat usaha, mencegah penggunaan bahan berbahaya.
Jadi perusahaan diharapkan ramah terhadap lingkungan.

6. Tanggung jawab sosial kepada komunitas


Tanggung jawab sosial ini dapat dilakukan dengan cara memberikan corporate social
responsibility atau CSR. Memberikan bantuan seperti sarana prasarana untuk pendidikan,
kesehatan, infrastuktur atau hal lain yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Manfaat Etika Bisnis & Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Menjalankan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan tentu saja akan memberikan
manfaat yang banyak bagi perusahaan, seperti:
 Memberikan citra positif dan nilai lebih bagi perusahaan,

 Mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik internal maupun
eksternal perusahaan,
 Meningkatkan motivasi untuk semua pihak yang terlibat, dan lain sebagainya.
BAB X

BISNIS, LINGKUNGAN HIDUP, DAN ETIKA

Krisis lingkungan hidup

Masalah sekitar lingkungan hidup kita sadari bagaimana industri mengakibatkan timbulnya kota
– kota yang suram dan kotor. Tempat penghunian yang ada disekitar pabrik – pabrik
diasosiasikan dengan suasana asap, jelaga, dan bau tak sedap.

Keadaan suram dan gelap didaerah industri pada waktu dulu sering dipertentangkan dengan
keadaan romantis dikawasan pertanian dan perternakan. Jika didaerah pertanian bau pupuk alam
kadang – kadang bisa menyengat hidung juga tetapi faktor kurang bagus itu hanya bersifat
sementara dan hilang dalam suatu suasana menyeluruh yang positif. Sekarang polusi yang
disebabkan oleh industri mencapai tahap global dan tak terbatas pada beberapa industri saja.

Cara berproduksi besar-besaran dalam industri modern dulu mengandaikan begitu saja dua hal
yang sekarang diakui sebagai kekeliruan besar. Pertama bisnis modern mengandaikan bahwa
komponen – komponen lingkungan seperti air dan udara merupakan barang umum sehingga
boleh dipakai seenaknya saja. Kedua diandaikan pula bahwa sumber alam seperti air dan udara
itu tidak terbatas.
Sebaiknya kita memandang enam problem masalah lingkungan hidup :

 Akumulasi bahan beracun


 Efek rumah kaca
 Perusakan lapisan ozon
 Hujan asam
 Deforestasi dan penggurunan
 Keanekaan Hayati

Lingkungan hidup dan Ekonomi

Lingkungan hidup sebagai “the commons“

Sebelumnya kita lihat bahwa bisnis modern mengandaikan begitu saja status lingkungan hidup
sebagai ranah umum. Dianggapnya disini tidak ada pemilik dan tidak ada kepentingan pribadi.
Pengandaian ini adalah keliru. Kekeliruan itu dapat kita mengerti dengan lebih baik jika
kita membandingkan lingkungan hidup dengan the commons. The commons adalah ladang
umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan
secara bersama – sama oleh semua penduduknya. Sering kali the commons adalah padang
rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampong tempat pengangonan ternaknya.
Dizaman modern dengan bertambahnya penduduk sistem ini tidak dipertahankan lagi dan ladang
umum itu diprivatisasi dengan menjualnya kepada penduduk perorangan. Masalah lingkungan
hidup dan masalah kependudukan dapat dibandingan dengan proses menghilangnya the
commont. Jalan keluarnya adalah terletak pada bidang moralnya yakni dengan membatasi
kebebasan. Solusi ini memang bersifat moral karena pembatasan harus dilaksanakan dengan adil.
Pembatasan kebebasan itu merupakan suatu tragedi karena kepentingan pribadi harus
dikorbankan kepada kepentingan umum. Tetapi tragedi ini tidak bisa dihindari. Membiarkan
kebebasan semua orang justru akan mengakibatkan kehancuran bagi semua.

Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas

Dengan demikian serentak juga harus ditinggalkan pengandaian kedua tentang lingkungan hidup
dalam bisnis modern yakni bahwa sumber-sumber daya alam itu tak terbatas. Mau tak mau kita
perlu akui lingkungan hidup dan komponen – komponen yang ada didalamnya tetap terbatas,
walaupun barangkali tersedia dalam kuantitas besar. Sumber daya alam pun ditandai dengan
kelangkaan. Jika para peminat berjumlah besar maka air, udara, dan komponen – komponen
yang ada didalamnya akan menjadi barang langka dan karena itu tidak dapat dipergunakan lagi
secara gratis. Akibatnya faktor lingkungan hidup pun merupakan urusan ekonomi karena
ekonomi adalah usaha untuk memanfaatkan barang dan jasa yang langka dengan efisien sehingga
dinikmati oleh semua peminat.

Hubungan Manusia dengan alam

Masalah lingkungan hidup menimbulkan suatu cabang filsafat baru yang berkembang dengan
cepat yaitu filsafat lingkungan hidup. Salah satu ciri khas sikap manusia modern adalah usahanya
untuk menguasai dan menaklukan alam. Alam dipandang sebagai binatang buas yang perlu
dijinakan oleh manusia. Tujuan itu dibantu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang
perlu disadari bahwa hubungan manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan apalagi
bertentangan dengan alam karena ia termasuk alam itu sendiri seperti setiap makhluk hidup
lainnya. Pandangan manusia modern dengan alam adalah antroposentris karena menempatkan
manusia pada pusatnya. Pandangan baru yang kita butuhkan bila kita ingin mengatasi masalah
lingkungan hidup maka harus bersikap ekosentris dimana menempatkan alam dalam pusatnya.

Mencari dasar etika untuk tanggung jawab terhadap lingkungan

Hasil analisa kita sampai sekarang adalah bahwa hanya manusia mempunyai tanggung
jawab moral terhadap lingkungannya walaupun manusia termasuk alam dan sepenuhnya dapat
dianggap sebagai sebagian dari alam namun hanya ialah yang sanggup melampaui status
alaminya dengan memikul tanggung jawab. Isi tanggung jawab dalam konteks ekonomi dan
bisnis adalah melestarikan lingkungan hidup atau memanfaatkan sumber daya alam sedemikian
rupa hingga kualitas lingkungnnya tidak dikurangi tetapi bermutu sama seperti sebelumnya.

Disini kita mencari dasar etika untuk tanggung jawab manusia itu sendiri seperti sering terjadi
dasar etika itu disajikan oleh beberapa pendekatan yang berbeda yaitu

 Hak dan deontologi


 Utilitarisme
 Keadilan
Dibawah ini tiga cara untuk mengaitkan keadilan dengan masalah lingkungan hidup:

 Persamaan
 Prinsip penghematan adil
 Keadilan sosial

Implentasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup

Jika polusi memang merugikan lingkungan salah satu tindakan yang logis adalah dengan
melarang semua kegiatan yang akan mengakibatkan polusi. Tanggung jawab kita untuk
melindungi lingkungan hidup harus dipertimbangkan terhadap faktor – faktor lain khususnya
tentang kegiatan ekonomis kita.
BAB XI
ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL

Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih membekas dalam bahasa
Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang dari negeri asing”. Dengan saran
transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting
lagi. Berulang kali dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi:
kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam
“pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomi.
Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif. Internasionalisasi bisnis yang
semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan
jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam
bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus
berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.

Norma-norma moral yang umum pada taraf internasional?

Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah
relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap
norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti
bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang
tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada
taraf praktis dalam etika bisnis internasional. Apa yang harus kita lakukan, jika norma di negara
lain berbeda dengan norma yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban
atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
a) Menyesuaikan Diri
Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa(Kalau di
Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma) Artinya perusahaan harus mengikuti
norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa orang
Indonesia (Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung). Norma-norma moral yang penting
berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non moral untuk perilaku manusia bisa
berbeda di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya,
norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang
di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan.
b) Rigorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”, karena
mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka
mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan
di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di
tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak
mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan
regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma
etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji
di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa
situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
c) Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma
etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu
ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral.
Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan,
karena daya saingnya akan terganggu.

Masalah “dumping” dalam bisnis internasional

Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di
suatu negara lain dengan harga dibawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya
produksi. Yang akan merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen,
melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan.
Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda. Salah satu motif adalah
bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan untuk menjual
produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah berusaha untuk merebut
monopoli dengan membanting harga. Praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar
etika pasar bebas. Sebagaimana doping dalam perlombaan olah raga harus dianggap kurang etis
karena merusak kompetisi yang fair, demikian juga praktek seperti dumping menghancurkan
kemungkinan bagi orang bisnis untuk bersaing pada taraf yang sama. Kalau dilakukan dengan
maksud merebut monopoli, dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen.
Akan tetapi, tidak etis pula bila suatu negara menuduh negara lain mempraktekkan dumping,
padahal maksudnya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Jika negara lain bisa memproduksi
sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih efisien atau karena bisa
menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima oleh negara lain. Melanjutkan
perbandingan tadi, sebagaimana kita memiliki metode-metode yang objektif dan pasti untuk
membuktikan adanya praktek doping dalam bidang olah raga, demikian juga kita membutuhkan
prosedur yang jelas untuk memastikan adanya dumping. Kita membutuhkan suatu instansi
supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang objektif. Tetapi
dalam situasi dunia sekarang instansi seperti itu belum dimungkinkan. Dalam rangka Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai
model untuk membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya.

Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional

Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi
langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan dagang
dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional (KMN),
tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya. Kita semua
mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors, IBM,
Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia dan
menguasai nasib jutaan orang. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar
dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas
tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara
berkembang sudah mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak
mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri.
Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di wilayahnya,
jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan warga negara setempat.
Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak
lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak dalam konteks
ini. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama
dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi nuklir. Sepuluh
aturan itu adalah:
1. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian langsung.
2. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara di mana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada
pembangunan negara di mana ia beroperasi.
4. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi Multinasional
harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya.
6. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
7. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat.
8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab
moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
9. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga
supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi
Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai
dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.

Masalah korupsi pada taraf internasional

Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang
diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks
internasional.
BAB XII
Peranan Etika Bisnis Terhadap Bisnis
Etika bisnis dalam perusahaan mempunyai peran penting, yaitu untuk membentuk suatu
perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan
menciptakan nilai ( value-creation ) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.

Tidak dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing
tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat sehingga akan kontra produktif, misalnya
melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini
akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang
menjunjung tinggi nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki
peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaaan tidak mentolerir
tindakan yang tidak etis. Misalnya diskriminsi dalam sistem jenjang karier.

Peranan Etika dalam Bisnis :


Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok
yaitu :
1. Produk yang baik
2. Managemen yang baik
3. Memiliki Etika
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang
transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan
perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern
perusahaan maupun dengan eksternal.
Mampu meningkatkan motivasi pekerjaan
Melindungi prinsip kebebasan berniaga
Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Etika bisnis memang memiliki peranan penting dalam keberhasilan ataupun kegagalan sebuah
usaha. Etika bisnis sangat berpengaruh besar dalam hasil suatu usaha tingkah wirausaha yang
baik akan menentukan suatu usahanya tersebut dapat kearah yang berhasil atau gagal.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika
bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua
anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Perannya etika dalam suatu bisnis sangatlah berpengaruh besar,tingkat keberhasilan sutu usha
yng mempengaruhi salah satunya adalah etika yang dimiliki oleh seorang wirausahawan tersebut.
Etika bisnis perusahhan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu
perusahaan yang kokoh dan memiliki dsaya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan
menciptakan nilai yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh.

Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, system prosedur yang
transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari
pilihan dan tindakan individu manusia, indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai
penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung
jawab atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan
mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu
disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika
perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan
bertindak secara bermoral. Etika bisnis mempunyai prinsip dalam kaitan ini berhubungan dengan
berbagai upaya untuk menggabungkan berbagai nilai-nilai dasar (basic values) dalam
perusahaan, agar berbagai aktivitas yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan.

Anda mungkin juga menyukai