Anda di halaman 1dari 18

HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan inti dari ilmu fiqh dan Ushul
Fiqih. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,
meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqih meninjau
hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-sumbernya,
sementara ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum
syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan pebuatan
orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha' (tuntutan perintah atau
larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh'i (sebab akibat).
Yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah
diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh,
wajib, sunnah, mubah,sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan
ungkapan-ungkapan lain yang dijelaskan pada pembahasan berikut.
Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul Fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hukum syara'
2. Hukum Taklifi dan pembagiannya
3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
4. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum syara’
2. Untuk mengetahui hukum taklifi dan pembagiannya
3. Untuk mengetahui hukum wadh’i dan pembagiannya
4. Untuk mengetahui perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum
Wadhi’
5. Untuk mengetahui Hukum Syara’ dan pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN

1
A. Pengertian Hukum Syara'

Secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti


mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan.
Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti
dilalui, atau aliran air sungai.
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud
dengan hukum adalah :
‫ِخ َط اُب ِهللا اْلُم َت َع ِّلُق ِبَأْف َع اِل اْلُم َك َّلِفْي َن اْق ِتَض اًء َأْو َت ْخ ِيْيًر ا َأْو‬
‫َو ْض ًعا‬
Titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik
dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau
wadl’i (ketentuan yang ditetapkan).
Menurut Ulama fiqh, hukum syara’ mempunyai arti sifat-sifat
dari suatu perbuatan mukallaf yang ditetapkan Allah, misalnya: wajib,
sunnah,haram,makruh, dan mubah.
Hukum syara’ menurut para ahli ilmu ushul fiq ialah : Khithab
Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik dalam bentuk tuntunan, pilihan dan ketetapan.
Jadi, yang dimaksud Hukum Syara’ adalah firman (titah) Allah
SWT (termasuk juga Hadits-hadits Nabi SAW) yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk thalab
(tuntutan/perintah utntuk melakukan perbuatan, ataupun larangan
meninggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir (pilihan untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu pebuatan), dan wadl’i
(ketentuan syari’ah dalam bentuk penetapan sesuatu sebagai
sebab, syarat, atau halangan dari suatu perbuatan tertentu.
Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang
berkaitan dengan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan
sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai : hukum
wadh'i. Oleh karena inilah, maka mereka menetapkan bahwasannya
hukum syara' terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
v Hukun Taklifi
v Hukum Wadh'i

B. Hukum Taklifi dan Pembagiannya

2
1. Hukum Taklifi
Pengertian
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum taklifi adalah
sesuatu yang menuntut suatu pengerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan dan meninggalkannya. Sedang bentuk perintah atau
larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti jika
perintah itu berbentuk pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti
disebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan, bila
berbentuk pasti maka disebut haram, bila tidak pasti disebut
makruh. Sedang yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum
mubah.
Pembagian
Penjelasan yang terperinci mengenai hukum taklifi di atas
dapat dibagi menjadi lima macam yaitu, wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah.

a. Wajib dan macamnya


Secara etimologi wajib berarti tetap. Sedangkan secara terminologi:
‫َاْلِفْعُل اْلَم ْطُلْو ُب َع َلى َو ْج ِه الُّلُز ْو ِم ِبَح ْيُث َفاِع ُلُه َو ُيَع اَقُب َتاِر كُه‬
Wajib adalah perbuatan yang dituntut Allah SWT untuk dilakukan
oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak ) dilakukan, yang
jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan
jika ia meninggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
@ Wajib ditinjau dari segi pelaksanaannya
Ditinjau dari segi orang yang melaksanakan hukum wajib, maka
wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-'aini dan
al-wajib al-kafa'i.
a. Al-Wajib al-'aini ‫الواجب العيني‬
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i (Allah dan RasulNya)
untuk dikerjakan oleh setiap individu mukallaf. Kewajiban itu harus
dilakukan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang lainatau
karena perbuatan orang lain. Umpamanya shalat dan puasa.

b. Al-Wajib al-kafa'i ‫الواجب الكفائ‬


Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh
sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu

3
mukallaf. Umpamanya melaksanakan amar ma’ruf nahi
mungkar, sholat jenazah dan lain-lain.
@ Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: al-wajib al-muthlaq dan wajib al-mu'aqqat.
a. Al-Wajib al-muthlaq(‫)الواجب المطلق‬
Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti
tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu
yang ia sanggup melakukannya. Umpamanya meng-qadha puasa
Ramadhan yang tertinggal karena udzur. Ia wajib melakukannya dan
dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b. Al-Wajib al-mu'aqqat (‫)الواجب المؤقت‬
Kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dalam waktu
tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan
itu.
Dalam pada itu, wajb mu'aqqat ini dibagi pula kepada tiga macam,
antara lain: al-wajib al-muwassa', al-wajib al-mudhayyaq, dan al-
wajib zu syabhain.
~ al-wajib al-muwassa' (‫)الواجب الوسع‬
Suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya lebih luas daripada
ukuran waktu pelaksanaannya perbuatan yang diwajibkan.
Umpamanya shalat zuhur. Waktu yang disediakan untuk shalat zuhur
itu ialah dari tergelincir matahari sampai ukuran baying-bayang
sepanjang badan; atau sekitar tiga jam; sedangkan waktu untuk
melaksanaakan shalat zuhur hanya sekitar 10 menit. Dalam bentuk
wajib muwassa’ ini diberi kelapangan bagi mukallaf untuk
melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu yang ditentukan itu.
~ al-wajib al-mudhayyaq(‫)الواجب المضيق‬
Suatu kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang
diperlukan untuk pelaksanaannya perbuatan yang
diwajibkan. Umpamanya puasa Ramadhan. Waktu melaksanakan
puasa Ramadhan itu adalah satu bulan, yaitu selama bulan
Ramadhan itu. Dalam hal ini puasa wajib Ramadhan tidak dapat
dilakukan di luar Ramadhan; sedangkan dalam bulan Ramadhan itu
tidak dapat dilakukanpuasa lain selain puasa Ramadhan.hal ini telah
disepakati oleh ulama ushul.
~ al-wajib zu syabhain (‫)الواجب ذو شهين‬

4
Suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya jika ditinjau dari satu
sisi bersifat muwassa’, tetapi jika ditinjau dari sisi lain bersifat
mudhayyaq. Umpamanya ibadah haji. Bahwa ibadah haji hanya satu
kali dalam setahun dan tidak dapat dalam tahun itu dilaksanakan haji
lainnya, disebut mudhayyaq, dari segi pelaksanaannya, ibadah haji
lebih sempit waktunya dari pada waktu yang disediakan untuk
melaksanakan rangkaian ibadah haji, ia disebut muwassa’. Dengan
demikian. Ia memiliki titik kesamaan dengan dua bentuk tersebut.
Karenanya di kalangan ulama disebut dzu syahhaini.
@ Wajib ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan
Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan, wajib dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-mu'ayyan dan al-wajib
al-mukhayyar.
a. Al-Wajib al-mu'ayyan
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu. Artinya, subyek hukum baru dinyatakan
telah menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah
dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang
lainya. Umpamanya membayar utang. Yang harus dilakukan oleh
orang yang berutang adalah melunasi utangnya.
b. Al-Wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan
salah satu dari beberapa perbuatan tertentu. Contohnya pilihan
diantara tiga kemungkinan adalah pilihan di antara memberi makan
10 orang miskin atau memberi pakaian untuk 10 orang miskin atau
memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarat karena pelanggaran
sumpah. Firman Allah (QS. Almaidah: 89)
@ Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
Ditinjau daari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, wajib dibagi
menadi dua macam, yaitu: al-wajib al-muhaddad dan al-wajib ghair
al-muhaddad.
a. Al-Wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i menentukan perbuatan mukallaf
itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu. dengan arti bahwa mukallaf
belum terlepas dari tanggung jawabnya bila ia telah
melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah kecuali
melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukn oleh
syari'. Umpamanya zakat yang telah ditentukan dan zakat fitrah.

5
Kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah ditentukan kadarnya,
dalam arti bila telah terpenuhi syarat-syarat wajib, seseorang harus
melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan. Ia belum
dianggap melaksanakan kewajibannya kecuali kadar yang sudah
ditentukan telah dilaksanakannya.
b. Al-wajib ghair al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak menentukan ukuran/kadar
kewajiban itu secara tertentu. Umpamanya nafkah untuk kerabat.
Nafkah kerabat termasuk kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya
sebelum hakim menyatakan ukuran kewajibannya, yang menjadi
prinsip dalam penetapan kewajiban dalam hal ini adalah menutupi
kebutuhan kerabat yang miskin, sekadar kemampuan yang terpikul
oleh orang yang wajib menafkahinya.
@ Wajib ditinjau dari segi pertanggungjawaban pelaksanaannya
Ditinjau dari segi dapat tidaknya suatu kewajiban dimintakan
pertanggungjawaban pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu: al-wajib al-qadha'i dan al-wajib ad-diyani.
a. Al-Wajib al-qadha'i
Suatu yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya
di dunia melalui kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan.
Contoh, kewajiban membayar zakat.
b. Al-Wajib ad-diyani
Kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia akan disiksa di
akhirat, tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan
pelaksanaannya di dunia. Contoh, kewajiban seorang ibu untuk
menyusukan anaknya untuk pertama kali setelah anak itu lahir.

b. Mandub dan macamnya


Sunnah secara etimologi adalah sesuatu yang dianjurkan
karena bersifat penting. Sedangkan secara terminologi, mandub
adalah:
‫َم ا ُيَثاُب َع َلى َفاِع ِلِه َو َال ُيَع اَقُب َع َلى َتاِر ِكِه‬
Sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
disiksa orang yang meninggalkannnya.

6
Mandub dapat dibagi menjadi beberapa segi, yaitu:
@ Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melaksanakan perbuatan
sunnah
1. Al- sunnah al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dijalankan oleh Rasulluah SAW
secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa hal tersebut
bukan fardhu yang harus dilaksanakan. Umpamanya shalat witir, dua
rakaat fajar sebelum shalat shubuh.
2. Al-sunnah ghair al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW, tetapi
frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekali
dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. Umpamanya
memberikan sedekah kepada orang miskin, shalat sunnah empat
rakaat sebelum Zuhur dan sebelum Asar.
@ Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
1. Sunnah hadyu
Perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar
faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya
dianngap sesat atau tercela. Umpamanya shalat berjamaah, shalat
hari raya, adzan dan iqomah.
2. Sunnah zaidah
Perbuatan yang jika dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik, tetapi
bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa,
seperti cara-cara yang biasa dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan
sehari-harinya.
3. Sunnah nafal
Perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib.
Seperti shalat sunnah 2 rakaat yang mengiringi shalat wajib
(rawatib), shalat tahajud, witir, dan yang lainnya yang dalam kata lain
disebut sunnah ghairu muakkadah.

c. Haram dan macamnya


Secara etimologi haram berarti sesuatu yang lebih banyak
kerusakannya., terkadang juga digunakan dalam arti larangan.
Sedangkan secara terminologi haram adalah :
‫َم اُيَثاُب َع َلى َتاِر ِكِه َو ُيَع َقاُب َع َلى‬
‫َفاِعِلِه‬

7
Sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai
dosa bagi orang yang menjalankannya.
Hukum haram dapat dibagi berdasarkan:
@ Haram ditinjau dari segi sumber dalil penetapan hukum
haramnya
1. Larangan yang bersumber dari dalil qathi'
Misalnya, larangan memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain
sebagainya yang disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah : 3
2. Larangan yang bersumber dari dalil dzanni
Misalnya, larangan memakan keledai peliharaan yang ditetapkan
dengan Hadits Ahad, diriwayatkan oleh Bukhari:
Dari Ali r.a. berkata : “ Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada
tahun khaibar dan (melarang memakan) daging keledai jinak.”
@ Haram ditinjau dari segi esensi perbuatan yang dilarang
1. Haram dzati
Suatu perbuatan yang disengaja oleh Allah SWT mengharamkannya
karena terdapat unsur perusak yang langsung
mengenai dharuriyat yang lima.
2. Haram ghairu dzati/'ardhi
Haram yang larangannya bukan karena dzatnya; tidak lansung
mengenai unsur dharuriyat. Suatu perbuatan yang hukum syar’inya
pada mulanya wujud, nadb, atau ibahah, akan tetapi ada sesuatu hal
yang baru menyertainya yang menjadikannya sebagi sesuatu yang
haram.

d. Makruh dan macamnya


Makruh secara etimologi berarti sesuatu yang tidak disenangi
atau dijahui. Sedangkan secara terminologi, makruh adalah:

‫َم اُيَثاُب َع َلى َتاِر ِكِه َو َال ُيَع اَقُب َع َلى َفاِعِلِه‬
Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan
dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
Menurut ulama Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Makruh tahrim

8
Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil
yang menunjukannya bersifat zhanni. Makruh tahrim ini kebalikan
dari wajib.
2. Makruh tanzih
Segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada
mengerjakannya. Makruh tanzih ini kebalikan dari hukum mandub.

e. Mubah dan macamnya


Secara etimologi mubah adalah menjelaskan, memberitahukan,
melepaskan, dan mengijinkan. Sedangkan secara terminologi, muba
adalah :

‫َم ا َخَّيَر الَّش اِرُع اْلُم َك ِّلَف َبْيَن اْلِفْع ِل َو الَّتْر ِك َفَلُه َاْن َيْفَعَل َو َلُه َاْن َال‬
‫َيْفَعَل‬
Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk
memilih antara mmemperbuat dan meninggalkan, ia boleh melakukan
atau tidak.
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang
diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak
melakukan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga
hal, yaitu:
1. Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh
syara', dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukannya.
2. Perbuatan yang tidak ada dalil syara' menyatakan kebolehan
memilih, tetapi ada perintah melakukannya. Hanya saja, perintah itu
hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah (tanda-tanda) atas
diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali
dari syari' tentang kebolehan atau ketidak bolehannya.
Contohnya, mendengarkan dan mempergunakan radio.
Imam Asy Syatibi membagi mubah ditinjau dari segi
penggunaannya menjadi empat bagian, yaitu:
a. Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang
diwajibkan, yang disebut dengan mubah juz'i (temporer), tapi
secara kully (keseluruhan) diperintahkan seperti makan dan nikah,
seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan selama-lamanya.

9
b. Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan
yang dilarang. Secara temporer perbuatan tersebut diperbolehkan,
tetapi tidak diperbolehkan dikerjakan terus menerus. Seperti
bergurau, mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer,
tetapi seorang yang berakal sehat tidak boleh menghabiskan
waktunya untuk senda gurau, mendengarkan radio, rekreasi dan
sebagainya.
c. Mubah yang dipergunakan untuk melayani perbuatan yang
mubah.
d. Mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.
Hanya saja, menurut Imam Asy Syatibi, bagian yang ketiga dan
keempatini tidak ada wujudnnya secara nyata (al-muwafaqat, juz I,
hal, 141-142).

C. Hukum Wadh'i dan pembagiannya


Pengertian
Sebelumnya telah disinggung secara umum, yang dimaksud
dengan hukum wadh'i adalah sesuatu yang menuntut penetapan
sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain, menjadi syarat baginya,
penghalang baginya atau sebagai keringanan baginya.
Pembagian
Hukum wadh'i terbagi dalam lima bagian, di antaranya :
sebab, syarat, mani', rukhshah dan 'azimah, sah dan bathal.

a. Sebab dan macamnya


Sabab secara lughowi berarti sesuatuyang dapat menyampaikan
kepada apa yang dimaksud. Dalam arti istilah dikemukakan oleh para
ahli sebagai berikut:
‫َاَالْم ُر الَّظاِهُر اْلَم ْنَض ِبُط اَّلِذ ْى َجَع لُه الَّش اِر ُع َاَم ا َر ًة ِلُوُجْو ِد اْلُح ْك ِم ِبَح ْيُث َيْلَز ُم ِم ْن ُوُجْو ِدِه ُوُجْو ُد‬
‫اْلُمَس َّبِب َاْو اْلُح ْك ِم َو َيْلَز ُم ِم ْن َعَد ِمِه َعَد ُم اْلُمَس َّبِب َاْو اْلُح ْك ِم‬
Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum
sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya hukum itu ada
hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Macam-macam sebab:
@ Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf
Sebab yang di jadikan Allah SWT.sebagai pertanda atas adanya
hukum.kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan

10
pertanda untuk hukum oleh Allah SWT. Umpamanya tergelincirnua
matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur sebagaimana firman
Allah dalam surat Al Isra:78
@ Sebab yang berasal dari perbuatan manusia
Sebab dalam bebtuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh
pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya, perbuatan mukallaf yang
nyata dijadikan pertanda adanya hukum. Umpamanya keadaan
dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-
qasar shalat. Perjalanan itu disebut sebab ia adalah perbuatan
mukallaf yang dilakukannya dengan sadar dalam kemampuannya.
Akibat adanya sebab ini dijadikan Allah adanya rukhsah melakukan
shalat.

b. Syarat dan macamnya


Abu zahrah mengemukakan definisi Syarat yang lebih mudah
dimengerti, yaitu:[9]

‫ َو َال َيْل َز ُم ِم ْن ُو ُج ْو ِدِه ُو ُج ْو ُد‬، ‫َاَالْم ُر اَّلِذ ْى َيَتَو َّقُف َع َلْيِه ُوُجْو ُد اْلُح ْك ِم َيْلَز ُم ِم ْن َعَد ِمِه َعَد ُم اْلُح ْك ِم‬
‫اْلُح ْك ِم‬
Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya huku; lazim dengan
tidak adanya, tidak ada hukum, tapi tidaklah lazim dengan adanya,
ada hukum.
Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hokum
tergantung kepada adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti
hokum pun tidak ada. Perbedaan antara keduanya terdapat pada
adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya
melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu
adanya hukum.
Contohnya syarat wali dalam pernikahan yang menurut jumhur
ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak
akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah
karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya.
Contoh sebab umpamanya masuk waktu bagi datangnya kewajiban
shalat; dan dengan masuknya waktu pasti dating kewajiban shalat.
Syarat itu ada tiga bentuk:
syarat ‘aqly (‫)الشرط العقلى‬
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya
paha menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.

11
syarat ‘ady (‫)الشرط العادى‬
Berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api
dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya
kebakaran.
syarat syar’I (‫)الشرط الشرعى‬
Syarat berdasarkan penetapan syara’, seperti sucinya badan
menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat.
Bentuk yang ketiga inilah yang menjadi pokok pembahasan di sini.

c. Mani' dan macamnya

‫َاْم ُر الَّش ْر ِعِّي اَّلِذ ْى ُيَناِفْي ُوُحْو ُد ُه اْلَغ َر َض اْلَم ْقُصْو َد ِم َن الَّس َبِب َاِو اْلُح ْك ِم‬
Sesuatu yang dari segi hukum, keberadaannya meniadakan tujuan
dimaksud dari sebab atau hukum.
Telah dijelaskan bahwa sebab mempunyai kaitan erat dengan
hokum yang menjadi akibat dari sebab itu. Artinya, bila sudah
terdapat seba, maka hokum pun pasti ada. Keberadaan hokum pun
masih bergantung kepada hal-hal lain yang harus di penuhi untuk
sahnya kelangsungan hokum itu.
Meskipun sudah terdapat sebab dan terpenuhi syarat belum
tentu dapat dipastikan berlangsungnya hokum, karena mungkin ada
hal-hal lain yang menyebabkan sebabnya menjadi tidak berarti atau
hukumnya dianggap tidak terlaksana. Umpamanya hubungan kerabat
dengan seseorang yang mati menyebabkan berlakunya suatu hokum,
yaituhak kewarisan. Tetapi bila kematian yang mati itu disebabkan
oleh perbuatan kerabatnya yang hidup itu, maka hubungan
kewarisan tidak berlaku. Perbuatan pembunuhan itu
dinamai mani’ atau penghalang terhadap kelangsungan hokum.
Dari defisi di atas tersebut ada dua macam mani’ bila dilihat
dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, yaitu:
1. Mani' yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti
adanya mani’ mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi.
Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab atau
hukumpuntidak akan ada karena dia mengikut kepada sebab.
Umpamanya dalam masalah “utang”. Keadaan berutang itu
menyebabkan kekayaan se-nisab yang menjadi sebab diwajibkanya
zakat tidak lagi perlu diperhatikan .

