Anda di halaman 1dari 4

Agama Islam menetapkan aturan-aturan hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

hidup orang-orang Muslim. Secara umum, aturan hukum dalam syariat Islam terbagi menjadi
dua macam, yaitu hukum taklifi (hukum untuk penugasan) dan hukum  wadh'i (hukum
kondisional). Ketaatan pada kedua macam hukum itu, menurut para ahli usul fikih,
merupakan wujud dari kesadaran beragama umat Islam.
Para ahli usul fikih membagi hukum  taklifi menjadi tiga kategori: perintah, larangan, dan
pilihan, untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Dari ketiga kategori itu, mereka
kemudian membaginya lagi menjadi lima macam, yaitu wajib, haram,  mandub (sunnah),
mubah, dan makruh.
Suatu perintah tergolong wajib atau fardhu apabila perintah itu diiringi dengan janji
pemberian pahala bagi yang menjalankan dan ancaman siksaan bagi yang meninggalkan.
Perintah wajib ini didasarkan pada dalil-dalil yang sudah  qath'i atau pasti, yang tidak
diragukan lagi kesahihannya.
Untuk itu, sebagian ulama berpendapat, orang yang mengingkari perintah wajib ini tergolong
orang yang kufur. Contohnya adalah orang mukalaf (yang telah dibebani tugas agama) yang
menolak menegakkan shalat, tidak mengerjakan puasa Ramadhan, atau menolak membayar
zakat.
Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan sesuatu dengan
disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi yang melanggarnya. Menurut
Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil  qath'i (pasti) yang tidak
mengandung keraguan sedikit pun. Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di
antaranya memakan bangkai, membunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri.
Adapun perbuatan yang  mandub adalah perbuatan yang pelakunya akan diberikan pahala,
sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa. Dengan kata lain, yang
mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada yang tidak mengerjakannya. Contoh dari
amalan yang  mandub di antaranya adalah shalat sunah dua rakaat sebelum dan sesudah
shalat wajib.
Menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya  Al-Muwafaqat , setiap amalan  mandub (sunah)
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dapat menyempurnakan ibadah-ibadah wajib, di
samping juga mendorong pelakunya agar secara berkelanjutan melaksanakan ibadah-ibadah
wajib. ''Barang siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia juga menjalankan
ibadah-ibadah wajib,'' kata Imam Asy-Syatibi.
Sementara itu, mubah adalah suatu hukum di mana Allah memberikan kebebasan kepada
orang-orang  mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau tidak. Menurut Imam Asy-
Syaukani, orang yang mengerjakan atau meninggalkan amalan yang mubah tidak dikenakan
dosa, seperti makan, minum, tertawa, dan lain-lain.
Kategori terakhir dari hukum  taklifi adalah makruh. Seperti halnya haram adalah lawannya
wajib, makruh adalah lawannya  mandub . Menurut para ahli usul fikih, makruh merupakan
larangan yang apabila dikerjakan tidak menimbulkan dosa, tetapi bagi yang mampu
meninggalkannya akan mendapatkan pahala. Dengan kata lain, orang yang meninggalkannya
lebih baik daripada yang melakukannya. Misalnya, orang yang diam lebih baik daripada
orang yang banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Hukum  wadh'i 
Pembahasan hukum dalam ilmu usul fikih tidak berhenti pada hukum  taklifi saja. Ada pula
hukum yang menghubungkan dua hal dan disebut dengan hukum  wadh'i atau hukum
kondisional. Yang dimaksud dengan menghubungkan dua hal di sini adalah kondisi yang satu
menjadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain.
Contoh hubungan yang menjadi sebab adalah ketika seseorang telah menyaksikan hilal pada
1 Ramadhan, diwajibkan baginya untuk berpuasa Ramadhan. Berarti, melihat hilal menjadi
sebab bagi wajibnya puasa. Rasulullah SAW bersabda, ''Berpuasalah kalian karena melihat
bulan (1 Ramadhan) dan berbukalah karena melihat bulan (1 Syawwal).''
Adapun contoh hubungan yang menjadi syarat bagi yang lain adalah mengambil air wudhu
menjadi syarat bagi sahnya shalat; adanya saksi menjadi syarat bagi sahnya pernikahan; niat
menjadi syarat bagi sahnya puasa, dan lain-lain.
Sedangkan, contoh hubungan yang menjadi penghalang ( mani' ) ialah pembunuhan atau
murtad (keluar dari Islam) menjadi halangan bagi seseorang untuk memperoleh harta
warisan. Nabi SAW bersabda, ''Seorang pembunuh tidak berhak atas pembagian harta
warisan.'' Demikian pula dengan gila dan tidak sadar diri yang menjadi penghalang bagi
wajibnya shalat.
Tiga golongan
Ada tiga golongan manusia yang tidak dikenai hukum apa pun. Hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah RA menyebutkan, ketiga orang itu adalah orang
yang tertidur hingga bangun, anak kecil hingga dia baligh (dewasa), dan orang gila hingga dia
sembuh.
Sementara itu, Thamrin Zarkasyi dalam  Metodologi Hukum Islam menyebutkan, orang-
orang yang terhalang (tidak dibebani hukum) karena kurang kecakapan ( Awaridl al-
Ahliyyah ) adalah orang sakit, gila, kurang akal, lupa, tidur, pingsan, anak kecil, haid, nifas,
dan dalam perjalanan. ''Orang yang dipaksa juga tidak dibebankan sebuah hukum. Karena, ia
melakukan itu bukan atas kesadaran sendiri, melainkan karena paksaan dari pihak lain,''
terangnya.
Sumber-sumber Hukum Islam
Para ahli ilmu usul fikih sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas empat hal, yaitu
Alquran, sunah, ijmak, dan  qiyas . Sumber hukum yang pertama dan kedua merupakan
wahyu dari Allah yang tertulis. Sedangkan, sumber ketiga dan keempat tidak tertulis.
Alquran menempati posisi paling tinggi sebagai sumber hukum syariat karena diturunkan
langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan masih terpelihara keasliannya.
Allah berfirman, ''Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya
Kami benar-benar menjaganya.'' (QS Alhijr: 9).
Keaslian Alquran ini juga terbukti dari periwayatan yang sama dan berulang-ulang oleh
orang-orang yang tidak terbatas jumlahnya. Menurut Hassan Hanafi dalam bukunya 
Islamologi , hal ini menghindarkan kemungkinan adanya kesepakatan dusta antarmereka.
Apalagi, mereka tidak sedang dalam ancaman.
Urutan periwayatan Alquran pertama kali terjadi antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.
Nabi SAW menghafal dan membacakan Alquran itu di depan Jibril. Kemudian, Nabi SAW
membacakannya di depan para sahabat dan mereka pun menghafalnya. Lalu, tradisi
penghafalan ini dilanjutkan oleh para tabiin hingga sekarang ini.
Posisi kedua setelah Alquran adalah sunah. Cakupan sunah lebih luas dari hadis. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya  Ushul Fqih , sunah meliputi ucapan, tindakan, dan
ketetapan Nabi Muhammad SAW.
Abu Zahrah memberikan contoh dari ketiga macam sunah itu. Sunah ucapan, misalnya,
terdapat dalam sabda beliau, "Barang siapa tidur hingga meninggalkan shalat atau lupa,
kerjakanlah shalat (yang ditinggalkan itu) ketika ingat."
Contoh sunah tindakan adalah perintah beliau, "Lakukanlah shalat sebagaimana kalian
melihatku mengerjakan shalat." Dan, contoh dari sunah yang berupa ketetapan adalah sabda
Nabi SAW, "Belajarlah dariku, manasik haji kalian."
Ketiga macam sunah itu berfungsi sebagai penopang dan penyempurna Alquran dalam
menjelaskan hukum-hukum syariat. Menurut Imam Syafi'i, seperti dikutip oleh Abu Zahrah,
Alquran dan sunah harus tidak dibedakan untuk kepentingan penentuan hukum syar'i.
Keduanya saling mendukung dalam menjelaskan syariat.
Sumber hukum ketiga adalah ijmak. Hasan Hanafi mengungkapkan, ijma disahkan menjadi
dasar hukum syariah karena juga termasuk wahyu Allah. Menurutnya, wahyu terdiri atas
tingkatan-tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu Alquran; wahyu berupa penjelasan
detail dari Rasulullah berdasarkan bimbingan Allah, yaitu sunah; wahyu yang diturunkan
kepada umat sehingga mereka bersepakat pada suatu masalah, yaitu ijmak; dan wahyu yang
diturunkan kepada akal sesuai dengan Alquran, sunah, dan ijmak.
Pendapat Hassan Hanafi itu menemukan relevansinya dengan hadis Nabi SAW, ''Umatku
tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.'' Lantas, siapa yang pendapatnya masuk
dalam kategori ijmak? Tidak semua orang bisa masuk dalam ketentuan ijmak. Ijmak
dianggap sah apabila disepakati oleh para mujtahid yang dikenal ahli dalam ilmu agama,
jujur, tidak fasik dan ahli bid'ah, tidak gila, dan sebagainya.
Sumber syariat yang terakhir adalah  qiyas .  Qiyas disebut Al-Ghazali sebagai dalil akal.
Menurut para ahli usul fikih,  qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada dasar hukum
dari Alquran dan sunah ( nash ) dengan sesuatu yang ada dasar hukum dari  nash .
Salah satu contohnya adalah pengharaman arak (khamar). Alasan pengharaman arak terletak
pada sifatnya yang memabukkan. Alasan inilah yang menjadi  qiyas bagi minuman-minuman
selain arak yang juga memabukkan. Oleh karena itu, disepakati oleh para mujtahid bahwa
semua minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Akan tetapi, karena  qiyas ini hasil dari kerja akal, tidak semua ulama sepakat menjadikannya
dasar hukum syariat. Ulama Muktazilah, Sayaar an-Nazham, dan tokoh Mazhab Zhahiriyah,
Ibnu Hazm, secara tegas menolak  qiyas . Karena, menurut mereka, penerapan  qiyas berarti
mengingkari kesempurnaan Alquran dan hadis yang sudah mencakup berbagai macam
persoalan.
Kemaslahatan dalam Penegakan Syariah
Ada kemaslahatan yang ingin diraih dalam penegakan syariat. Para ahli usul fikih menyebut
kemaslahatan itu dengan istilah  dharuriyah (primer) dan  tahsiniyah (mewah).  Dharuriyah
adalah suatu tuntutan yang harus dipenuhi demi mempertahankan kehidupan, hak, dan
kehormatan. Sementara itu,  tahsiniyah merupakan tuntutan yang hanya menjadi pelengkap
bagi kebutuhan  dharuriyah .
Namun, ada pula ulama yang menempatkan  haajiyat (kebutuhan sekunder) dalam urusan
kemaslahatan ini setelah  dharuriyah . Misalnya, dalam memelihara agama, seorang Muslim
dalam perjalanan atau sakit diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan, namun
menggantinya di bulan lain. Diperbolehkan menjamak dan meng-qashar (meringkas) shalat
jika dalam perjalanan.
Para ahli usul fikih membagi kemaslahatan  dhaduriyah ke dalam lima hal ( maqashid al-
syariah'ah ), yaitu kemaslahatan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
kekayaan. Oleh sebagian pakar usul fikih, agama ditempatkan pada kepentingan paling utama
yang mesti dijaga. Karena, menurut mereka, agama merupakan kebutuhan terpenting bagi
manusia. Agama meninggikan derajat manusia di atas makhluk-makhluk yang lain.
Akan tetapi, sebagian pakar yang lain menempatkan 'kemaslahatan menjaga jiwa atau
kehidupan' pada posisi yang paling utama, di atas agama. Alasannya, tidak ada agama, akal,
keturunan, dan harta benda tanpa hidup itu sendiri. Sampai-sampai, untuk mempertahankan
jiwa atau hidup itu, semua ulama sepakat bahwa seseorang diperbolehkan memakan binatang
yang diharamkan oleh agama. Tentu saja, dengan catatan, tindakannya itu tidak merugikan
orang lain.
Meski demikian, kelompok ini tetap mengakui bahwa kesempurnaan hidup terletak pada
kesempurnaan agama, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Tentang kemaslahatan 
dharuriyah itu, Imam Al-Ghazali mengatakan, "Kelima kemaslahatan itu merupakan yang
paling mendesak."
Menurut sang hujjatul Islam, syariat menetapkan hukuman bagi pembuat bid'ah yang
mengajak orang lain kepada bid'ahnya. Hal ini untuk melindungi kebenaran agama orang-
orang Muslim. Penerapan hukum  qisas untuk melindungi kelangsungan hidup. Hukuman
bagi para pemabuk untuk melindungi kejernihan akal mereka. Hukuman bagi para pelaku
zina untuk memelihara garis keturunan. Hukuman bagi pencuri untuk menjaga harta
seseorang dari ancaman orang lain.
Selain itu, terdapat pula kemaslahatan  tahsiniyah . Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya 
Ushul Fikih memberikan beberapa contoh  tahsiniyah dengan cukup detail. Contoh 
tahsiniyah memelihara agama adalah menutup aurat. Menutup aurat, menurut Abu Zahrah,
tidak hanya menghindarkan seorang Muslimah dari fitnah, tetapi juga mengangkat
kehormatannya.
Contoh  tahsiniyah yang berkaitan dengan memelihara akal adalah melarang siapa pun yang
berjualan minuman memabukkan di lingkungan masyarakat Muslim meskipun mereka
berniat menyediakan minuman itu untuk orang-orang non-Muslim. Masih banyak lagi
contoh  tahsiniyah yang berkaitan dengan kehidupan umat Muslim sehari-hari

Anda mungkin juga menyukai