Anda di halaman 1dari 5

Pembagian Hukum Taklifi

A. Wajib

Hukum taklifi yang pertama adalah wajib. Wajib adalah sesuatu yang diperintahkan oleh
pembuat syariat yang harus dikerjakan. Orang yang melaksanakan perkara wajib akan diberi
ganjaran dan berhak mendapatkan hukuman apabila ditinggalkan. Sinonim dari Wajib
diantaranya ada Fardhu atau Faridhah, Hatmun atau Mahtum, dan Lazim. Menurut kalangan
hanafiyyah Fardhu dan Wajib itu berbeda. Fardhu atau Faridhah adalah istilah hukum yang
ditetapkan dengan dalil Qath’i seperti Al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang
ditetapkan dengan dalil Dzanni seperti hadits ahad maka ia disebut Wajib.

Akan tetapi yang masyhur dan yang terpilih di kalangan jumhur ulama adalah bahwa Wajib,
Fardhu, Faridhah, Hatm atau Mahtum, dan Lazim adalah sama.

 Pembagian Hukum Wajib terbagi dalam empat kategori yaitu :

a. Dari segi keterikatannya dengan waktu, dan ini terbagi menjadi dua :

1. Wajib Mutlaq atau Wajib Muwassa’, yaitu kewajiban yang waktu


pelaksanannya luas dan tidak terikat dengan waktu tertentu, seperti menqadha’
puasa Ramadhan.

2. Wajib Muqayyad atau Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang


pelaksanaannya terikat oleh waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, puasa
Ramadhan, dan lain sebagainya.

b. Dari segi ketentuan obyeknya, terbagi menjadi dua :

1. Wajib Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan dan tidak ada
pilihan lain selain yang sudah menjadi ketentuan, seperti wajibnya puasa di bulan
Ramadhan, wajibnya Haji, dan lain sebagainya.

2. Wajib Ghairu Mu’ayyan atau Wajib Mukhayyar, yaitu kewajiban yang


dibolehkan menentukan salah satu diantara beberapa pilihan. Contohnya adalah
kaffarah bagi orang yang melanggar sumpah.

c. Dari segi kadarnya, ini terbagi menjadi dua :

1. Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya, seperti


jumlah raka’at pada shalat fardhu, jumlah minimal pembayaran zakat, dsb.
2. Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya,
seperti berinfak di jalan Allah, bersedekah, memberi makan anak yatim, dsb.

d. Dari segi subyek hukumnya, terbagi menjadi dua :

1. Wajib Aini atau Fardhu Ain, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap
individu, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dsb.

2. Wajib Kifa’i atau Fardhu Kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan secara
kolektif, yang apabila sudah terwakili maka gugurlah kewajiban itu. Seperti shalat
jenazah, jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar, dsb.

B. Mandub

Hukum taklifi yang kedua adalah mandub. Mandub adalah sesuatu yang diperintahkan oleh
pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan. Orang yang mengerjakan perkara mandub
dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan pahala, akan tetapi tidak dihukum bila
meninggalkannya. Istilah lain dari Mandub diantaranya ada Sunnah, Masnuun, Mustahab
atau Istihbab, Nafl atau Nafilah, Tathawwu’, dan Fadhilah.

 Adapun Pembagian Mandub atau Sunnah dari segi tingkatannya, diantaranya :

a. Sunnah muakkadah

Adalah sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam.
Contohnya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.

b. Sunnah ghairu muakkadah

Adalah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu 'alaihi
wasallam artinya sesekali beliau meninggalkannya, seperti shalat tarawih, shalat
empat rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, dan lain sebagainya.

c. Sunnah zawaid atau sunnah adat, yaitu perbuatan Nabi sallallaahu 'alaihi
wasallam yang bukan dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala, seperti cara
berpakaian, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, cara berjalan, cara
berkendara, dan lain sebagainya. Melakukan sunnah adat ini merupakan
keutamaan, tidaklah tercela ketika meninggalkannya, dan melakukannya adalah
perbuatan terpuji. Karena melakukan sunah adat dalam rangka tasyabbuh terhadap
Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam adalah baik selama tidak bertentangan dengan kemaslahatan
yang lebih diutamakan. Beliau sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

‫َم ْن َتَشَّبَه ِبَقْو ٍم َفُهَو ِم ْنُهْم‬

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka. [HR. Abu Dawud no.
4031]

C. Haram

Hukum taklifi yang ketiga adalah haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syariat yang harus ditinggalkan. Orang yang meninggalkan perkara yang haram
karena mengharapkan pahala maka ia akan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang
melakukannya berhak mendapatkan azab. Istilah lain dari haram diantaranya ada Mahthur
dan Mamnu’.

