Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang kemudian ,
sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun
untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil ijtihad
yang baru. Yang demikian ini adalah karena :
1. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kedua tidak
lebih kuat dari hasil ijtihad pertama.
2. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad
yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya
kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.
Berdasarkan kaidah ini, maka pabila suatu pengadilan telah memutuskan hukum
terhadap suatu peristiwa , kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa yang sama,
pengadilan tersebut memutuskan hukum yang lain, maka hasil keputusan yang baru
tidak merubah keputusan terdahulu, tetapi hanya berlaku pada peristiwa yang baru.
Contoh :
Contoh lain :
2. Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya salah satu dari bejana
kemudian mengunakannya dan meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya,
maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang kedua, tetapi harus tayamum.
Catatan :
Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabila berlawanan dengan nash atau
ijma’ atau qiyas jaly, atau menurut Al-Iraqy, berlawanan dengan kaidah-kaidah yang
kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya tidak berdasarkan suatu dalil.
(jika berkumpul suatu yang halal dengan yang haram, maka harus dimenangkan yang
haram.
“Manakala berkumpul yang halal dengn haram, maka dimenangkan yang haram”.
Walaupun hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi kaidahnya sendiri adalah benar
sesuai perintah agama, yaitu untuk selalu berhat-hati, yakni upaya preventif sebelum
terjadi pelanggaran yang lebih berat.
Demikian pula apabila dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan, dan
yang lain menghalalkan, maka di dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya tentang umunya mengumpulkan
dua orang wanita bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak, yang keadaanya
menurut ayat An-Nisa :
“Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan dua orang wanita bersaudara.”(hal
51-52)
“bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang sedang haid pada segala yang
berada di atas kain pinggang”.
Dengan Hadis:
َ االنكَاح االا
ْ ش ْىء ك ال ا
صنَع ْوا
“perbuatlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan”.
Hadits yang pertama menunjuk kepada hukum haram istri yang sedang haid
berbuat sesuatu antara pusar dan lutut.
Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka yang lebih sah ia tidak
dimandikan. Bahkan apabila waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan
mandi, haram memandikannya.
3. َمحْ ب ْوب َغيْرهَا َوف ْي َم ْكر ْوه ب ْالق ْرب اإل ْيثَار
- Kaidah ketiga: “al itsaru bil qurobi makruhun wafi ghairiha mahbubun”
(mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah itu hukumnya makruh sedang diselain
ibadah itu disunnatkan).
4. تَابع اَلتاابع
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untu yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak yang ada didalam kandungannya
termasuk kedalam akad itu.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu, karena itu tidak disunnahkan
shalat sunnah rawatib, kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat
sunnah menjadi gugur pula.
َ َسق
ط يَسْقط اَلفَ ْرع ْ َْاال
َ صل اذَا
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas (dari kesalahan), bebas pula
penanggungannya; dan apabila dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula
penaggungnya, sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, baik tempat berdirinya maupun
gerakannya.
“dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak dimafkan pada yang lainnya”.
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang lain,tidak dapat dimaafkan karena
sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanya
rujuk setelah adanya nikah.
“keduduan imam tergadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
(hukum-hukum had itu bisa digugurkan denagn adanya sesuatu yang meragukan).
contoh: mengambil kendaraan ditempat perparkiran, karena cat dan merk sama,
ternyata bukan.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan Ramadlan karena lupa, tidak wajib
membayar kafarat.
(orang yang merdeka/bukan budak itu tidak bisa dikuasai oleh orang lain).
8.
(pagar atau batas dari sesuatu itu hukumnya sama dengan sesuatu yang dibatasinya).
“Yang halal telah jelas dan yang haram talah jelas, dan diantara keduanya ada
masalah-masalah mutsyabihat( yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang
tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berti ia
halal membersihkan agama dan dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada
keharaman, seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar pagar dan
larangan, dikhawatirkan akan melanggar (memasuk) ke dalam pagar”.
(jika ada dua hal yang sejenis dan tidak berbeda tujuannya, maka kebanyakan salah
satu dari keduanya bisa masuk hukum yang lain),
seperti mandi wajib antara mandi karena haid dan mandi karna nifas bisa dijadikan
satu.
seperti contoh jika ada suami berkata pada istrinya dan pada kambingnya: salah satu
dari kalian aku caraikan. Maka sang istri dihukumi sudah dicerai.
(keuntungan yang diambil dari suatu benda itu harus diganti jika benda tersebut
dikembalikan).
Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum
halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kidah ini ialah sabda Nabi SAW :
“Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas hukumnya),
maka ia mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum
halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat yaitu :
Artinya menolak agar tigak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti
sebelum terjadi.
Menjaga diri agar tidak sakit, lebih utama daripada mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air sebelum shalat bagi orang yang
tayamum, berarti mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di tengah-
tengah shalat tidak membatalkan shalat.
Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada
kaitannya dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah ini tidak
diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu bisa diberikan rukhshah.
Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqashar dan menjama’, atau
berbuka puasa. Sedang kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.
ُّ بالثالث َالتنَاط
15. الر ْخص
- Kaidah kelimabelas: “al ruhosu la tunatu bi al syak”
(rela dengan adanya sesuatu itu berarti rela dengan akibat yang akan ditimbulkannya).
“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, makaia harus
menerima segala rentean persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang
berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua
keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya berkembang lebih besar. Demikian
pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari
sakitnya binatang tersebut.
contohnya jika ada seorang berkata aku jual barang ini dengan harga seribu, lalu ada
orang lain menjawab: aku beli, itu berarti membeli dengan harga seribu.
- Kaidah kedelapanbelas: “la yunsabu li sakitin qoulun”(orang yang diam tidak bisa
dihukumi dengan perkataan apapun).
19.
(sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya maka akan lebih banyak upahnya).
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang
dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat,
makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama disbanding dengan secara
disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik daripada
shalat dengan tidak qashar.
(menurut para ulama’ bahwa orang yang kelewat batas itu lebih baik daripada orang
yang sembrono).
Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada
kepada orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya hanya dapat
dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam Haromain dan ayahnya berpendapat,
bahwa bagi yang melakukan fadlu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan
fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-
kesukaran yang ada pada ummat.
Menurut imam Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunat, karena
mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat itu
hanya manfaatnta pada diri sendiri.
سبعين ادى كمن ن كا فيه فريضة ادى ومن سواه فيما فريضة ى اد كمن ن كا الخير ل خصا من بخصلة فيه ب تقر من
سواه فيما فريضة
“Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah dalam bulan Ramadhan dengan
salah satu perbuatan kebaikan (ibadah sunnah), maka dia sepertulan menunaikan
ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa nmelakukan satu ibadah fardlu
dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardlu diselain bhulan
Ramadhan.”
Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan antara sunnah dalam bulan Ramadhan
dengan 70 fardlu di luar Ramadhan, semua ini memberi pengertian bahwa fardlu itu
lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.
- Kaidah keduapuluh dua: “al fadhilah al muta’aliqoh bi dzatil ibadah aula min al
muta’aliqoh bi makaniha wa zamaniha”
(keutamaan yang berhubungan dengan ibadah itu sendiri itu lebih utama daripada yang
berhubungan dengan waktu dan tempat).
2. Shalat sunnah dirumah adlah lebih utama daripada suhalat sunnah di masjid.
3. Thawaf dekat dengan ka’bah adlah sunnah, lari kecil disunatkan dengan dekat
pada ka’bah
(suatu kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karna adanya kewajiban yang lain).
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh
ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada
sesuatu kewajiban yang mengahruskan untuk meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram,
sebab memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Sujud sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak
boleh dilakukan.
24.
(kewajiban yang ada pada sesuatu yang lebih besar itu bisa menggugurkan kewajiban
pada sesuatu yang lebih kecil), seperti kewajiban mandi menggugurkan kewajiban
wudlu.
- Kaidah keduapuluh lima: “ma tsabata bil syar’i muqoddamun ala ma tsabata bil syarti”
(sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ itu lebih didahulukan daripada sesutau yang
ditetapkan karna adanya syarat).
Demikian pula apabila seorang suamrkata pada istrinya: “Saya thalak kamu dan
kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk
kepadamu”.
Perkataan member uang Rp. 10.000,- sebagai syarat untuk rujuk adalah gugur, sebab
pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
الحرام فى توقع الشبها فى ومنوقع. )عليه متفق( فيه تع ير ان يوشك الحما حول يرعى عى لرا كا
“Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada haram, seperti pengembala yang
mengembalakan disekitar larangan dikhawatirkan akan masuk pada larangan”
(sesuatu yang sudah disibukkan itu tidak boleh ditambah kesibukan lagi), contohnya
barang yang statusnya digadaikan itu tidak boleh digadaikan lagi, tidak boleh ada dua
akad.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek sesuatu aqad, tidak boleh
dijadikan obyek aqad lain, karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan jaminan sesuatu hutang, kemudian
dijadikan jaminan hutang yang lain.
(sesuatu yang sudah dibesarkan /diperbanyak itu tidak boleh diperbanyak lagi), contoh
hukum taslis tidak disunnatkan pada cara membasuh najis anjing karena sudah tujuh
kali.
(barang siapa tergesa-gesa dengan sesuatu sebelum masanya maka dia tidak akan
mendapatkannya).
- Kaidah ketigapuluh dua: “al wilayatul khossoh aqwa minal wilayatil ‘ammah”
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah suatu kekuasaan, maka pemegang
kekuasaan yang khusus terghadap benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan
wewenangnya lebih kuat daripada pengusa umum, sehingga penguasa umum tidak
dapat bertindak langsung terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa
khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih berfungsi.
Arti dhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu pendapat yang lebih cenderung
kepada tetapnya atau benarna daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah bahwa
suatu keputusan hukum yang didasarkan pada dhon, tetapi kemudian jelas salahnya,
maka hukum tersebut tidak berlaku atau batal.
- Kaidah ketigapuluh empat: “al isytigholu bi siwal maqsudi i’rodhun ‘anil maksudi”
Contoh: Orang bersumpah tidak bertempat tinggal pada suatu rumah.kalau setelah
bersumpah itu dia masih mondar-mandir dirumah itu, berarti dia telah melanggar
sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena sibuk mengumpulkan barang-
barangnya karena keindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.
Menurut kaidah ini sesorang tidak dianggap berbuat perbuatan yang munkar, sehingga
karenanya wajib diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu hukum
haramnya diperselisihkan.Tetapi baru dianggap munkar dan wajib diingkari (dicegah)
kalau perbuatan tersebut keharamannya telah disepakati.
(sebab yang kuat itu bisa masuk padda sebab yang lemah dan tidak sebaliknya).
Suatu perkara yang dituntut, baik untuk mengerjakan atau untuk meniggalkan, dengan
tuntutan atau hukuman yang lebih berat dapat mencakup perkara yang sejenis, yang
tuntutannya atau hukumannya lebih lemah, tetapi tidak sebaliknya, yakni yang
tuntutannya lebih lemah tidak dapat mencakup yang tuntutannya lebih kuat.
Berdasarkan kaidah ini diperbolehkan melakukan ibadah haji sekaligus umroh, tetapi
tidak boleh melakukan ibadah umroh sekaligus haji.
- Kaidah ketigapuluh tujuh: “yughtafaru fil wasa’ili mala yughtafaru fil maqasidi”
(hal-hal yang tidak bisa dimaklumi dalam tujuan itu bisa dimaklumi dalam perantara dari
tujuan tersebut).
Pengertiannya adalah, bahwa sesuatu yang harusada pada pa yang menjadi maksud
haruslah dipenuhi, sedangkn pada cara untukmencapai maksud dapat dimaafkan atau
(perkara yang mudah tidak bisa gugur dengan adanya perkara yang sulit).
39. كله ط سقا كا بعضه ط واسقا كله ر ختيا كا ربعضه ختيا فا التبعيض مااليقبل
(sesuatu yang tidak bisa dibagi itu jika dipilih sebagian maka berarti memilih
keseluruhan, dan membatalkan sebagian berarti membatalkan keseluruhan).
Sesuatu barang atau pekerjaan atau keadaan ada kalanya dapat dibagi-bagi yang
sebagian dapat dipisahkan dengan bagian yang laintetapi ada pula yang tidak dapat
dibagi-bag, seperti thalak, qishas, merdeka dan sebagainya.
- Kaidah keempat puluh: “idha ijtama’a al sabab wal ghurur wal mubasyarah quddimat
al mubasyarah”
(jika dalam suatu masalah itu berkumpul antara faktor penyebab, tipuan, dan faktor
pelaku, maka yang dikenai hukuman adalah faktor pelaku).
Apabila dalam suatu peristiwa terdapat tiga factor yang mengakibatkan terjadinya, yaitu:
Maka dalam kasus ini, perbuatan yang langsung mengakibatkan peristiwa itulah yang
mula-mula harus dimintai pertanggungan jawabannnya.
Contoh:
Dalam suatu pembunuhan, bekerja sama tiga orang yang pertama sebagai penunjuk
jalan, yang kedua sebagai pelaksana penipu si korban,untuk datang pada suatu tempat
tertentu, sedangkanyang ketiga dialah yang langsung membunuhnya setelah berada di
tempat yang ditentukan, maka dalam hal ini orang ketigalah yang pertama-tama harus
dituntut lebih dahulu.