Menurut ulama ushul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran
dan Hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah baligh
dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu
sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Ulama ushul fikih membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu
hukum taklifiy dan hukum wadh’iy, sebagai berikut :
A. HUKUM TAKLIFY
Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk
melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklify tersebut
dibagi menjadi lima macam, yaitu:
Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan
tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya
dikenai hukuman.
An-nadb, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu
perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu
dikerjakan maka pelakunya akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi
jika ditinggalkan tidak akan mendapat hukuman (tidak berdosa).
Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan Hadis) yang mengandung
pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu
menjadikan tuntutan tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk
meninggalkan suatu perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan
juga, maka pelakunya tidak dikenai hukuman.
At-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan itu wajib dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka
pelakunya akan mendapat hukuman (dianggap berdosa).
B. HUKUM WAD’IY
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa
terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya
sesuatu (hukum). Ulama ushul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu
terdiri dari 3 macam:
1. Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash
(Alquran dan Hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya
hukum. Misalnya: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya Shalat
Zhuhur, terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Shalat Maghrib.
Dengan demikian, jika matahari belum tergelincir maka Shalat Zhuhur
belum wajib dilakukan.
2. Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi
keberadaan hukum syara’ tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada,
maka hukum pun tidak ada. Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah
syarat wajibnya zakat harta perniagaan. Jika tidak ada haul, tidak ada
kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3. Mani (penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan
tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya: najis
yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan shalat
menyebabkan shalatnya tidak sah (menghalangi sahnya shalat).
1. AL QUR’AN
a. Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-
angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa
turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode
Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian
Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah
berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini
disebut surat Madaniyah.
b. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai
sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks
yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin
Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa
orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin
Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain
juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
2. HADITS / SUNNAH
Hadits dalam bahasa Arab: الحديثmenurut istilah syar’i adalah
sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan,
dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-
Quran yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam
memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-
Qur'an.
Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada
dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada
urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi
untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Meski pada masa itu Al-Hadist berada pada ingatan para sahabat,
namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan
pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya ialah :
1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As-Shadiqah)
2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai hukum-hukum diyat
yaitu soal denda atau ganti rugi).
b. Masa Penggalian
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya
tidak menimbulkan masalah mengenai Al-Hadits karena sahabat besar masih
cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai
tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik
mengenai Al-Hadist ataupun Al-Quran. Dan diantara mereka masih sering
bertemu untuk berbagai keperluan.
c. Masa Penghimpunan
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam
yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang
bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan
kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat Al
Hadist Maudlu' (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung
guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan
keinginan/perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka
tidak mungkin memalsukan Al-Quran, karena selain sudah didiwankan
(dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang
bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al-Quran belaka untuk memenuhi
keinginan atau pahamnya.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 -
101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar
dalam penghimpunan Al-Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk
menghimpun Al-Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al
Hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim
bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az-Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742
M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau (Az-
Zuhri) menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin,
lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian
dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang
apa saja).
d. Struktur Hadits
Secara struktur, hadits terdiri atas dua komponen utama yakni
sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Contoh:
“Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh
Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau
bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits
riwayat Bukhari)
1. Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri
atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut
dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad,
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh
sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi
Muhammad SAW
2. Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan
hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT,
Islam sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran
yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada
surat An-Nahl ayat 67 : ”...Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkannya”.
Oleh karena itu, apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak
terdapat di Al-Quran maupun Hadist, maka diperintahkan untuk berijtihad
dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan
Hadist.
Adapun macam-macam bentuk ijtihad yang dikenal dalam syari’at Islam, yaitu:
1. Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat
Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang
hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah
fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat.
6. Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan
telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu
apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus
berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia
harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
Al-Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd, (2004), Metode Tafsir Sastra.
(terjemahan Khairon Nahdiyyin), Yogyakarta, Adab Press
Al-Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi, (2001),
Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4, (terj oleh Bahrun
Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo
Ali, Muhammad Daud, (1997), Pendidikan Agama Islam , Rajawali Pers,
Al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil, (2006), Pengantar Studi Ilmu Al-
Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an) , Terjemahan: H. Ainur Rafiq El-Mazni,
Lc, MA, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, (2001), Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Jakarta,
Lentera Antar Nusa
Ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi, (2002), Ilmu-ilmu Al Qur'an:
Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an, Semarang, Pustaka Rizki
Putra
Ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-
Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS).
Bandung. al-Ma’arif.
Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al-Qur'an di Indonesia.
Solo. Tiga Serangkai.
Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatab.
(terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
Chaidir, Zulfarizal, dkk.. Agama Islam 1 untuk SMA Kelas X. Yudhistira,
2007.
Depag RI, (1989), Alquran dan terjemahnya, Bandung, Gema Risalah Press
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus, (1989), Al-Qur'an, Sumber Hukum
Islam yang Pertama, Bandung, Penerbit Pustaka
Ichwan, Muhammad Nor, (2001), Memasuki Dunia Al-Qur’an, Semarang,
Lubuk Raya
Ijtihad, www. wikipedia.com. 17 Februari 2008.
Ilyas, Yunahar, (1997), Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan
Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Mahfudz, Ali, dkk. (tt), Fiqih untuk Madrasah Aliyah, Surakarta, CV.
Alfadinar
Misrawi, Zuhairi, dkk, (2003), Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat,
Jakarta, KIKJ
Qardawi, Yusuf, (2003), Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an,
(terjemahan: Kathur Suhardi), Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
Qardhawi, Yusuf, (1993), Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam , Jakarta,
Pustaka Mantiq
Shihab, Quraish M, (1993), Membumikan Al-Qur'an, Bandung, Mizan
--------------------Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,
Jilid 1, Jakarta, Lentera hati
-------------------- (2004), Tafsir 'Ilmy: Memahami Al-Qur'an Melalui
Pendekatan Sains Moder, Yogyakarta, Menara Kudus
Syamsuri, (2004), Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 1 untuk Kelas X .
Jakarta, Penerbit Erlangga
Wahid, Marzuki, (2005), Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan
Barat, Bandung, Pustaka Setia