 Adapun Pembagian Haram terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Haram lidzatihi atau haram karena zatnya

Yaitu perbuatan yang pada asalnya haram menurut hukum syar’i. Contoh :
syirik, zina, mencuri, memakan babi, dan lain sebagainya.

b. Haram lighairigi atau haram karena selainnya

Yaitu perbuatan yang pada asalnya diperbolehkan atau disyariatkan, namun


karena adanya faktor lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan kemudharatan
maka perbuatan itu menjadi haram.

Contohnya seperti transaksi jual beli pada saat adzan jum’at. Jual beli itu pada
asalnya diperbolehkan, akan tetapi apabila dilakukan saat dikumandangkan adzan
jum’at maka menjadi haram, karena ini dapat menjadikan seseorang terlewat
melaksanakan shalat jum’at.

D. Makruh

Hukum taklifi yang keempat adalah makruh. Makruh adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan.
Seorang yang meninggalkan perkara makruh maka akan diganjar pahala apabila ia
melakukannya dalam rangka mematuhi perintah, namun orang yang melanggarnya tidaklah
berdosa.

Catatan:

1. Penggunaan istilah makruh yang telah berjalan dikalangan para ulama adalah makruh yang
telah dijelaskan pada pembahasan ini, kecuali ulama hanafiyyah. Mereka membagi makruh
menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.

Makruh Tahrim adalah sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh syariat akan tetapi
dalilnya bersifat Dzanni Al-Wurud (dugaan kuat).

Sementara Makruh Tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk ditinggalkan
sebagaimana makruh yang dikenal oleh para ulama pada umumnya.

2. Yang terjadi pada kalam Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian ahli hadits,
penggunaan istilah makruh bisa bermakna haram bisa juga bermakna makruh secara istilah,
maka berhati-hatilah dan jangan sampai salah menafsirkan!

3. Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika melarang sesuatu akan tetapi beliau
mengerjakannya maka hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan. Bukan
berarti yang semula dilarang kemudian berubah menjadi makruh, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam tidaklah mengerjakan hal yang dimakruhkan.

E. Mubah

Hukum taklifi yang kelima adalah mubah. Mubah adalah sesuatu yang tidak ada
hubungannya dengan perintah dan larangan pada asalnya. Seperti makan, minum, tidur, dan
lain sebagainya. Maksudnya adalah perbuatan yang pada asalnya tidak diperintahkan dan
tidak pula dilarang oleh syariat. Hal ini dikarenakan apabila perbuatan tersebut
dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka perbuatan tersebut
mengikuti hukum yang melatarbelakanginya.

Contohnya seperti mempelajari bahasa Arab yang hukum asalnya adalah boleh. Namun,
karena kita diwajibkan untuk mengetahui kandungan dari Al-Quran dan As-Sunnah maka
tidak mungkin kita bisa mengetahuinya tanpa mempelajari bahasa Arab. Sehingga
mempelajari bahasa Arab hukumnya menjadi wajib atas dasar latar belakang tersebut.
Contoh lain seperti makan dan minum. Hukum asalnya adalah mubah, namun apabila
dilakukan secara berlebihan hingga membahayakan dirinya maka ia menjadi haram. istilah
lain dari mubah adalah Halal dan Jaiz.
1

referensi: https://www.nasehatquran.com/2021/11/pengertian-hukum-syara-dan-
pembagian.html

1
Adam Mutaali, “Pengertian Hukum Syara’ dan Pembagiannya” nasehatqur’an, 15 November
2021, https://www.nasehatquran.com/2021/11/pengertian-hukum-syara-dan-pembagian.html

Anda mungkin juga menyukai