Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap amal perbuatan manusia di muka bumi ini terutama umat islam diatur dengan
hukum – hukum Allah SWT. Dalam agama islam, hukum-hukum Allah SWT tersebut biasa
dikenal dengan hukum syara’. Dengan adanya hukum-hukum ini, diharapkan umat islam
dimuka bumi ini dapat beribadah sesuai dengan syariat atau tuntunan islam yang benar yaitu
sesuai dengan dasar hukum islam yang berlaku yakni Al Qur’an, Al-hadits maupun sumber
hukum islam yang lain seperti Ijma’ dan Qiyas.
Hukum syara’ ini sangat penting untuk dipelajari karena peraturannya yang bersifat
mengikat bagi seluruh umat islam di dunia terutama bagi mereka yang sudah mampu untuk
dikenai kewajiban menunaikan ibadah sesuai dengan syariat islam (baligh).
Untuk itu, sebagai umat islam supaya amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT
hendaknya kita mau belajar untuk lebih memahami tentang hukum-hukum islam yang
berlaku. Agar kita termasuk ke dalam hamba Allah yang senantiasa bertaqwa yaitu
menjalankan segala apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangan-
Nya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu definisi hukum?
2. Apa saja pembagaian hukum taklifi dan wadh’i?
3. Bagaimana pengertian dan bentuk-bentuk hukum taklifi?
4. Bagaimana pengertian dan bentuk-bentuk hukum wad’i?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui definisi hukum
2. Untuk Mengetahui pembagaian hukum taklifi dan wadh’i
3. Untuk Mengetahuin pengertian dan bentuk-bentuk hukum taklifi
4. Untuk Mengetahui pengertian dan bentuk-bentuk hukum wad’i

1
BAB II

PEMBAHSAN

A. Pengertian Hukum
Menurut etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah (alman’u)” atau
“memutuskan (al-qadha)”. Hukum juga berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain
(itsbat syai’ ‘ala syai’). Menurut terminologi ushul fiqh hukum berarti “khitab Allah yang
mengatur amal perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk
melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menerapkan
sesuatu sebagai sebab, syarat, dan mani’).”
Menurut Ushuliyun (Ulama ahli Ushul Fiqih) hukum adalah titah Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan maupun
wadh’i. Sedang menurut Fuqaha’ (Ulama ahli fiqih), hukum adalah sifat yang bersifat syar’i
yang merupakan pengaruh dari perintah Allah. Atau pengaruh perintah Allah yang berkaitan
dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntunan, pilihan, maupun
wadh’i.

B. Pembagian Hukum Taklifi dan Wadh’i


1. Pembagian Hukum Taklifi Menurut Fuqaha
1) Wajib, yaitu tuntunan yang pasti agar suatu perbuatan dilaksanakan.
Apabila perbuatan tersebut dilakukan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
mendapat dosa. Contohnya sholat dan puasa ramadhan. Dilihat dari segi yang dibebani
kewajiban, dibagi menjadi wajib ‘ain dan wajib kifa’i (kifayah).
Wajib ‘ain dibebankan pada orang yang sudah baligh dan berakal tanpa terkecuali,
misalnya: kewajiban melaksanakan shalat fardhu, puasa di bulan ramadhan dan menjauhi
hal-hal yang diharamkan sedangkan wajib kifa’i dibebankan kepada seluruh mukallaf tetapi
dapat diwakilkan oleh sebagian umat Islam, contoh : sholat jenazah, menjawab salam ketika
berkumpul bersama orang banyak, jihad, amar ma’ruf nahi munkar. Dilihat dari segi
kandungan perintah, wajib dibagi menjadi wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.
Wajib mu’ayyan objeknya sudah tentu dan tidak ada pilihan selain yang telah
ditentukan. Misalnya : shalat fardhu, puasa Ramadhan dan lain sebagainya. Sedangkan wajib
mukhayyar yaitu kewajiban tertentu yang boleh dipilih oleh mukallaf.

2
Contoh kewajiban membayar kifarat sumpah seperti pada :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahsumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya). (QS. Al-Maidah ayat 89).”
Dilihat dari segi keterikatan waktu, wajib dibagi menjadi wajib muthlaq dan mu’aqqat
(muqayyad). Wajib muthlaq pelaksanaannya tidak terikat atau dibatasi waktu tertentu, contoh
: mengqadha puasa ramadhan dan membayar kaffarat sedangkan wajib mu’aqqat
pelaksanaanya terikat atau dibatasi waktu tertentu,tidak boleh didahulukan atau di akhirkan
dari waktu yang ditentukan contoh : shalat fardhu, puasa Ramadhan.
Wajib Mu’aqqat dibagi menjadi tiga yaitu :
a) Wajib Muwassa’ yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang sehingga
dalam waktu itu bias dikerjakan amalan yang sejenis, misalnya : ketika sudah masuk
waktu shalat zuhur, seseorang bisa melaksanakan shalat zuhur dan shalat sunnah
rawatib.
b) Wajib Mudhayyaq yaitu kewajiban yang waktunya ditentukan secara khusus (batas
waktunya sempit) hanya diperuntukkan pada suatu amalan dan waktu itu tidak bisa
digunakan untuk amalan lain, misalnya : puasa ramadhan harus dilaksanakan sebulan
penuh sehingga pada waktu itu tidak bisa diselingi puasa sunnah.
c) Wajib dzu asy-syibhain yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang namun
tidak bisa digunakan untuk amalan yang sejenis secara berulang-ulang. Misalnya :
waktu haji itu cukup lapang, seseorang bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada
waktu itu berkali-kali, namun amalan yang berulang itu tidak diperhitungkan syara’
sebagai suatu kewajiban. Akan tetapi, Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa waktu
untuk ibadah haji termasuk waktu Wajib al-muthlaq, karena seseorang boleh
melaksanakan ibadah haji itu kapan saja ia mau selama ia masih hidup.
Para Ulama Ushul Fiqh juga mengemukakan bahwa dalam persoalan wajib Mu’aqqat
juga dibahas tentang :

3
a) ‘Ada’, menurut Ibnu Al-Hajib yaitu melaksanakan suatu amalan untuk pertama
kalinya dengan waktu yang ditentukan syara’.
b) I’adah yaitu amalan yang dilakukan untuk kedua kalinya dengan waktu yang
ditentukan karena amalan yang pertama mengandung uzur`.
c) Qadha yaitu amalan yang dikerjakan di luar waktu yang ditentukan sifatnya sebagai
pengganti.
Hukum wajib dari segi ukuran yang diwajibkan :
a) Wajib al-muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukan oleh syara’ dengan ukuran
tertentu dan tidak boleh ditambahi atau dikurangi. Misalnya : jumlah harta yang wajib
dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
b) Wajib ghairu al-muhaddad yaitu kewajiban yang ukuran dan jumlahnya tidak
ditentukan oleh syara’ akan tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat
islam. Misalnya : penentuan hukuman dalam jarimah ta’zir (tindak pidana di luar
hudud dan qishash) diserahkan kepada qadhi’ (hakim).
2) Mandub atau sunnah, yaitu khitab syari’ yang menuntut suatu perbuatan untuk
dilakukan atau tidak harus dilakukan .
Orang yang melakukan mendapat pahala sedangkan yang tidak melakukan tidak
berdosa.
Hukum sunnah menurut Abdul Karim Zaidan :
a) Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang biasanya dilakukan
oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkan. Misalnya : shalat fajar
b) Sunnah ghairumuakkadah (sunnah biasa), yaitu perbuatan yang dilakukan Rasulullah,
namun bukan menjadi kebiasaannya. Misalnya : shalat sunnah dua rakaat sebanyak
dua kali sebelum shalat zuhur.
c) Sunnah al-Zawait (sunnah tambahan), yaitu meliputi kebiasaan sehari-hari Rasululla
sebagai manusia biasa. Misalnya : adab–adab yang dicontohkan Rasulullah sebelum
makan , sebelum tidur maupun ketika berpakaian.
3) Haram yaitu khitab syari’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang tegas.
Orang yang melakukan akan mendapat dosa sedang yang meninggalkan akan
mendapat pahala. Haram terbagi menjadi dua yaitu :
a) Haram lidzatih, yaitu sesuatu yang keharaman melakukannya telah ditetapkan, karena
mengandung kemudharatan. Contoh larangan berzina dalam QS. Al-Isra: 32.

4
b) Haram lighairih, yaitu sesuatu yang keharamannya tidak ditetapkan, tapi ada sesuatu
yang menyebabkannya haram. Contohjual beli pada waktu adzan sholat Jum’at,
mentalak istri di waktu haid, jual beli dengan menipu.
4) Makruh. Menurut bahasa makruh berarti sesuatu yang dibenci.
Sedangkan menurut istilah makruh yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas. Orang yang melakukan tidak mendapat dosa,
sedangkan yang meninggalkan mendapat pahala.
Menurut ulama Hanafiyah makruh terbagi menjadi dua, yaitu :
a) Makruh tahrim, yaitu tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang pasti tetapi didasarkan pada dalil yang zhanni. Menurut mayoritas
ulama, makruh ini sama dengan haram dari segi sama - sama diancam dengan siksaan.
Misalnya : larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain,
larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum laki – laki, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW: “Keduanya ini (emas dan sutra) haram bagi umatku yang
laki – laki dan halal bagi wanita. (H.R. Abu Daud, An-Nasai’, Ibn Majah dan Ahmad
Ibn Hanbal)
b) Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan untuk meninggalkannya. Contoh
memakan daging kuda disaat sangat membutuhkannya ketika perang, sebagian
kalangan hanafiyah, berpendapat bahwa pada dasarnya memakan daging kuda
hukumnya haram, karena sangat butuh dalam perang, maka hukumnya makruh.
5) Mubah, Secara bahasa mubah berarti sesuatu yang diizinkan.
Kata ini bersinonim dengan kata halal. Menurut istilah mubah yaitu khitab syari’ yang
mengandung pilihan antara mengerjakan atau meninggalkannya. Orang yang mengerjakan
maupun meninggalkan tidak mendapat pahala maupun dosa. Abu Ishaq dalam bukunya
membagi mubah menjadi tiga yaitu :
a) Mubah yang menjadikan seseorang wajib untuk melakukannya, seperti makan dan
minum hukumnya mubah akan tetapi menjadi wajib karena untuk memperoleh energi
untuk beribadah kepada Allah SWT.
b) Sesuatu dianggap hukumnya mubah apabila dilakukan sekali-kali bukan setiap waktu
seperti bermain dan mendengarkan nyayian akan tetapi menjadi haram hukumnya jika
menghabiskan waktu seharian hanya untuk bermain dan mendengarkan nyanyian.
c) Mubah yang berfungsi untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Seperti membeli
perabotan rumah tangga untuk kesenangan.

5
Hukum mubah menurut Ulama Ushul Fiqh, dari segi kemudharatandan
kemanfaatannya :
a) Mubah yang jika dilakukan tidak mengandung mudharat. Misalnya : makan dan
minum.
b) Mubah yang jika dilakukan tidak mengandung mudharat tetapi pada dasarnya itu
haram dilakukan. Misalnya : seseorang dalam keadaan terdesak memakan daging babi
karena tidak ada makanan lain selain itu, jika tidak memakannya orang tersebut bisa
meninggal. Selain itu hukumnya menjadi mubah ketika meninggalkan sesuatu yang
pada dasarnya wajib dilakukan karena darurat. Misalnya : berbuka puasa bagi ibu
hamil, musafir, maupun ibu yang menyusui anaknya.
c) Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudharat tidak boleh dilakukan oleh syara’ tetapi
karena Allah memaafkannya maka hukumnya menjadi mubah. Misalnya :
mengerjakan perbuatan haram sebelum islam meliputi menikahi dua orang wanita yag
bersaudara, menikahi ibu tiri, memiliki istri lebih dari empat, meminum khamr dan
sebagainya.

C. Pengertian dan Bentuk-bentuk Hukum Taklifi


1. Pengaertian Hukum Taklifi
Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ pada dua macam,
yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh
adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang
mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan,
atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat1.
Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan2. Hal senada juga
diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah
yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas
dasar takhyir3.
Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadh’i
secara sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan

.H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm41. 1


.Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 296 .2
Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, (bandung: CV Pustak Setia, 1998), hlm. 216 .3

6
yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan
untuk melakukan hukum Taklifi)4.
Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau
pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i adalah hukum yang
menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib
dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari
pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat
maghrib.
Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu
berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada
yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia5.
1) Contoh firman Allah yang bersifat menuntut untuk dikerjakan :
An-Nur 56
َ‫صلَو ةَ َواَ تُوْ اال َّز َكو ةَ َواَ ِط ْيعُو اا ل َّر سُوْ َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬
َّ ‫َواَقِ ْي ُمو اا ل‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat”

2) Contoh firman Allah SWT yang dilarang untuk dikerjakan


AL-Isra’ 32

ِّ ‫َوالَتَ ْق َر بُو اا‬


ً‫لز نَ اِ نَّهُ َكا نَ فَا ِح َشةً َو َسا َء َسبِ ْيال‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan
suatu jalan yang buruk”

3) Contoh firman Allah yang bersifat memilih (fakultatif)


An-Nisa’ ayat 101
‫صلَو ِة اِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَ ْن يَّ ْفتِنَ ُك ْم ا لَّ ِذ‬ ُ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح اَ ْن تَ ْق‬
َّ ‫ص ُر وْ ا ِمنَ ا ل‬ َ ‫ض فَلَي‬ِ ْ‫ض َ•ر ْبتُ ْم فِى االَ ر‬ َ ‫َواِ َذا‬
‫ْينَ َكفَ ُر وْ ا اِ َّن ْال َكفِ ِر ْينَ َكا نُوْ ا لَ ُك ْم َع ُد ًّو ا ُّمبِ ْينًا‬

“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar
salat jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagimu”.

.,.H. Satria Efendi, Ibid. 4


,.Lihat H. Satria Efendi, Ibid. 5

7
2. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama yang menjelaskan mengenai bentukbentuk dari hukum
taklifi yaitu :
1) Menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin.
Menurut mereka bentuk-bentuk hukum taklifi ada lima macam yaitu :
a) Ijab yaitu titah Allah SWT untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan.
Misal, dalam surah An-Nur ayat 56.
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul, agar kamu
diberi rahmat. (QS. An-Nur : 56)
b) Nadb yaitu titah Allah SWT yang tidak bersifat memaksa atau mengikat, melainkan
hanya sebagai anjuran, sehingga tidak ada larangan bagi seseorang yang
meninggalkannya. Orang yang meninggalkan tidak dikenai sanksi. Misal terdapat
dalam :
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayaisebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah Al-Baqarah ayat 283)
Indikasi yang mengubah dari perintah (wujub) menjadi nadb yaitu pada
kelanjutan ayat diatas yakni pada Surah Al-Baqarah ayat 283, yaitu Allah menyatakan
jika ada rasa saling mempercayai, maka penulisan hutang tersebut tidak begitu
penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut nadb sedangkan perbuatan yang dituntut
untuk dikerjakan (menuliskan utang - piutang) disebut mandub, akibat dari tuntutan
Allah diatas disebut nadb.
c) Tahrim yaitu titah Allah SWT yang menunjukkan adanya larangan dalam melakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa atau larangan yang pasti. Akibat
dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dilarang atau dituntut itu disebut
haram. Misal firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 151.
“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anakanak

8
kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).” (QS. Al-An’am : 151)
d) Karahah yaitu titah Allah SWT atau tuntutan yang menunjukkan adanya larangan
mengerjakan sesuatu dengan larangan yang tidak pasti atau tidak memaksa. Seseorang
yang melakukan perbuatan yang dilarang disini tidak dikenai sanksi. Akibat dari
tuntutan ini disebut karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misal hadist
Nabi Muhammad SAW :
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. (H.R. Abu Daud, Ibn
Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)
Khitab hadist ini disebut karahah dan akibat dari khitab ini disebut dengan
karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khitab ini disebut makruh.
e) Ibahah yaitu titah Allah SWT yang bersifat fakultatif, yaitu memberikan kebebasan
kepada mukallaf antara melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan semua
itu sama saja. Akibat titah Allah ini disebut dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh
dipilih disebut mubah. Misalnya firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-
binatang had-ya, dan binatangbinatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah ayat 2)
2) Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyyah :
a) Iftiradh yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa berdasarkan
dalil yang qath’i. Misalnya, tuntutan untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat.

9
Ayat dan hadist yang mengandung tuntutan mendirikan shalat dan membayar zakat
sifatnya qath’i.
b) Ijab yaitu tuntutan Allah bersifat memaksa pada mukallaf untuk melaksanakan
perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni (relatif benar). Misal, kewajiban
membayar zakat fitrah, membaca surah Al- Fatihah dalam shalat, dan berkurban.
Perbuatan tersebut menurut ulama Hanafiyah, tuntutannya bersifat ijab dan wajib
dilaksanakan, tetapi kewajibannya didasarkan tuntutan yang zhanni.
c) Nadb maksudnya sama dengan nadb yang dikemukakan jumhur ulama Ushul
Fiqh/Mutakallimin.
d) Ibahah maksudnya juga sama seperti yang dikemukakan jumhur ulama Ushul
Fiqh/Mutakallimin.
e) Karahah Tanzihiyyah yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan
perbuatan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya : larangan berpuasa
pada hari Jum’at. Karahah tanzihiyyah di kalangan ulama Hanafiyyah pengertiannya
sama dengan karahah pada ulama Ushul Fiqh/mutakallimin
f) Karahah Tahrimiyyah yaitu tuntutan Allah SWT kepada mukallaf untuk
meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa atau mengikat, tetapi didasarkan
dalil yang relatif benar (zhanni). Apabila perbuatan ini dilakukan maka akan dikenai
sanksi. Hukum ini sama dengan haram seperti pendapat Ulama Ushul
Fiqh/Mutakallimin.
g) Tahrim yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan pekerjaan secara
memaksa dengan didasarkan dalil yang qath’i. Misalnya, larangan membunuh orang
(QS. Al-Isra’ : 23) dan berbuat zina (QS. An-Nur : 2)
Yang membedakan pembagian hukum taklifi menurut pendapat Jumhur Ulama Ushul
Fiqh dengan Ulama Hanafiyyah yaitu pada sisi kekuatan dalil yang digunakan.

D. Pengertian dan Bentuk-bentuk Hukum Wadh’i


1. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lainnya.
Contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab :

10
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikan
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (QS. Al-Isra’
ayat 78)
Contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah : 6)
Khitab Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang terdapat dalam suatu
hadist yang artinya :
“Pembunuh tidak mendapat waris.” (HR. Nasai dalam Sunan Al-Kubra
dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra).
Hukum wadh’i dibagi menjadi :
1) Sebab, menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada
sesuatu yang lain”. Contoh terbenamya matahari menjadi sebab bagi seorang muslim
wajib melaksanakan sholat maghrib.
Ulama ushul fiqh membagi sebab menjadi dua, yaitu :
a) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya.
Contoh datangnya hilal ramadhan menjadi sebab kewajiban berpuasa, kekerabatan
menjadi sebab adanya hak saling mewarisi.
b) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuanuannya.
Contoh perjalanan jauh menjadi sebab bolehnya berbuka puasa disiang hari pada
bulan ramadhan, pembunuhan menjadi sebab adanya qishash, akad nikah menjadi
sebab halalnya hubungan suami istri.
2) Syarat, menurut bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain
atau sebagai tanda.
Para ulama ushul membagi syarat menjadi dua, yaitu

11
a) Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat itu sendiri (ditetapkan
oleh Allah SWT). Contoh : keadaan suci merupakan syarat sahnya shalat seperti pada
QS. An-Nisa 6
“keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi
mubadzir) bagi seorang anak yatim, dijadikan oleh syariat sebagai syarat wajib
menyerahkan harta miliknya sebagaimana terdapat pada QS. An-Nisa ayat 6.
b) Syarat Ja’ly (syarat buatan), yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf itu
sendiri.
Contoh : syarat antara penjual dan pembeli untuk mengantarkan barang sampai tujuan
tanpa tambahan biaya, seorang suami berkata kepada istrinya “jika engkau memasuki
rumah si fulan, maka jatuhlah talak mu 1”, dan seperti pada pernyataan seseorang
bahwa ia bersedia menjamin membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan tidak
mampu membayar utangnya.
3) Mani’, secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu” maksudnya sesuatu yang
karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Mani’ ada dua
macam, yaitu :
a) Mani’ terhadap hukum. Contoh perbedaan agama dalam hal waris mewarisi adalah
suatu penghalang (mani’).
b) Mani’ terhadap sebab hukum. Contoh: seseorang berkewajibanmmembayar zakat
tetapi hartanya belum memenuhi nishab maka ia menjadi tidak wajib zakat.
4) Shihhah (sah) yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’ (penghalang).
Misalnya : mengerjakan shalat Zuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab), sudah
dalam keadaan berwudhu (syarat), tidak sedang haid, nifas dan sebagainya (mani’)`.
5) Bathil (tidak sah) yaitu tidak terpenuhinya syarat dan rukun pada perbuatan mukallaf
sehingga tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Misalnya : shalat yang tidak sah tidak dapat membebaskan seseorang dari
kewajibannya untuk melaksanakan shalat, jual beli yang tidak sah mengakibatkan
tidak berpindahnya kepemilikan barang pada pembeli dan kepemilikan harga pada
penjual.
6) Azimah adalah hukum – hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-
Nya sejak semula, sehingga seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Misalnya : jumlah
rakaat shalat zuhur empat rakaat.

12
7) Ruhsah (keringanan) yaitu hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada
karena terdapat uzur (halangan). Misalnya : seseorang yang melaksanakan perjalanan
jauh dapat mengqashar shalat zuhur menjadi dua rakaat.

2. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i

No Hukum Taklifi Hukum Wadh’i


1. Mengandung tuntutan untuk Mengandung keterkaitan (hanya
melaksanakan, meninggalkan ataupun menghubungkan) antara dua persoalan
memilih antara melaksanakan atau yang salah satu diantara nya bisa
meninggalkan suatu perbuatan. dijadikan sebab, penghalang, atau
Misalnya : shalat fardhu syarat. Misalnya : menghubungkan
(melaksanakan), berzina antara tergelincirnya matahari dengan
(meninggalkan), makan dan kewajiban shalat zuhur, meng
minum (mengandung pilihan) hubungan antara keadaan suci dengan
shalat.
2. Merupakan tuntutan langsung Tidak dimaksudkan untuk langsung
untuk dilaksanakan, dilakukan. Tetapi hukum ini
ditinggalkan atau memilih ditentukan syari’ agar hukum taklifi
antara dilaksanakan atau dapat dilaksanakan. Misalnya :
ditinggalkan. membayar zakat hukumnya wajib,
namun kewajiban ini tidak bisa
langsung dilaksanakan jika harta yang
dimiliki tidak mencapai nishab
tertentu dan belum haul.
3. Berada dalam kesanggupan dan Ada yang berada dalam kesanggupan
kemampuan mukallaf. mukallaf, misalnya : transaksi jual beli
menjadi sebab adanya kepemilikan,
berthaharah sebagai syarat sah shalat,
pembunuhan menjadi penghalang hak
mewarisi. Dan ada yang di luar
kesanggupan mukallaf, misalnya :
hubungan kekerabatan menjadi sebab
adanya hak mewarisi, haid menjadi

13
penghalang shalat, baligh menjadi
syarat sahnya jual beli.
4. Ditujukan kepada para Ditujukan kepada seluruh umat
mukallaf (orang-orang yang manusia baik mukallaf atau belum
sudah baligh dan berakal) misalnya : sahnya jual beli anak-anak
yang belum baligh .

BAB III

PENUTUP

14
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah kami susun dapat kami simpulkan bahwa :
1. Hukum Syara’ adalah sifat yang bersifat syar’i, merupakan pengaruh dari titah Allah
SWT terhadap perbuatan mukallaf yang bisa berupa tuntutan, pilihan ataupun wadh’i.
2. Hukum Syara’ secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu :
Hukum Taklifi adalah firman Allah SWT yang berisi tuntunan untuk dikerjakan atau
ditinggalkan atau berisi pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan. Terbagi menjadi:
Pertama Menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin. Hukum taklifi
terbagi menjadi : Ijab, Nadb, Tahrim, Karahah, Ibahah.
Kedua, menurut ulama Hanafiyyah hukum taklifi terbagi menjadi : Iftiradh,
Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah Tanzihiyyah, Karahah Tahrimiyyah, Tahrim.
Bentuk – bentuk hukum taklifi menurut Fuqaha’ yaitu :
1. Wajib terbagi menjadi :
a) Dari segi yang dibebani kewajiban : wajib ‘ain dan wajib kifa’in(kifayah).
b) Dari segi kandungan perintah : wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.
c) Dari segi keterikatan terhadap waktu : wajib muthlaq dan mu’aqqat (muqayyad).
Wajib Mu’aqqat : Wajib Muwassa’, Wajib Mudhayyaq, Wajib dzu asy-syibhain.
Dalam persoalan wajib Mu’aqqat juga dibahas tentang :‘Ada’, I’adah, Qadha.
d) Dari segi ukuran : Wajib al-muhaddad, Wajib ghairu al-muhaddad
2. Mandub atau sunnah : sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), Sunnah
ghairumuakkadah (sunnah biasa), Sunnah al-Zawait (sunnah tambahan)
3. Haram : Haram lidzatih dan Haram lighairih.
4. Makruh : makruh tahrim, makruh tanzih.
5. Mubah
Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lainnya. Terdiri dari : sebab, syarat,
mani’(penghalang), shihhah (sah), Bathil (tidak sah), azimah, ruhsah (keringanan).

Daftar Pustaka

Hasbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

15
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Syafe’i Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
http://legacy.quran.com/9/103. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016.
http://www.quran.mu/surah-an-nur.html. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016.
http://www.theonlyquran.com. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016.
http://www.quran.mu/surah-al-jumuah.html. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016.
http://www.quran30.net/2012/10/surah-an-nisa-translation-english.html. Diakses pada
tanggal 5 Oktober 2016.
https://alquranmulia.wordpress.com/2014/12/10/tafsir-ibnu-katsir-surahal- maa-idah-ayat-6-
5/. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2016.

16

Anda mungkin juga menyukai