Anda di halaman 1dari 12

MATERI ETIKA BISNIS

Dr. Putut Marhaento


Tatap muka #6
Pokok Bahasan:
Perspektif etika bisnis dalam ajaran islam dan barat, etika profesi, bisnis sebagai profesi
luhur

Sub Pokok Bahasan :


1. Beberapa aspek etika bisnis islami
2. Teori ethical egoism
3. Teori relativisme
4. Pengertian profesi
5. Kode etik
6. Prinsip etika profesi
7. Bisnis sebagai Profesi Luhur

1. Aspek etika bisnis islami


Etika bisnis dalam Islam adalah sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al
Islamiyah) yang dibungkus dengan nilai-nilai syariah yang mengedepankan halal
dan haram. Jadi perilaku dalam berbisnis yang etis itu ialah perilaku seseorang yang
dalam menjalankan bisnis mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangnya. Dalam
Islam etika bisnis ini sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur dan sumber
utamanya adalah Al-Quran dan sunnaturrasul. Pelaku-pelaku bisnis diharapkan
bertindak secara etis dalam berbagai aktivitasnya. Kepercayaan, keadilan dan
kejujuran adalah elemen pokok dalam mencapai suksesnya suatu bisnis yang
dijalankan.
Bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi ekonomi, melainkan
juga oleh perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi dan teknologi serta
pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para stakeholders-nya. Bisnis
tidak dipandang secara sempit dengan tujuan memaksimalkan nilai (ekonomi)
bagi pemiliknya, tetapi bisnis harus tetap mempertimbangkan segala sesuatu
yang mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. Tujuan bisnis untuk
memaksimumkan keuntungan bagi pemilik perusahaan dapat dicapai secara lebih

1
baik yaitu dengan memperhatikan manusia, memanusiakan manusia dan
melakukan langkah-langkah yang harmonis dengan seluruh stakeholders, seluruh
partisipan dan lingkungan tempat perusahaan berada. Islam memberikan kebebasan
kepada pemeluknya untuk melakukan usaha (bisnis), namun dalam Islam ada
beberapa prinsip dasar yang menjadi etika normatif yang harus ditaati ketika
seorang muslim akan dan sedang menjalankan usaha. Prinsip-prinsip etika bisnis
islami yaitu:
a. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Kesatuan (Tauhid/Unity) dalam konsep tauhid memadukan keseluruhan aspek-
aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh.
b. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis dan melarang
berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun
keadilan. Dosa besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara
kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis merupakan tanda awal kehancuran dari bisnis yang
dijalankan, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan.
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan
mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan
dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,”
(Q.S. al-Isra’: 35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil, tidak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang beriman,
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena

2
Allah SWT menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah
karena adil lebih dekat dengan takwa.”
c. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, sejauh
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka
lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia
untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya
yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu
terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
d. Tanggung jawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia
karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk
memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu
mempertanggungjawabkan tindakannya secara logis, prinsip ini berhubungan
erat dengan kehendak bebas. Akuntabilitas menetapkan batasan mengenai apa
yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.
e. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini mengandung pula dua unsur sikap perilaku yaitu
kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai
niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses
mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses
upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
2. Teori Ethical Egoism
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada
dasarnya bertujuan untuk mengejar keuntungan pribadi dan memajukan dirinya
sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar
kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan

3
serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan
kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg
bersifat vulgar. Egoisme bermaksud bahwa sesuatu tindakan adalah betul dengan
melihat kepada kesan tindakan individu. lndividu yang berpegang kepada falsafah ini
percaya bahwa mereka harus mengambil keputusan yang dapat memaksimumkan
manfaat untuk diri sendiri. Terminologi “egoisme” berasal dari kata latin “ego”, yang
berarti “aku”.
Terdapat dua kategori utama Egoisme yaitu Psychological Egoism dan Ethical
Egoism.
a). Egoisme Secara Psikologi
Psychological Egoism berpandangan bahwa setiap orang senantiasa
didorong oleh tindakan untuk memuaskan kepentingan diri sendiri. Pendapat
lainnya juga menyatakan bahwa manusia senantiasa melakukan kegiatan-
kegiatan yang dapat memuaskan hati mereka ataupun yang berhubungan
dengan kepentingan pribadi. Teori ini menerangkan bahwa alasan seseorang
atau individu bertindak demikian karena semata-mata untuk memenuhi hasrat
pribadi. Sekiranya pandangan ini dianggap benar maka keseluruhan prinsip etika
menjadi tidak berguna lagi.
b)   Egoisme Etikal
Ethical Egoism menegaskan bahwa seseorang tidak seharusnya secara
mutlak mengabaikan kepentingan orang lain tetapi perlu mempertimbangkannya
apabila tindakan itu secara langsung akan membawa kebaikan kepada diri
sendiri. Ethical Egoism adalah berbeda dengan prinsip-prinsip moral seperti
senantiasa bersikap jujur, amanah dan berbicara benar.
3. Teori Relativisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif.
Sesuai dengan arti katanya, secara umum relativisme berarti bahwa perbedaan
manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan
perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, teori
relativisme menyatakan bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah

4
tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran seperti ini
dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.
Makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah
doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas selalu berkaitan dengan
budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut
dalam ensiklopedi ini menjelaskan pula bahwa dalam paham relativisme apa yang
dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa
berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi
sosial.
4. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah
hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan
melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Profesi juga sebagai pekerjaan
yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan
lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang
hukum, kedokteran, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional.
Walau demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang
menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju
profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara
olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi. Dengan demikian
orang yang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan
hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi
serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaan itu. Dengan kata lain,
orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang
tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjaan
tersebut.
Orang yang profesional adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang
mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan seluruh dirinya dan dengan giat, tekun,

5
serta serius menjalankan pekerjaannya itu. Karena dia sadar dan percaya bahwa
pekerjaannya telah menyatu dengan dirinya. Pekerjaannya itu membentuk identitas dan
kematangan dirinya, dan karena itu dirinya berkembang bersama dengan
perkembangan dan kemajuan pekerjaannya itu. Ia tidak lagi sekedar menjalankan
pekerjaannya sebagai hobi, sekedar mengisi waktu luang, atau secara asal-asalan.
Komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam
atas pekerjaannya.
5. Kode Etik
Profesi adalah suatu moral community(masyarakat moral) yang memiliki cita-cita
dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena
latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian tertutup
bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai
kekuasaan tersendiri dan karena itu memiliki tanggung jawab khusus. Karena memiliki
monopoli atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi
orang dari luar dan menjadi suatu halangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang
menggunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti ini dapat mengakibatkan
kecurigaan jangan-jangan ia dipermainkan. Kode etik dapat menetralisir segi negatif
profesi ini. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat
diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan
terjamin. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan
sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai dan juga aturan profesi secara tertulis
yang dengan tegas menyatakan apa yang benar dan baik serta apa yang tidak benar
dan tidak baik bagi mereka yang memiliki profesi tersebut. Kode etik menyatakan
perbuatan apa saja yang benar/salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan
perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya definisi kode etik yaitu
suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu
kegiatan/suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan / tata cara sebagai
pedoman berperilaku. Tujuan kode etik yaitu supaya setiap orang pada profesi tersebut

6
memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada para pemakai atau klien. Dengan adanya
kode etik akan melindungi perbuatan dari yang tidak profesional.
6. Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk
masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang
berlaku untuk suatu profesi. Empat prinsip etika profesi yang paling tidak berlaku untuk
semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya,
karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang berlaku bagi semua orang, juga
berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.

a. Prinsip Tanggung Jawab.


Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang
profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab.
Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap
hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan
juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin
dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan mutu
yang terbaik. Dengan kata lain, Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya
sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya
maupun terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak
profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya
kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu
membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus
bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti
kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral karena telah melakukan
kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya .
b. Prinsip Prinsip Keadilan .

7
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan
profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya
orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Demikian pula, prinsip ini
menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh
melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak
membayar jasa profesionalnya. Prinsip “siapa yang datang pertama mendapat
pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam
arti yang seluas-luasnya. Jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-
bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai
terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanan profesional dikurangi kepada orang
yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini
dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang
mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang
yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka
melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam
membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan
etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan
untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status
atau tingkat kekayaan orang tersebut.
c. Prinsip Otonomi.
Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia
luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya.
Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena,
hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada
pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini
terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus
menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh
mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar
kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan
inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu

8
dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional
harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika
profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa
campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi
dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas
kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi,
otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional.
Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu,
dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak
dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional,
pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar
pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi,
otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama.
Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan
tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu,
termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu
dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib
ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi
campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika
profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi
itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah
dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada
profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia
meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.
d. Prinsip Integritas Moral.

9
Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang
profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi.
Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama
baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian,
sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri
bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama
baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya
sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang
dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan
mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau
melakukan tindakan yang melanggar nilai yang dijunjung tinggi profesinya. Seorang
hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah
kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang
bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan
profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan
terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi
mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu
kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat
pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan
mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi
mempertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip
integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh,
khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini
(keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi
(profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak
akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut,
melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani
masyarakat.
8. Bisnis sebagai Profesi Luhur

10
Persaingan bisnis yang ketat dewasa ini menuntut dan menyadarkan para pelaku
bisnis untuk menjadi orang yang profesional. Profesionalisme sudah menjadi
keharusan. Hanya saja, sikap profesionalisme yang dimaksudkan dalam dunia bisnis
hanya terbatas pada kemampuan teknis menyangkut keahlian dan keterampilan
yang terkait dengan bisnis manajemen, produksi, pemasaran, keuangan, personalia
dan seterusnya. Itu terutama karena dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi
mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.
Yang sangat dilupakan dan tidak banyak mendapat perhatian adalah bahwa
profesionalisme dan sikap profesional juga mengandung pengertian komitmen
pribadi dan moral pada profesinya dan pada kepentingan pihak-pihak terkait. Orang
yang profesional berarti orang yang memiliki komitmen pribadi yang tinggi, yang
serius dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas
pekerjaannya agar jangan sampai merugikan pihak lain. Orang yang profesional
adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu
yang sangat baik karena komitmen dan tanggung jawab moral pribadinya.
Ini yang sering dilupakan dalam dunia bisnis. Itu sebabnya bisnis hampir tidak
pernah atau belum dianggap sebagai sebuah profesi luhur. Bahkan sebaliknya
seakan ada jurang pemisah antara dunia bisnis dengan etika. Tentu saja ini
terutama disebabkan oleh pandangan dan anggapan masyarakat yang melihat bisnis
sebagai sebuah pekerjaan yang kotor, penuh tipu menipu, penuh kecurangan dan
pada akhirnya dicemoohkan. Bahkan tidak hanya masyarakat, melainkan sering
orang bisnis sendiri menganggap dirinya bahwa memang pekerjaannya adalah tipu-
menipu, makan-memakan, caplok-mencaplok hanya demi keuntungan. Jadi, mereka
sendiri menilai dirinya sendiri sebagai orang kotor. Maka tidak heran bisnis
mendapat konotasi jelek, sebagai kerjaannya orang-orang kotor, yang disimbulkan
oleh lintah darat, yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak fair, secara
tidak halal, dan dengan memakan orang lain. Seakan pertanyaan utama bagi orang
bisnis bukan lagi besok makan apa? atau besok makan di mana? melainkan besok
makan siapa?

11
Kesan dan sikap masyarakat, serta orang bisnis sendiri, seperti itu disebabkan oleh
ulah orang-orang, atau lebih tepatnya segelintir orang bisnis, yang memperlihatkan
citra yang begitu negatif tentang bisnisnya di mata masyarakat. Beberapa orang
bisnis yang hanya ingin mengejar keuntungan dengan menawarkan barang dan jasa
dengan mutu yang rendah, yang tidak mempedulikan pelayanan konsumen bahkan
tidak mempedulikan keluhan konsumen, yang menawarkan barang tidak seperti
yang diiklankan atau tidak sebagaimana tertera pada labelnya, yang mencaplok
bisnis atau perusahaan lain, yang melakukan bisnis fiktif, dan seterusnya telah
menyebabkan bisnis mendapat citra yang begitu negatif. Maka, bisnis terlanjur
dianggap sebagai profesi yang kotor, atau paling tidak jauh dari sentuhan etika dan
moralitas.
Berdasarkan pengertian profesi yang menekankan keahlian dan keterampilan yang
tinggi serta komitmen moral yang mendalam, maka jelas kiranya bahwa pekerjaan
yang kotor tidak akan disebut sebagai profesi. Karena itu sesungguhnya bisnis
bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati
kata profesi, dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan
kegiatan bisnis. Namun di pihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang
bisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan
bisnisnya sebagai sebuah profesi dalam pengertiannya sebagaimana dijelaskan di
atas. Mereka tidak hanya memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi tapi punya
komitmen moral yang mendalam. Karena itu bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun
dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertian yang sebenarnya, bahkan menjadi
sebuah profesi luhur.

TERIMAKASIH SELAMAT BELAJAR

12

Anda mungkin juga menyukai