12
2. Mani' yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak
adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya
hukum. Umpamanya keadaan pembunuh adalah ayah si korban
menghalangi atau menolak berlakunya hukum qishash meskipun
sebab untuk adanya hukum qishash yaitu pembunuhan tetap berlaku
dalam kasus ini. Semestinya dengan adanya sebab itu
(pembunuhan), tentu ada hukumnya (wajib qishash). Namun hukum
dalam hal ini tidak ada karena adanya mani’ (si pembunuh adalah
ayah si korban), sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi: “Tidaklah
diqishash seseorang ayah karena membunuh anaknya”
d. Rukhshah dan 'Azimah serrta macamnya
Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhsah adalah perturan-peraturan
yang tidak dilaksanakan karena adanyahal-hal yang memberatkan
dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata lain, rukhsah ialah
pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).[10]
‫َم ا ُش ِر َع ِم َن اَاْلْح َك اِم للتخفيف عن العباد فياحوال خاصة‬
Hukum-hukum yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf
dalam keaadan tertentu.
Rukhsah diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf
sehingga mereka bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah.
Namun, adakalanya pula rukhsah itu diwajibkan melaksanakannya
bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain.
Ulama Ushul Fiqih mengelompokkan rukhsah menjadi empat bagian,
yaitu:
a. Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan
darurat atau karena ada hajat yang sangat mendesak sebagai
keringanan bagi mukallaf. Misalnya, barang siapa yang dipaksa
mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya
mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman
kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (QS. An Nahl:106)
b. pembolehan meninggalkan yang wajib karena udzur, dimana jika
melaksanakan kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi
si mukallaf. Misalnya, orang sakit atau sedang bepergian dibolehkan
tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah
(QS. Al Baqarah: 184)
c. Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut
kebutuhan masyarakat dalam kehidupan muamalat (sehari-hari).

13
Misalnya, transaksi jual –beli yang belum ada pada saat perikatan
diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada
prinsipnya, jual-beli seperti ini tidak memenuhi persyaratan umum
untuk sahnya suatu transaksi jual-beli yaitu barang yang akan
diperjualbelikan itu ada di saat transaksi dilakukan, tetapi karena hal
itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka perikatan
tersebut disahkan secara rukhsah. Ini sesuai dengan hadits Nabi:
‫ عن بيع اإلنسان ما ليس عنده‬:‫نهى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫و رخص فى السلم‬
“Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya
disaat transaksi, namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli
pesanan”
e. Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang
memberatkan bagi umat terdahulu, misalnya kain yang terkena najis,
mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di
masjid, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lagi berlaku
terhadap umat islam, sebagai rukhsah bagi mereka. Karena itu, kalau
ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam,
mereka akan banyak sekali menemukan kesulitan yang
memberatkan.hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam (QS. Al Baqarah:
286)

‘Azimah
‫ما شرع من االحكام الكلية ابتداء‬
Suatu ketentuan yang sejak semula disyari'atkan sebagai ketentuan
hukum yang umum
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah
yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum.
Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua
keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan
lain) yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai- menurut hukum
asalnya- adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini
disebut juga dengan hukum pokok.[12]

Hukum ‘Azimah dan Rukhsah


Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya rukhsah
seorang mukallaf diharuskan mengambil ‘azimah,karena memang

14
begitulah ketentuan-keentuan pokok dari Allah dalam
mensyari’atkan peraturannya.
Namun, bila ada hal yang memberatkan sehingga menimbulkan
kefatalan, dibolehkan mengambil rukhsah. Misalnya, seseorang yang
dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hokum
asalnya adalah haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang
diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga memakan bangkai
itu hukumnya haram bagi orang tersebut. Maka dengan sendirinya
hukum rukhsoh tersebut adalah mubah. Ketentuan ini terdapat
dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah:173

e. Sah dan Bathal


Sah
Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur
kewajiban dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”.
Umpamanya shalat yang dilaksanakan sesuai dengan yang
diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang
dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya
dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah dan tidak
dilanggar.
Bathal
Batal merupakan kebalikan dari sah, yang dapat diartikan tidak
melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia,
dan di akhirat pun tidak memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang
kurang rukun dan syaratnya serta bertentangan dengan ketentuan
syara’ dinamakan batal.

D. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i


Ada beberapa perbedaan antara hukm at-taklifi dengan hukm al
wadh'i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas,
perbedaan tersebut antara lain adalah:
1. Dalam hukm at-taklifi terkandung tuntutan untuk
melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak
berbuat. Dalam hukm al wadh'i tidak ada, melainkan mengandung
keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara
keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
2. Hukm at taklifi merupakan tintutan langsung pada mukallaf
untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk

15
berbuat ataubtidak berbuat. Sedangkan hukm al wadh'i tidak
dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
3. Hukm at taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk
melaksanakan atau meninggalkannya, karena di dalamnya tidak
boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak
mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukm al wadh'i hal
seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan haraj
dalam hukum al wadh'i adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti
menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan),dan
adakalanya di luar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya
matahari bagi wajibnya shalat Zhuhur)
4. Hukm at taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang
yang telah balligh dan berakal, sedangkan hukm al wadh'i ditujukan
pada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum,
misalnya anak kecil dan orang gila.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum syara’ secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm
berarti mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan.
Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti
dilalui, atau aliran air sungai.
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud
dengan hukum adalah Titah Allah SWT yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau
takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang ditetapkan).
Hukum syara’ terbagi dua, yaitu:
a. Hukum Taklifi
b. Hukum Wadh’i
Hukum Taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan
atau takhyir (pilihan). Hukum Taklifi terbagi lima, yaitu: wajib,
mandub, haram, makruh, dan mubah.
Hukum wadh’I ialah titah Allah yang berhubungan dengan
sesuatu yang macam, di antaranya : sebab, syarat, mani' rukhshah
dan ‘azimah, dan sah dan bathal.
Perbedaan antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’I diantaranya:

16
a. Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklifi dalah hukum Allah
yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat
suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan
tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’I tidak mengandung tuntutan
atau memberi pilihan, hanya menerangan sebab atau halangan
(mani’) suatu hukum, sah, dan batal.
b. Dilihat dari sudut kemampuan mukallaf untuk memikulnya, hukum
taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf, baik dalam mengerjakan
atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’I kadang-kadang
dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukallaf dan kadang kadang tidak.
Ada beberapa perbedaan antara hukm at-taklifi dengan hukm al
wadh'i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas,
perbedaan tersebut antara lain adalah:
1. Dalam hukm at-taklifi terkandung tuntutan untuk
melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak
berbuat. Dalam hukm al wadh'i tidak ada, melainkan mengandung
keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah stu diantara
keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
2. Hukm at taklifi merupakan tintutan langsung pada mukallaf
untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk
berbuat ataubtidak berbuat. Sedangkan hukm al wadh'i tidak
dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
3. Hukm at taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf
untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena di dalamnya
tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang
tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukm al
wadh'i hal seperti ini tidak dipersoalkan,
karena masyaqqah dan haraj dalam hukum al wadh'I adakalanya
dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat
dalam pernikahan),dan adakalanya di luar kemampuan mukallaf
(seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat Zhuhur)
4. Hukm at taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang
yang telah balligh dan berakal, sedangkan hukm al wadh'i ditujukan
pada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum,
misalnya anak kecil dan orang gila.

B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang
terdapat di dalam makalah ini. Oleh sebab itu harapan kami dari
teman-teman sekalian serta bapak ibu dosen pembimbing dapat
memberikan masukan-masukan kepada kami selaku penulis untuk
perbaikan makalah ini kearah yang lebih baik kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu, 1995,Ushul al-fiqh, Jakarta:Pustaka


Firdaus.
Syarifuddin, Amir, 2009 ushul Fiqh Jakarta:Kencana.
Koto, Alaiddin,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004.Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Uman,Khaeruldkk, ushul fiqih, 1998. Bandung:Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, 1994, Dina Utama: Semarang
Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqh, 2010, Amzah : Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai