Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muhamad Firdaus Bin Azizi

NIM : 160103024
Prodi : Syariah Perbandingan Mazhab dan Hukum
Dosen : Riswadi, M.A.
Mata Kuliah : Hukum Islam di Negara Muslim

Penerapan Hukum Perkahwinan Beda Agama di Turki


Sejarah di Turki
Secara historis, upaya pembaruan Hukum Keluarga di belahan dunia Islam mulai
terealisasi pada penghujung abad 19M. Kesadaran masyarakat muslim akan tertinggalnya konsep-
konsep fikh yang selama ini dijadikan rujukan, menumbuhkan semangat pembaruan dari rumusan
Undang-undang lama yang telah terformat menuju Undang-undang yang lebih mampu
mengakomodasi tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan Islam itu sendiri. Turki, merupakan
negara pertama yang melakukan reformasi Hukum Keluarga Muslim, dan gagasan itu muncul pada
tahun 1915. Setelah mengamati secara cermat berbagai fenomena yang berkaitan dengan
perubahan tersebut, baru kemudian disahkan secara resmi pada tahun 1917 yaitu The Law of
Family Rights.
Di samping itu, pengaruh pergesekan dengan pemikiran Barat Modern dan menilik pada
perkembangan peradaban barat yang lebih maju, mendorong semangat nasionalisme masyarakat
Turki untuk me’modern’kan negaranya. Dalam perkembangannya, Undang-undang Hukum
Keluarga yang merujuk pada hukum Syari’ah justru ditinggalkan. Hal ini terlihat dengan
diproklamirkannya Negara Republik Turki (Turki Modern), dengan diupayakan pembentukan UU
Sipil Turki yang mengadopsi dari UU Sipil negara Swiss. Meskipun demikian, mayoritas bangsa
Turki tetap yakin bahwa mereka adalah Muslim. Bahkan di kalangan penguasa sebagian besar
menegaskan bahwa mereka tidak menolak Islam, mereka hanya mengikuti sikap Barat bahwa
agama adalah masalah pribadi (yang mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan), bukan
sistem hukum yang harus dilaksanakan oleh negara.
Melihat pemikiran diatas maka penulis melihat bahwa pemikaran di turki dipengaruhi
dengan pemikiran sekularisme. Dimana Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa
kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan
harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan
beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang
netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.
Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia,
terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan
fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumen yang mendukung
sekularisme beragam. dalam Laisisme Eropa, di usulkan bahwa sekularisme adalah gerakan

1
menuju modernisasi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional. Tipe sekularisme ini, pada
tingkat sosial dan filsafats seringkali terjadi selagi masih memelihara gereja negara yang resmi,
atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap agama.

Mazhab dan Agama di Turki


Turki Usmani mempertahankan ajaran Islam Ortodoks dan sekaligus mencerminkan corak
keislaman masyarakat Turki, yang mana utamanya mereka bertindak sebagai muslim, kemudian
baru atas nama bangsa Turki. Bagi Muslim Turki, mereka bermazhab Hanafi yaitu dijadikan
rujukan secara formal. Walaupun 96% dari seluruh jumlah penduduknya beragama Islam, banyak
di antara mereka yang secara sadar tidak menjalankan ajaran Islam, sebagai akibat dari kebijakan
sekularisasi yang diterapkan pada abad 20. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok, seperti Yahudi,
Katolik Roma, dan pengikut beberapa kelompok Ortodoks Timur.

Pengertian Perkawinan Beda Agama


Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita yang keduanya
memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama terjadi antara
pria dan wanita memiliki perbedaan agama/kepercayaan. Turki telah mengubah total hukum
keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern, tanpa mengindahkan agama mereka.

Konsep Perkawinan Beda Agama di Turki


Di Turki dan negara-negara barat yang sekuler telah mengubah total hukum perkawinannya
dan menerapkan hukum modern barat. Mereka cenderung memperbolehkan karena di barat
perkawinan telah digeser dari urusan keagamaan menjadi urusan public semata, sehingga
perkawinan sipil marak dilakukan, dan perkawinan tidak harus berdasarkan agama. Legalitas ada
dalam pencatatan oleh petugas pencacat perkawinan oleh Negara. Sehingga, apapun agama yang
dianut oleh para pihak, bahkan tidak beragamapun, dapat melangsungkan perkawinannya dengan
memenuhi prosedur yang ada. Undang-Undang perkahwinan Cyprus tahun 1951 Pasal 7C)
mengatur tentang perkahwinan di turki diantara adalah:
a) Perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah,
b) Laki-laki Non-Muslim dilarang menikah dengan perempuan Muslim.
c) Dan dilarang perkawinan yang ada hubungan darah.
Mungkin pemerintah di turki melihat dari segi Maqasid syariahnya dengan dilakukannya
perkawinan beda agama adalah untuk mengajak agama lain khususnya Ahli Kitab untuk masuk
dan memeluk agama Islam. Menjalin hubungan dengan kesadaran toleransi antara pemeluk agama,
dengan cara laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Karena biasanya laki-laki lebih

2
kuat dan bisa mengurangi wanita Ahli Kitab dalam menjalankan agamanya (Islam mengakui Isa
a.s. sebagai Nabi Allah, sedangkan Ahli Kitab tidak mengakui Muhammad saw. Sebagai Rasul).
Dengan demikian, akan timbul hubungan diplomasi antara pihak Muslim dengan Ahli
Kitab. Lambat laun mereka akan sadar dengan keberadaan dan keyakinan yang dipegang selama
ini. Walaupun tanpa adanya paksaan mereka akan masuk Islam dengan sendirinya sehingga
terciptalah suatu tujuan Islam sebagai agama rahmatan li al-la’min(Rahmat sekian Alam).
Dalil Tentang Perkawinan Beda Agama
Dalam al-Qur‟an dan hadis tidak pernah ditemukan penjelasan tantang perkawinan beda
agama. Barangkali, pada masa turunnya al-Qur‟an, perkawinan beda agama tidak menjadi
masalah. Seseorang boleh menikah dengan siapa saja yang sekufu (sepantar). Hal ini baru menjadi
masalah apabila dalam perkawinan tersebut terdapat perbedaan keyakinan atau agama, walaupun
terdapat pengecualian untuk Ahli Kitab. Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-Qur‟an.
Dalam surat al-Baqarah ayat 221 disebutkan:

َ‫صنَاتُ ِمن‬ َ ‫طعَا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَ ُه ْم ۖ َو ْال ُم ْح‬َ ‫اب ِح ٌّل لَ ُك ْم َو‬ َ َ ‫طعَا ُم الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ َّ ‫ْاليَ ْو َم أ ُ ِح َّل لَ ُك ُم‬
َ ‫الط ِيبَاتُ ۖ َو‬
‫ص ِنينَ َغي َْر‬ِ ‫ور ُه َّن ُم ْح‬ َ ‫اب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم ِإذَا آت َ ْيت ُ ُمو ُه َّن أ ُ ُج‬َ َ ‫صنَاتُ ِمنَ الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ َ ‫ت َو ْال ُم ْح‬ ِ ‫ْال ُمؤْ ِمنَا‬
َ‫ع َملُهُ َو ُه َو ِفي ْاْل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬ َ ‫ط‬ َ ‫ان فَقَ ْد َح ِب‬ ِ ‫اْلي َم‬ ٍ َ‫سا ِف ِحينَ َو ََل ُمت َّ ِخذِي أ َ ْخد‬
ِ ْ ‫ان ۗ َو َم ْن َي ْكفُ ْر ِب‬ َ ‫ُم‬

Artinya Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.(Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugikan.
Menurut ayat di atas, orang musyrik dan kafir tidak boleh dinikahi oleh orang Muslim,
demikian pula Ahl Kitab pada zaman sekarang, karena dianggap melenceng dari. Dahulu mereka
mengakui bahwa Nabi Isa sebagai anak Allah (untuk orang Nasrani) dan Uzair sebagai anak Allah
(untuk orang Yahudi), artinya mereka kafir. Maka Ahli Kitab tidak diperkenankan menikahi
wanita mukmin, demikian pula sebaliknya pria mukmin tidak boleh menikahi Ahli Kitab.
Asbab an-nuzul surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut menjadi polemik di kalangan ahli tafsir
al-Qur'an dari generasi ke genarasi. Hal ini dipicu oleh adanya dua periwayatan yang berbeda
mengenai sebab turunnya ayat tersebut.
Pertama, diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil,
dia mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kasus Abu Martsad al-Ghanawi atau
Martsad bin Abi Martsad, seorang laki-laki anggota persekutuan Bani Hasyim yang diutus
Rasulullah ke Makkah untuk membantu mengevakuasi orang-orang Muslim secara rahasia.
Dahulu, ketika masih jahiliyah (diMakkah), ia memeliki seorang kekasih bernama Inaq. Tapi,

3
setelah masuk Islam Martsad meninggalkan kekasihnya tersebut. Pada suatu saat, kekasihnya
mendatangi Martsad dan menanyakan alasan mengapa ia meninggalkannya. Martsad
menjawabnya dengan mengatakan bahwa Islam melarang hubungan kita sembari menegaskan
bahwa ia akan meminta izin pada Rasulullah untuk mengawininya. Mendengar jawaban itu, Inaq
kecewa, menjerit, dan datanglah orang-orang memukuli Martsad dengan pukulan keras lalu
membiarkannya pergi.Setelah menyelesaikan tugasnya di Makkah dia menghadap Rasulullah saw.
dan meminta izin untuk mengawini Inaq. Lalu turunlah ayat ini.
Kedua, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi dari Malik dari Ibnu Abbas, dia
berkata, “Ayat ini berkaitan dengan seorang sahabat Abdilah bin Rawahah yang datang kepada
Rasulullah menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang berkulit
hitam kelam dan jelek karena marah. Dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah.”
Rasulullah bertanya, “Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut?” Abdillah menjawab bahwa
budaknya itu seorang muslimah yang taat. Rasulullah kembali berkata, "Wahai Abdillah, dia itu
adalah seorang yang beriman". Maka Abdilah menimpali, “Demi Zat yang mengutusmu dengan
hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya”. Peristiwa tersebut memancing penghinaan
dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdillah menikahi budaknya yang hina dan
jelek.Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu Allah tersebut.
Ayat lain yang juga terkait dengan perkawinan campuran dan perkawinan beda agama
adalah surat al-Mumtahanah (60) ayat 10 yang berbunyi:

‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم ِبإِي َمانِ ِه َّن ۖ فَإ ِ ْن‬


َّ ۖ ‫امت َ ِحنُو ُه َّن‬
ْ َ‫ت ف‬ ٍ ‫اج َرا‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا َجا َء ُك ُم ْال ُمؤْ ِمنَاتُ ُم َه‬
‫ار ۖ ََل ُه َّن ِح ٌّل لَ ُه ْم َو ََل ُه ْم َي ِحلُّونَ لَ ُه َّن ۖ َوآتُو ُه ْم َما‬ ِ َّ‫ت فَ ََل تَ ْر ِجعُو ُه َّن إِلَى ْال ُكف‬ ٍ ‫ع ِل ْمت ُ ُمو ُه َّن ُمؤْ ِمنَا‬ َ
‫ص ِم ْال َك َوافِ ِر َواسْأَلُوا‬ َ ‫ور ُه َّن ۚ َو ََل ت ُ ْم ِس ُكوا ِب ِع‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم أَ ْن تَ ْن ِك ُحو ُه َّن إِذَا آت َ ْيت ُ ُمو ُه َّن أ ُ ُج‬ َ ‫أ َ ْنفَقُوا ۚ َو ََل ُجنَا َح‬
‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫َما أ َ ْنفَ ْقت ُ ْم َو ْليَسْأَلُوا َما أ َ ْنفَقُوا ۚ َٰذَ ِل ُك ْم ُح ْك ُم‬
َّ ‫َّللاِ ۖ َي ْح ُك ُم َب ْي َن ُك ْم ۚ َو‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha bijaksana.

4
Ayat di atas menyiratkan bahwa adanya larangan meneruskan tali perkawinan dengan wanita-
wanita musyrikah dan kafir, yang saat itu masih dalam ikatan laki-laki Muslim.
Surat al-Ma‟idah ayat 5 juga memberikan penjelasan tentang perkawinan beda agama
tersebut. Ayat tersebut berbunyi:
َ‫صنَاتُ ِمنَ الَّذِين‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ِ ‫صنَاتُ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنَا‬ َ ْ‫طعَا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَ ُه ْم ۖ َو ْال ُمح‬ َ ‫طعَا ُم الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
َ ‫َاب ِح ٌّل لَ ُك ْم َو‬ َ ‫طيِبَاتُ ۖ َو‬ َّ ‫ْاليَ ْو َم أ ُ ِح َّل لَ ُك ُم ال‬
‫ط َع َملُهُ َوه َُو‬َ ‫ان فَقَدْ َح ِب‬ ٍ َ‫سافِ ِحينَ َو ََل ُمت َّ ِخذِي أَ ْخد‬
ِ ْ ‫ان ۗ َو َم ْن َي ْكفُ ْر ِب‬
ِ ‫اْلي َم‬ َ ‫صنِينَ َغي َْر ُم‬ َ ‫َاب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم ِإذَا آت َ ْيت ُ ُموه َُّن أ ُ ُج‬
ِ ْ‫وره َُّن ُمح‬ َ ‫أُوتُوا ْال ِكت‬
ْ
َ‫فِي ْاْل ِخ َرةِ ِمنَ الخَا ِس ِرين‬

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.
Dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan
pria non-Muslim, termasuk dengan Ahli Kitab. Pria Muslim pun tidak boleh menikahi wanita
kafir/musyrik,tapi pria Muslim boleh menikahi wanita Ahl Kitab. Ahl kitab adalah penganut
agama Yahudi dan Nasrani (Kristen).
Menanggapi nas yang membahas perkawinan antar-agama, Umar Farukh, seorang pemikir
modern, dan beberapa ahli tafsir menilai bahwa surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah
ayat 10 di-nasakh oleh ayat surat al-Ma‟idah ayat 5. Maka, diperbolehkan bagi laki-laki Muslim
menikahi wanita Ahli Kitab, karena keharaman telah di-naskh.
Sementara itu, menurut Ibnu Hazm, wanita-wanita Ahli Kitab merupakan pengecualian
sekelompok kecil dari jumlah besar wanita kafir. Menurut sebagian ahli tafsir, masalah ini bukan
termasuk naskh melainkan pen-takhsisan (pengkhususan). Pendapat ini kemudian sejalan dengan
pendapat Ibnu Hazm yang memperbolehkan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab.
Analisis Penulis
Berdasarkan dari bacaan di atas, maka dapat ditarik sebuah analisis terhadap suatu
permasalahan perkawinan beda agama di turki, adalah sesuai hanya di turki tetapi tidak untuk
negara lain yaitu dengan hukum bisa berubah mengikut waktu dan tempat sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan dalam resume ini, bahwa perkawinan beda agama di turki sesuai di turki karena
96% dari seluruh jumlah penduduk turki beragama Islam, tetapi di antara mereka yang secara sadar
tidak menjalankan ajaran Islam, sebagai akibat dari kebijakan sekularisasi yang diterapkan pada
abad 20. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok, seperti Yahudi, Katolik Roma, dan pengikut

5
beberapa kelompok Ortodoks Timur. Jadi sesuai untuk dilaksanakan perkahwinan beda agama di
turki dengan tujuan untuk mengajak agama lain khususnya Ahli Kitab untuk masuk dan memeluk
agama Islam. Jadi perkawinan beda agama di turki sesuai untuk zaman sekarang karena berbeda
dengan tujuan perkawinan beda agama zaman dahulu yakni zaman Nabi Muhammad saw.
Adapun perbedaan hukum perkawinan Indonesia, Malaysia dan di Negara-negara muslim
yang lain dan hukum perkawinan di Barat, bahwa hukum di Negara muslim menganggap
perkawinan adalah urusan keagamaan, sehingga perkawinan beda agama relative sulit untuk
dilaksanakan. Manakala di barat mereka cenderung memperbolehkan karena di barat perkawinan
telah digeser dari urusan keagamaan menjadi urusan public semata
Berdasarkan mazhab-mazhab yang Islam tradisional yang dikaji dalam berbagai mazhab);
cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antara seorang muslim dengan non-muslim, kecuali
ahli kitab (yaitu yang pada masa Nabi, mereka beragama yahudi atau nasrani, yang ajarannya
dianggap masih murni). Dalam fiqh, biasanya seorang muslim laki-laki diperbolehkan menikahi
seorang peremapuan ahli kitab; dan sebaliknya, seorang muslim perempuan tidak diperbolehkan
menikah dengan seorang laki-laki ahli kitab.
Pada pendapat penulis, pada dasarnya perkawinan beda agama di Indonesia hampir sama
dengan turki Cuma perbedaannya hal ini hanya ditinjau dari perbedaan kewarganegaraan yang
tunduk pada hukum yang berlainan sehingga perlu adanya penyatuan dalam pencatatan
perkawinan. Apabila mempelai berdua menganut agama Islam, maka dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA). Sedangkan apabila salah satu dari mempelai non-Muslim maka dicatatkan di
Kantor Catatan Sipil. Perkawinan campuran di Indonesia diperbolehkan asalkan mengikuti
peraturan yang berlaku di Indonesia.
Berbeda halnya apabila perkawinan tersebut berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan,
maka ulama ikut angkat bicara dalam memutuskan hukum perkawinan tersebut, terlebih dalam
agama Islam.Ulama sepakat bahwasanya menikahi orang musyrik dan kafir hukumnya haram.
Sedangkan dalam masalah menikahi Ahli Kitab yakni Nasrani dan Yahudi, ulama merujuk surat
al-Maidah (5) ayat 5 bahwa laki-laki non-Muslim dilarang menikahi wanita muslimah, tetapi laki-
laki Muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab. Laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahli
Kitab, ini dengan dalil mengikuti Rasul saw yang kedua isteri beliau adalah wanita Ahli
Kitab,yakni bukan itu saja laki-laki adalah kepala rumah tangga yang memimpin keluarga
sehingga diharapkan mampu membawa istri masuk Islam.
Akan tetapi, pada kenyatannya wanitalah yang mengurus anak-anak dari hasil perkawinan
tersebut sehingga ibu mendominasi pemikiran anak. Karena laki-laki pergi mencari rezeki dan
tidak berada dekat dengan anak-anak. Kita dapat lihat mudah bagi ibu Ahli Kitab membawa anak-
anaknya memeluk agama yang dianutnya. Menurut sebagian ulama, Yahudi dan Nasrani (Kristen)
bukanlah Ahli Kitab karena sudah menyimpang ajarannya, bahkan ada yang mengatakan bahwa
Yahudi dan Nasrani adalah orang kafir dan musyrik yang tidak boleh dinikahi, karena mereka
mengakui Uzair dan Nabi Isa sebagai anak Allah.
Hal ini sesuai dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU),
dan Muhammadiyah. MUI memutuskan: pertama, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki

6
non-Muslim hukumnya haram. Kedua, laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan
Muslimah. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab memang terdapat
perbedaan pendapat. “Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari
maslahatnya,
Jadi pada pendapat penulis perkawinan beda agama dianggap bertentangan dengan tujuan
perkawinan, bagaimana mungkin mampu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah kalau masing-masing pasangan berbeda keyakinan. perkawinan beda agama dilarang
karena dikhawatirkan bisa merusak eksistensi iman seseorang. perkawinan beda agama atas dasar
menutup kemungkinan mudarat yang akan terjadi sebagai akibat perkawinan beda agama.
Pelarangan ini juga mendapatkan momentum ketika dihubungkan dengan wacana Kristenisasi
yang marak saat ini.
Perkawinan antar-agama saat ini tidak sesuai dengan tujuan perkawinan beda agama pada
masa Nabi. Sekarang perkawinan beda agama hanya sebagai pembuktian gengsi dan pemuas nafsu
bukan untuk kejayaan agama Islam sehingga hal ini lebih baik dihindari
perbedaan.

Anda mungkin juga menyukai