Anda di halaman 1dari 5

Muqaddimah dakhiliah

Muqaddimah wujudiayah terbagi atas:

1. Muqaddimah dakhiliah
2. Muqaddimah khorijiah

Sebagian usuliyyun mengingkari bahwa muqaddimah dakhiliah ini masuk. Alasannya mengingkari
adalah:

Pertama: Mengingkari muqadimah ini bagian dari perdebatan ini, karena murakkab itu merupakan
bagian2 itu sendiri. Maka bagaimana bisa sesuatu bergantung pada dirinya sendirinya?

Kedua: setelah menerima bahwa muqaddimah ini teramsuk bagian dari wujudiah, akan tetapi
mustahil disebut sebagai wujub algoiri selama itu wajib nafsi. Karena bagian dari wajib ini adalah
bagian dari wajib itu sendiri. Dan tidak disebut murakkab kecuali itu bagian2nya. Kalau itu termasuk
bagian wujub algoiri maka terdapat dua wujub.

Para usuliun berbeda pendapat, kenapa dua wujub itu musthil menyatu dalam satu wujub, dan itu
tidak penting diperdebatkan karena mereka sudah sepakat itu mustahil.

Ketika pembahasan ini disepakati mustahil maka tidak ada faedahnya kecuali faedah amaliah.

Dan di sini kita hanya melompati saja dan mengharapkan pelajar merujuk pada mutowwalat (kitab
mendatail).

Syarat syari’i

Muqaddimah khorijiah terbagi dua:

Muqaddimah aqliah, segala perkara yang wajib itu tergantung padanya maka aqal bisa
mengetahuinya dengan sendiri tanpa bantuan syariat. Seperti kewajiban haji bisa terlaksana dengan
melakukan perjalanan.

Muqaddimah syariah, segala perkara yang terlaksananya kewajiban tergantung kepadanya itu bukan
akal yang mengetahuinya. Tapi itu ditetapkan melalui jalan syariat, misalkan terlaksananya shalat
tergantung pada thaharah, menghadap kekiblat dan contoh yang seperti itu. Ini disebut juga dengan
syarat syari’i, dengan menjadikannya syarat syari’ dalam menjalankannya. Seperti kata imam as.
Tidak ada shalat kecuali taharah.

Dan tujuan ini adalah menjelaskan bahwa mahhallun niza’ adalah apakah termasuk syarat syar’i?

Sebagian dari ulama besar berpendapat bahwa syarat syar’i seperti bagian dari wajib (seperti rukun)
tidak menjadi wajib karna wujub algoiri, dan dinamakan muqaddimah dakhiliah bermakna a’am
dengan menganggap bahwa taqyid (Batasan) ketika itu masuk pada bagian dari wajib, maka
kewajibannya itu wajib bin nafsi. Dan ketika ditarik taqyid itu hanya dari qaidnya. Yakni diskursus dari
perintah ... karena itu tidak terealisasi ketika ... dan apabila qaid itu wajib nafsi maka bagaimana itu
menjadi wajib dengan wujub goiri?

Akan tetapi perkataan ini dianggap tidak tepat oleh muhaqqiq isfahani dan beliau sudah tepat
mengkritisinya dalam penjelasannya. Adapun alasannya:

Yang pertama:
Muqaddimah mufawwitah

Yakni muqaddimah yang wajib dilakukan sebelum terlaksananya dzil muqaddimahnya. Seperti
melakukan perjalanan utk melaksanakan haji, wajibnya mandi janabah sebelum terbit fajar utk
berpuasa, wajibnya wudhu’ sebelum masuknya waktu shalat atau sebelum shalat.

Muqaddimat mufawwitah itu adalah apabila meninggalkan kwajiban2 mufawwitah itu menyebabkan
tidak terlaksananya dzil muqaddimah. Meninggalkan muqaddimah ini artinya membuat tidak
meninggalkan kewajiban pada waktunya. Dan juga meninggalkan muqaddimah ini membuat
terjadinya balasan karena tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya.

Namun itu bertentangan dengan akal dengan dua aspek:

1. Bahwa wajibnya muqaddimah itu mengikuti wajibnya dzil muqaddimah, sementara


muqaddimah itu adalah tab’iyyah, apalagi apabila muqaddimah ini berupa tabiyyah akibat
dari sebab dzilmuqaddimah, lalu bagaimana yang mengikut itu lebih dulu waktunya
dikerjakan/wajibnya dilakukan sebelum yang diikuti itu diwajibkan?
2. Bagaimana seseorang yang meninggalkan muqaddimah sehingga tidak terlaksananya
kewajiban itu dihukum dengan sebelum waktunya kewajiban dilaksanakan. Dan juga pada
waktu pelaksanaan kewajiban itu harus gugur kewajibannya. Karena tidak adanya
kemampuan utk melaksanakan itu karena meninggalkan muqaddimahnya, dan kemampuan
itu adalah syarat aqli pada kewajiban.

Cat: zamanun wujub: waktu ditetapkannya kewajiban (saat mampu) sedangkan zamanun wajib
adalah waktu pelaksanaan kewajiban.

Bagaimana mensinkronkan dengan akal badihiyah? Para ulama membenarkan bahwa sebenarnya
tidak ada pertentangan. Karena dzil muqaddimah itu lebih dahulu wajibnya atas muqaddimahnya itu
tidak ada masalah ketika muqaddimahnya lebih dahulu sebelum waktunya kewajiban itu. Dan
Adapun balasan karena meninggalkan kewajiban itu berdasarkan kaedah. Karena kewajiban dzat itu
sudah ada secara perbuatan ketika meninggalkan muqaddimah.

Ada 4 muhawalah (usaha) untuk mensikronkan ini, di mana sohibul fusul memerikan pandangan
bahwa ada wajib almuallaq dan wajib munajjaz. Kewajiban yang terikat dengan waktu itu terkait
dengan pelaksanaan kewajiban saja bukan kepada kewajiban. Yakni waktu bukan syarat dan qaid
untuk wujub, tetapi itu terkait dengan alwajib (pelaksanaan wujub). Maka alwujub lebih dahulu dari
waktu, sedangkat alwajib tergantung dari masuknya waktu. Dan perbedaan antara jenis ini dengan
wajib masyrut adalah almasyrut berkenaan dengan yang disyaratkan utk wujub dan mullaq utk
pelaksanaanya. Berdasarkan ini maka tidak masalah wujub muqaddimah lebih dahulu sebelum
waktunya dzil muqaddimah.

Tetapi kita katakan: kalau menganggap bahwa dahulunya waktu wujub atas pelaksanaan kewajiban
maka itu Kembali kepada qoid dari pelaksanaan kewajiban bukan kepada alwujub yang
membutuhkan dalil.... metode dalam membenarkan waujub muqaddimah mufawwitah tidak
seringkas itu, sebagaimana yang akan dijelaskan metode pembenarannya.

Usaha kedua: yg dinisbahkan kepada syaikh anshori bahwa ruju’ qoid (merujuk kepada qaid) pada
semua syarat2 alwujub itu Kembali kepada maddah. Meskippun yang popular adalah Kembali kepada
haiah (bentuk kewajibannya, perintah/larangan), baik itu syaratnya waktu atau selainnya seperti
mampu berhaji, baligh, berakal dll dari syarat2 umum utk seluruh taklif. Dan makna itu: bahwa wujub
yang diarahkan kepada haiah pada seluruh wajibat selamanya mutlak yang tidk terikan dengan syarat
selamanya. Setiap yang beranggapan dengan merujuk kepada qoid wujub maka dia merujuk pada
hakikah alwajib yang itu adalah madlul maddah.

Dari gambaran ini maka wujub (kewajiban) itu adalah selamanya sudah ada sebelum sampai
waktunya. Tidak ada perbedaan keduanya (wujub dan muqaddimahnya) pada waktunya jika
dihubungkan kepada waktunya. Maka apabila alwajib itu adalah akan datang maka tidak ada
larangan dari wujub muqaddimah mufawwitah sebelum waktu dzil muqaddimah.

Hasil: keinginan kepada dizl muqaddimah dan zauq kepada muqaddimah dua2 itu sudah ada
sebelum waktu dzil muqaddimah, dan syauq kedua.
9. Muqaddimah ibadiyah (muqaddimah yang dianggap ibadah)

Telah ditetapkan berdasarkan dgn dalil bahwa Sebagian dari muqaddimah syariah dia tidak akan
menjadi muqaddimah kecuali apabila itu dilaksanakan untuk ibadah. Dan telah ditetapkan juga
konsekuensi pahala khusus utk muqaddimah itu. Contohnya ini terbatas dari 3 thaharah: wudhu’,
thaharah dan tayammum.

Di sini ada dua isyqal dengan sisi: dari sisi wajib ghoiri itu hanya tassuliyan (perantara), lalu
bagaimana bisa menjadi muqaddimah sebagaimna dia muqaddimah sebagai ibadah (qurbatan
ilallah). Sisi kedua, wajib ghairi sebagaimana wajib ghairi itu tidak mendapatkan pahala.

Sebenarnya isykal ini itu tidak lain selain isykal dasarnya yang kita tetapkan sebagai wajib alghoiri,
dan kita menjadi bingung bagaimana mensikronkan pahaman kita terkait wajib ghairi ini dengan
ibadah yang telah ditetapkan keibadahannya. Melainkan muwaddimah ini sebagai ibadah yang
berhak mendapatkan pahala yang mana ini adalah perkara yang tidak perlu dibahasa yakni tidak
perlu menutup mata.

Dengan demikian, harus kita menjelaskan yang kita dasarkan pada wajib alghairi dengan memberi
pembenaran keibadahannya muqaddimah itu yang sinkron dengan posisinya sebagai tawassuliah.
Dan banyak sekali taujih (pembenaran) atas ini.

Kita ringkaskan: tidak dipungkiri bahwa ada yang meragukan bahwa seperti shalat ini telah
ditetapkan bhwa sahnya shalat ini tergantung pada salah satu dari 3 taharah ini. Akan tetapi tidak
bersifat mutlak bahwa shalat ini bergantung pada thaharah. Tetapi shalat ini hanya tergantung
sahnya itu pada thaharah dengan niat ibadah. Yakni apabila ada qurbatan ilallah,maka wudhu
sebagai ibadah adalah syarat yakni muqaddimah ini (dengan qurb ilallah) bagi kesahihannya shalat.
Adapun pertama: akan dijelaskan dalilnya bahwa tidak ada wujub muqaddimah

Adapun kedua: karena suatu perbuatan itu sudah cukup dikatakan ibadah jika dihubungkan dengan
Tuhan/maula, dengan niat qurb ilallah. Tujuan dari perintah bahwa ibadah itu tauqifiyyah/diridhoi
atau disepakati oleh Allah swt, maka suatu perbuatan yang tidak diridhoi Allah set dan niat bukan
wajhi Allah maka itu bukan ibadah dan itu tasyri’ yuang diharamkan. Sesuatu ibadah itu tidak
bergantung adanya perintah almaula atas perbuatan itu. Oleh karena itu sudah cukup diktakan suatu
ibadah di dalamnya terkandung kebaikan dan disenangi/disukai maula secara dzati meskipun disitu
adanya penghalang dari perintah amalan itu.

Dan jika itu sudah ditetapkan, maka kita memberikan pembenaran atas termasuknya ibadah dari
taharah itu: perbuatan muqaddimah itu sendiri dihitung awaldari pelaksanaan dzil muqaddimah
yang mana muqaddimah itu dianggap sebagai posisi ibadah itu sendiri.

Maka niat dari muqaddimah itu sendiri dihitung sebagai pelaksanaan perintah itu sendiri dengan dzil
muqaddimah yang bersifat ibdah. Cukuplah suatu perbuatan itu dinilai ibadah apabila dihubungkan
dengan maula dan niat taqarrub ilallah apabila tidak ada penghalang utk beribadah. Dan tidak
diragukan bahwasanya maksud/niat memulai utk melaksanakn perintah itu sendiri dengan
melakukan muqaddimahnya dengan maksud perantara kepada alwajib nafsi yang ibadah itu dihitung
ibadah karena ketaatan dan berhubungan kepada maula.

Berdasarkan ini yang membenarkan bahwa muqaddimah itu adalah ibadah meskipun tidak kita
istilahkan bahwa muqaddimah itu adlah wajib goiri, dan tidak diperlukan lagi dengan anggapan pada
ketaatan dari alamru ghori (wujub goiri).

Dari uraian di atas, maka semua muqaddimah2 itu termasuk ibadah dan berhak mendapatkan pahala
sesuai dari pembenaran ini, meskipun tidak ada syarat utk melakukannya dengan tinjauan ibadah.
Seperti mencucu baju utk muqaddimah shalat atau berjalan utk muqaddimah haji. Perbedaan
dengan selain ibadah adlah tidak disyaratkannya qurbatan ilallah, berbeda dengan muqaddimah2
yang disyaratkan utk suatu ibadah seperti 3 taharah.

Ungkapan di atas diperkuat dengan beberapa riywat bahwa sebagian muqaddimah2 ibadah itu
semua memiliki pahala. dan tidak perlu lagi utk mentakwil apa yang telah disebutkan pada perintah
ketiga dari pahala dzil muqaddimah yang dibagi2 kepada muqaddimah2 dengan anggapan bahwa itu
semua termasuk berperan dalam pelaksanaan kewajiban itu. Maka takwil yang dijelaskan atas pahala
dari perintah muqaddimah, dan bahwa ibadah muqaddimah itu berhak mendapatkan pahala itu
tidak lain muncul dari perintah sesuai dengan makna yang masyhur (yakni tidak mungkin tidak
mendapatkan pahala dari perintah).

Anda mungkin juga menyukai