Anda di halaman 1dari 9

MODUL PERTEMUAN 11

ASPEK ETIKA BISNIS

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada bab ini akan memaparkan secara terintegrasi wawasan studi kelayakan bisnis. Adapun
tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut:

1. Mahasiswa mampu menjeleskan Pengertian Etika Bisnis,


2. Mahasiswa mampu memahami Prinsip dan Kerangka Kerja Etika
2. Mahasiswa mampu memahami Hak dan Kewajiban Konsumen, Hak dan Kewajiban
Produsen.
3. Mahasiswa mampu memahami Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Etika di
Lingkungan Kerja, Etika Bisnis di Perusahaan.

B. ETIKA BISNIS
Etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana berperilaku jujur, benar dan
adil. Etika merupakan cabang ilmu filsafat, mempelajari perilaku moral dan immoral,
membuat pertimbangan matang yang patut dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau
kelompok tertentu. Etika dikategorikan sebagai filsafat moral atau etika normatif. Etika
adalah suatu perilaku normatif. Etika normatif mengajarkan segala sesuatu yang sebenarnya
benar menurut hukum dan moralitas. Etika mengajarkan sesuatu yang salah adalah salah dan
sesuatu yang benar adalah benar. Sesuatu yang benar tidak dapat dikatakan salah dan
sebaliknya sesuatu yang salah tidak dapat dikatakan benar. Benar dan salah tidak dapat
dicampur adukkan demi kepentingan seseorang atau kelompok. Pertama, etika berasal dari
kata Yunani ethos, bentuk jamaknya (ta etha) berarti „adat istiadat‟. Berarti etika
berhubungan dengan kebaikan hidup, kebiasaan atau karakter baik terhadap seseorang,
masyarakat atau terhadap kelompok masyarakat. Kedua, Etika dalam pengertian kedua ini
dimengerti sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma
yang diberikan oleh moralitas dan etika.
Sumber Etika Bisnis Boone and Curtz (2002:45), terdapat empat kekuatan utama yang
membentuk etika bisnis, yaitu;
1. Kekuatan individual. Nilai-nilai etis dari para eksekutif dan karyawan di semua
tingkat dapat mempengaruhi berbagai keputusan dan tindakan yg diambil suatu bisnis.
2. Kekuatan organisasional. Organisasi memberikan dukungan maupun penghargaan
terhadap setiap tindakan etis.
3. Kekuatan masyarakat. Mayarakat memberikan tekanan pada perusahaan yang
berperilaku tidak etis.
4. Kekuatan hukum. Sebagai langkah perlindungan pemerintah pusat maupun daerah
memberlakukan peraturan yang mengatur praktek bisnis.
Prinsip Etika Bisnis Menurut Keraf (1998) dalan Arijanto (2012) setidaknya ada lima
prinsip etika bisnis yang dapat dijadikan titik tolak pedoman perilaku dalam menjalankn
prakteik bisnis yaitu; prinsip otonomi, kejujuran, keadilan, saling menguntungkan, dan
integritas moral.
1. Prinsip Otonomi.
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan
kesadaran-nya sendiri. Bertindak secara otonom mengandaikan adanya kebebasan
mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu. Otonomi juga
mengandaikan adanya tanggung jawab. Dalam dunia bisnis, tanggung jawab
seseorang meliputi tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, pemilik perusahaan,
konsumen, pemerintah, dan masyarakat
2. Prinsip Kejujuran.
Prinsip kejujuran menanamkan sikapbahwa apa yang dipikirkan adalah yang
dikatakan, dan apa yang dikatakan adalah apa yang dikerjakan. Prinsip kejujuran
meliputi pemenuhan syarat-syarat perjanjian atau kontrak, mutu barang atau jasa yang
ditawarkan, dan hubungan kerja dalam perusahaan. Prinsip ini paling problematik
karena masih banyak pelaku bisnis melakukan penipuan.
3. Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan menanamkan sikap untuk memperlakukan semua pihak secara adil ,
yaitu suatu sikap yang tidak membeda-bedakan dari berbagai aspek, aspek ekonomi,
hukum, agama , jenis kelamin dan sebagainya. Prinsip ini menuntut agar kita
memberikan apa yang menjadi hak seseorang di mana prestasi dibalas dengan kontra
prestasi yang sama nilainya.
4. Prinsip Saling Menguntungkan.
Prinsip saling menguntungkan menamkan kesadaran bahwa dalam berbisnis perlu
ditanamkan prinsip win-win solution, artinya dalam setiap keputusan dan tindakan
bisnis harus diusahakan agar semua pihak merasa diuntungkan. Prinsip ini
mengarahkan agar kita secara aktif dan maksimal berbuat baik atau menguntungkan
orang lain, dan apabila hal itu tidak bisa dilakukan, kita minimal tidak melakukan
sesuatu yang tidak merugikan orang lain atau mitra bisnis
5. Prinsip integritas moral
Prinsip integritas moral adalah prinsip untuk tidak merugikan orang lain dalam segala
keputusan dan tindakan bisnis yang diambil. Prinsip ini dilandasi oleh kesadaran
bahwa setiap orang harus dihormati harkat dan martabatnya. Inti dari prinsip integritas
moral ini adalah apa yang disebut sebagai the golden game atau kaidah emas,
yaitu:”kita memper-lakukan seseorang sebagaimana kita ingin diperlakukan dan tidak
akan memperlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin diperlakukan”.
Adapin secara definisi Etika bisnis menurut beberapa pakar sebagai berikut :
1. Mulyadi Nitisusatro (2010) etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku oengusaha
berdasarkan nilai-nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat
keputusan dan memecahkan persoalan
2. Manuel G. Vealsquez (2005), etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan
mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkosentrasi pada standar moral
sebagaimana diterpakan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
3. Muslich (2004), etika bisnis adalah suatu pengetahuan tentang tata cara ideal
pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang
berlaku secara universal.

Etika dalam Studi Kelayakan Bisnis (SKB)


Bertanya mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya
mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis di sini hanya merupakan suatu
bidang khusus dari kondisi manusia secara umum. Beberapa dasar aktifitas bisnis perlu
mempertimbangkan faktor ajaran religion, kepentingan sosial dan perilaku pebisnis yang
bernilai utama. Sama seperti aspek-aspek lain dalam bisnis, studi kelayakan bisnis pun
mengharapkan perilaku etis dari para pelakunya. Perilaku etis ini dimaksudkan merupakan
prilaku yang mengacu kepada norma-norma atau standar-standar moral pribadi dan
hubungannya dengan orang lain agar dapat terjamin bahwa tidak seorang pun yang dirugikan.
Agar lebih mudah dipahami penulis menyajikan bagaimana hendaknya suatu etika bagi
peneliti/penilai suatu studi kelayakan bisnis terhadap responden, asisten dan klien.
1. Etika Peneliti pada Responden
Dalam melakukan pengumpulan data, lindungi hak-hak responden, misalnya
responden tidak akan merasa dirugikan baik secara fisik maupun mental. Jika peneliti
berhubungan langsung dengan responden, jelaskanlah secara langsung tujuan dan
manfaat- manfaat yang akan didapat dari studi ini sehingga responden maklum. Ada
kalanya peneliti terpaksa melakukan penipuan misalnya dalam rangka menjaga
kerahasiaan pihak ketiga. Penipuan sebaiknya tidak dipakai sebagai usaha untuk
menaikkan tingkat respons. Jika ada kemungkinan bahwa data dapat merugikan
responden, perlu mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dimana batasan-
batasan tersebut dirinci. Bagi kebanyakan studi kelayakan bisnis, biasanya cukup
dinyatakan secara lisan saja. Pemberitahuan kemudian kepada responden tentang hasil
studi yang bersumber dari data responden akan membuat responden mempunyai
pandangan yang sangat positif terhadap penelitian. Tidak perlu seluruh hasil studi,
tetapi cukuplahdari suatu aspek tertentu saja dan dapat diinformasikan, misalnya
dengan cara-cara statistic. Yang penting adalah bahwa responden tidak hanya sekedar
dimanfaatkan saja, tentu selama yang bersangkutan menghendaki hasil studi tersebut.
Didalam proses pengumpulan data dari para responden, perlu diingat ha katas
kebebasan pribadi, misalnya orang mempunyai hak untuk menolak diwawancarai,
sehingga peneliti harus meminta izin terlebih dahulu.
2. Etika Peneliti pada Klien
Dalam suatu studi kelayakan bisnis, perimbangan pertimbangan-pertimbangan etis
terhadap klien juga perlu diperhatikan karena klien juga memilki hak atas penelitian
yang dilaksanakan secara etis. Klien ingin identitasnya tidak diketahui, misalnya
dalam melakukan riset pasar suatu produk baru atau klien akan masuk pada pasar
yang baru sehingga identitasnya tidak mau diketahu oleh pesaing. Peneliti harus
menghargai keinginan itu dan membuat rencana yang menjaga identitas kliennya.
Klien mempunyai hak untuk mendapatkan hasil studi yang berkualitas. Tetapi
kadang-kadang klien berpersepsi lain tentang apa yang dimaksud berkualitas itu,
sehingga peneliti harus mengarahkan danmenjelaskannya.
3. Etika Peneliti pada Asisten Peneliti
biasanya dibantu oleh asisten peneliti. Tidak etis jika menugaskan seseorang asistan
untuk melakukan sesuatu, misalnya melakukan wawancara langsung di suatu tempat
yang kurang aman sehingga bisa terancam secara fisik. Akibatnya dapat saja asisten
peneliti memalsukan instrument penelitian. Seharusnya, peneliti menyediakan fasilitas
lain yang membuat asistennya merasa nyaman. Peneliti harus menuntut perilaku etis
dari para asistennya. Perilaku asisten berada dibawah tanggung jawab dan
pengawasan langsung peneliti, sehingga apabila asisten berbuat curang maka
penelitilah yang harus bertanggung jawab. Maka sebaiknya asisten selain diberi
pelatihan dan supervisi yang baik, juga diberikan bekal mental yang kuat untuk tidak
melakukan tindakan penyelewengan.
4. Etika Klien
Bisa saja terjadi atau bahkan sering terjadi dimana peneliti suatu studi kelayakan
bisnis diminta oleh kliennya untuk mengubah data, mengartikan data dari segi yang
menguntungkan, menghilangkan bagian-bagian dari hasil analisis data yang dianggap
merugikannya, dan sebagainya. Hal seperti ini merupakan contoh perilaku tidak etis
dari klien. Apabila peneliti menuruti kehendak klien yang seperti ini, maka hal ini
merupakan pelanggaran terhadap standarstandar etika. Hal-hal seperti ini bisa saja
terjadi oleh beberapa sebab. Misalnya, bayaran yang diterima lebih tinggi dari
sewajarnya

B. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN


Seperti kita ketahui, konsumen terkadang pada praktik bisnis dalam beberapa hal tidak
mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Adapun Undang-Undang sendiri telah
mengatur hak dan kewajiban konsumen sebagaimana tertuang pada UU No.8 Tahun 1999
Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4, yakni ;
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.

Adapun kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 UU Perlindungan Konsumen yakni :


1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut;

C. Hak Dan Kewajiban Produsen/Pelaku Usaha


Dalam UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 telah menyebutkan pengertian
dari pelaku usaha yakni Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.” Adapun hak dan kewajiban sebagai pelaku usaha yakni diuraikan sebagai
berikut :
Hak Pelaku usaha
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999
adalah ;
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

D. ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN


Saat ini yang menjadi perhatian terbesar dari perusahaan kepada masyarakat telah
ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan
masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap
karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi
konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa
negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan
hukum seringkali dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan
(misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam
manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan Tanggung jawab Sosial
Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dalam membuat keputusan investasi
mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially
responsible investing). Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan
sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh
Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan
sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan pada masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian
yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk
sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga
menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan
meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya
konsep CSR, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan
sosial di atas.
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang
secara khusus bergerak dibidang "pembangunan yang berkelanjutan" (sustainable
development) mengartikan Corporate Social Responsibility (CSR) berikut ini. " Tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR) adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia
usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari
komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup
pekerjanya beserta seluruh keluarganya".
Mengutip dari makalah Dr. Chris Marantika dalam Seminar Ekonomi Pancasila yang
diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, dikemukakan bahwa peranan etika dihubungkan
dengan dunia bisnis dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah keseimbangan dalam
prinsip, praktek, pendapatan maupun pembagian hasil Prinsip keseimbangan yang utama
adalah keseimbangan di antara azas ”kasih kepada sesama manusia” dan ”kasih kepada diri
sendiri”. Kecenderungan mencari kenikmatan pribadi yang berlebihan dapat dijinakkan oleh
hadirnya ”kasih kepada sesama manusia”. Sedangkan kecenderungan untuk mencari identitas
individu dapat dinetralisir sejauh penjangkauan potensi tertinggi namun tidak dengan berpijak
di atas puing-puing kehancuran sesama. Haruslah dipelihara keseimbangan di antara nilai-
nilai individu dan nilai-nilai masyarakat, di antara kontrol dan kebebasan, di antara kebutuhan
pribadi dengan kebutuhan masyaarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Bartens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta.

Boone & Kurtz.. 2007. Contemporary Business, Pengantar Bisnis Kotemporer, Penerbit
Salemba Empat. Jakarta

Ernawan, Erni R. 2007. Business Ethics : Etika Bisnis. Alfabeta. Bandung

Kasmir & Jakfar., (2017). Studi Kelayakan Bisnis : Edisi. Cetakan Ke-12. Jakarta: Prenada
Media Group

Nawi, Syahruddin. 2018. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN MENURUT UU NO.8


TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Pleno De Jure, Vol. 7 No. 1,
Juni 2018

Sudaryono. 2015. Studi Kelayakan Bisnis : Teori, Analisa, dan Teknik Penyusunan Proposal.
Jakarta: Lentera Ilmu Cendikia. Kasmir & Jakfar.,

Anda mungkin juga menyukai