Disusun Oleh :
Kelompok 11
Singgih Prasetianto 2018008468
Ismi Suaidi 2018008482
Aminah 2018008473
Kelas 4 A12
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mahasiswa dapat mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis
Dalam bisnis ada sudut pandang yang tidak boleh diabaikan, yaitu
sudut pandang moral. Disamping aspek ekonomis dari bisnis, terdapat
aspek moral yang mana dalam mencari keuntungan tidak sampai
merugikan orang lain. Jadi, terdapat batasan dalam mewujudkan tujuan
perusahaan yang mengejar keuntungan. Selalu ada kendala etis atau moral
bagi perilaku bisnis. Tidak semuanya yang bisa perusahaan lakukan untuk
mengejar keuntungan boleh dilakukan, perusahaan harus menghormati
kepentingan dan hak orang lain tetapi jangan sampai juga merugikan
perusahaan itu sendiri.
Bisnis yang baik bukan hanya bisnis yang menguntungkan, bisnis yang
baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik dalam
dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-
norma moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan dengan atau
menyimpang dari norma-norma moral.
Bisnis juga terikat oleh hukum. Hukum dagang atau Hukum bisnis
merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Hukum merupakan
sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan
atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas daripada
etika, karena peraturan hukum tertulis hitam diatas putih dan ada sankdi
tertentu, bila terjadi pelanggaran.
Bisnis harus menaati hukum dan peraturan yang berlaku. Bisnis yang
baik antara lain berarti juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut
pandang hukum itu tidak cukup, perlu adanya sudut pandang lain, yaitu
sudut pandang moral. Kita membutuhkan norma moral yang menetapkan
apa yang etis atau yang tidak etis dilakukan.
a. Hati nurani
b. Kaidah emas
Cara lebih obyektif dalam menilai baik buruknya perilaku moral
adalah mengukurnya dengan kaidah emas yang berbunyi: “hendaklah
memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin
diperlakukan”. Perilaku bisa dianggap baik, bila memperlakukan orang
lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan.
B. Etika Bisnis
Etika bisnis dapat dijalankan pada tiga taraf, yaitu: taraf makro, meso, dan
mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk
menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis. Pada taraf makro, etika bisnis
mempalajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan.
Pada tahap meso, etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis dibidang
organisasi. Dan pada taraf mikro, yang difokuskan adalah individu dalam
hubungan dengan ekonomi atau bisnis.
Dalam sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari
etika. Perhatian etika untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Sejak
manusia terjun dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak
terlepas dari masalah etis. Etika bisnis pertama kali timbul di amerika serikat
dalam tahun 1870-an dan agak cepat meluas kekawasan dunia. Dengan
memnfaatkan pemikiran De George kita dapat membedakan lima periode
dalam perkembangan etika dalam bisnis.
1. Situasi dahulu
Ada dua faktor yang memberi kontribusi bsar kepada kelahiran etika
bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an. Pertama,
sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis
sekitar bisnis. Kedua, etika bisnis dianggap suatu tanggapan tepat atas
krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat.
Dalam dekade 1990-an etika bisnis sudah tidak terbatas lagi pada
dunia barat. Kini etika bisnis dipelajari, diajarkan, dan dikembangkan di
seluruh dunia, karena etika bisnis sendiri bersifat nasional, internasional,
dan global. Sejak dimulainya leberalisasi ekonomi di eropa timur, dan
sejak runtuhnya komunisme sebagai sistem politik dan ekonomi akhir
tahun 1980-an, negara-negara ekskomunis merasakan kebutuhan besar
akan pegangan etis, karena disadari peralihan ekonomi pasar bebas tidak
bisa berhasil jika tidak disertai etika bisnis. Etika bisnis menjadi perhatian
besar di negara yangmemiliki ekonomi kuat. Selain itu, bukti lain sifat
global etika bisnis adalah didirikannya International Society for Business,
Economics, and Ethics (ISBEE).
Pada filsuf Plato (424-347 SM) dalam karyanya yang berjudul undang-
undang, digambarkan bagaimana sebaiknya perundang-undangan dalam
negara dianggap ideal. Menurut Plato, negara yang ideal adalah negara
agraris yang berdikari, sehingga perdagangan tidak perlu. Perdagangan
mempertebal keserakahan manusia. “orang yang dihantui nafsu untuk
memperoleh uang dengan cara tidak benar dan tidak merasa jijik karena
perolehan itu, akan mendapatkan bahwa jiwanya tidak dapat diperindah
dengan harta itu....”.
2. Agama kristen
Pandangan kristen zaman kuno dan abad pertengahan mengenai
perdagangan (periode kritiani sebelum reformasi) dianggap tidak etis atau
sekurang-kurangnya dapat dicurigakan. Dengan adanya reformasi timbul
suatu sikap positif terhadap perdagangan. Dalam pandangan protestan,
memperoleh untung dengan berdagang dinilai sebagai berkat tuhan atas
kerja keras.
3. Agama islam
4. Kebudayaan jawa
Dari data sejarah dan budaya terdapat perbedaan sikap terhadap bisnis,
dulu dan sekarang. Kalau sekarang bisnis dianggap terhormat dan
dibanggakan, di masa dulu tidak selalu begitu, malah kadang mendapat
sikap negatif. Sikap negatif ini muncul karena berkaitan pencarian untung
sebagai tujuan bisnis. Pencarian untuk ini dianggap mengejar kepentingan
diri, dan dan mencari kepentingan diri dahulu disamakan dengan egoisme.
Tentu egoisme dinilai sebagai sikap tidak bagus dari sudut moral.
Etika bisnis sebagai usaha intelektual dan akademis yang baru masih
banyak hal yang perlu dikerjakan bahkan banyak yang harus disempurnakan.
Karena itu etika bisnis harus terbuka bagi kritik yang membangun.
Kritik pertama berasal dari Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang
teori manajemen. Keberatan drucker adalah etika bisnis menjalankan
semacam driskriminasi. Bahwa perbuatan yang tidak bersifat imoral atau
ilgal kalau dilakukan oleh orang biasa, menjadi imoral atau ilgal kalau
dilakukan oleh orang bisnis. Dan drucker menyimpulkan bahwa itu
menunjukan adanya sisa-sisa dari sikap bermusuhan yang lama terhadap
bisnis dan kegiatan ekonomi.
Kritik lain yang ditemukan dalam kalangan populer yang cukup luas.
Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai usaha naif. Mereka bertanya:
“masa memikirkan etika dalam menjalankan bisnis!”. Etika dan bisnis di
bagaikan air dan minyak, yang tidak meresap yang satu sama yang lain.
Pada artikel yang dimuat dalam Havard Business Review tahun 1993
dengan judul “what’s the matter business ethics” karya Andrew Stark, ia
menilai terdapat kesenjangan besar antara etika bisnis akademis dan para
profesional di bidang manajemen. Sebagai ilmu, etika bisnis bergerak pada
taraf refleksi dan akibatnya pada taraf teoritis juga. Walaupun etika bisnis
berbicara tentang hal yang sangat praktis, pembicaraannya berlangsung
pada taraf teoritis. Kita harus berusaha sungguh-sungguh agar dekat
dengan praktek bisnis, namun jarak antara teori dan praktek tidak bisa
dihilangkan. Dalam metode kasus pun, jarak antara teori dan praktek tetap
ada.
Kritisi ini meragukan entah tika bisnis memiliki keahlian ethis khusus,
yang tidak dimiliki oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri. Seluruh
kritikan ini berdasarkan salah paham. Etika bisnis sama sekali tidak
bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para pebisnis, para
menajer atau pelaku moral lain di bidang bisnis. Etika bisnis tidak
bermaksud mengganti tempat dari orang yang mengambil keputusan
moral. Etika bisnis bisa membantu untuk mengambil keputusan moral
yang dapat dipertanggung jawabkan , tapui tidak berniat mengganti tempat
dari para pelaku moral dalam perusahaan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, kees. 2013. “Pengantar Etika Bisnis”. Yogyakarta: PT Kanisius