Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan

Hukum syara’ ialah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi
seorang mukallaf karena hukum syarak ini ialah peraturan dari Allah yang sifat mengikat
bagi semua umat yang beragama islam. Aktivitas seorang muslim selalu terikat dengan
hukum syarak, hukum syara’ ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan, perbuatan kita itu
harus memiliki dasar hukum yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, sunnah, makruh
dan haram.

Pembahasan

A. Pengertian Hukum Syara’


Secara bahasa, hukum berarti memutuskan (al-qadha), dan mencegah (al-
man’u). Hukum juga berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain (itsbat syai’
‘ala syai). Menurut istilah, terminologi hukum dipahami dalam dua pengertian.
Sedangkan menurut Ushuliyah (Ulama ahli Ushul Fiqih) dan Fuqaha, hukum
adalah: dalam terminologi ushuliyun, hakikat hukum adalah bunyi dari titah Allah
yang berbentuk teks itu sendiri. Sedang menurut Fuqaha hakikat hukum adalah
pengaruh yang muncul sebagai akibat dari adanya titah Allah yang dikaitkan
dengan perbuatan mukallaf.
B. Pembagian Hukum Syara’
Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i.
1. Hukum Taklifi
a. Pengertian hukum taklifi
Hukum Taklifi adalah titah Allah yang menuntut dikerjakannya atau
ditinggalkannya suatu pekerjaan atau pilihan antara mengerjakan atau tidak
mengerjakannya.1
b. Pembagian hukum taklifi
Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam yaitu:
1. Ijab
Ijab yaitu tuntutan Syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu
dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai
sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur : 56
(.............................................................................................................)
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut para
ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dan
membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan
orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan
yang dituntut itu (yaitu mendirikan shalat dan membayar zakat),
disebut dengan wajib.2
Masalah Al-Ijab, dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai
dengan obyeknya, yaitu:
a. Dilihat dari sisi waktu, yaitu:

1
Suwarjin,Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras,2012), hal.24-25.

2
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia,2010), hal.298.
1. Wajib Muthlak, yaitu sesuatu yang dituntut syara’ untuk
dilaksanakan oleh mukallaf, tanpa diketahui waktunya.
2. Wajib Muaqqat, yaitu suatu kewajiban yang harus dilakukan
seorang mukallaf pada waktu-waktu tertentu.
b. Dilihat dari sisi ukuran yang diwajibkan, yaitu:
1. Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ukuran dan jumlahnya
ditentukan oleh syara’ dengan ukuran dan jumlah tertentu.
2. Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang ukuran dan
jumlahnya tidak ditentukanoleh syara’, tetapi diserahkan
kepada para ahlinya.
c. Dilihat dari sisi orang yang diberi beban kewajiban, yaitu:
1. Wajib Ainiy, yaitu kewajiban yang ditujukan kepada setiap
pribadi orang mukallaf.
2. Wajib Kafa’i, yaitu kewajiban yang ditujukan kepada seluruh
orang mukallaf, tetapi jika sebagian dari mereka sudah
melaksanakan, maka kewajiban tersebut telah gugur dan yang
tidak ikut mengerjakan tidak dituntut lagi untuk
mengerjakannya.
d. Dilihat dari sisi kandungan perintah, yaitu:
1. Wajib Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang terkait dengan sesuatu
yang diperintahkan.
2. Wajib Mukhayyar, yaitu kewajiban tertentu yang bisa dipilih
oleh mukallaf.3
2. Nadb
Nadb yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak
bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak
dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak
dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub,
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb.4
Dalam masalah mandzub atau sunnah, para ulama’ ushul (seperti
imam Syafi’iy) membaginya menjadi dua macam, yaitu:
a. Sunnah Muakkad, yaitu perbuatan yang dituntut untuk
melakukannya dan tidak dikenai sanksi bagi yang
meninggalkannya, tetapi mendapatkan celaan, seperti perbuatan
sunnah yang menjadi pelengkap perbuatan wajib.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu semua perbuatan yang dituntut
melakukannya, tetapi tidak dicela jika meninggalkannya, sekalipun
Rasulullah sering meninggalkannya, seperti shalat sunnah mutlak,
baik malam maupun siang dan sebagainya.5
3. Tahrim
Tahrim yaitu tuntutan untuktidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan
perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, dalam
surat Al-An’am : 151:

3
Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang:Draul Hikmah,2008),hal.174-176.

4
Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih,298.

5
al-Hasyimiy,Ilmu Ushul Fiqh,178.
(............................................................................................................)
Khitab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini
disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu
membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram. 6
Haram dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Haram Lidzatihi, yaitu semua perbuatan yang pada awalnya sudah
dihukumi haram. Karena itu tidak dapat dijadiakan sebagai alasan
(sebab) untuk merubah hukumnya.
b. Haram Li Ghairu Dzatih, yaitu semua perbuatan yang pada awalnya
berstatus wajib atau nadb atau mubah, lantaran ada masalah yang
baru, maka perbuatan itu diharamkan.7
4. Karahah
Karahah yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Tetapi
tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini
disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb.8
Makruh dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Makruh Tahrim, yaitu suatu tuntutan keras untuk tidak berbuat yang
bersumber dari nash yang kualitasnya dhanniy( tidak pasti).
b. Makruh Tanzih, yaitu suatu tuntutan untuk tidak melakukan
perbuatan, tetapi tuntutan tersebut tidak begitu keras.
5. Ibahah
Ibahah yaitu sesuatu yang mukallaf dibebaskan untuk melakukan atau
meninggalkannya. Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan
ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Mubah dibagi menjadi beberapa bagian dengan melihat beberapa
sisi, yaitu:
a. Dilihat dari sisi manfaat dan mafsadah, yaitu:
1. Mubah yang apabila dilakukan atau ditinggalkan tidak
membahayakan.
2. Mubah yang apabila dilakukan tidak ada bahaya, tetapi
hakikatnya perbuatan itu diharamkan atau diwajibkan.
3. Mubah yang pada dasarnya bersifat membahayakan dan tidak
boleh dilakukan menurut syara’, lantaran Allah memaafkan
pelakunya, perbuatan tersebut berubah menjadi mubah.
b. Dilihat dari sisi statusnya yang juz’iy dan kuliy, yaitu:
1. Mubah yang hukum kemubahannya secara juz’iy, bisa berubah
menjadi wajib, jika dilihat dari keseluruhan atau kepentingan
umum secara keseluruhan.
2. Mubah yang hukum kemubahannya secara juz’iy, berubah
menjadi mandzub jika dilihat dari segi kuli.
3. Mubah yang hukum kemubahnnya secara juz’iy, bisa berubah
menjadi diharamkan jika dilihat dari segi kulli.

6
Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih,300-301.

7
al-Hasyimiy,Ilmu Ushul Fiqh,181.

8
Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih,300.
4. Mubah yang hukum kemubahnnya, berubah menjadi makruh
jika dilihat dari akibat negatif dari perbuatan itu secara kulli.9
CATATAN DIILLLL....

.PENGERTIAN HUKUM
.MENULIS DALIL
.MBENERNE FOTE NOTE
.NGOREKSI TAKLIFI
.NGGABUNGNE AMBEK WAD’I
.PERBEDAAN TAKLIFI &
WAD’I

9
al-Hasyimiy,Ilmu Ushul Fiqh,183-186.

Anda mungkin juga menyukai