Anda di halaman 1dari 24

Peranan penting pendidikan karakter bagi pembangunan Bangsa

Nama : Fitriani

Nim : A24118077

Kelas : A

Program studi pendidikan Fisika

Jurusan pendidikan Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam

Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan

Universitas Tadulako

2020
I. Tujuan Penulisan

1. Memahami pengertian pendidikan karakter.

2. Memahami landasan pendidikan karakter.

3. Memahami ciri dasar pendidikan karakter.

4. Memahami pendekatan pendidikan karakter.

5. Memahami model pembelajaran berkarakter.

6. Memahami strategi pendidikan karakter.

7. Memahami implementasi pendidikan karakter.

8. Memahami peran penting pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa.


II.PEMBAHASAN

A. Definisi Karakter dan Pendidikan Karakter

Karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu
untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai- ilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha esa, diri, sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma- norma agama, hukum, tata karma , budaya , adat istiadat, dan
estetika. Karakter dalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari –hari baik dalam
bersikap maupun dalam bertindak. Warsono dkk. (2010) mengutip Jack Corley dan
Thomas Philip (2000) menyatakan : “ Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang
yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral.”

Menurut KBBI (2009) Karakter merupakan sifat- sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan sesorang denan yang lain. Sementara Scerenko (1997)
mendefinikan karakter sebagai artibrut atau ciri- ciri yang membentuk dan membedakan
cir- pribadi , ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorag, suatu kelompok atau
bangsa. Dengan demikian karakter adalah nilai- nilai yang unuk – baik yang terpati dalam
diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010)

Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar
perilaku yang menjadai acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal karakter
dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace),
menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan ( freedom), kebahagiaan
( happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasing sayang (love),
tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan
persatuan (unity).Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi
seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas (keturunan) maupun pengaruh
lingkungan, yang membedakan dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.

Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas,
benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi
yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang
ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

Pendidikan Karakter adalah upaya sadar dan sungguh – sungguh dari seseorang
guru untuk mengajarkan nilai –nilai kepada siswanya (Winton,2010). Pendidikan
karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan
sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. Pendidikan
Karakter juga dapat didefinikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang
mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikan dan mengajarkan nilai-
nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama
manusia maupun dalam hubungannya denga Tuhannya. Kemudian definisi tersebut
dikembngkan oleh Departemeb Pendidikan Amerika Serikat “Pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu orang –
orang hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, sahabta, tetangga, masyarakat, dan
bangsa.”

Menurut Scenreko (1997) pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya


yang sungguh–sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan,
didorong,dan diberdayakan melalui keteladana, kajian (sejarah dan biografi para bijak
dan pemikir besar), serta praktik emulasu (usaha yang maksiman untuk mewujudkan
hikah dari apa- apa yang diamati dan dipelajari). Selanjunya Anne Lockwood memerinci
ada tiga proposisi sentral dalam pendidikan karakter. “Pertama, bahwa tujuan pendidikan
morla dapat dikejar, tidak semata – mata membiarkannya sekedar sebagai kurikulum
tersembunyi yang tidak terkontrol , dan bahwa tujuan pendidikan karakter telah memiliki
dukungan yang nyata dari masyarakat dan telah menjadi konsensus bersama. Kedua,
bahwa tujuan – tujuan behavioral tersebut adalah bagian dari pendidikan karakter. Ketiga,
perilaku antisosial sebagai bagian kehidupan anak –anak adalah sebagai hasil dari
ketidakhadiran nilai- nilai dalam pendidikan.”

Jadi, pedidikan karakter adalah proses pemberian tuntuna kepada peserta didik
untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta
rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai ssebagi pendidikan nilai, pendidikan
budi pekerti, pendidikan watak, pendidikan moral, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik – buruk, memelihara apa
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari – hari dengan sepenuh
hati. Pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai upaya yang terencara untuk
menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai- nilai sehingga
peserta didik berperilaku sebagi insan kamil.

Makna pendidikan sebagi suatu sistem penanaman nilai – nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai- nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Penanaman nilai kepada warga sekolah maknanya bahwa pendidikan karakter baru
akan efektif jika tidak hanya siswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah dan tenaga non-
pendidik di sekolah semua harus terlibat dalam pendidikan karakter.
B. Landasan Pendidikan Karakter

Dalam pengertisn yang lebih luas pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti dan pendidikan watak yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter
memiliki empat prinsip (Koesoema,2006) yaitu: 1) keteraturan setiap tindakan dan diukur
berdasarkan hierarki nilai. 2) koherensi yang memberikam keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip. 3) otonomi. 4) keteguhandan kesetiaan.

Mengapa perlu melakukan pendidikan karakter? Sekurang-kurangnya memiliki


empat alasan utama, yakni historis, yuridis, sosiologis, dan pedagogis.

1. Historis
Alasan historis perlunya pendidikan karakter terkait dengan perjalanan saejarah
bangsa sejak perlawanan yang bersifat kedaerahan, kebangkitan nasional, revolusi
fisik merebut kemerdekaan, hingga memepertahankan kemerdekaan. Pada setiap
perlawanan tersebut terdapat etos perjuangan yang patut di teladanin seperti jiwa sepi
ing pamrih rame ing gawe. Mentalitas tersebut dimanifestasikan oleh perjuangan
tanpa pamrih, tidak mengharapkan imbalan jasa, yang penting Indonesia bebas dari
penjajah yang telah menghisap darah Ibu Pertiwi. Kuntul baris, rawe-rawe rantas
malang-malang putung adalah mentalitas bekerja sama yang kokoh antara rakyat
dengan pimpinan sehingga daya juang pada waktu itu sangat dasyat. Oleh karena itu
etos perjuangan tersebut harus di ajarkan kepada generasi muda sekarang melalui
pendidikan karakter ini.

2. Yuridis
Alasan yuridis adalah alasan berdasarkan undang-undang . Misalnya menurut pasal
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di tegaskan bahwa Pendidikan
Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dengan deskripsi tersebut pendidikan karakter sangat perlu untuk
mewujudkannya,agar sesuai UU No 20 tahun 2003.

3. Sosiologis
Alasan sosiologis adalah alasan yang timbul dari adanya kenyataan di masyarakat
seperti merebaknya berbagai perilaku buruk yang sangat jauh dari kehidupan
berkarakter yang melanda Indonesia. Kondisi demikian mendorong pemerintah untuk
melakukan penguatan kembali proses pendidikan hingga menyentuh aspek
pengembangn karakter, utamanya di persekolahan dan perguruan tinggi.

4. Pedagogis

Alasan pedagogis adalah alasan perlunya pendidikan karakter dilakukan untuk


mendidik warganegara. Secara psikopedagogis anak adalah seorang warga negara
hipotetik. Artinya warganegara yang belum jadi yang harus dididik menjadi
seseorang yang sadar akan kewajiban dan hak-haknya sebagai insane tuhan, insane
sosial dan politik. Dengan demikian hidup berkarakter itu tidak lahir dengan
sendirinya, melainkan harus dibina melalui proses pendidikan. Dengan demikianlah
pendidikan karakter itu diperlukan untuk membina peserta didik agar hidup
berkarakter sesuai dengan nilai-nilai dan norma sesuai dengan fitrah manusia. Ada
tiga tujuan pendidikan karakter yakni pribadi yang berkarakter, sekolahatau kampus
yang berkarakter dan masyarakat yang berkarakter (Lickona,2004).

Pendidikan Karakter dalam Konteks Makro

Konteks makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks


perencanaan dan implementasi mengembangkan karakter yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan pendidikan nasional. Secara makro pengembangan karakter dapat
dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. pada tahap
perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan
dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber antara lain pertimbangan: 1) filosofis
- agama, pancasila, UUD 1945 dan UU No 20 tahun 2003 beserta ketentuan perundang-
undangan turunanya. 2) pertimbangan teoritis - teori tentang otak, psikologis, pendidikan,
nilai dan moral dan sosial-kultural. 3) pertimbangn empiris berupa pengalaman dan
praktek terbaik (best practices) dari antara lain tokoh-tokoh satuan pendidikan unggulan,
pesantren dll. Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar (learning
experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam
diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan
pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan
pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tida pilar pendidikan yakni dalam
satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan aka
nada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang di bagi dalam dua
pendekatan yaitu intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana
interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan
pembentukan karakterdengan menerapkan kegiatan yang berstruktur. Agar dalam proses
pembelajaran tersebut berhasil guru sebagai sosok anutan yang sangat penting dan
menentukan. Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikaanya, irumahnya, di dalam
masyarakatnya membiasakan diri berprilaku sesuai nilai. Pada tahap evaluasi hasil,
dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang disengaja dirancang dan
dilaksanakan untuk menditeksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai
indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan
baik.

C. Ciri Dasar Pendidikan Karakter

Menurut Foerster, seorang pencetus pendidikan dan pedadog Jerman, menyatakan


bahwa ada empat ciri dasar pendidikan karakter, yakni sebagai berikut:

1. Keteraturan Interior, di mana setiap tindakan diukur dengan hierarki nilai. Nilai
menjadi pedoman normative setiap tindakan.

