Anda di halaman 1dari 4

Nama : syinthia nur azizah

Nim : 19142001
Kelas : PBS B 2
Matkul : ushul fiqih

JAWABAN
1. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah
wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada
Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman.
Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya
kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab:
akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau
temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul
SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia
menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Pada masa sahabat:
Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-hukum
yang terrdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta rahasia
syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena itu mereka tidak
memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka tidak
menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu
ini telah diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya
2. perbedaan aliran mutakallimin dengan aliran fuqaha, dapat dikaji melalui perbandingan
yang dapat dilihat pada tiga hal:
 Formulasi kaidah (al-Ta’sis)
Dalam memformulasikan kaidah ushul, mutakallimin berpegang pada
pemahaman ushlub bahasa,dalil-dalil syara’ dan dalil akal.Sedangkan
golongan fuqaha kaidah ushulnya, diangkat dari fatwa-fatwa ulama dengan jalan mengaitkan
antara masalah-masalah furu’ dengan kaidah-kaidah ushulnya.

 Metodologi (al-Manhaj)
Dari segi metode aliran mutakallimin mempergunakan metode teoritis deduktif, dimana
teori itu dijadikan istinbath hukum.Sementara itu, metode aliran fuqaha adalah metode
aliran praktis (amali) yang berasal dari hasil penelitian hukum-hukum furu. ushul mutkallimin
adalah merupakan aturan-aturan istinbath (qawanin istinbath) yang bersifat menetapkan,
sedangkan ushul fiqih fuqaha bersifat ditetapkan oleh furu’, bukan menetapkan furu

 Aspek Pemikiran (al-Tafkir)


Aliran mutakallimin, dalam sistematika pembahasannya, memulai pembahasan yang bersifat
kebahasaan, kemudian pembahasaan yang berhubungan dengan ilmu manthiq.
Sedangkan aliran fuqaha memulai dengan mengungkapkan dalil-dalil syara’, cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya (thuruq al-istismar), pemahaman tentang
persyaratan ijtihad dan terakhir tentang kedudukan mujtahid dalam ijtihad manusia.
3. Hukum Syara’ merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas dua
kata, yaitu hukum dan syara’. Adapun dalam bahasa Arab kata al-hukm secara etimologi
berarti mencegah, memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Sedangkan asy-syara’
secara etimologi berarti jalan menuju aliran air, atau jalan yang mesti dilalui.Sedangkan
menurut terminology Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam.
4. Hukum takfili terbagi menjadi lima hukum yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah
:
 Wajib adalah Sesuatu yang diperintahkan /diharuskan oleh Allah dan RasulNya untuk
dilaksanakan oleh orang mukallaf (objek hukum)dan apabila dilaksanakan akan
mendapat pahala dari Allah, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dosa.
 Menurut bahasa mandub adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan menurut istilah
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh
Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun
tidak dicela orang yang melaksanakannya. Mandub disebut juga sunnah, nafilah,
mustahab, tathawwi’, ihsan, dan fadilah.
 Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya.Secara
terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan
RasulNya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan
dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah diberi pahala. Contoh:
larangan berzina
 Dalam istilah ushul fiqh, makruh adalah ssesuatu yang dianjurkan syariat untuk
meninggalkannya, dan jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan jika dilanggar tidak
berdosa.
 mubah artinya boleh, atau disebut juga ma’zun (yang diizinkan)/izhhar(penjelasan)
5. pembagian hukum wadh’i :
 sebab, yang dimaksud dengan sebab adalah sesgala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i
sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya
hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya
hukum
 syarat, adalah sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut
dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan
adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum
 mani’adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat menjadikan hukum atau dapat
membatalkan sebab hukum
 Sah dan batal adalah dua kata dari hubungan wadh’i yag merupaan hasil dari perbuatan
dalam hukum taklifi yang di hubungkan kepada hukum wadh’i. Bila suatu perbuatan
yang di suruh dalam hukum takhlifi telah di lakukan setelah adanya sebab dan setelah
terpenuhi syarat yang di tentukan serta tidak ada pula adanya maani maka perbuatan
yang telah di lakukan sah.
6. A. Pengertian ijma dan qiyas
 Ijma adalah kesepakatan para mujahid umat Islam dari masa ke masa setelah wafat Nabi
SAW. tentang hukum syara’ dalam perkara-perkara yang bersifat amaliyah. Ijma’ berarti
sebuah kesepakatan, dan yang sepakat disini adalah semua Mujahid Muslim, berlaku
dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.
 Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan yang sejenisnya.
B. rukun ijma dan qiyas
Rukun ijma
 Adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan
tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan / pendapat yg masing-
masing terdapat kesesuaian jika suatu saat tidak ada sejumlah mujtahid atau hanya
ada satu mujtahid, maka menurut ketentuan syara’ tidak mungkin terjadi ijma’, oleh
karena itu tidakada ijma’ pada masa rosul karena beliaulah satu-satunya mujtahid.
 Adanyakesepakatan atas hukum syara’ dari para mujtahid umat islam terhadap
kejadian pada saat terjadinya masalah tersebut tanpa memandang negeri,
kebangsaan, atau kelompok mereka.
 Kesepakatan mujtahid itu diiringi dengan pendapat mereka masing- masing secara
jelas mengenai suatu kejadian, baik ditampilkan secara individu dan setelah
pendapat-pendapatnya terkumpul tampak jelas melahirkan kesepakatan, atau
menampilkan pendapatnya secara kelompok, contoh : para mujtahid diseluruh
dunia berkumpul setelah terjadinya suatu peristiwa dimasamereka, kemudian
masalah tersebut dihadapkan kepada mereka, setelah terjadi tukar pendapat
mereka sepakat terhadap satu hukum atas masalah tersebut.
 Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, karenanya
jika sebagian besar diantara mereka mengadakan kesepakatan maka kesepakatanitu
tidak bisa dikatakan ijma’, selama masih ada golongan yg berselisih, karena selama
masih ditemukan adanya perselisihan maka dapat dimungkinkan benar disatu pihak
dan salah dipihaklain.
Rukun qiyas
 Ashl(pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang menurut fuqaha.
Sedangkan ashl menurut hukum teologi adalah suatu nash syara’ yang menunjukan
ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu
di sebut juga maqis alaih(yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih
(tempat memandikan), atau musyabbah bih (tempat menyempurnakan).
 Far’u(cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far’u itulah yang dikehendaki
untuk di samakan hukumnya dengan ashl. Ia di sebut juga maqis (yang di
analogikan)dan musyabbah(yangdiserupakan)
 Hukum ashl, yaitu hukum syara’ yang di tetapkan oleh suatu nash.
 Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat [ada ashl. Dengan adanya sifat itulah, ashl
mempunyai suatu hukum. Dan dengam sifat itu pula, terdapat cabang sehingga
hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum asl

Anda mungkin juga menyukai