Anda di halaman 1dari 4

NAMA : RIFA HANA AZIZAH

NIM : 7311419115
ROMBEL : MANAJEMEN D 2019

BAB I
BISNIS DAN ETIKA DALAM DUNIA MODERN

A. Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis


Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis antara lain, faktor organisatoris-
manajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosio-kultural. Bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti
sekurang-kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan ini: sudut
pandang ekonomi, hukum, dan etika.
1. Sudut pandang ekonomi. Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Bisnis selalu bertujuan memperoleh
keuntungan. Dipandang dari sudut pandang ekonomis, bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa
banyak untung.
2. Sudut Pandang Moral. Sudut pandang lain dalam bisnis yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut
pandang moral. Disamping aspek ekonomi dalam bisnis, disini tampak aspek lain: aspek moral. Bisnis
yang baik bukan saja bisnis yang menguntungan. Bisnis yang baik adalah bisnis yang baik secara moral.
3. Sudut pandang hukum. Beberapa alasan untuk perlunya sudut pandang hukum disamping sudut
pandang moral yaitu: banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang; proses
terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya memakan waktu lama, sehingga
masalah-masalah baru tidak segera bisa diatur secara hukum; hukum itu sendiri sering kali bisa
disalahgunakan; bisa terjadi, hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan
sulit untuk dilaksanakan; hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu
sendiri tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral.
4. Tolak ukur sudut pandang ini. Tiga macam tolak ukur: hati nurani, kaidah emas, dan penilaian
masyarakat umum.
a. Hati Nurani. Suatu perbuatan adalah baik, jika sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain
adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani.
b. Kaidah Emas. Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya
dengan kaidah emas. Kaidah emas positif berbunyi: “Hendaklah memperlakukan orang lain
sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan”. Kaidah emas negative berbunyi “Jangan melakukan
terhadap orang lain, apa yang anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri anda”.
c. Penilaian Umum. Cara ketiga untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah
menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Agar disebut dengan good business, tingkah
laku bisnis harus memenuhi syarat-syarat dari semua sudut pandang diatas.
B. Apa Itu Etika Bisnis?
Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis”
bisa berbeda artinya. Etika sebagai praksis berarti: nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan
atau atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Etika sebagai praksis sama artinya
dengan moral atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan
sebagainya. Etika sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya
perilaku orang.
C. Perkembangan Etika Bisnis
Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam tahun 1970-
an dan agak cepat meluas ke kawasan dunia lainnya. De George membedakan lima periode dalam
perkembangan etika-dalam-bisnis menjadi etika bisnis ini.
1. Situasi dulu. Dengan membatasi diri pada situasi di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20,
De George melukiskan bagaimana di perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis
terutama disoroti dalam teologi.
2. Masa peralihan tahun 1960-an. Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat
sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya.
3. Etika Bisnis Lahir di Amerika Serikat: Tahun 1970-an. Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual
dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Ada dua
faktor yang memberi kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada
pertengahan tahun 1970-an: sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis
sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang
meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Faktor kedua yang memacu timbulnya etika bisnis sebagai
suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis amerika pada awal tahun
1970-an.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: Tahun 1980-an. Di eropa barat etika bisnis sebagai ilmu baru mulai
berkembang kira-kira sepuluh tahun kemudian, mula-mula di Inggris yang secara geografis maupun
kultural paling dekat dengan Amerika Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga negara-negara eropa
barat lainnya.
5. Etika Bisnis Menjadi Fenomena Global Tahun 1990-an. Dalam dekade 1990-an sudah menjadi jelas,
etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia barat. Memang benar apa yang dikatakan Ricard De George:
etika bisnis bersifat nasional, internasional, dan global seperti bisnis itu sendiri.
D. Faktor Sejarah Dan Budaya Dalam Etika Bisnis
1. Kebudayaan Yunani Kuno. Masyarakat yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap
kegiatan dagang dan kekayaan. Dalam Karya aris toteles (384-322 SM) Politica ia menilai sebagai
tidak etis setiap kegiatan menambah kekayaan. Kalau kita sepakat bahwa bisnis selalu
mengandung unsur mencari keuntungan, aris toteles menolak bisnis dalam arti modern itu sebagai
tidak etis.
2. Agama Kristen. Dalam Alkitab perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju kekayaan,
dapat dimengerti juga kalau pada permulaan sejarah Gereja Kristen perdagangan dipandang
sebagai syak wasangka.
3. Agama Islam. Dalam agama Islam berpandangan lebih positif terhadap perdagangan dan kegiatan
ekonomis. Dalam Al-Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak
dilarang mencari kekayaan dengan cara halal.
4. Kebudayaan Jawa. Clifford Geertz pada tahun 1950-an di kota Jawa Timur yang disebutnya
Modjokuto (nama samaran untuk Pare), menemukan disitu empat golongan: priyayi, para
pedagang pribumi (wong dagang), orang kecil yang bekerja sebagai buruh tani atau tukang (wong
cilik), orang Tionghoa (wong cina) yang hampir semua bekerja di bidang perdagangan.
5. Sikap Modern Dewasa Ini. Kegiatan bisnis sekarang dinilai sebagai pekerjaan terhormat dan
semakin dibanggakan sejauh membawa sukses, sedangkan dulu bisnis cukup lama mendapat nama
yang begitu jelek karena berkaitan dengan pencarian untung sebagai tujuan bisnis.
E. Kritis Atas Etika Bisnis
1. Etika Bisnis Mendiskriminasi. Peeter Drucker mengemukakan kritik dalam sebuah artikel yang
diterbitkan dalam majalah The Public Interest dan kemudian dalam bentuk lebih populer diulangi
lagi dalam majalah Forbes, ia keberatan bahwa etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi.
2. Etika Bisnis Itu Kontradiktif. Kritik ini ditemukan dalam kalangan populer yang cukup luas.
Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai suatu usaha naif.
3. Etika Bisnis Tidak Praktis. Menurut Stark, etika bisnis adalah “too general, too theoretical, too
impractical”. Ia menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para
professional di bidang manajemen.
4. Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggung Jawab. Etika bisnis sama sekali tidak
bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para pebisnis, para manajer, atau pelaku
moral lain dibidang bisnis.

BAB II
SEKILAS TEORI ETIKA
1. Utilitarianisme
“Utilitarianisme” berasal dari kata latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu
perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua
orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
2. Deontologi
Istilah “Deontologi” ini berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Deontologi melepaskan
sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan
adalah kewajiban. Hanya itu, kita tidak perlu bertanya lebih lanjut. Konsekuensi perbuatan dalam hal
ini tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik,
melainkan hanya wajib dilakukan. Jadi, deontologi selalu menekankan perbuatan tidak dihalalkan
karena tujuannya.
3. Teori Hak
Teori hak ini merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya
suatu perbuatan atau perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi,
karena hak berkaitan dengan kewajiban.
4. Teori Keutamaan
Teori tipe terakhir ini adalah teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap seseorang atau akhlak
seseorang. Tidak ditanyakan: apakah suatu perbuatan tertrntu adil, atau jujur, atau murah hati
melainkan: apakah orang itu bersikap adil, jujur, murah hati, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai