Anda di halaman 1dari 4

Resume Qawaidul Fiqhiyyah

Nama : Mohd Iqbal Bin Othman


Nim : SPM 131559
Jurusan : Perbandingan Mazhab Hukum
Tajuk : Kaidah Fikih tentang Ibadat
1.

‫الفرض افضل من النفل‬


“fardhu itu lebih utama daripada sunnat.” (as-Suyuthi.TT:99)

Misalnya seseorang yang masih mempunyai tanggungan menqadha’ puasa ramadhan,


kemudian ia melakukan puasa bulan syawal dengan niatan puasa, maka yang lebih baik dan
yang lebih utama adalah melakukan puasa qadha’ ramadhan dulu, karena itu lebih penting.
Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan fardlu atau wajib, ada pula
yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah). Perdebatan karasteristik semacm ini
merupakan memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah.
Dasar kaidah
Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa hadits yang menerangkan pengertian di
atas dengan berbagai redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi yang diriwayatkan Ibn
Khuzaymah ra:
‫من تقرب فيه بخصلة من خصال الخير كان كمن ادى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كان كمن ادى سبعين فريضة‬
‫) فيم سواه (رواه ابن خزيمة عن سلمان الفا رسى‬
“Sesungguhnya Rasullah bersabda: Barang siapa yang melakukan taqorrub (ibadah sunnah)
kepda Allah SWT. Di bulan ramadhan, maka ia akan mendapakan pahala sebagai ia
melakukan satu ibadah fardu dibulan ramadhan, maka seperti halnya mengerjakan 70 kali
ibadah faardu pada selain bulan ramadhan ”
Dalam hadits ini Nabi telah memperbandingkan adalah sunnah dalam bulan ramadlon
dengan fardlu diluar ramadhan, dan antara fardlu dibulan ramadhan dengan 70 fardlu dibulan
ramadhan. Semua ini memberi pengertian bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan
70 derajat/tingkat.
Sebagian ulama’ menganggap hal-hal berikut ini sebagai pengecualian, yaitu:
1. Membebaskan pembayaran orang yang dalam kesulitan, lebih utama dari pada penundaan
pembayaran.

[1]
2. Memulai memberi salam hukumnya sunat, tetapi lebih utama dari pada yang menjawabnya
, sedang menjawab salam hukumnya wajib.
3. Wudlu sebelum masuk waktu sholat itu sunnah, dan itu lebih baik dari pada wudlu (yang
wajib) karena masuk waktu, sebab wudlu sbelum waktu sholat mengandung beberapa
kemaslahatan.

2.

‫الفضيلة المتعلقة بذات العبا دة اولى من المتعلقة بمكانها‬


“keutamaan yang dipautkan dari esensi ibadah lebih baik daripada dipautkan dengan
tempatnya.”(as_Suyuthi.TT:100)

Misalnya shalat fardhu di masjid lebih utama daripada di luar masjid, namun shalat di
luar masjid berjama’ah lebih utama daripada shalat di masjid sendirian. Shalat sunnah dirumah
lebih utama dari pada di masjid, sebab dengan shalat di rumah menambah kekusyukan, dan
keihklasan seseorang dari shalatnya
Keutamaan ibadah tanpa melihat tempat dan waktu ini sangat logis dan wajar, karena
penyempurnaan terhadap entitas ritual ibadah itu sendiri tentu harus diutamakan dari pada
sibuk dengan faktor eksternal diluar ibadah. Dalam tataran teoritis-praktis, pelaksanaan ibadah
misalnya sholat, jika sholat dilangsungkan secara berjamaah, akan memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan dilakukan sendirian.
Dalam kaidah di atas terdapat pengecualian yaitu: meskipun kaidah ini diterapkan
dengan cermat pada sebagian besar permasalahan yang tercakup didalamnya, namun tak urung,
beberapa obyek tidak dapat diberlakukan sesuai dengan terapan kaidah.

3.

‫الواجب اليترك اال لوا جب‬


“sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula.”
(as-Suyuthi.TT:101)
Misalnya seseorang istri berpuasa senin atau kamis, namun suaminya tidak
menginginkan atas puasanya tersebut, maka seorang istri harus meninggalkan atau
membatalkan puasanya untuk memenuhi keinginan suaminya, karena taat pada suami itu jauh
lebih penting (wajib) daripada puasa sunnat.

[2]
4.

‫ما كان ممنوعا اذاجا زوجب‬


“semua yang dilarang, apabila boleh, menjadi wajib”
Jadi dari kaidah-kaidah ini dapat ditegaskann, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan,
tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada
sesuatu kewajiban yang mengharuskan unutuk meninggalkannya.
Contoh:
1. Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab
memotong/ melukai adalah tindak pidana.
2. Wajibnya makan bangkai bagi orang yang terpaksa, kalau tidak, pasti haram hukumnya.
3. Khitan adalah wajib, jika tidak tentu haram hukumnya. Sebab khitan itu melukai/
memotong anggota badan, disamping membuka aurat yang paling vital bahkan memegangnya
lagi.
Pengecualian dari kaidah di atas ini adalah:
1. Sujud syahwi dan syujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak
boleh dikerjakan.
2. Melihat wanita yang akan dinikahi itu tidak wajib, tetapi kalau saja tidak disyari’atkan
tentu tidak boleh dilakukan.
Istinbath dengan kaidah ini, maka untuk memperoleh fadilah shalat berjama’ah, shaf awal
harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum membentuk shaf lagi, sesungguhnya jika masih ada
yang kosong untuk mengisinya tentu melewati shaf jama’ah. Padahal melangkahinya itu haram
atau makruh.
5.

‫ما اوجب اعظم االمرين بحصوصه اليوجب دونهما بعما بعمومه‬


“apabila yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena kekhususanya,
tidaklah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya karena keumumannya.” (as-
Suyuti.TT:101)
Misalnya keluarnya air mani (sperma) tidak mewajibkan wudhu walaupun itu
merupakan salah satu benda yang dari kemaluan yang membatalkan wudhu, sebab dari
kekhususanya telah mewajibkan mandi, dan mandi merupakan akibat yang lebih besar daripada
sekedar wudhu untuk menghilangkan hadas kecil.

[3]
Apabila suatu kejadian (perbuatan) dapat ditinjau dari sifat/ keadaan umum dan khusus,
kemudian apabila dari kekhususannya sudah mewajiban suatu kewajiban yang besar/ berat,
maka dari keumumannya tidak lagi mewajibkan kewajiban yang lebih kecil/ ringan.
Contoh:
1. Meraba dan mencium tidak wajib di takzir, bagi orang yang melakukan zina karena telah
terkena kewajiban yang lebih besar yakni hadduz zina.
2. Orang yang melakukan zina muhson tidak wajib dijilid melainkan kena kewajiban yang
lebih besar yakni di rajam.
3. Keluarnya sperma tidak mewajibkan wudlu melainkan hanya wajib mandi saja.
Kaidah ini tidak berlaku bagi wanita yang mestruasi dan bersalin, selain itu
berkewajiban mandi bila sudah suci tetap berkewajiban pula wudlu bila akan mengerjakan
sholat.
Pengecualian dari kaidah diatas adalah:
1. Haid, nifas dan wildah selain mewajibkan juga membatalkan wudlu.
2. Pembeli budak wanita dengan cara fasid wajib membayar mahar ganti rugi
keperawanannya jika budak tersebut disetubuhi.
3. Orang yang memberi kesaksian atas orang yang tertuduh melakukan zina muhson,
kemudian setelah terdakwa di rajam orang tersebut mencabut kesaksiannya maka ia wajib
dikhisos beserta hadud qodzaf.

6.

‫اال يُكابِّ ُر ا ا ْل ُم اكبَّ ُر‬


“Yang sudah diperbesar tidak boleh diperbesar.” (as-Suyuthi, TT:103)
Maksudnya: sesuatu yang hukumnya sudah mencapai puncaknya tidak boleh
diperbesar dengan hukum yang lain. Contohnya: membasuh jilatan anjing merupakan
perbuatan mencuci paling sulit, yakni membasuh tujuh kali dengan air dan salah satunya harus
diberi debu. Kondisi tersebut tidak perlu atau tidak disunnahkan membasuh masing-masing
tiga kali seperti yang biasa diisyaratkan pada membasuh benda najis lainnya.
Demikian pula tidak perlu ada penguat lagi pda sumpah yang sudah disertai
kesaksian Allah.

[4]

Anda mungkin juga menyukai