2. Koherensi, yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mungkin terombang-ambing pada situasi baru aau takut resiko. Koherensi adalah
dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi akan
meruntuhkan krediilitas seseorang.

3. Otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi
pribadi, lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh pihak lain.

4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna


mengingini apa yang dipandang baik. Sedangkan kesetiaan adalah dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas


menuju personalitas. Karakter inilah yang menetukan performa pribadi dalam setiap
tindakannya.

D. Pendekatan Pendidikan Karakter

1. Pendekatan Penanaman Nilai

Pendekatan Penanaman Nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan


yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa.
Menurut pendekatan ini, tujuan pendidikan nilai adalah diterimanya nilai-nilai sosial
tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai sosial yang diinginkan (Superka, et al.1976). Menurut pendekatan ini, metode
yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif
dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.

Pendekatan ini merupakan pendekatan tradisional. Dipandang indoktrinatif, tidak


sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara
bebas. Dalam perkembangannya, pendekatan ini tidak sesuai dengan alam pendidikan
Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun, disadari
atau tidak pendidikan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyatakay,
terutama dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya.

2. Pendekatan Perkembangan Kognitif

Karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan


perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang
masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Menurut
pendekatan ini, perkembangan moral dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir
dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju
suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan utama pendekatan ini :

a. Membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks


berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.

b. Mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai


dan posisinya dalam suatu masalah moral.

Menurut pendekatan ini, proses pengajaran nilai didasarkan pada dilema moral,
dengan metode diskusi kelompok. Diskusi dilaksanakan dengan memberi
perhatian pada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat
pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema
hipotekal maupun faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian.
Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik
(Superka, et. Al. 1976; Banks, 1985). Pada dasarnya, pendekatan ini mudah
digunakan dalam proses pendidikan di sekolah karena memberikan penekanan
pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Selain itu, karena pendekatan ini
memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah
yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarkat,
pendekatan ini menjadi menarik. Dalam praktiknya, teori ini menghidupkan suatu
kelas. Kelemahan pendekatan kognitif, menampilkan bias budaya Barat. Dalam
proses pengajaran, pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah
untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau
pertimbangan moralnya.

3. Pendekatan Analisis Nilai

Pendekatan Analisis Nilai memberikan penekanan pada perkembangan


kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Tujuan utama pendidikan moral menurut
pendekatan ini , yaitu pertama membantu siswa untuk menggunakan kemampuan
berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang
berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk
mengggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan
dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda
pengajaran yang sering digunakan adalah pembelajaran secara individu atau
kelompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan
kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran
rasional.

Menurut pendekatan ini, ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu
diperhatikan dalam proses pendidikan karakter, yaitu

(1) mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait.

(2) mengumpulkan fakta yang berhubungan.

(3). Menguji kebenaran fakta yang bekaitan.

(4). Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan.

(5) merumuskan keputusan moral sementara.

(6). Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

Kekuatan pendekatan ini, antara lain, mudah diaplikasikan dalam ruang kelas
karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Pendekatan ini juga
menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses
pembelajaran moral. Kelemahannya, pendekatan ini hanya berdasarkan kepada
prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang
digunakan. Pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya
mengabaikan aspek afektif dan perilaku. Pendekatan ini sangat berat memberi
penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.

4. Pendekatan klarifikasi nilai

Memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan
perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai
mereka sendiri. Menurut pendekatan ini, tujuan pendekatan karakter ada tiga,
pertama, membantu siswa agar menyadari dan mengidentifikasikan nilai-nilai mereka
sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu siswa agar mampu
berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-
nilainya sendiri. Ketiga, membantu siswa agar mampu menggunakan secara bersama-
sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, mampu memahami
perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarank
berdasarkan kepada nilainya sendirinya, pendekatan ini menggunakan metode dialog,
menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain.

Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh
seseorang. Guru bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan
pendorong. Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan
yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses
menilai.

Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada


siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan
bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985). Metode pengajarannya
juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan
empat garis panduan yang ditentukan.

5. Pendekatan pembelajaran berbuat

Menekankan pada usaha memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan


perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama
dalam suatu kelompok. Tujuan utama pendidikan moral berdasarkan pendekatan ini,
pertama, memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik
secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan niali-nilai mereka
sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki
kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat yang harus
mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.

Metode pendekatan ini menggunakan projek-projek tertentu untuk dilakukan di


sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau
berhubungan antara sesama.

Kekuatan pendekatan ini pada program-program yang disediakan dan


memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam
kehidupan demokrasi. Kelemahan pendekatan ini sulit dipraktikkan. Sebagian dari
program-program yang dikembangkan dapat digunakan, namun secara keseluruhan
sukar dilaksanakan.

E. Model Pembelajaran Berkarakter

Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model. Model tersebut


antara lain: pembiasaan dan keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, CTL
(Contectual Teaching and Learning), dan pembelajaran partisipatif (partisipative
instruction).

Model-model pembelajaran tersebut disajikan sebagai berikut.

 Pembiasaan

Dari berbagai metode pendidikan, metode yang paling tua antara lain pembiasaan.
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar
sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman,
yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Pembiasaan menempatkan
manusia sebagai sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan , karena
akan menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kekuatan itu dapat
dipergunakan untuk berbagai kegiatan dalam setiap pekerjaan, dan aktivitas lainnya.
Pembiasaan dalam pendidikan hendaknya dimulai sedini mungkin.

Dalam bidang psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal dengan istilah


operan conditioning, mengajarkan peserta didik untuk membiasakan perilaku terpuji,
disiplin, giat belajar, bekerja keras, ikhlas, jujur, dan bertanggung jawab. Metode
pembiasaan ini perlu diterapkan guru dalam proses pembentukan karakter, untuk
membiasakan peserta duidik dengan sifst-sifat yang baik dan terpuji, sehingga
aktivitas yang dilakukan oleh peseta didik terekam secara positif.

Pembiasaan akan membangkitkan internalisasi nilai dengan cepat, karena nilai


merupakan suatu penetapan kualitas terhadap objek yang menyangkut suatu jenis
aspirasi atau minat. Internalisasi adalah upaya menghayati dan menteladani nilai, agar
tertanam dalam diri setiap manusia. Tahap-tahap internalisasi nilai dalam pendidikan
berkarakter mencakup: (a) Transformasi nilai, pada tahap ini guru sekedar
menginformasikan nilai-nilai yang baikdan yang tidak baik kepad siswa; (b)
Transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan karakter dengan jalan melakukan
komunikasi dua arah atau timbal balik; (c) Transinternalisasi, yakni bahwa tahap ini
lebih dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan
lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mental, dan kepribadiannnya.

Pendidikan melalui pembiasaan dapat dilakukan secara terprogram dalam


pembelajaran, dan secara tidak terprogram dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan
terprogram antara lain: biasakan melakukan kegiatan inkuri dalam setiap
pembelajaran, biasakan melakukan refleksi pada setiap akhir pebelajaran, biasakan
melakukan penialaian secara sebenarnya, biasakan peserta didik untuk bekerjasama,
biasakan peserta didik untuk sharing dengan temannya, biasakan peserta didik
terbuka dalam kritikan, dll. Kegiatan pembiasaan secara tidak terprogam dapat
dilakukan melalui bebrapa cara. Pertama, rutin yaitu pembiasaan yang dilakukan
terjadwal, seperti upacara bendera, senam, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan
diri. Kedua, spontan yaitu pembiasaan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti
perilaku pemberian salam, membuang sampah pada tempatnya, dan antre.

 Keteladanan

Keteladanan guru sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan


perkembangan pribadi para peserta didik. Keteladanan ini memiliki peran dan fungsi
yang sangat pentingg dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan
mengembangkan sumber daya manusia. Dalam hal ini guru tidak hanya ditunut untuk
mampu memaknai pembelajaran, tetapi yang paling penting adalah bagaimana dia
menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan karakter dan perbaikan kualitas
pribadi peserta didik.

Dalam keteladanan ini, guru harus berani tampil beda, harus berbeda dari
penampilan-penampilan orang lain yang bukan guru, beda dan gaul (diferent and
distingtif). Sebab penampilan guru bisa membuat peserta didik senang belajar, bisa
membuat peserta didik betah belajar dikelas, tetapi bisa juga membuat peserta didik
malas belajar bahkan malas masuk kelas seandaiya penampilan gurunya acak-acakan
tidak karuan. Disinilah guru harus menjadi teladan agar bisa ditiru dan diteladani oleh
peserta didiknya.

Sebagai teladan tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat
sorotan peserta didik dan orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau
mengakuinya sebagai guru. Sehubungan dengan itu beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian dan bila perlu didiskusikan dalam forum MGMP dan KKG antara
lain: (a) cara bicara dan gaya bicara, penggunaan bahasa sebagai alat berpikir; (b)
kebiasaan bekerja, gaya yang dipakai guru dalam bekerja. Pakaian merupakan
perengkapan pribadi yang amat penting dan menampakkan ekspresi seluruh
kepribadian; (c) proses berpikir, cara yang digunakan dalam menghadapi dan
memecahkan masalah; (d) gaya hidup secara menyeluruh, apa yang dipercaya
seseorang setiap aspek kehidupan dan tindakannya.

Secara teoritis menjadi teladan merupkan bagian integral dari seorang guru
sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan.
Memang setiap profesi mempunyai tuntutan khusus dan karenanya bila menolak
berarti menolak profesi itu. Dalam beberapa hal memang benar bahwa guru harus
bisa menjadi teladan, tetapi jangan sampai hal tersebut menjadikan guru tidak
memiiki kebebasan sama sekali. Guru juga manusia, dalam batas-batas tertentu tentu
saja memilki berbagai kelamahan dan kekurangan.

 Pembinaan disiplin peserta didik


Dalam rangka menyukseskan pendidikan karakter, guru harus mampu
menumbuhkan disiplin peserta didik terutama disipli diri (self-dicipline). Guru harus
mampu membantu peserta didik mengembangkan pola perilakunya, meningkatkan
standar perilakunya, dan melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan
disiplin. Utuk mendisiplinkan peserta didik perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional yaitu sikap demokratis, sehingga peraturan
disisplin perlu berpedoman pada hal tersebut. Guru berfungsi sebagai pengemban
ketertiban yang patut digugu dan ditiru, tetapi tidak diharapkan sikap yang otoriter.

Membina disiplin peserta didik harus mempertimbangkan berbagai situasi, dan


memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu disarankan kepada
guru untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Memulai seluruh kegiatan dengan disiplin waktu, dan taat aturan

2. Mempelajari pengalaman peserta didik disekolah melalui kartu catatan kumulatif

3. Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik

4. Memberikan tugas yang jelas, dan dapat dipahami

5. Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran


sesuai dengan yang direncanakan

6. Berbuat sesuatu yang bervariasi dan tidak monoton

7.Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya.

 CTL (Contextual Teaching and Learning)

Pembelajaran kontesktual (Contextual Teaching and Learning) yang sering


disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat dipergunakan
untuk mengefisiensikan dan menyukseskan pendidikan karakter disekolah. CLT dapat
dikembangakan menjadi salah satu model pembelajaran berkarakter, karena dalam
pelaksanaannya lebih menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran
dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata.

CTL memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan, karena


pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktikan
karakter-karakter yang dipelajarinya secara langsung. Pembelajaran kontekstual
mendorong peserta didik memahami hakikat, makna, dan manfaat belajar, sehingga
memunkinkan mereka rajin, dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan
kecanduan belajar. Dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memberikan
kemudahan belajar kepada peserta didik dengan menyediakan berbagai sarna dan
sumebr belajar yang memadai srta menciptakan iklim yang kondusif bagi
pertumbuhan karakter peserta didik.

Pelaksanaan pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari


dalam peserta didik (internal) maupun dari lingkungan didik atau luar peserta
(eksernal). CTL yang berusaha mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata
peserta didik tampaknya patut dijaikan sebagai model alternatif pendidikan kareakter.
CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menoong para peserta didik
memahami makna dari materi pembeajaran yang dipelajari dengan cara
menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan
budaya dalam kehidupan sehari-hari.

 Pembelajaran partisipatif (partisipative instruction)

Keterlibatan peseta didik merupakan syarat pertama dalam kegiatan belajar


dikelas. Untuk terjadinya keterlibatan itu peserta didik harus memahami dan memiliki
tujuan yang ingin dicapai melalui belajar. Untuk mendorong partisipasi pesert didik
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain memberikan pertanyaan dan
menanggapi respon peserta didik secara positif, menggnakan pengalaman berstuktur,
menggunakan beberapa instruen, dan menggunakan metode yang bervariasi yang
lebih banyak melibatkan peserta didik. Pembelajaran partisipasif sering juga diartikan
sebagai kketerlibatan peserta didik dalam perncanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran. Indikator pembelajaran partisipatif adalah adanya keterlibatan
emosional dan mental peserta didik, adanya kesediaan peserta didik untuk
memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan, dalam kegiatan belajar terdapat hal
yang menguntungkan peserta didik.

Pelaksanaan pembelajaran partisipatif perlu memperhatikan beberapa prinsip


sebagai berikut. Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs based)
sebagai keinginan maupun kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua,
berorientasi kepada tujuan kegiatan belajar (learning goals and objectives oriented).
Ketiga, berpusat kepada peserta didik (partisipan centered). Keempat, belajar
berdasarkan pengalaman (experiental learning).

Pembelajaran partisipatif dapat dikebangkan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didk siap belajar

b. Membantu peserta didik menyusun kelompok

c. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan


kebutuhanbelajarnya

d. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar berkarakter


e. Membantu peserta didik meranncang pola-pola karakter yang sesuai dengan
pengalaman belajar

f. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil
pendidikan karakter.

