Anda di halaman 1dari 31

SUMBER HUKUM ISLAM

OLEH : UJANG JUNAEDI, S.PD.I.


1. Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang


diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah
Muhammad SAW dengan lafazh yang berbahasa
Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk
menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya
sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi
manusia yang mengikuti petunjuknya, dan bernilai
ibadah bagi yang membacanya.
Di dalam al-quran ada 3 macam
hukum, yaitu;

1. hukum yang berhubungan dengan


aqidah
2. hukum yang berhubungan dengan
syariat
3. hukum yang berhubungan dengan
akhlak (budi perkerti)
KEHUJJAHAN AL-QUR’AN
Semua para ulama sepakat bahwa AL-QUR’AN
MERUPAKAN SUMBER HUKUM ISLAM YANG
PERTAMA
2. SUNAH/HADITS SUMBER HUKUM ISLAM
KE DUA
• Al-sunnah secara lughah adalah kebiasaan atau
jalan atau dijalani.
• Artinya:
“Kebiasaan yang baik atau yang jelek”.
Berkaitan dengan hukum Islam, Al-Sunnah
adalah segala sesuatu yang diperhatikan,
dilarang atau dianjurkan oleh rasulullah SAW.
baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li)
maupun ketetapannya (taqriry).
KEHUJJAHAN AS-SUNAH
Semua ulama sepakat bahwa AS-SUNAH
MERUPAKAN SUMBER HUKUM ISLAM
KEDUA
Sabda Rasulullah :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian,yang kalian tidak akan tersesat
selagi berpegang teguh kepada keduanya
(yaitu) kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah
Rasul.”
Hubungan Al-Quran dan As-Sunnah

1. Sunnah sebagai penjelas dan merinci ayat-ayat


Al-Qur’an yang masih global dan memberikan
batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam
pelaksanaannya belum ada batasan.
2. Sunnah membawa hukum yang tidak ada
ketentuan nashnya di dalam Al-Qur’an.
3. Sunnah memperkuat ketentuan- ketentuan
yang telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an.
3. IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
KETIGA
• Ijma’ bearti sepakat, setuju atau sepandapat.
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud
ijma’ adalah:
Kesamaan pendapat para mujtahid umat nabi
Muhammad SAW setelah beliau wafat, pada
suatu masa tertentu tentang suatu masalah
tertentu.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan
tiga cara, yaitu:
1. Dengan ucapan (qauli) yaitu kesepakatan
berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para
mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
2. Denagan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan
mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.
3. Dengan diam (sukut), yaitu tidak ada diantara
mujtahid yang membanta terhadap pendapat
satu atau dua mujtahid lainnya dalam suiatu
masalah.
Macam-macam ijma'
1. Ijma’ Sharih, yaitu: Apabila semua mujtahid
menyatakan persdetujuannya atas hukum
yang meraka putuskan, dengan lisan maupun
tulisan.
2. Ijma’ Sukuti, yaitu: apabila sebagian mujtahid
yang memutuskan hukum itu tidak semuanya
menyatakan setuju baik dengan lisan maupun
tulisan. Melainkan mereka hanya diam.
Kedudukan Ijma’ Sebagai Sunber Hukum

Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat


dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam
menetapkan suatu hukum dengana nilai kehujjaan
bersifat zhanny. Golongan Syi’ah memandang
bahwa ijma’ ini sebagai hujjah yang harus
diamalkan. Sedangkan ulama-ulama hanafi dapat
menerima ijma’ sebagai dasar hukum, baik ijma’
qath’iy maupun zhanny. Sedangkan ulama-ulama
Syafi’iyah hanya memegang iijma’ qath’iy dalam
menetapkan hukum.
Sebab-Sebab Dilakukan Ijma’

1. karna adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status


hukumnya, sementara di dalam nas Al-Qura’an dan Al-sunnah
tidak ditemukan hukumya.
2. Karna nas baik yang berupa Al-Quran maupun Al-sunnah sudah
tidak turun lagi atau berhenti.
3. Karna pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan
karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan
kesepakatan untuk melakukan kesepakatan dalam menetukan
status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada pada
saat itu.
4. Diantara mujtahid belum tinbul perpecahan dan kalaulah ada
perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
4. QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
KEEMPAT
Qiyas menurut bahasa bearti mengukur,
memperbandingkan atau mempersamakan
sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya
persamaan. Sedang menurut istilah qiyas
adalah menetapkan hukum sesuatu yang
belum ada ketentuan hukumnya dalam nash
dengan mempersamakan sesuatu yang telah
ada status hukumnya dalam nash.
RUKUN QIYAS
1. Ashl ; suatu peristiwa yang sudah ada
nashnya yang dijadikan temapat
mengqiyaskan .
2. Far’u ; peristiwa yang tidak nashnya
3. Hukum ashl ; yang ditetapkan oleh suatu
nash
4. Illat ; suatu sifat yang terdapat pada ashl
Adapun macam-macam qiyas ada empat:
1. Qiyas Aulawi, yakni mengqiyaskan sesuatu
dengan sesuatu yang hukumnya telah ada
namun sifatnya/illatnya lebih tinggi dari sifat
hukum yang telah ada. Contoh, keharaman
hukum memukul orang tua, diqiyaskan pada
memakinya saja sudah haram.
2. Qiyas Musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum
sama, seperti halnya kasus kesamaan keharaman
hukum membakar harta harta anak dengan
memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama
menghilangkannya.
Lanjutan……

3. Qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena


ada persamaan diralat al-hukm ( penunjukan
hukumnya), seperti kewajiban zakat untuk harta
anak yatim dan harta orang dewasa. Karna
keduanya sama-sama bisa tumbuh dan
berkembag (al-nama’)
4. Qiyas Syubhat, yakni terjadinya keraguan dalam
mengqiyaskan, keasal mana illat di tunjukan;
kemudian harus ditentukan salah satunya dalam
rangka penetapan hukum padanya. Seperti pada
kasus hamba yang dibunuh, atau barang yang bisa
diperjual belikan.
Kedudukan Qiyas Dalam Sumber Hukum
Islam
Menurut para ulama kenamaan, bahawa qiyas itu
merupakan hujjah Syar’iyyah terhadap hukum
akal. Qiyas ini menduduki tingkat ke empat hujjah
syar’iy, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak
terdapat hukumnya yang bedasarkan nas, maka
peristiwa itu dinamakan dengan peristiwa lain
yang mempunyai kesamaan dan telah ada
ketetapan hukumnya dalam nas. Mereka
mendasarkan hukumnya dalam nas.
5. ISTIHSAN
Menurut bahasa istihsan bearti mengaggap baik,
mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti.
Menurut istilah ahli ushul yang dimaksud denagn
istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada
hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-
samar) atau dari hukum kully (umum) kepada hukum
yang bersifat khusus istina’i (pengecualian), karena
ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan
itu ada dua, yaitu:
1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jally dengan dalil.
Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang
sedang haid boleh membaca Al-Quran berdasarkan
istihsan tapi haram menurut qiyas.
Qiyas: Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada
orang junup dengan illat sama-sama tidak suci.
Istihsan: Haid berbeda dengan junub, karena haid
waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid
diperbolehkan membaca Al-Quran. Sebab bila tidak, maka
haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala
ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap
saat.
Lanjutan….
2. Pengecualian sebagian hukum kully dengan
dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut
dalil kully, syara’ melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan
istihsan adalah manusia berhajat kepada akad
seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka.
Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Islam
1. Jumhur ulama menolak berhujah dengan istihsan,
sebab berhujah dengan istihsan menetapkan hukum
berdasarkan hawa nafsu.
2. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujah dengan
istihsan, menurut mereka, berhujah dengan istihsan
hanyalah dengan berdalilkan qiyas khafy yang kuat
terhadap qiyas jally atau menguatkan satu qiyas
terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya
berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu.
Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan
sebagian dari hukum kully.
6. ISTISHAB
 Dilihat dari segi bahasa kata
istishab artinya “selalu menyertai”.
 Istishab ialah mengambil hukum
yang telah ada atau ditetapkan pada
masa lalu dan tetap dipakai hingga
masa-masa selanjutnya, sebelum ada
hukum yang mengubahnya
Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Islam
1. Menjadikan istishab sebagai sebagai pegangan
dalam menetukan hukum sesuatu peristiwa yang
belum ada hukumnya, baik dalam Al-Quran , Al-
Sunnah, maupun Ijma’
2. Menolak istishab sebagai pegangan dalam
menetapkan hukum. Ulama golongan kedua ini
kebanyakan adalah ulama syafi’iyah. Mereka
menyatakan bahwa istishab dengan pengertian
seperti diatas adalah tanpa dasar
7. MASLAHAH AL-MURSALAH
Mashalih artinya kemaslahatan,
kepentingan. Mursalah bearti terlepas.
Makdusnya adalah penetapan hukum
berdasarkan kepada kemaslahatan,
yaitu manfaat bagi manusia atau
menolak kemadharatan atas mereka,
sedangkan dalam syara’ (nas) belum
atau tidak ada ketentuannya
Kedudukannya Sebagai Sumber hukum
Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan
alasan:
1. Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat
senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia.
Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak
diperhatikan syariiat melalui petunjuknya.
2. Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan
kepada maslahat yang tidak didukung dengan dalil-dali dari
nash bearti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
3. Akan melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan
wilayah/negara, bahkan pendapat perorangan dalam satu
perkara, karena perbedaab masyarakat tadi.
LANJUTAN…..
 Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara
mutlak. Namun menurut Imam syafi’i boleh berpegang kepada
mashalih al- mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau
dali juz’i dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada
habis-habisnya. Jika pembinbaan hukum hanya dibatasi
kepada maslahat-masalahat yang ada petunjuknya dari syari’
(Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status
hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
2. Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak
menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak
ada petunjuknya dari syari’. Misalnya mebuat penjara,
mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat
Al-Quran dan sebagainya.
Syarat-Syarat Berpegang Kepada Mashalih Al-
Mursalah

1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan


bukannya hanya berdasarkan kepada
prasangka.
2. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk
kepentingan pribadi.
3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan
maslahat itu tidak bertentangan hukum
atau prinsip yang telah ditetapkan dengan
nash atau ijma’.
8. AL-’URF
Dilihat dari segi bahasa, kata ‘urf berarti sesuatu
yang dikenal. Kata lain yang sepadan dengannya
adalah adat

‘Urf ialah segala sesuatu yang sudah dikenal dan


dilajankan oleh suatu masyarakat secara turun
temurun dan sudah menjadi adat istiadat, baik
berupa perkataan maupun perbuatan
Macam-macam Al-‘Urf dan hukumnya

1. ‘Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal


orang tersebut tidak bertetangan dengan
syariat, tidak menghalakan yang haram,
dan tidak menggugurkan kewajiban
2. ‘Urf Fasid, yaitu apabila apa yang dikenal
itu bertentangan dengan syara’. Orang
mengetahui bahwa untuk menduduki
suatu jabatan itu dengan memberikan
unag sogokan (risywah)
9. SYAR’U MAN QABLANA

Syar’u man qablana adalah syariat yang


diturunkan kepada orang-orang sebelum
kita, yaitu ajaran agama sebelum datngnya
ajaran agama Islam.
Secara garis besar syariat sebelum kita dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu;
1. apa yang disyariatkan kepada kita umat Nabi Muhammad
SAW. baik penepatannya itu melalui perintah melaksanakan,
seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash.
2. apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan
kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat ini tidak akan
terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian
yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong
bagian yang terkena najis tersebut”. Terhadap syariat jenis
kedua ini para ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena
syariat kita telah menghapusnya.
3. Apa yang disyariatkan terdahulu itu dikisahkan dalam Al-
Quran, akan tetapi tidak dinyatakan secara jelas oleh syariat
Nabi Muhammad SAW. bahwa syariat terdahulu itu wajib
diikuti umat Islam atau tidak, maka ulama berbeda
pendapat.

Anda mungkin juga menyukai