Anda di halaman 1dari 15

ETIKA WIRAUSAHA DALAM ISLAM

A.

Pengertian Etika Wirausaha

Etika pada dasarnya adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar
dan menghindari apa yang tidak benar. Etika wirausaha adalah suatu kode etik
perilaku aktor berdasarkan nilai-nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan
dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalan. Etika wirausaha sangat
penting untuk mempertahankan loyalitas pemilik kepentingan dalam membuat
keputusan dan memecahkan persoalan organisasi.

Etika wirausaha dapat diartikan sebagai adat sopan santun, adat kebiasaan dan
aturan-aturan yang berlaku di lingkungan kewirausahaan.
Oleh karena itu, seorang wirausaha harus memiliki :

Budi pekerti yang baik.

Rasa sopan santun di dalam segi kegiatan kewirausahaan.

Tatakrama di dalam segala tindakan dan perbuatan waktu berwirausaha.

Memiliki tanggung jawab pada usahanya.

Bersikap jujur dan benar sesuai dengan profesi usahanya.

Etika ialah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral
yang dilakukan seseorang. Keputusan etika ialah suatu hal yang benar mengenai
perilaku standar. Etika bisnis mencakup hubungan antara perusahaan dengan
orang yang menginvestasi uangnya dalam perusahaan, dengan konsumen,
pegawai kreditur, saingan dan sebagainya. Orang-orang bisnis diharapkan
bertindak etis dalam berbagai aktivitasnya di masayarakat.
Menjaga etika adalah suatu hal yang sangat penting untuk melindungi reputasi
perusahaan. Masalah etika ini selalu dihadapi oleh para manajer dalam
keseharian kegiatan bisnis, namun harus selalu dijaga terus-menerus, sebab
reputasi sebagai perusahaan yang etis tidak dibentuk dalam waktu pendek, tapi
akan terbentuk dalam jangka panjang. Dan ini merupakan asset yang tak ternilai
sebagai goodwill bagi sebuah perusahaan.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan
kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan
kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang
bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang
menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji
(good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam
bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam
kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.

Dunia bisnis, tidak ada yang tidak menyangkut hubungan antara pengusaha
dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan
internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah,
masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang
menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka
inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan tidak
menyetujui adanya etika moral dan etika yang disepakati oleh kalangan bisnis
tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu
etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan
pihak lain perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu
aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Menurut Zimmerer (1996: 22), ada tiga tingkatan norma etika, yaitu:

Hukum, berlaku bagi masyarakat dalam mengatur perbuatan yang boleh


atau tidak boleh dilakukan.

Kebijakan dan prosedur organisasi, memberi arahan khusus bagi setiap


orang dalam organisasi ketika mengabil keputusan.

Moral sikap mental individu, sangat penting bagi setiap orang untuk
menghadapi suatu keputusan yang tidak diatur oleh aturan formal.
Selain etika, ada beberapa pertanggung jawaban sekolah, yaitu tanggung jawab
terhadap stakeholders sekolah. Dalam rangka tanggung jawab sekolah terhadap
para pemangku kepentingan tersebut. Tanggung jawab organisasi dapat
dilakukan dengan cara mendengarkan orang lain dan menghormati
pendapatnya, meminta input kepada anggotanya, memberikan umpan-balik
yang positif dan negatif, memberikan kepercayaan, dan sebagainya.
Wirausahawan dengan berbagai jenis bisnisnya hidup ditengah-tengah
masyrakat. Mereka berbaur menyatu, saling membantu bahkan kadang-kadang
juga saling menipu. Ada mereka yang memang seneng menipu, hidupnya dalam
ketidakjujuran, dan ada yang pernah kena tipu karena tidak hati-hati. Orang
tidak jujur, kalaupun berhasil biasanya hanya untuk sementara waktu, mereka
cepat hancur. Jika mau abadi, hidup tenang, disenangi oleh semua orang, maka
kita harus hidup dengan penuh kejujuran. Jujur adalah modal dalam kehidupan.
Demikianlah perilaku pribadi dan organisasi masing-masing anggota masyarakat
tidak sama. Gejala mutakir dalam masyarakat kita adalah sulit mencari orang
jujur. Oleh sebab itu, seorang wirausahawan harus selalu berhati-hati, menutup
segala celah kemungkinan ditipu orang.
Merosotnya rasa solidaritas, tanggungjawab sosial, dan tingkat kejujuran
dikalangan kelompok bisnis, dan anggota masyarakat, merupakan gejala umum
dan meruntuhkan teori-teori soliditas, likuiditas, bonapiditas, yang menyangkut
kepercayaan, bisa dipercaya dari segi moral, segi keuangan, tepat bila berjanji
dan sebagainya.
Penipuan atau saling menipu bisa terjadi antar pelaku bisnis dengan pelaku
bisnis, pelaku bisnis dengan konsumen, konsumen dengan pelaku bisnis,
konsumen dengan konsumen dan sebagainya. Penipuan dan pelanggaran etika
lainnya banyak terjadi seperti, permainan cek kosong, giro bilyet yang ditolak
karena ketiadaan dana, atau kadang-kadang membayar dengan cek/giro bilyet

yang rekeningnya sudah ditutup, utang tidak dibayar, kiriman barang tidak
sesuai dengan contoh, janji tidak ditepati, kiriman barang jumlahnya kurang dari
faktur, barang rusak dan lain-lain.
Dalam dunia bisnis semua orang tidak mengharapkan memperoah perlakuan
tidak jujur dari sesamanya. Praktek manipulasi tidak akan terjadi jika dilandasi
moral yang tinggi. Moral dan tingkat kejujuran rendah akan menghancurkan tata
nilai bisnis itu sendiri. Masalahnya adalah tidak ada hukum yang tegas terhadap
pelanggaran etika tersebut, karena nilai etika hanya ada dalam hati nurani
seseorang. Etika mempunyai kendala intern dalam hati, berbeda dengan aturan
hukum yang mempunyai unsur paksaan ekstern. Akan tetapi bagi orang-orang
pebisnis yang dilandasi dengan nilai-nilai keagamaan mendalam akan
mengetahui bahwa perilaku jujur akan memberikan kepuasaan tersendiri dalam
kehidupannya baik dalam dunia nyata sekarang apalagi dalam kehidupan nanti
di akhirat.
Hendaknya dalam kehidupan dunia terutama dalam bisnis, tidak terlepas dihari
kemudian itu. Kelompok konglomerat yang sudah berhasil banyak menyatakan
bahwa modal dasar dari perkembangan usahanya dimulai dari kejujuran. Apabila
sudah betemu pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lain yang jujur, mereka saling
memberitahu, dan akhirnya mereka berkelompok dihati masing-masing menjadi
patner yang setia, dan mereka saling menginformasikan jika menemukan pelaku
bisnis yang tidak jujur agar terhindar dari penipuan.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan tentang etika bisnis yang sedang
berkembang saat ini, terutama di Indonesia. Metode yang dilakukan adalah
metode deskriptif analitik, artinya kami melakukan kajian pustaka terhadap
referensi yang ada.
Etika adalah suatu studi mengenai yang benar dan salah dan pilihan moral yang
dilakukan seseorang. Keputusan etik adalah suatu hal yang benar mengenai
perilaku standar. Istilak etika diartikan suatu perbuatan standar yang meminpin
individu dalam membuat keputusan. Etika bisnis kadang-kadang disebut pula
etika manajemen, yaitu penerapan standar moral kedalam kegiatan bisnis.
Etika bisnis mencakup hubungan antara perusahaan dengan orang yang
menginvestasi uangnya dalam perusahaan dengan konsumen, pegawai, kreditur,
saingan dan sebagainya. Orang yang menahan uang atau investor menginginkan
manajemen dapat mengelola perusahaan secara berhasil, sehingga dapat
memberikan keuntungan bagi mereka. Konsumen mengiginkan perusahaan agar
perusahaan menghasilkan produk bermutu dan dapat dipercaya dengan harga
yang layak. Para karyawan menginginkan agar perusahaan mampu membayar
balas jasa yang layak bagi kehidupan mereka, meberi kesempatan naik pangkat
atau promosi jabatan. Pihak kreditur menginginkan agar semua utang
perusahaan dapat dibayar tepat pada waktunya dan membuat laporan keuangan
yang dapat dipercaya dan dibuat secara teratur. Pihak saingan mengharapkan
agar dalam persaingan dilakukan secara baik, tidak merugikan dan
mneghancurkan pihak lain.
Orang-orang bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam berbagai aktifitasnya
dimasyarakat. Harus ada etik dalam menggunkan sumberdaya yang terbatas di
masyarakat dan apa akibat dari pemakaian sumberdaya tersebut, dan
mengetahui apa akibat dari proses produksi yang dilakukan. Orang bisnis

diharapkan memiliki standar etik yang lebih tinggi di masyarakat karena mereka
langsung berhadapan dengan masyarakat yang selalu mengawasi kegiatan
mereka.
Etik yang dimiliki masing-masing individu sebenarnya merupakan perkembangan
dari etik sejak dulu, yang dianut oleh dan disampaikan kepada kita oleh orang
tua, guru, pemimpin agama, dan lingkungan kita secara keseluruhan. Jadi etik
yang dilakukan orang bisnis tidak terlepas dari sumber-sumber yang sama.
Etika bisnis menyangkut usaha membangun kepercayaan antar anggota
masyarakat dengan perusahaan, dan ini merupakan elemen yang sangat penting
buat kesuksesan suatu bisnis dalam jangka panjang. Jadi prinsipnya, seorang
wirausaha lebih baik merugi dari pada melakukan perbuatan tidak terpuji. Para
pengusaha semaksimal mungkin harus menghindari pertengkaran apalagi yang
akan menyebabkan putus hubungan. Semua Claim dari relasi sampai tingkat
tertentu harus dilayani dengan penuh toleransi. Harus dicari win win
solution pada setiap persengketaan. Seorang wirausaha harus cepat mengganti
barang baru jika ada claim yang benar. Semua ini untuk menjaga reputasi dan
nama baik perusahaan. Perbuatan tidak terpuji, berlaku curang, tidak jujur, tidak
menepati janji, akan meruntuhkan martabat bisnisnya, sedangkan martabat dan
reputasi adalah satu kata magis yang harus dijunjung tinggi oleh seorang
wirausaha yang merupakan kompetitif advantage,keunggulan bersaing yang
abadi dan menang selama-lamanya.
Menjunjung tinggi etika harus dilakukan terhadap stakeholder perusahaan,
apakah eksternal stakeholder seperti: konsumen, kelompok-kelompok yang
berhubungan dengan perusahaan, organisasi buruh, pihak pemasok, pemerintah,
kreditors, masyarakat umum atau internal stakeholder seperti: unsur pimpinan,
tim manajemen, investor dan karyawan.
Menjaga etika adalah satu hal yang sangat penting untuk melindungi reputasi
perusahaan, masalah etika ini selalu dihadapi oleh para manajer dalam
keseharian kegiatan bisnis, namun harus selalu dijaga terus-menerus, sebab
reputasi sebagai perusahaan yang etis tidak dibentuk dalam waktu pendek tapi
akan dibentuk dalam waktu panjang, dan ini merupakan aset yang ternilai
sebagai goodwiill bagi sebuah perusahaan. Suatu trademark istimewa
dalam kompetitip advantage.

B.

Etika Wirausaha Dalam Islam

Dalam pemikiran Islam etika difahami sebagai al-akhlak, al-adab, atau alfalsafah al-adabiyah yang mempunyai tujuan untuk mendidik moralitas para
manusia. Kerena etika akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka etika
berwirausaha dalam islam harus bersumber pada Al-Quran dan Hadits.
Misalnya: Barang yang dijual dalam berwirausaha harus halal, komposisi barang
yang dijual harus disampaikan kepada konsumen secara jujur, supaya konsumen
tidak was-was memakan produk yang dibeli.
Etika bisnis dalam Islam menjungjung tinggi semangat salng percaya, kejujuran,
dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang
semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami
gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan

karyawan juga dapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda
yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkat
yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding
rekan-rekannya yang muda (Wilson dalam Mubyarto, 2002).
Berkembangnya bisnis Nabi Muhammad SAW. juga tidak lepas dari etika bisnis
yang beliou pegang, yaitu: kejujuran dan sifat amanah-nya dalam memegang
janji, maka tidak mengherankan ketika penduduk Mekkah menjulukinya AsShiddiq(jujur) dan Al-Amin (terpercaya). Kejujuran yang dilakukan oleh Rasulullah
dalam berdagang telah membuat konsumen loyal dan tidak ragu terhadap
kualitas dan harga yang ditawarkan sehingga pada waktu berdagang Rasulullah
sering mendapatkan keuntungan yang besar. Selain itu, sifat amanah yang
dimiliki menjadikan pemilik modal yang berpartner dengan Rasulullah menjadi
tenang sehingga percaya untuk menitipkan modalnya atau barangnya dalam
jumlah yang besar, karena yakin Rasulullah tidak akan berlaku curang dan
berkhianat.
Menjaga etika adalah hal yang penting dan wajib dilakukan dalam menjaga
konsumen dan melindungi reputasi perusahaan, maka dalam membangun
bisnisnya Abdullah Gymnastiar berlandakan etika sebagai berikut:
1.
Sedikit untung banyak laku, artinya dalam bisnis selain produsen,
konsumen juga ingin mendapatkan untung, sehingga bisnis yang paling
menguntunkan adalah bisnis yang membuat banyak orang merasa diuntungkan.
2.
Mudah dan menyenangkan, yaitu tidak mempersulit ketika bertransaksi
tetapi mempermudah dengan membuat suasana bisnis yang mudah dan
menyenangkan dalam setiap transaksi bisnis.
3.
Jujur, yaitu tidak berbohong terhadap konsumen, dan ini merupakan
harga mati yang harus dilakukan agar usahanya berkah.
4.
Tepat janji, janji adalah hutang sehingga apabila sudah berjanji maka
harus berjuang sekuat tenaga untuk menepatinya.
5.
Zikir dan doa, dengan zikir dan doa maka setiap transaksi akan lebih
bermakna.
6.
Banyak sedekah, karena sedekah dapat menolak bala dan
melipatgandakan rezeki.
Dengan berpegang teguh pada etika tersebut di atas, bisnis Aa Gym semakin
berkembang karena konsumen terpuaskan dengan pelayanan yang ada.

C.

Hal Penting Dalam Menciptakan Etika Bisnis

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
antara lain ialah:

1.

Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri
mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan
dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan
keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan
menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain
dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan
hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi
masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2.

Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan
hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan
lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh
pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya
excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis
dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang
berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu
mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya.
3.
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi
informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian
bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat
adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4.

Menciptakan persaingan yang sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas,
tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus
terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah
kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu
memberikan spread effectterhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam
menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam
dunia bisnis tersebut.
5.

Menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat


sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa
mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi"
lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa
mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat
sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6.

Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak
akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala

bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang
mencemarkan nama bangsa dan negara.
7.

Mampu menyatakan yang benar itu benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang
salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan kolusi" serta memberikan
"komisi" kepada pihak yang terkait.
8.
Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan
golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya
(trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar
pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya
yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara
pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan
kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9.
Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati
bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana
apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut.
Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada
"oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk
melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika
bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang
telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum
positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti
"proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang
bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan
semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi
dimuka bumi ini.
12. Tanggung jawab sosial bisnis
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah
suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki
suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,
komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
13. Konsumerisme

Konsumerisme adalah gerakan protes dari para konsumen atau masyarakat,


karena perlakuan para pengusaha/wirausaha yang kurang baik dalam melayani
konsumen. Artinya bahwa konsumerisme ialah suatu tindakan dari individu atau
organisasi konsumen, lembaga pemerintah dan perusahaan sebagai jawaban
ketidakpuasan yang diterima dalam hubungan dengan jual beli.
Hak-hak konsumen :

Hak untuk memilih, jangan hanya ditawarkan komoditi satu jenis saja,
tanpa ada pilihan

Konsumen berhak memperoleh informasi dari produsen, terhadap barang


yang akan dibeli, baik mengenai bahan, cara pemakaian, daya tahan, dan
sebagainya.

Jika ada keluhan konsumen, harus didengar. Jika ada tuntutan konsumen
harus segera diperhatikan oleh produsen

Apabila konsumen menggunakan produk, harus dijaga keselamatan


konsumen, jangan sampai barang yang telah dibeli membahayakan konsumen
terutama dalam hal mainan anak-anak , atau obat.
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian
barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara
sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari
suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk
dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit
jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.
Jika ungkapan Descartes Aku berpikir, maka aku ada! menjadi kebanggan dan
wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang
dominan adalah, Aku berbelanja, maka aku ada! Sebuah peneguhan
eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar
membentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi
kehidupannya. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia
sarat dengan simbol dan logika ekonomi.
Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga
kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang,
namun sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme
pasar untuk terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan caracara persuasif, kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa henti.
Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun lebih
pada ingin (want).
Produksi tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling
membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya
usaha memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan
berlebih maka ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda. Pertukaran
barang ini kemudian memunculkan pasar, dan barang tersebut berubah nilainya
menjadi komoditas. Karl Marx melihat hal tersebut sebagai perubahan nilai guna
(use value) menjadi nilai tukar (exchange value).

Dari gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan


hanya persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan menjamur.
Konsumsi merupakan perilaku primitif manusia. Bahkan, menurut Plato,
terbentuknya masyarakat merupakan akibat manusia tak mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri. Yang nampak berbeda adalah intensifikasi dan perluasan
jaringan pemasaran yang lebih kompleks. Munculnya pusat perbelanjaan dalam
bentuk yang lebih baru, membuat konsumsi menjadi sebentuk candu.
Tentu saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja. Perubahan
pola dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan infrastruktur
masyarakat. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan meletusnya Revolusi
Industri, mengkonsumsi menjadi niscaya setelah produksi. Produksi barang
secara massal meniscayakan proses produksi mengalami percepatan. Begitu
pula usaha untuk menghabiskan dan menggunakan barang. Zaman ini
memunculkan masyarakat baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat inilah
yang menjadi pengguna barang yang dihasilkan oleh produksi massal tersebut.
Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola
perilaku mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh
Haryanto Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi
dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku
konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di
sekitarnya. Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi
konsumsi, dan periode posmodernis.
Teori konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel.
Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme
dengan berbagai implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan bila
Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan
kebutuhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan
nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan
obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada
subordinat produksi, di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan
masyarakat.
Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya
Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Kritik Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya menghabiskan barang
konsumsi sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun, pada
investasi dan kerja keras. Weber tampak ingin semakin memperjelas dan
memperkokoh kapitalisme dengan bentuk investasi kembali keuntungan
produksi. Meskipun masyarakat kental dengan semangat Kalvinisme ini, namun
perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai sadar akan kesenangan
berkat kemajuan industri.
Tokoh berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi pertukaran,
terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan
munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi.
Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa
dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai
barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang konsumsi. Puncak
imajinasi itu bergantung dan berperan pada munculnya masyarakat urban yang

berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006: 55). Simmel


menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan
menimbulkan budaya baru masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari
masyarakat konsumen (consumer society) menjadi budaya konsumen (consumer
culture).
Kemudian muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang
menurut buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi. Bourdieu
menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat.
Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas
sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu
(biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang
kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam
masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai
ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara
ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan
hegemoni dalam pola-pola konsumsi.
Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul
posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh
dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang
mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun
citra atas barang tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya pusat
perbelanjaan (super)modern, kapitalisme neoliberal, dan pasar bebas. Kajian
terhadap konsumsi masyarakat posmodern oleh buku ini diwakili dua tokoh
posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean Baudrillard.
Berbeda dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan
Featherstone, di mana konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru
posmodernitas menurut Baudrillard megaburkan kelas dan status sosial. Bahkan
Baudrillard menyatakan era posmodern sebagai matinya yang social, kematian
masyarakat. Siapa pun yang mampu bisa merayakan konsumsi tanpa
memandang kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan identitas tertentu
tanpa memandang batas-batas sosial.
Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga
tipe Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu
kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih
sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik
konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial.
Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas
pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini
berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat
munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan
estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode,
estetisasi bentuk, dan gaya hidup.
Tokoh selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk
memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena
kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam
pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut
untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme.

Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi


menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya
industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall.
Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan
pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme).
Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat
dalam kubangan konsumerisme.
Kajian tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat ini.
Sigfikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju pada
budaya komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian ini dimulai
dari tokoh klasik, tokoh sosiologi konsumsi, dan teori posmodern dengan konteks
sosial masing-masing zaman mereka. Kajian keilmuan sosiologi dalam
masyarakat konsumsi jelas akan senantiasa penting di masa yang akan datang.

D.

Perilaku Fundamental Yang Berhubungan Dengan Etik Di Masyarakat

Ada beberapa prinsip etika yang mengarahkan seseorang kepada perilaku, yaitu:
1.

Sopan santun, jujur dan selalu bicara benar.

2.

Integrity, memiliki prinsip.

3.

Tepat janji, bisa dipercaya bila berjanji.

4.

Benar, setia dan loyal pada keluarga, teman dan orang lain.

5.

Berlaku fair, dan terbuka komit pada kedamaian.

6.

Perhatian, menolng siapa saja yang membutuhkan.

7.

Respect, menghormati hak-hak orang lain.

8.

Patuh pada pelaturan dan undang-undang yang berlaku.

9.

Melakukan yang terbaik dalam segala kegiatan.

10.

Bertanggungjawab dalam semua kegiatan.

11.

Mempunyai sikap adila

12.

Mengejar keunggulan

E.

Cara Mempertahankan Standar Etika

Menurut Michael Josephson (1988) untuk mempertahankan standar etika


dilakukan dengan cara:

Menciptakan kepercayaan

Mengembangkan kode etik

Menjalankan kode etik secara adil dan konsisten

Melindungi hak-hak perorangan

Mengadakan pelatihan etika

Melakukan audit etika secara periodik

Mempertahankan standar etika yang tinggi

Menghidari etika tercela, menciptakan budaya komunikasi optimal dan


melibatkan pihak lain dalam mempertahankan etika

F.

Faktor Yang Mempengaruhi Etika Seorang Wirausaha

Faktor yang mempengaruhi etika seorang wirausaha adalah:


1.
Perbedaan budaya, sebagaimana diketahui bahwa tiap daerah memiliki
kebiasaan sendiri-sendiri seperti pemberian amplop/komisi diartikan berbeda
tiap daerah, ada yang memperbolehkan, melarang dan mengharuskan.
2.
Ilmu pengetahuan, orang-orang yang mengetahui tentang dunia
wirausaha akan mengambil keputusan yang tepat dan tidak akan mengambil
masalah yang menyangkut etika.
3.
Etika berorganisasi, pondasi kokoh dari sebuah etika bisnis, adalah iklim
yang berlaku pada sebuah organisasi. Ada organisasi yang betul-betul ketat
menjaga etika dan memberi pelatihan kepada karyawan agar menjaga etika.
Agar para karyawan memahami lebih baik tentang pentingnya etika pada
perusahaan.

BAB III
PENUTUP

A.

Simpulan

Berkembangnya bisnis Nabi muhammad SAW. tidak lepas dari etika wirausaha
yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, dimana bisnisnya tidak lepas dari
sikap kepemimpinan, kemampuan manajemen yang baik serta kejujuran dan
sifat amanah-nya dalam memegang janji, maka tidak mengherankan ketika
penduduk Mekkah menjulukinya As-Shiddiq (jujur) dan Al-Amin (terpercaya).
Etika wirausaha adalah suatu kode etik perilaku aktor berdasarkan nilai-nilai
moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan dan
memecahkan persoalan. Etika wirausaha sangat penting untuk mempertahankan
loyalitas pemilik kepentingan dalam membuat keputusan dan memecahkan
persoalan organisasi.
Etika bisnis mencakup hubungan antara perusahaan dengan orang yang
menginvestasi uangnya dalam perusahaan, dengan konsumen, pegawai kreditur,
saingan dan sebagainya. Orang-orang bisnis diharapkan bertindak etis dalam
berbagai aktivitasnya di masayarakat. Menjaga etika adalah suatu hal yang
sangat penting untuk melindungi reputasi perusahaan.
Dunia bisnis, tidak ada yang tidak menyangkut hubungan antara pengusaha
dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan
internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah,
masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang
menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka
inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan tidak
menyetujui adanya etika moral dan etika yang disepakati oleh kalangan bisnis

tadi, maka tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan
suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu
pihak dan pihak lain perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah
kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian
barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara
sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari
suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk
dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit
jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.

B.

Saran

Dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, dan bagi
pembaca dimohonkan untuk mengirimkan saran yang berfungsi untuk
membangun dan untuk memperbaiki makalah ini. Atas kekurangannya mohon
maaf semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Gymnastiar, A. 2004. Etika Bisnis MQ. Bandung: MQS Publishing.

2.
Harisman Hadikusumah, 2011. Kundang. Buku Daras/Bahan Ajar
Kewirausahaan Pertanian. Bandung.
3.

http://kolom-edukasi.blogspot.com/2010/07/etika-kewirausahaan.html.

4.

elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../8279.pdf

5.

imandede.blogspot.com/.../bab-viii-kewirausahaan-berbasis-syariah.

6.

www.infokursus.net/.../0206101220BUKU_2_MODUL_1_MEMBA.

Anda mungkin juga menyukai