F. Strategi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan secara efektif dan efisien apabila
didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikannya,
dana sekolah yang cukup untuk menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana
prasarana yang memadai untuk mendukung proses pembelajaran, serta dukungan
yang tinggi dari masyarakat (orang tua). Harus diakui bahwa sejak zaman orde lama,
orde baru, orde reformasi sampai sekarang pendidikan nasional belum ditangani oleh
ahliya secara profesional. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan
harus melakukan reformasi total terhadap manajemen dan sistem pendidikan
nasional; jika tidak kita tinggal menunggu kehancuran bangsa dan negara ini; yang
berbagai indkatornya sudah dapat dirasakan sekarang.

Berkaitan dengan kondisi sekolah, di Indonesia pada saat ini sangat bervariasi
dilihat dari segi kualitas, lokasi sekolah, dan partisipasi masyarakat (orangtua).
Kualifikasi sekolah bervariasi dari sekolah yang sangat maju sampai sekolah yang
sangat ketinggalan, sedangkan lokasi sekolah bervariasi dari sekolah yang terletak di
perkotaan sampai sekolah yang letaknya di daerah terpencil. Demikian pula
partisipasi orang tua, bervariasi dari yang partisipasinya tinggi sampai yang kurang
bahkan tidak berpartisipasi sama sekali. Kondisi tersebut tampaknya, akan menjadi
permasalahan yang rumit dan harus diprioritaskan penanganannya. Oleh karena itu,
agar pendidikan karakter dapat diterangkan secara optimal, baik sekarang maupun di
masa yang akan datang, perlu adanya pengelompokkan sekolah berdasarkan tingkat
kemampuan manajemen masing-masing. Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk
mempermudah pihak-pihak terkait dalam memberikan dukungan.

1. Pengelompokkan sekolah

2. Penahapan yang tepat

3. Pengembangan perangkat pendukung

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis


melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan dalam rangka
membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang
menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, sosial, maupun fisik-
motoriknya. Hurlock (1986 : 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor
penentu bagi perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir, bersikap,
maupun berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru sebagai
substitusi orang tua. Beberapa faktor lingkungan sekolah yang berkonstribusi positif
terhadap perkembangan siswa atau anak diantaranya :

1. Kejelasan visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai

2. Pengelolaan atau manajerial yang profesional

3. Para personel sekolah yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap visi, misi, dan
tujuan sekolah

4. Para personel sekolah memiliki semangat kerja yang tinggi, merasa senang, disiplin
dan rasa tanggung jawab

5. Para guru memiliki kemampuan akademik dan profesional yang memadai

6. Sikap dan perlakuan guru terhadap siswa bersifat positif : bersikap ramah dan
respek terhadap siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat atau
bertanya

7. Para guru menampilkan perannya sebagai guru dalam cara-cara yang selaras
dengan harapa siswa, begitupun siswa menampilkan peranannya sebagai siswa dalam
cara-cara yang selaras dengan harapan guru

8. Tersedianya sarana prasarana yang memadai

9. Suasana hubungan sosio-emosional antar pimpinan sekolah, guru-guru, siswa,


petugas administrasi, dan orangtua siswa berlangsung secara harmonis

10. Para personel sekolah merasa nyaman dalam bekerja karena terpenuhi b
kesejahteraan hidupnnya.

Dalam salah satu hasil penelitian mengenai pendidikan, Michael Russel


(Sigelmen & Shaffer, 1995 : 426) mengemukakan tentang definisi sekolah yang
efektif, yaitu yang mengembangkan prestasi akademik, keterampilan sosial, sopan
santun, sikap positif terhadap belajar, abseinteism yang rendah, melatih keterampilan
sebagai bekal bagi siswa untuk dapat bekerja. Seiring dengan program pemerintah
mengenai pendidikan karakter, maka sekolah memiliki tanggung jawab untuk
merealisasikannya melalui pengintegrasian pendidikan karakter tersebut ke dalam
program pendidikan secara keseluruhan. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah
diharapkan menjadi “Centre of nation character building”, pusat pembangunan
karakter bangsa. Pendidikan karakter ini bukan mata pelajaran, tetapi nilai-nilai
karakter itu harus ditanamkan kepada para peserta didik melalui proses pembelajaran
dikelas maupun diluar kelas.
Kemendiknas (2010) menjelaskan bahwa karakter adalah “watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma
seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain”.
Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan
bangsa. Kemendiknas (2010) menyatakan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber
berikut ini:

a. Agama: Mayarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan
kepercayaannya.

b. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip


kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.

c. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu.
Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep
dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu.

d. Tujuan pendidikan nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap
warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan diberbagai
jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan
yang harus dimiliki warga negara Indonesia.

Berdasarkan keempat sumber nilai, teridentifikasi sejumlah nilai untuk


pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut:

1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

4. Mandiri: Sikap perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
5. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.

6. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

7. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang


menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan
kelompoknya.

8. Cinta Tanah Air: Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

9. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk


menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta
menghormati keberhasilan orang lain.

10. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperhatikan rasa senang


berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

11. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadirannya.

12. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai


bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinnya.

13. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan uoaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

14. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

15. Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha
Esa.

G. Implementasi Pendidikan Karakter

Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan ,


penciptaan lingkungan , dan pembiasaan; melalui berbagai tugas keilmuan dan
kegiatan kondusif. Dengan demikian apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan
dikerjakan oleh pesetra didik dapat membentuk karakter mereka. Selain
menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama ,
penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting ,
dan turut mrmbentuk karakter peserta didik.

Penciptaan lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai


variasi metode sebagai berikut:

1) Penguasaan

2) Pembiasaan

3) Pelatihan

4) Pembelajaran

5) Pengarahan

6) Dan keteladanan

Berbagai metode tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam


pembentukan karakter peserta didik . pemberian tugas di sertai pemahaman akan
dasar dasar filosofisnya , sehingga peserta didik akan mengerjakan berbagai tugas
debgan kesadaran dan pemahaman, kepedulian dan komitmen yang tinggi. Setiap
kegiatan mengandung unsur unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan
kepramukaan , terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian.
Kesetiakawanan,dan kebersamaan , kecintaan pada lingkungan dan
kepemimpinan . dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani,
penanaman sportivitas, kerja sama (tem work) dan kegigihan dalam berusaha.

H. PerananPentingPendidikanKarakterbagi Pembangunan Bangsa

Modal orang untuk menjadi sukses tak lepas dari peran penting suatu karakter
yang luar biasa. Karakter menjadi suatu hal yang berpengaruh pula dimana sesorang
tersebut berada. Pembentukan karakter dapat dibangun pula melalui sarana Pendidikan.

Negara Indonesia pun sejak masa kemerdekaan sudah memikirkan mengenai


Pendidikan Karakter. Para pendiri bangsa menyadari paling tidak ada tiga tantangan besar
yang harus dihadapi. Pertama, adalah mendirikan bangsa yang bersatu dan berdaulat,
kedua, adalah membangun bangsa, dan ketiga adalah membangun karakter.

Menurut bapak pendiri bangsa Presiden pertama Republik Indonesia


menegaskan : “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter,
karena pemanguna karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang
besar, maju dan jaya serta bermartabat.

Di Indonesia Pelaksanaan Pendidikan karakter dirasakan mendesak dan amat


perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran antar pelajar, serta
bentuk – bentuk kenakalan remaja lainya terutama di kota – kota besar,
pemerasan/kekrasan, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, penggunaan
narkoba dan lain – lain.

Bangsa ini serasa kehilangan jati dirinya, bangsa yang dikenal dengan bangsa
yang santun kini kesantunannya pun sudah jarang ditemukan. Keadaan ini telah menjadi
keprihatinan nasional. Pada perayaan hari nyepi di Jakarta tahun 2010 yang lalu, Presiden
Republik Indonesia menyampaikan pesannya: “ pembangunan watak amat penting. Kita
ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku
baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban
demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik
(good society).

Sebagai tindak lanjut dari pidato Presiden tersebut maka salah satu program 100
hari Kementrian Nasional adalah pendidikan karakter. Salah satu dampak dari kegiatan
tersebut, sejak digalakannya kembali pembelajaran di Indonesia. Sebenarnya sejak orde
lama pendidikan karakter sudah ada namun dikenal dengan nama pendidikan budi
pekerti, yang mana landasan pengembangan kebudayaan, pendidikan budi pekerti lebih
banyak ditekankan pada hubungan antar-manusia, antar-siswa dan guru, antara siswa dan
orang tua dan antar-siswa. Disamping mengembangkan hubungan yang berada antar-
sesama manusia, pendidikan karakter juga mengembangkan bagaimana hubungan yang
pantas dan layak antara manusia kepada sang Pencipta, Al-Khalik, serta dengan alam
lingkungannya.

Berkaitan dengan dirasakan semakin mendesaknya implementasi pendidikan


karakter di Indonesia tersebut, Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementrian Pendidikan Nasional dalam publikasinya berjudul Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter. Dalam publikasi Pusat Kurikulum dinyatakan bahwa pendidikan
karakter berfungsi untuk :

1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik,

2. Memperkuat dan membangun perilaku baik yang multikultur,

3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.


