Anda di halaman 1dari 13

Metode Penetapan Objek Hukum Islam (Mahkum Fih)

Arif Sugitanata1
Magister Ilmu Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
arifsugitanata@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini penulis memaparkan materi dengan tema mahkum fih, di mana
Mahkum Fih ialah perbutan atau tindakan atau perilaku mukallaf yag erat
kaitannya dengan hukum Syari’, dimana perintah Syari’ tersebut disifati
dengan wajib, haram, makruhm, mandub, atau, mubah ketika berupa hukum
taklifi. Adapun apabila berupa hukum wadh’I, maka terkadang berupa
perbuatan mukallaf seperti pada muammalah dan jinayat. Dan terkadang tidak
berupa perbuatan mukallaf seperti menyaksikan bulan Ramadhan yang oleh
syari’ dijadikan sebab bagi wajibnya berpuasa. Adapun syarat-syarat dari
mahkum fih ialah. Pertama, asas legalitas: perbuatan itu sah dan jelas adanya,
tidak mungkin memberatkan sesorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan seperti “mancat langit”. Kedua, asas ototritas: Mukallaf mengetahui
dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang ia laksanakan, sehingga
pelaksanaannya merupakan ketaatan dan kepatuhan terhadap titah Allah,
Ketiga, asas kapabilitas perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh
mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya dan asas
subjektifitas: sesuatu yang berlaku pada mukallaf yakni aturan-aturan yang
telah ditetapkan.
Kata Kunci: Metode Penetapan; Objek Hukum; Islam; Mahkum Fih

A. Latar Belakang
Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah SWT melalui Rasul-
Nya yang terakhir yakni Nabi Muhammad SAW. Islam diturunkan untuk
melaruskan agama Allah SWT yang disampaikan melalui Rasul-rasul-Nya yang
terdahulu, karena telah diselewengkan oleh para pengikutnya masing-masing.
Oleh karena itu Islam merupakan satu-satunya agama yang haq, yakni yang
paling benar di sisi Allah SWT, sejak diturunkan hingga akhir zaman kelak.2

1
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syariah
dan Hukum, NIM: 19203010089
2
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993), hlm. 1

Page | 1
Hukum Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, merupakan rahmat
bagi alam semesta.3 Maka hukum Islam dapat diterapkan dalam semua masa.
Untuk semua bangsa karena di dalamnya terdapat cakupan yang begitu luas dan
elestisitas untuk segala zaman dan tempat.4 Dimana hukum Islam adalah ilmu
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-
Qur’an dan Sunnah5.
Menurut mayoritas ulama ahlussunnah wal Jama’ah,6 bahwa satu-
satunya yang dapat mengenalkan manusia kepada hukum-hukum Allah adalah
seorang Rasul. Manusia tidak dapat dengan sendirinya mengenal hukum-hukum
Allah, tanpa perantaraan Rasul. Oleh karena itu, menurut mereka, suatu umat
dituntut untuk beriman sebelum sampai kepada mereka dakwah seorang Rasul.
Dan karena itu pula tidaklah dipandang berdosa melakukan maksiat.
Kalangan ulama Mu’tazilah7 berpendapat bahwa memang benar Rasul
adalah satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum-hukum Allah kepada
manusia. Tetapi, bukan berarti manusia tidak dapat mengenal hukum-hukum
Allah. Manusia dapat mengenal hukum-hukum Allah melalui akalnya,
meskipun Rasul belum datang. Atas dasar itu, seorang diberi pahala atas
perbuatan baik yang dikerjakan menurut pertimbangan akalnya. Demikian juga
seseorang yang dikenai siksa atas perbuatan jahat yang dapat diketahui melalui
akalnya8
Hadirnya hukum Islam pada hakikatnya untuk mengatur perbuatan
mukallaf untuk kemaslahatan didunia dan akhirat dan menyelamatkan pada
seseorang dari hal-hal yang memang dilarang oleh Allah, namun berbeda
konteks ketika hukum yang dibuat oleh manusia yakni yang biasa disebut
undang-undang dalam penetapan hukumnya tidak mengenal sunnah, makruh,
mubah, yang ada hanyalah wajib dan haram.
Sebagai contoh yakni aturan lalu lintas, dimana semua mukallaf itu
diwajibkan mentaatinya meskipun mukallaf itu sendiri belum mengetahui

3
Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2007), hlm. 35.
4
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penerapan prinsip syariah dalam hukum Indonseia,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 57.
5
Khoiriyah, Memahami Metodelogi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 131.
6
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah aliran Islam terbesar yang prinsip dasar ideologinya
adalah Al-Qur’an dan hadits Nabis yang sahih sebagai sumber utama Islam dan menjadikan
fiqih mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) sebagai pedoman syariah. Meyakini
legalitas Khulafaur Rasyidin yang empat yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Talib serta mempercayai keadilan seluruh sahabat Nabi.
7
Mu’tazilah adalah golongan yang mengedepankan akal serta masalah teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis
8
Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 44.

Page | 2
aturan itu sendiri, sehingga ketika si mukallaf melakukan suatu perbuatan
hukum, baik itu melanggar aturan lalu lintas, maka ia akan dikenakan sanksi
ataupun denda. Hal tersebut bisa dilihat dari angka kecelakaan lalu lintas yang
terus meningkat setiap tahunnya
Perkembangan lalu lintas bisa menyebabkan pengaruh positif maupun
negative bagi kehidupan dilingkungan masyarakat apalagi didaerah yang
seudah maju dan berkemabng. Setiap tahunnya juga jumlah kendaraan terus
meningkat dan tidak sedikit masyarakat yang melanggar peraturan-peraturan
lalu lintas, sehingga pemerintah maupun penegak hukum harus semakin ketat
dan tegas untuk masalah lalu lintas guna mengurangi atau menekan tingkat
kecelakaan lalu lintas.
Ketika dikaitkan dalam hukum Islam tidak ada satupun nash yang
mewajibkan mengikuti aturan lalu lintas tersebut, sehingga dalam perbuatannya
melakukan tindakan hukum pun menjadi pertanyaan dan suatu hal yang baru
dalam kamus Islam.
Berangkat dari pemararan diatas penulis tertarik untuk memaparkan dan
menganalisa sejauh mana pengertian dan syarat-syarat diberlakukannya
Mahkum Fih serta penetapan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh
mukallaf pada kasus aturan lalu lintas.

HASIL PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkum Fih


Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait
dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya) yang bersifat tuntutan mengerjakan,
tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang
bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, serta batal.9
Dalam bukunya Drs. Nazar Bakry yang berjudul Fiqh dan Ushul Fiqh
mengatakan bahwa mahkum fih ialah perbuatan mukallaf yang bertalian atau
berkaitan dengan dengan hukum syara’, jadi mahkum fih itu merupakan hasil
perbuatan manusia yang mukallaf erat hubungannya atau bersangkutan dengan
hukum syara’/ agama Islam.10
Menurut Prof. Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih
mengatakan secara ringkas tentang pengertian Mahkum Fih yakni perbuatan

9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, cet. ke-1, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 292
10
Nazar Bakary, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet ke-3 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996),
hlm. 162.

Page | 3
mukallaf yang berkaitan hukum syari’ baik dari segi tuntutan, pilihan dan
penetapan.11
Literatur lainya mengatakan bahwa Mahkum Fih dalam istilah hukum
positif disebut dengan objek hukum, dimana mahkum fih itu sendiri adalah
suatu yang dikehendaki oleh syari’/ Hakim (Sang pembuat hukum) untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf atau dibiarkan untuk dilakukan atau
tidak dilakukan oleh mukallaf.12
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain
pada perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syari’ mewajibkan atau
mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu
merupakan perbuatan yang harus dikerjakan. Demikian juga apabila syari’
mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga
merupakan perbuatan yang harus ditinggalkan.13
Dan pengertian lainnya mengenai mahkum fih yang penulis kutip ialah
pendapat Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein., M.A dalam bukunya Ushul Fiqh
mengatakan bahwa mahkum fih berarti “perbuatan orang mukallaf sebagai
tempat menghubungkan hukum syara’”.14
Sedangkan dalam hukum positif objek hukum diartikan sebagai sesuatu
yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek suatu hubungan
hukum (dapat juga disebut: hak), karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek
hukum.15
Jadi menurut hemat penulis yang dimaksud Mahkum Fih itu ialah
perbutan atau tindakan atau perilaku mukallaf yag erat kaitannya dengan hukum
Syari’, dimana perintah Syari’ tersebut disifati dengan wajib, haram, makruh,
mandub, atau, mubah ketika berupa hukum taklifi. Adapun apabila berupa
hukum wadh’I, maka terkadang berupa perbuatan mukallaf seperti pada
muammalah dan jinayat. Dan terkadang tidak berupa perbuatan mukallaf seperti
menyaksikan bulan Ramadhan yang oleh syari’ dijadikan sebab bagi wajibnya
berpuasa.

B. Syarat- Syarat Mahkum Fih

11
Abdul Wahhab Khallaf. Alih bahasa oleh Moh. Zuhri, Dipl. TAFL. dan Ahmad
Qarib, edisi kedua, Ilmu Ushul Fiqih, cet. ke-1 (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), hlm.
222-223.
12
Suwarjin, hlm. 45
13
Hasbiyaallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm.
41.
14
Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet. ke-5, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 73.
15
Donald Albert Rumokoy, Pengantar Ilmu Hukum, cet ke-4, (Jakarta: Rajawali Pers,
2017), hlm. 120.

Page | 4
1. Asas Legalitas
Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan,
sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia lakukan. Seorang
mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan
haji, melakukan jihad, berinfak, meninggalkan minimum keras, meninggalkan
perzinaan, dan pencurian, melainkan setelah mengetahui secara baik hukum
Allah yang terkait dengan perbuatan-perbuatan tersebut. Adapun sebelum
mukallaf mengetahui hukum-hukum Allah pada perbuatan itu, maka titah Allah
tersebut belum terkait dengan perbuatan mukallaf. Mukallaf tidak dituntut untuk
berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan dan juga mukallaf tidak mendapat
pahala dan siksa.
Pengetahuan mukallaf terhadap hukum perbuatan itu harus dibarengi
dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakan
perbuatan tersebut. Oleh sebab itu, menurut para ahli ushul fiqh, nash (ayat dan
atau hadis) yang bersifat mujmal (global) tidak bisa menjadi dasar taklif sampai
ada penjelasannya. Misalnya perintah shalat dalam surat al-Baqarah, 2: 43 di
atas. Seorang mukallaf baru dapat melaksanakan tuntutan untuk melaksanakan
shalat itu apabila rukun, syarat dan tata cara mengerjakannya telah dia ketahui.16

2. Asas Otoritas
Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang
ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan dan kepatuhan
terhadap titah Allah. Tujuan mukallaf dalam melaksanakan titah itu sejalan
dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. Dalam kaitan dengan inilah, para
ulama fiqh dan ushul fiqh senantiasa mengemukakan dalil syari’ dalam
pembahasan mereka terhadap suatu hukum, sehingga dapat menjadi hujjah bagi
para mukallaf untuk melaksanakan hukum itu dengan ketaatan dan kepatuhan.
Yang dimaksud para ulama ushul fiqh dengan pengetahuan mukallaf
terhadap sumber taklif, adalah kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu
melalui kemampuan akalnya. Hal ini terkait dengan masalah baligh dan
berakalanya seseorang, sehingga Ia dapat mencerna perintah yang disampaikan
kepadanya dan mengerjakannya, atau ia bisa bertanya kepada orang yang lebih
tahu (ulama). Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang yang baru masuk
Islam tidak dituntut melakukan taklif yang belum diketahuinya, karena mereka
belum atau tidak mampu membahas atau meneliti hukum itu dengan baik.
Para ulama ushul fiqh tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus
mengetahui secara pasti dan mandiri hukum beserta dalilnya, karena hal ini akan

16
Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 293.

Page | 5
menyebabkan sulitnya hukum itu dikerjakan atau seseorang akan mencari-cari
alasan keberatannya untuk melaksanakan hukum tersebut.17

3. Asas kapabilitas

Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.


Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain:

Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk


dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhul ulama, baik
berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh
yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah
dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu, yang bersamaan.
Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah
sesuatu yang bisa digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan
tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap,
atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
Di antara dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama adalah:

a) Adanya firman Allah SWT, bahwa Allah SWT. Tidak menuntut suatu
perbuatan sesuai dengan kemampuannya.
b) Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah maka harus dilaksanakan
Padahal tidak mungkin berkumpul antara suatu kemustahilan dengan
adanya perbuatan. Selain itu, apabila tuntutan dinyatakan dengan sesuatu yang
mustahil, maka berarti perintah Allah itu tidaklah dengan sesuatu yang
mustahil.18
Mayoritas Asy’ariyah, menyatakan kebolehan menuntut dengan sesuatu
yang mustahil. Mereka mengemukakan dua alas an: (1) Seandainya tidak sah
tuntutan dengan sesuatu yang tidak kuat untuk dilaksanakan, tentut tidak ada
tuntutan. Padahal itu sudah terjadi dalam syara’. Seperti taklif beriman untuk
orang yang ingkar dan taklif Abu Jahal (orang kafir) untuk beriman dan
menyatakan bahwa rasul itu benar. Dalam kasus ini menurut mereka, Abu Jahal
tidak akan pernah menyatakan beriman dan membenarkan Rasul. Bila Allah
tidak mengetahui berarti Dia bodoh, padahal hal itu mustahil.
Jawaban untuk dalil pertama adalah hal itu bukanlah yang bisa
dipertentangkan. Perbuatan maksiat itu tidak berarti tidak adanya iman, karena

17
Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 296.
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, cet. ke-IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
18

231

Page | 6
antara iman dan kemaksiatan bisa berkumpul. Sedangkan jawaban untuk dalil
yang kedua, bahwa Abu Jahal itu diperintahkan beriman kepada Rasulullah
yang mungkin dalam hatinya mengakui, namun Allah sangat mengetahui bahwa
dia tidak akan beriman, sebagaimamna Allah pun mengetahui orang-orang yang
maksiat. Sebenarnya, ada tuntutan yang dikaitkan dengan ilmu Allah, seperti
perintah iman bagi orang kafir, padahal dia sudah mengetahui bahwa mereka
tidak beriman, namun seandainya beriman pun, tidaklah berarti bahwa Allah itu
tidak tahu.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tuntutan dengan sesuatu
yang mustahil, selain yang berkaitan dengan ilmu Allah tidaklah terjadi dalam
syari’at. Namun, terjadi perbedaan tentang bolehnya tuntutan dengan sesuatu
yang mustahil, yang sebenarnya masalah teori saja. Para ulama sepakat tentang
bolehnya tuntutan yang berkaitan dengan ilmu Allah terhadap sesuatu yang
mustahil menurut akal seperti perintah beriman kepada orang kafir. Meskipun
hal itu bertentangan dengan mereka yang memiliki dua Tuhan.
Kedua, para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya
seseorang melakukan perbutan yang di-taklif-kan untuk dan atas nama orang
lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk
menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya.
Dengan kata lain, bahwa sesorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain. Hal ini mungkin dilakukan adalah menasihati dan
amar ma’ruf nahyi munkar.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang
berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan
sebagainya karena hal itu berada di luar kendali manusia. Hal itu bisa dikaitkan
dengan kecintaan seorang suami kepada istrinya yang satu dibandingkan kepada
istri-istrinya yang lain.
Dengan demikian, walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan
hal filsafat tersebut, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya kepada
sebab dan akibatnya. Seperti Rasulullah yang menyatakan bahwa tidaklah
beriman seseorang sehingga dia lebih mencintai Rasulullah SAW. Daripada
dirinya, orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia. Maksud cinta di atas,
bukanlah cinta yang sesungguhnya, namun berhubungan dengan ketaatan.
Keempat, tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam
masalah ibadah dan bersuci untuk shalat.19

4. Asas Subjektifitas

19
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih., hlm. 231.

Page | 7
Agaknya tidak mudah dipahami, bahwasanya persyaratan perbuatan
yang dikenai taklif tersebut harus berada dalam kemampuan mukallaf sebagai
syarat sahnya pentaklifan mukallaf menurut syara’, yang berarti bahwa dalam
perbuatan itu tidak boleh ada keberatan apapun bagi mukallaf. Karena jika tidak
demikian, maka tidak ada bedanya antara perbuatan berada dalam kekuasaan
mukallaf, atau perbuatan itu sulit untuk dilakukan. Setiap sesuatu yang
ditaklifkan pada manusia tidak lepas dari keberatan, karena pentaklifan adalah
penetapan sesuatu yang mengandung beban dan bermacam kesulitan.20

Hanya saja keberatan (Masyaqqah) dalam hal ini dapat dibedakan


menjadi dua macam, yaitu:
Pertama:21

Masyaqqah yang bisa ditanggung oleh manusia, bahkan telah menjadi


kebiasaan manusia, dan masih berada dalam batas-batas kemampuan mereka.
Seandainya mereka senantiasa menanggungnya, niscaya mereka tidak tertimpa
penyakit maupun bahaya, baik pada dirinya, harta, maupun berbagai urusannya.
Sebagaimana masyaqqah yang ditanggung oleh manusia dalam menempuh
ushaha untuk mendapatkan rezeki, baik bercocok tanam, berdagang, maupun
lainnya, dan berbagai masyaqqah yang ditanggung oleh para pegawai karyawan
dalam melaksanakan pekerjaannya.

Pentaklifan syar’iyyah tidak bisa terlepas dari berbagai masyaqqah


sebagaimana dijelaskan di atas, yang di dalamnya terkandung kesulitan, tetapi
masih bisa ditanggung. Orang yang senantiasa menempuhnya tidak akan
mendapatkan bahaya atau merasas sakit. Syari’ tidak menghendaki kesulitan-
kesulitan yang menyelimutinya dengan adanya taklif-taklif tersebut, tetapi
syari’ hanya menghendaki berbagai kemaslahatan yang timbul daripadanya.
Pengharusan mukallaf untuk menanggung kesulitan dalam batas-batas
kemampuannya adalah dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul
daripadanya, seperti studi kasus yang pada halaman selanjutnya mengenai
aturan lalu lintas yang dimana aturan tersebut mengharusnya para mukallaf
untuk mentaati segala aturannya dengan konsekuensi akan mendapatkan denda
atau penilangan jika para mukallaf melanggar dimana tujuan dari aturan tersebut
sejatinya sangat baik guna memberikan kenyamanan bagi pengendara, baik
untuk diri sendiri ataupun pengendari lainnya.

20
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih., hlm. 231.
21
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 232.

Page | 8
Kedua:22

Masyaqqah yang berada di luar kebiasaa manusia dan tidak mungkin


untuk ditangung dalam tempo waktu yang lama, karena jika mereka
menanggung dalam waktu yang cukup lama, niscaya mereka akan mengalami
kesulitan itu, mereka akan putus asa dan terkena bahaya maupun penyakit pada
diri, harta, atau berbagai urusan mereka, sebagaimana masyaqqah pada puasa
wishal (yang bersambung) pada hari berikutnya, terus menerus shalat malam,
dan tetap melaksanakan ‘azimah dalam keadaan mendapat rukhshah
(kemurahan) dengan meninggalkan ‘azimah ketika mendapat bahaya.
Masyaqqah semacam ini tidak dibebabnkan oleh syari’ karena beban-
beban itu bisa mendatangkan kesulitan, dan tidak pula mengharuskan mukallaf
untuk menanggungnya. Karena tujuan utama dari pembentukan hukum adalah
menghilangkan bahaya dari manusia

C. Kriteria Taklif
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa saja yang terkena taklif
dalam hukum syara’, apakah semua manusia secara umum, atau hanya untuk
umat Islam saja. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda, yaitu:
a) Kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah, sebagaian Hanafiyah berpendapat
bahwa yang terkena taklif adalah semua manusia, termasuk di dalamnya
orang kafir. Manurut kelompok ini, orang kafir terkena taklif dan dituntut
untuk melaksanakan hukum syara’, karena ayat-ayat taklif bersifat umum,
da ada siksa terhadap orang yang tidak melaksanakan hukum syara’
b) Mayoritas Hanafiyah, dan Abu Hamid al-Asyfarayni berpendapat bahwa
taklif hanya berlaku pada umat Islam. Orang kafir tidak terkena taklif,
karena kalau mereka dikenakan taklif berarti pelegalan terhadap kekafiran,
dan jika masuk Islam merka harus mengqadha semua taklif yang
ditinggalkan selama mereka kafir.

D. Kewenangan Penetapan Hukum

a) Jika ditinjau dari keberadaan materialnya dan syara’ dibagi menjadi tiga,
yaitu:

i. Perbuatan material yang tidak termasuk perbuatan dengan syara‟. Misalnya,


makan minum dan lain lain.

22
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, hlm 233.

Page | 9
ii. Perbuatan secara material dan menjadi hukum syara‟. Misalnya pencuri,
perzinaan dan lain lain.
iii. Perbuatan secara material ada dan diakui syara‟ serta mengakibatkan
hukum syara‟ yang lainnya. Misalnya, pernikahan, jual beli, dan lain lain.

b) Dilihat dari hak yang terdapat didalam perbuatan itu, terdapat 4 jenis, yaitu:

i. Semata mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut pada
kemaslahatan umum.
ii. Semata mata hak hamba, yaitu yang menyangkut hak pribadi seseorang,
seperti ganti rugi barang yang rusak.
iii. Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, tetapi hukum Allah lebih
menonjol. Seperti hukuman qazaf.
iv. Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, seperti hukuman qisas.23

23
Ali Sodiqin, Fiqh, dan Ushul Fiqh sejarah, metodelogi dan Implementasinya di
Indonesia, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hlm. 139-140.

Page | 10
KESIMPULAN

Mahkum Fih ialah perbutan atau tindakan atau perilaku mukallaf yag
erat kaitannya dengan hukum Syari’, dimana perintah Syari’ tersebut disifati
dengan wajib, haram, makruhm, mandub, atau, mubah ketika berupa hukum
taklifi. Adapun apabila berupa hukum wadh’I, maka terkadang berupa
perbuatan mukallaf seperti pada muammalah dan jinayat. Dan terkadang tidak
berupa perbuatan mukallaf seperti menyaksikan bulan Ramadhan yang oleh
syari’ dijadikan sebab bagi wajibnya berpuasa.

Adapun syarat-syarat dari mahkum fih ialah. Pertama, asas legalitas:


perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan sesorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mancat langit”.
Kedua, asas ototritas: Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu
perbuatan yang ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan
dan kepatuhan terhadap titah Allah, Ketiga, asas kapabilitas perbuatan itu
sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya dan asas subjektifitas: sesuatu yang
berlaku pada mukallaf yakni aturan-aturan yang telah ditetapkan

Page | 11
DAFTAR PUSTAKA

1. Al Qur’an/Tafsir al-Qur’an/’U;um-al-Qur’an
Al Qur’an dan Terjemahannya

2. Fikih, Ushul Fikih, dan Hukum.


Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum, Bogor: kencana, 2003.
Bakary, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet ke-3, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996.

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, cet. ke-5, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, cet. ke-1, Jakarta: Logos, 1996.

Hasbiyaallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Khallaf, Abdul Wahhab, Alih bahasa oleh Moh. Zuhri, Dipl. TAFL. dan
Ahmad Qarib, edisi kedua, Ilmu Ushul Fiqih, cet. ke-1 Semarang: Dina Utama
Semarang, 2014.

Khatimah, Husnul, Penerapan Syari’ah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Offset, 2007.

Khoiriyah, Memahami Metodelogi Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2013.


Rumokoy, Donald Albert, Pengantar Ilmu Hukum, cet ke-4, Jakarta: Rajawali
Pers, 2017.
Shomad, Abd., Hukum Islam, Penerapan prinsip syariah dalam hukum
Indonseia, Jakarta: Kencana, 2010.
Sodiqin, Ali, Fiqh, dan Ushul Fiqh sejarah, metodelogi dan Implementasinya
di Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Suwarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2012.
Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, cet. ke-IV, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Syihab, Umar, Hukum Islam dan Tranpormasi Pemikiran, cet. ke-I, Semarang:
Bina Utama, 1996.

Page | 12
3. Lain-lain
Mustahi dkk, Pendidikan Agama Islam Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2014.

Page | 13

Anda mungkin juga menyukai