Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TARIKH TASYRI
“Fenomena Tasri Dan Pembentukan Hukum Islam Di Indonesia
Pada Masa Kemerdekaan (Orde Lama Dan Orde Baru)”

Disusun Oleh:
Kelompok 11
ROBI ARIANSYAH
1711150058

Dosen Pengampu :
Ahmad Zakaria, M.H

PRODI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Karya
Ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam Karya Ilmiah ini kami
membahas “Fenomena Tasri Dan Pembentukan Hukum Islam Di Indonesia Pada
Masa Kemerdekaan (Orde Lama Dan Orde Baru)” dengan tujuan agar mahasiswa
mengetahui dan mengenal beberapa isi dan makna yang terkandung di dalamnya.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini jauh dari kesempurnaan,
Sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan di
masa yang akan datang. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca, Amin.

Bengkulu, Juni 2018

Penulis,

i
2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Masalah ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASA
A. Sejarah pembentukan hukum islam (tarih tasyri) ............................... 3
B. Perkembangan tarikh tasyri’ di indonesia pasca kemerdekaan. .......... 6
C. Hukum islam pada masa kemerdekaan (1945). .................................. 9
D. Hukum islam pada orde lama dan orde baru ....................................... 10

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ...................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai
dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum,
hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan (sesuai bunyi aturan
peralihan pasal 2 dari UUD 1945: “semua Badan Negara dan Peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar ini”). Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia
merdeka, seharusnya teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum
Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa
UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga
sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.
Secara faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun
dalam mengambil putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim
Pengadilan Agama belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Hal itu
terutama karena hukum Islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis dan
masih tersebar di berbagai kitab kuning sehingga kadang-kadang untuk kasus
yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum Islam yang
telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama (hakim), keputusan
pengadilan, dan perundang-undangan. Sebagai ijma’ ulama indonesia,
Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi
para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial
kompilasi tersebut dalam sepanjang sejarahnya, telah menjadi hukum positif
yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang
dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh
yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba

1
diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini, sebenarnya
terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi
terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak
berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya
sekarang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pembentukan hukum islam (tarih tasyri)?
2. Bagaimana perkembangan tarikh tasyri’ di indonesia pasca kemerdekaan?
3. Bagaimana hukum islam pada masa kemerdekaan (1945)?
4. Bagaimana hukum islam pada orde lama dan orde baru?
5.
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pembentukan hukum islam (tarih
tasyri).
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan tarikh tasyri’ di indonesia
pasca kemerdekaan.
3. Untuk mengetahui bagaimana hukum islam pada masa kemerdekaan
(1945).
4. Untuk mengetahui bagaimana hukum islam pada orde lama dan orde baru.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Tarih Tasyri)


Sejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai
zaman moderen. Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan
hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa
macam pandangan. Dua di antaranya yang terkenal adalah pandangan Syekh
Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universiti Cairo) dan Mustafa
Ahmad az-Zarqa (guru besar feqh Islam Universiti Amman, Jordan).
Pandangan pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh
Syeikh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh Tasyri' al-Islami
(Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membahagi masa pembentukan
hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu: (1) periode awal, sejak
Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; (2) periode para sahabat
besar; (3) periode sahabat kecil dan *tabiin; (4) periode awal abad ke-2 H
sampai pertengahan abad ke-4 H; (5) periode berkembangnya mazhab dan
munculnya taklid mazhab; dan (6) periode jatuhnya Baghdad (pertengahan
abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
Pandangan kedua, pembentukan hukum (fikih) Islam oleh Mustafa
Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-'amm (Pengantar
Umum Fikih Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan
hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh
Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam
menjadi dua bagian, yaitu (1) periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai
munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki
Usmani) pada tahun 1286 H dan (2) periode sejak munculnya Majallah al-Al-
Akam al-'Adliyyah sampai sekarang.
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.

3
Periode Pertama: masa Rasulullah SAW. Pada periode ini. kekuasaan
pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. sumber hukum Islam
ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia
menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah swt.
menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunah
Rasulullah SAW. Istilah fikih dalam pengertian yang dikemukakan ulama
fikih klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. "ilmu" dan "fikih" pada
masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui
dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW.
Pengertian "fikih" di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat
dipahami dari nash (ayat atau hadis), baik yang berkaitan dengan masalah
akidah, hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, "fikih" pada periode ini
bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah
baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan
hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-
Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang
dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah
SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum
Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunahnya sendiri.
Periode Kedua: masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar)
sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat
dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa
bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat
bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa
perlu dilakukan *ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul
dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunah Rasulullah
SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat
persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-
masing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan
ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil

4
ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul
dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi
persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia
melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah
ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian "fikih" dalam periode ini masih
sama dengan "fikih" di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan
teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu
saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
Periode Ketiga: pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H.
Periode ini merupakan awal pembentukan fikih Islam. Sejak zaman Usman
bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabatsudah banyak yang
bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing
sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW kepada penduduk
setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah
bin Mas'ud (*Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan
Abdullah bin Umar (*Ibnu Umar) di Madinah, dan *Ibnu Abbas di Mekah.
Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang
dikenal dengan para tabiin. Para tabiin yang terkenal itu adalah Sa'id bin
Musayyab (15-94 H) di Madinah, Ata bin AbiRabah (27-114H) diMekah,
Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-
110H/728M) di Basra, MakhuldiSyam (Suriah), dan Tawus di Yaman.
Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing
dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka
hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncunah hasil ijtihad
yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya
mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian
muncullah dalam fikih Islam Madrasah al-Hadis (madrasah = aliran) dan

5
Madrasah ar-Ra'y. Madrasah al-Hadis kemudian dikenal juga dengan sebutan
Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-Ra'y
dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.

B. Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaan


Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai
dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum,
hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan (sesuai bunyi aturan
peralihan pasal 2 dari UUD 1945: “semua Badan Negara dan Peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar ini”). Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia
merdeka, seharusnya teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum
Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa
UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga
sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh
Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di
Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat
pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk,
hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitulmal. Keberadaan lembaga
peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa
kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama
bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki.
Pada dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris
compilation atau dalam bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari
kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan
mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah
inilah (kompilasi) yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung
dari kata tersebut.

6
Namun apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam
Indonesia, maka biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-
undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di
dalamnya. Padahal tidak seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya
yang telah dikodifikasi. Karena kompilasi sedikit berbeda dengan
pengkodifikasian.
Secara faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun
dalam mengambil putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim
Pengadilan Agama belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Hal itu
terutama karena hukum Islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis
dan masih tersebar di berbagai kitab kuning sehingga kadang-kadang untuk
kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan.
Dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian
hukum dalam memutus suatu perkara, Departemen Agama Biro Peradilan
Agama melalui surat edaran Nomor B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang
ditujukan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh
Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya
berpedoman kepada 13 kitab fiqh yang sebagian besar merupakan kitab yang
berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i. Dan menyadari akan hal itu, maka para
pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih
komprehensif agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk
menyelasaikan segala masalah dalam era globalisasi ini. Dalam kaitan ini
prinsip yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan
keadilan dan kemanfaatan. Dalam rangka inilah, Busthanul Arifin tampil
dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.
Ide untuk mengadakan Kompilasi Hukum di Indonesia ini memang baru
muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil
kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama.
Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak.
Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto
mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKS (Surat Keputusan Bersama)

7
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam. Yang berarti sudah sedari dini kegiatan ini
mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara. Landasan dalam artian
sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah
intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri
Agama RI yang mana Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I
tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku
III tentang Hukum Perwakafan.
Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya
dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya
tetap undang-undang. Karena bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan
paksa pada sobyek serta objek hukumnya, berbeda dengan kompilasi yang
sesuai dengan karakternya. Yang mana hanyalah menjadi pedoman saja,
relatif tidak mengikat.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum Islam yang
telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama (hakim), keputusan
pengadilan, dan perundang-undangan. Sebagai ijma’ ulama indonesia,
Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi
para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial
kompilasi tersebut dalam sepanjang sejarahnya, telah menjadi hukum positif
yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula
yang dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab
fiqh yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah
dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini,
sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh
menjadi terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga
tidak banyak berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi
lingkungannya sekarang.

8
C. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan
semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang
kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan
Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai
“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis
Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok
nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak
mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan
Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)
kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang
terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili
kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa
BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang
demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota
badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat
Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir
dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi
paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar
atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan
Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam
Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal
itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang
menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta

9
mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut
Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta
Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu-
menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan
mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen
dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat
sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar.
Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh
umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia
suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

D. Hukum Islam pada Orde Lama dan Orde Baru


Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa orde lama eranya
kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu
sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang
mewakili aspirasi umat Islam pada waktu itu, Masyumi harus dibubarkan
pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya
terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatra Barat). Bersama dengan PKI dan
PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa
Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan
dua ketatapan, salah satunya tentang upaya unifikasi hukum yang harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun Hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini
hidup di Indonesia, dan atas dasar itu TAP MPRS tersebut membuka peluang
untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidak jelasan batasan perhatian itu membuat hal ini semakin kabur. Dan
peran hukum Islam di era ini pun kembali tidak mendapatkan tempat yang
semestinya.

10
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya orde baru,
banyak pemimpin Islam di Indonesia yang sempat menaruh harapan besar
dalam upaya politik mereka menundukkan Islam sebagaimana mestinya
dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian orde
baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara
oleh Soekarno. Namun segera saja, orde ini menegaskan perannya sebagai
pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali
partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumberu hukum
nasional tidak begitu tegas di masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap harus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H.
Muhammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang
mencoba mengajukan rancangan UU perkawinan umat Islam dengan
didukung kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini
kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang
mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No. 14/1970, yang
mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu peradilan yang berinduk pada
Mahakamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin,
hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU
No. 14 tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian
disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengomplikasikan hukum Islam di
bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil pada bulan Februari
1988. Soeharto sebagai Presiden menerima hasil komplikasi itu, dan
mengintruksikan penyebarluasan kepada Menteri Agama.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah Hukum Islam di Indonesia sudah ada sebelum penjajah Belanda
masuk ke Indonesia. Sebab Islam telah lebih dahulu masuk ke Indonesia
dibandingkan para penjajah. Artinya dalam periode ini hukum Islam belum
tertulis dan belum dijadikan undang-undang, tetapi dalam prakteknya hukum
Islam berlaku bagi pemeluk Islam. Pada masa pemerintahan Belanda Hukum
Islam berlaku apabila telah disepakati oleh hakim adat. Pada era Pendudukan
Jepang Hukum Islam tidak jauh berbeda dari pada era Belanda, akan tetapi
ada kebijakan untuk Hukum Islam, sehingga pada masa Jepang lebih baik
dari pada Belanda.
Setelah memasuki kemerdekaan, hukum Islam mendapatkan tempat di
pemerintahan dengan dijadikannya Islam sebagai salah satu dasar Negara.
Pada periode orde lama, Indonesia dikuasai oleh kaum Nasionalis dan
Komunis, sehingga Hukum Islam tidak dapat berkembang, sehingga tidak
mendapatkan tempat sebagaimana mestinya. Pada masa orde baru hukum
Islam mulai kembali diperjuangkan, sehingga hukum Islam telah berlaku
secara langsung dan sebagai hukum yang berdiri sendiri.

B. Saran
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu
penulis mengharapakan kritik dan saran dari pembaca sebagai pedoman
penulisan makalah yang lebih baik kedepannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Amirullah, 2006. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum


Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.

Manan Abdul, 2007. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Arfin Hamid. 2011. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar


dalam Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA.

Syaukani Imam, 2006. Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

13
iii

Anda mungkin juga menyukai