Dalam kaitan itu telah diidentifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan
hasil kajian empiric Pusat Kurikulum, nilai – nilai bersumber dari Agama, Pancasila,
budaya dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah :

(1)Religius,

(2) jujur,

(3) Toleransi,

(4) Disiplin,

(5) Kerja Keras,

(6) Kreatif,

(7) Mandiri,

(8) Demokratis,

(9) Rasa ingin tahu,

(10)Semangat Kebangsaan,

(11) Cinta tanah air,

(12) menghargai Prestasi,

(13) bersahabat/komunikatif,

(14) cinta damai

(15) gemar membaca,

(16) Peduli lingkungan,

(17) Peduli Sosial,

(18) tanggung jawab.

Negara yang mengembangkan pendidikan karakter bukan hanya Negara Indonesia


melainkan Negara Amerika Serikat, pengembangan dan penggalakan pendidikan karakter
di Amerika Serikat sejalan dengan pendidikan kecakapan hidup. Sementara itu di Kanada
ada berbagai istilah untuk Pendidikan Karakter yaitu pendidikan nilai, pendidikan moral,
pendidikan kewarganegaraan, pembelajaran social-emosional dan lain – lain, yang mana
semua itu menjadi suatu proses bagi pengembangan atribut – atribut tersebut dalam diri
pembelajar.
Di samping Amerika Serikat dan Kanada Negara- Negara lain yang juga mempraktekkan
pendidikan karakter sejak dasar adalah Inggris, Spanyol, Jepang, Cina, dan Korea
Selatan. Sejumlah Negara tersebut begitu antusias terhadap pelaksanaan pendidikan
karakter karena sejumlah penelitian membuktikan bahwa pendidikan karakter berdampak
positif, baik terhadap pembelajaran, persekolahan maupun kehidupan anak – anak pada
masa mendatang.

Sebagian Negara mengembangkan pendidikan karakter bagi warga negaranya dengan


berbagai cara pula. Semuanya itu dilakukan untuk dapat menyelamatkan generasi yang
sudah mulai hanyut oleh arus negative maka dari itulah pendidikan karakter amatlah
diperlukan agar pengembangnnya merata pendidikan karakter ini diberikan melalui
lembaga pendidikan yang mana semua warga Negara paling tidak dapat mendapatkannya
di tingkat pendidikan yang paling dasar.

Implementasi pendidikan karakter di Indonesia menurut Kementrian Pendidikan


Nasional, Pendidikan karakter harus meliputi dan berlangsung pada,

1. Pendidikan Formal

Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung pada lembaga pendidikan


TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMA/MAK dan perguruan Tinggi melalui
pembelajaran, kegiatan kokulikuler dan atau ekstra-kulikuler, penciptaan budaya satuan
pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik,
pendidik, dan tenaga kependidikan.

2. Pendidikan Non Formal

Dalam pendidikan non formal pendidikan karakter berlangsung pada lembaga kursus.
Pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan. Dalam lembaga pendidikan nonformal
lain melalui pembelajaran, kegiatan kokirikulker dan atau ekstra-kurikuler, penciptaan
budaya lembaga, dan pembiasaan.

3. Pendidikan Informal

Dalam pendidikan informal pendidikan karakter berlangsung dalam keluarga yang


dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa didalam keluarga terhadap anak – anak yang
menjadi tanggung jawabnya.
III. Kesimpulan

Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang sangat penting untuk membina


kepribadian peserta didik. Karakter sangat berpengaruh terhadap kelakuan seseorang
dimanapun dia berada. Oleh sebab itu, kesuksesan seseorang tak lepas dari modal
pendidikan karakter yang dimilikinya. Sepertinya yang diungkapkan oleh Presiden
Soekarno yang intinya adalah pembangunan karakter harus diutamakan karena memiliki
manfaat untuk bangsa menjadi besar, maju dan jaya serta bermartabat.

Pendiri negara telah memberikan penekanan pada pembangunan karakter bangsa,


dengan arah dan landasan yang jelas, yakni Pancasila. Hal ini sesuai dengan fungsi
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya
memfokuskan pembangunan karakter bangsa kepada para peserta didik, sebagai generasi
penerus bangsa.
IV.DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah, Dasim. (2012). Perancang Pembelajaran Berbasis Karakter. Bandung: Widya


Aksara Press.

Lickona, Thomas. (2013). Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik. Bandung: Nusamedia.

Mulyasa. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Saptono. (2011). Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter, Wawasan, Strategi, dan Langkah


Praktis. Jakarta: Erlangga.

Samani, Muchlas & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya Offset.

Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.


Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Tirtarahardja, Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai