A. AL-IJAB
Para ahli ushul memberikan pengertian wajib menurut syara, yaitu apa yang
dituntut oleh syara agar dilakukan oleh mukallaf atas permintaan yang tegas dan
akan diganjar pahala dan jika diabaikan akan mendapatkan dosa, ijab ini dapat
diketahui dengan lafal atau dengan tanda-tanda lain (qarinah).
Wajib yang ditentukan dapat dilihat melalui lafal seperti dalam bentuk lafaz amar
(perintah) dalam firman Allah: “… dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.” (QS.
Thaha:14).
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri
yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang
beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu ” (QS. Al-Baqarah: 183).
1
2
Dilihat dari banyak segi, wajib dibagi menjadi empat. Ditinjau dari sudut pandang
tertentu apakah perbuatan tersebut itu wajib atau tidak, wajib dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
Dilihat dari segi waktu untuk melakukannya dan waktu yang tersedia untuk
melakukan apa yang dibutuhkan. Wajib ini dapat dibagi menjadi dua
kategori,yaitu:
1. Wajib Muwassa, yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan apa yang
diwajibkan lebih luas atau lebih lama dari waktu pelaksanaan kewajiban
ini. Misalnya, shalat Dzuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan
shalat Dzuhur jauh lebih besar daripada waktu yang digunakan untuk
melaksanakan shalat Dzuhur. Sangat penting bahwa itu dapat dilakukan di
awal waktu atau di tengah waktu atau di akhir waktu. Menurut para ulama,
jika muwassa’ diharuskan dilakukan di tengah atau di akhir waktu,
seseorang harus berniat setelah waktunya tiba (awal waktu) untuk
menunda pelaksanaannya sampai waktu yang diinginkan sebagai
pengabaian waktu.
2. Wajib Mudhayyaq, yaitu mereka yang memiliki waktu luang yang sama
atau sama dengan waktu untuk menunaikan kewajiban ini, seperti puasa
Ramadhan. Puasa itu sendiri menempati semua hari di bulan Ramadhan.
Inilah mengapa kewajiban mudhayyaq tidak dapat ditunda dalam waktu
yang tersedia untuk pelaksanaannya.
Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, dibagi menjadi dua bagian:
Dilihat dari segi rasio (jumlah) dan bentuk kerugian dibagi menjadi dua:
3
Wajib ghairu muhaddad, jika tidak dipaksakan, tidak menjadi hutang dan tidak
dapat dipaksakan. Menurut Amir Syarifuddin dalam ushul fiqh mengatakan
bahwa hukum taklifi paksaan adalah: Meminta untuk melakukan sesuatu yang
aman, artinya sesuatu yang jika dilakukan akan mendapat pahala dan jika
menyerah akan diancam oleh Allah SWT, dikenal dengan istilah “wajib”.
B. AN-NADB
Para ahli ushul mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mandub adalah apa
yang disyaratkan syara untuk membuat mukallaf, tetapi syaratnya tidak terlalu
ketat , tidak ada terkena hukuman atau dosa (‘iqab).
Perbuatan mandub dapat dikenali dari lafal yang dicantumkan dalam teks seperti
kata sunah atau dianjurkan atau diberikan sebagai peringatan tetapi ada indikasi
bahwa itu diwajibkan tidak meluas dari teks itu sendiri.
Ulama mazhab Hanafi menyamakan pengertian sunnah dan nafal dengan mandub,
menurut mereka ada tiga jenis mandub, yaitu:
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:
C. AT-TAHRIM
Para ulama ushul mengatakan bahwa apa yang diatur oleh syara dilarang, yang
tidak dapat dilakukan dalam kondisi yang keras.” Dengan kata lain, itu dilarang
dan jika Anda melakukannya dan Anda akan dihukum, dan jika ditinggalkan
Anda akan mendapat pahala.
1. Haram Lidzatihi adalah haram dalam perbuatan itu sendiri atau haram
dalam substansinya. Haram seperti itu pada dasarnya dilarang sejak awal.
Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dll.
2. Haram Li ghairihi, haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau
haram karena faktor lain yang datang belakangan. Misalnya, jual beli yang
semula dibolehkan menjadi haram, ketika azan salat Jumat terdengar.
Demikian pula puasa wajib Ramadhan yang semula menjadi haram karena
puasa menimbulkan rasa sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Hal
yang sama berlaku untuk orang lain.
Ulama mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua jenis, yang dilihat
berdasarkan kekuatan dalil yang mendukungnya:
D. AL-KARAHAH
Menurut ulama Ushul, Makruh adalah apa yang dibutuhkan syara untuk
dilakukan, tetapi tidak bersifat haram atau dengan kata lain, sesuatu yang
diharamkan namun tidak akan dosa jika dilakukan. Misalnya merokok, makan
makanan yang menimbulkan bau tak sedap, dll.
E. AL-IBAHAH
Apa arti Mubah menurut ulama Ushul: “apa yang memberi mukallaf kebebasan
untuk memilih apakah akan melakukannya atau tidak.”
Mubah dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 36, yang syara nya menjelaskan
kemampuannya untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat