Anda di halaman 1dari 6

BAB I

BISNIS DAN ETIKA DALAM DUNIA MODERN

1. Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis

Bisnis didalam dunia modern merupakan suatu realitas yang kompleks. Banyak faktor
yang turut mempengaruhi dan menentukan kebijakan bisnis. Antara lain faktor
organisasi manajerial, ilmiah-teknologi dan politik kultur sosial. Kompleksitas bisnis
berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat modern jaman sekarang. Sebagai
kegiatan ekonomis, bisnis dengan berbagai cara terjalin dengan kompleksitas bisnis
modern sudah sering dipelajari dan dianalisis melalui berbagai pendekatan ilmiah,
khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen.

1) Sudut Pandang Ekonomi

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dari kegiatan ini adalah tukar,
menukar, jual-beli, memproduksi, memasarkan, bekerja-memperkerjakan, dan
interaksi sosial lainnya, dengan maksud memperoleh utang. Dalam bisnis modern
keuntungan itu diekspresikan dalam bentuk utang, tetapi hal itu tidak mutlak untuk
bisnis. Yang terpenting ialah kegiatan antar manusia ini bertujuan mencari
keuntungan dan karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Tetapi perlu ditambahkan,
pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak,tetapi diadakan dalam
interaksi. Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas
para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya yang langka (tenaga kerja, bahan
mentah, informasi/ pengetahuan, modal) menghasilkan barang dan jasa yang berguna
untuk masyarakat. Para produsen akan berusaha meningkatan penjualan demikian
rupa, sehingga hasil bersih akan mengimbangi atau malah melebihi biaya produksi.
Keseimbangan itu penting supaya perusahaan tidak merugi. Tetapi keseimbangan saja
tidak cukup. Para pemilik perusahaan mengharapkan laba yang bisa dipakai untuk
ekspansi perusahaan atau tujuan lain. Jika kompetisi pada pasar bebas berfungsi
dengan semestinya, akan menyusul efisiensi ekonomis, artinya hasil maksimal akan
dicapai dengan pengeluaran minimal. Hal itu akan tampak dalam harga produk atau
jasa yang paling menarik untuk publik. Efisiensi merupakan kata kunci dalam
ekonomi modern. Untuk mencapai tujuan itu para ekonomi telah mengembangkan
berbagai teknik atau kiat.

1
Dari sudut padang ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang
membawa banyak utung. Orang bisnis selalu akan berusaha membuat bisnis yang
baik. Dapat dimengerti bila kepala manajer dalam kasus pertama yaitu industri kimia
ingin mempertahankan produktivitas perusahaan selama itu. Perusahaan ini harus
bersaing dengan perusahaan kimia lainnya. Jika produktivitas menurun, biaya
produksi akan bertambah, sehingga harga produknya perlu dinaikan. Tetapi dengan
demikian harga produknya bisa menjadi terlalu tinggi, disbanding dengan harga yang
ditetapkan oleh pesaing.

2) Sudut Pandang Modal

Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis,
perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang tidak boleh diabaikan,
yaitu sudut pandang moral. Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang
menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga yang baik secara moral. Malah harus
ditekankan, artinya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata baik. Perilaku yang
baik juga dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang buruk bertentangan dengan
atau penyimpang dari norma-norma moral. Suatu perbutan dapat dinilai baik menurut
arti terdalam justru kalau memenuhi standar etis itu.

3) Sudut Pandang Hukum

Tidak bisa diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. “hukum dagang” atau “hukum
bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek
hukum banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, pada taraf nasional
maupun internasional. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normatif,
karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi
norma, hukum bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum
bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam
atas putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran.

Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran roma sudah dikenal
pepatah: quid leges sine moribus?”, apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai
moralitas?” etika selalu harus menjiwai hukum. Baik dalam proses terbentuknya
udang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan hukum, etika atau moralitas
memengang peran penting. Disini bukan tempatnya untuk membahas hubungan antara

2
hukum dan moralitas itu dengan lengkap. Sudah cukup bila digarisbawahi bahwa
dalam bidang bisnis, seperti dalam banyak bidang lain pula, hukum dan etika kerap
kali bisa dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal yang diatur oleh
hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan etika.

4) Tolak Ukur Untuk Tiga Sudut Pandang Ini

Secara ekonomis, bisnis adalah baik, kalau menghasilkan laba. Hal itu akan tampak
dalam laporan akhir tahun, yang harus disusun menurut metode control financial dan
akuntansi yang sudah baku.

a. Hati Nurani

Suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu
perbutan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani.
Dalam bertindak bertentang dengan hati nurani, kita menghancurkan integritas
pribadi, karena kita menyimpang dari keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani
meningkat kita dalam arti, kita harus melakukan apa yang diperintahkan hati
nurani dan tidak boleh melakukan apa yang berlawanan dengan suara hati nurani.

b. Kaidah Emas

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah
mengukurnya dengan kaidah emas yang berbunyi: hendaklah memperlakukan
orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan”. Perilaku saya bisa
dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang tertentu sebagaimana
saya sendiri ingin diperlukan. Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif
maupun positif. Bila dirumuskan secara negatif, kaidah emas berbunyi: “janganlah
melakukan terhadap orang lain, apa yang anda sendiri tidak ingin akan dilakukan
terhadap diri anda.

c. Penilaian Umum

Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu
perbutan atau perilaku adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk nilai.
Cara ini bisa disebut audit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat
tidaknya keadaan financial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis
suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum. Disini perlu

3
digarisbawahi secara khusus pentingnya kata umum. Tidak cukup, bila suatu
masyarakat terbatas menilai kualitas etis suatu perbuatan atau perilaku.

2. Apa Itu Etika Bisnis?

Etika dan etis tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula etika
bisnis biasa berbeda artinya. Suatu uraian sistematis tentang etika bisnis sebaiknya
dimulai dengan menyelidiki dan menjernihkan cara kata seperti etika dan etis
dipakai. Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku
manusia. Karena etika dalam arti ini sering disebut juga filsafat praktis. Cabang-
cabang filsafat lain membicarakan masalah yang tampaknya lebih jauh dari
kehidupan konkret. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang
berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis.

3. Perkembangan Etika Bisnis

Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari
sorotan etika. Perhatikan etika untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri.
Sejak manusia terjun dalam perniagaan, disadari juga bahwa kegiatan ini tidak
terlepas dari masalah etis. Misalnya, sejak manusia berdagang ia tahu tentang
kemungkinan penipuan. Pedagang yang menipu langganan dengan menjual
barangnya menurut pengukuran berat yang tidak benar, berlaku tidak etis.
Aktivitas perniaga selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus
mempertimbangkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

4. Factor Sejarah Dan Budaya Dalam Etika Bisnis

Orang yang terjun dalam kegiatan bisnis, menurut penilaian sekarang


menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan terhormat, apalagi jika ia berhasil
menjadi pembisnis yang sukses. Dewasa ini orang akan merasa bangga, bila dapat
menunjukkan kartu nama yang menyingkap identitasnya sebagai direktur atau
manajer sebuah perusahaan ternama. Dalam keluarga-keluarga terkemuka pun
kini tidak dirasakan keberangkatan, jika anak-anak memilih kegiatan bisnis
sebagai profesi tetap. Bisnis sebagai pekerjaan tidak dinilai kurang dari profesi
lain, terutama kalau menghasilkan pendapatan tinggi.

4
5. Kritik Atas Etika Bisnis

Etika bisnis sebagai usaha intelektual dan akademis yang baru pasti masih
menderita banyak penyakit anak. Banyak hal perlu dikerjakan lagi dan banyak hal
yang sudah dikerjakan perlu disempurnakan. Karena itu etika bisnis harus terbuka
bagi kritik yang membangun, seperti halnya dengan setiap usaha intelektual yang
serius. Tetapi kadang kala terjadi juga etika bisnis menjadi bulan-bulanan dari titik
yang tidak tepat. Barangkali penjelasan ini bisa membantu mendapatkan
gambaran lebih lengkap tentang corak dan maksud etika bisnis sebagaimana
dipahami sekarang.

1. Etika Bisnis Mendiskriminasi

Kritik pertama ini lebih menarik karena sumbernya daripada karena isinya.
Sumbernya adalah Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen.
Ia mengemukakan kritik yang sangat tajam terhadap etika bisnis dalam sebuah
artikel yang diterbitkan dalam majalah The Public Interest dan kemudian
dalam bentuk lebih popular diulangi lagi dalam majalah Forbes.

2. Etika Bisnis Itu Kontradiktif

Kritik lain tidak berasal dari satu orang, tetapi ditemukan dalam kalangan
populer yang cukup luas. Sebenarnya ini bukan kritik, melainkan skepsis.
Orang-orang ini menilai etika bisnis sebagai suatu naïf. Dengan nada sinis
mereka bertanya: masa mau memikirkan etika dalam menjalankan bisnis.
Etika bisnis mengandung suatu kontradiksi.

3. Etika Bisnis Tidak Praktis

Tidak ada kritik atas etika bisnis yang menimbulkan begitu banyak reaksi
seperti artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review pada tahun 1993
dengan judul what the matter with business etis?. Pengarangnya adalah
Andrew Stark, seorang dosen manajemen Univesitas Toronto, Kanada.
Walaupun ternyata ia mengenal literature etika bisnis lebih daripada Peter
Drucker, namun Stark pun masih terjebak dalam perbagai salah paham
mengenai hakikat dan maksud etika bisnis sebagai ilmu. Ia juga tidak

5
menghukum semua pakar etika bisnis dengan cara yang sama, karena ia
membedakan antara etika bisnis dengan bisnis baru.

4. Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggung Jawab

Kritikan lain lagi dilontarkan kepada etika terapan pada umumnya, termasuk
juga etika bisnis, disamping etika biomedis, etika jurnalistik, etika profesi
hukum, dan lain-lain. Kita disini membicarakannya dalam konteks etika bisnis
saja. Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus,
yang tidak dimiliki oleh para pembisnis dan manajer itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai