Anda di halaman 1dari 6

AL – AHKAM ASY-SYAR’IYYAH

Oleh : Muhammad Zidni Alfani'am (2023080093)

Penjelasan mengenai istilah atau suatu konsep tertentu selalu


Menggunakan dua pendekatan, yaitu bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi).
Secara etimologi, al-hukm berarti man’u yakni mencegah. Hukum juga dapat
diartikan dengan qada yang memiliki arti putusan. Selain itu, hukum juga berarti
al-fasl (pemisah) Hukum sepadan dengan mencegah, karena perintah untuk
melakukan sesuatu berarti cegahan untuk melakukan hal-hal yang bersifat
sebaliknya.
Hukum diartikan putusan karena hukum adalah keputusan hakim di
pengadilan yang merupakan instrument utama dalam lingkungan pengadilan.
Hukum diartikan pula sebagai pemisah karena hukum mempunyai fungsi sebagai
alat ukur yang dapat membedakan benar dan salah.
Secara terminologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa hukum
syara’ adalah khitab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan mukallaf, baik
dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.4 Menurut istilah ahli fikih,hukum
syara’ adalah efek yang dikehendaki oleh khitab syar’i pada perbuatan seperti
kewajiban, keharaman, dan kebolehan.
Pengertian hukum menurut ahli hukum Islam adalah akibat kandungan
teks, sedangkan ahli usul fikih, hukum adalah teks dari perbuata syara’. Definisi
hukum menurut istilah ahli usul fikih dapat disalahpahami sebagai hukum syara’
khusus pada teks teks saja, karena hanya pada teks khitab syara’ yang dituju, tidak
pada dalil-dalil yang lain seperti ijma dan qiyas. Dalil lain tersebut bukanlah teks
itu sendiri ketika dibuktikan dalam teks. Namun pada hakekatnya, teks itu adalah
khitab dari syar’i meskipun tidak bersifat langsung. Dengan demikian, setiap dalil
syar’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan,
pilhan, atau penetapan adalah hukum syar’i menurut tradisi hukum Islam.

A. AL-IJAB

Para ahli ushul memberikan pengertian wajib menurut syara, yaitu apa yang
dituntut oleh syara agar dilakukan oleh mukallaf atas permintaan yang tegas dan
akan diganjar pahala dan jika diabaikan akan mendapatkan dosa, ijab ini dapat
diketahui dengan lafal atau dengan tanda-tanda lain (qarinah).

Wajib yang ditentukan dapat dilihat melalui lafal seperti dalam bentuk lafaz amar
(perintah) dalam firman Allah: “… dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku.” (QS.
Thaha:14).

Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri
yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang
beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu ” (QS. Al-Baqarah: 183).

1
2

Dilihat dari banyak segi, wajib dibagi menjadi empat. Ditinjau dari sudut pandang
tertentu apakah perbuatan tersebut itu wajib atau tidak, wajib dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:

1. Wajib Mu’ayyan adalah sesuatu yang perbuatannya telah


ditentukan,contohnya seperti membaca surat al-Fatihah dalam shalat.
2. Wajib Mukhayyar, yaitu mereka yang dapat memilih salah satu dari
sekian banyak jenis perbuatan yang ditentukan. Misalnya, sumpah kafarat
menawarkan tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau
memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau membebaskan
para budak.

Dilihat dari segi waktu untuk melakukannya dan waktu yang tersedia untuk
melakukan apa yang dibutuhkan. Wajib ini dapat dibagi menjadi dua
kategori,yaitu:

1. Wajib Muwassa, yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan apa yang
diwajibkan lebih luas atau lebih lama dari waktu pelaksanaan kewajiban
ini. Misalnya, shalat Dzuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan
shalat Dzuhur jauh lebih besar daripada waktu yang digunakan untuk
melaksanakan shalat Dzuhur. Sangat penting bahwa itu dapat dilakukan di
awal waktu atau di tengah waktu atau di akhir waktu. Menurut para ulama,
jika muwassa’ diharuskan dilakukan di tengah atau di akhir waktu,
seseorang harus berniat setelah waktunya tiba (awal waktu) untuk
menunda pelaksanaannya sampai waktu yang diinginkan sebagai
pengabaian waktu.
2. Wajib Mudhayyaq, yaitu mereka yang memiliki waktu luang yang sama
atau sama dengan waktu untuk menunaikan kewajiban ini, seperti puasa
Ramadhan. Puasa itu sendiri menempati semua hari di bulan Ramadhan.
Inilah mengapa kewajiban mudhayyaq tidak dapat ditunda dalam waktu
yang tersedia untuk pelaksanaannya.

Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, dibagi menjadi dua bagian:

1. Wajib Ain adalah syarat-syarat untuk melakukan satu perbuatan setiap


mukallaf dan tidak dapat diganti dengan yang lain, seperti kewajiban
melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji. Kewajiban ini disebut juga
dengan fardu ‘ain.
2. Wajib Kifayah adalah kewajiban yang dikenakan pada sekelompok orang
dan jika seseorang memenuhi permintaan dianggap terpenuhi, dan jika
tidak ada yang melakukannya, kelompok tersebut melakukan kejahatan
seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, pembangunan rumah
sakit, sekolah, dll.

Dilihat dari segi rasio (jumlah) dan bentuk kerugian dibagi menjadi dua:
3

1. Wajib Muhaddad, adalah apa yang ditentukan oleh syara’ berupa


perbuatan yang diminta dan mukallaf dianggap lalai memenuhi permintaan
itu sebelum melaksanakannya seperti yang diminta oleh syara’ atau
sebaliknya merupakan kewajiban yang kadarnya atau kuantitas telah
ditentukan. Misalnya shalat, zakat dan pelunasan hutang. Shalat lima
langkah memiliki waktu, jumlah rakaat, rukun dan syarat. Zakat telah
didefinisikan untuk jenis-jenis barang yang harus disediakan dan jumlah
zakat yang harus dibayarkan. Wajib muhaddad jika tidak dilaksanakan
akan menjadi hutang dan dapat dirampas.
2. Wajib Ghairu Muhaddad adalah perbuatan wajib dan pilihan, yang tidak
menentukan cara pelaksanaan dan tenggat waktu atau kewajiban yang
tidak menentukan jumlah batasan, seperti infaq fi sabilillah, membantu
orang yang ingin membantu, saling membantu, dll.

Wajib ghairu muhaddad, jika tidak dipaksakan, tidak menjadi hutang dan tidak
dapat dipaksakan. Menurut Amir Syarifuddin dalam ushul fiqh mengatakan
bahwa hukum taklifi paksaan adalah: Meminta untuk melakukan sesuatu yang
aman, artinya sesuatu yang jika dilakukan akan mendapat pahala dan jika
menyerah akan diancam oleh Allah SWT, dikenal dengan istilah “wajib”.

B. AN-NADB

An-Nadb tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tapi tidak secara pasti.


Perbuatan yang dituntut namanya mandub, akibat perbuatannya disebut nadb.

Para ahli ushul mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mandub adalah apa
yang disyaratkan syara untuk membuat mukallaf, tetapi syaratnya tidak terlalu
ketat , tidak ada terkena hukuman atau dosa (‘iqab).

Perbuatan mandub dapat dikenali dari lafal yang dicantumkan dalam teks seperti
kata sunah atau dianjurkan atau diberikan sebagai peringatan tetapi ada indikasi
bahwa itu diwajibkan tidak meluas dari teks itu sendiri.

Ulama mazhab Hanafi menyamakan pengertian sunnah dan nafal dengan mandub,
menurut mereka ada tiga jenis mandub, yaitu:

1. Sunnah Hadyi adalah perbuatan yang ditahbiskan untuk melakukan


perbuatan-perbuatan wajib seperti adzan dan shalat berjamaah. Orang yang
meninggalkan perbuatan yang seperti ini dikatakan tersesat dan tercela dan
kalau seandainya seisi kampung bersepakat meninggalkannya maka
mereka dapat diperangi.
2. Sunnah Zaidah adalah semua perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan
sebagai sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai
manusia biasa seperti makan, minum, tidur dll. dan jika tindakan itu
dilakukan maka menjadi baik bagi mukallaf dan jika dihilangkan tidak
dapat dikatakan makruh.
4

3. Sunnah Nafal adalah perbuatan yang dianjurkan dilakukan selain


perbuatan wajib dan sunnah seperti shalat sunat. Jika Anda bisa
melakukan ini, Anda akan pahala jika Anda berhenti, Anda tidak akan
dihukum, tidak pula dicela.

Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:

1. Sunnah ‘ain, adalah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap


pribadi mukallaf untuk dilakukan, misalnya shalat sunnah rawatib.
2. Sunnah kifayah adalah segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat
cukup oleh salah satu saja dari suatu kelompok, misalkan seperti
mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan lain sebagainya.

C. AT-TAHRIM

Para ulama ushul mengatakan bahwa apa yang diatur oleh syara dilarang, yang
tidak dapat dilakukan dalam kondisi yang keras.” Dengan kata lain, itu dilarang
dan jika Anda melakukannya dan Anda akan dihukum, dan jika ditinggalkan
Anda akan mendapat pahala.

Secara garis besar, Haram terbagi menjadi dua bagian:

1. Haram Lidzatihi adalah haram dalam perbuatan itu sendiri atau haram
dalam substansinya. Haram seperti itu pada dasarnya dilarang sejak awal.
Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dll.
2. Haram Li ghairihi, haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau
haram karena faktor lain yang datang belakangan. Misalnya, jual beli yang
semula dibolehkan menjadi haram, ketika azan salat Jumat terdengar.
Demikian pula puasa wajib Ramadhan yang semula menjadi haram karena
puasa menimbulkan rasa sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Hal
yang sama berlaku untuk orang lain.

Ulama mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua jenis, yang dilihat
berdasarkan kekuatan dalil yang mendukungnya:

1. Haram yang ditetapkan oleh Dalil Qath adalah Al Quran, Sunnah


Mutawatir dan Ijma Harm. Haram yang ditetapkan dengan dalil qath ini
adalah kebalikan dari fardhu. Misalnya larangan zina seperti yang
dijelaskan dalam surat Al Isra ayat 32.
2. Haram yang ditetapkan dengan dalil-dalil zanni seperti hadits ahad dan
kias dan haram seperti ini bertentangan dengan wajib atau juga
karahiyatul tahrim. Misalnya, laki-laki dilarang memakai perhiasan emas
dan kain sutera.
5

Menurut Amir Syarifuddin ia mengatakan bahwa hukum taklifi tentang haram


yaitu :Tuntutan untuk meninggalkan secara jelas, yaitu suatu pekerjaan yang
apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat dosa dari Allah
Swt dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan
istilah “haram”.

Ulama hanafiyah mendefinisikan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil


yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pasti dapat ditetapkan oleh
dalil dalil zhanni yang disebut karahah tahrim.

D. AL-KARAHAH

Menurut ulama Ushul, Makruh adalah apa yang dibutuhkan syara untuk
dilakukan, tetapi tidak bersifat haram atau dengan kata lain, sesuatu yang
diharamkan namun tidak akan dosa jika dilakukan. Misalnya merokok, makan
makanan yang menimbulkan bau tak sedap, dll.

Umumnya para ulama membagi makruh menjadi dua bagian:

1. Makruh Tanzih, yaitu semua tindakan yang dihilangkan lebih baik


daripada dilakukan.
2. Makruh Tahrim, yaitu semua perbuatan yang dilarang tetapi pembenaran
larangannya adalah zhanni, bukan qath’i. Misalnya bermain catur, makan
ikan, dan makan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).

Menurut Amir Syarifuddin, hukum taklifi tentang makruh berbunyi: Tuntutan


untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang
apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala,
yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.

E. AL-IBAHAH

Apa arti Mubah menurut ulama Ushul: “apa yang memberi mukallaf kebebasan
untuk memilih apakah akan melakukannya atau tidak.”

Mubah dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 36, yang syara nya menjelaskan
kemampuannya untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat

1. Kemampuannya tidak dijelaskan, tetapi syara’ menyatakan bahwa ia dapat


memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi mereka yang
melakukannya
2. Sama sekali tidak dijelaskan dengan baik bahwa kebolehan melakukan hal
seperti itu, hal tersebut berakar pada kaidah Bara’atul Ashliyah.
6

Menurut Amir Syarifuddin ia mengatakan bahwa hukum taklifi tentang mubah


adalah sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan. Oleh karena itu, disini tidak terdapat tuntutan
untuk mengerjakan atau meninggalkan,. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula
dilarang. Hukum dalam jenis ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang
diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”. Contohnya:
melaksanakan perburuan setelah melaksanakan tahallul dalam ibadah haji dan
lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai