diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad SAW dengan lafazh yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan bernilai ibadah bagi yang membacanya. Di dalam al-quran ada 3 macam hukum, yaitu;
1. hukum yang berhubungan dengan
aqidah 2. hukum yang berhubungan dengan syariat 3. hukum yang berhubungan dengan akhlak (budi perkerti) KEHUJJAHAN AL-QUR’AN Semua para ulama sepakat bahwa AL-QUR’AN MERUPAKAN SUMBER HUKUM ISLAM YANG PERTAMA 2. SUNAH/HADITS SUMBER HUKUM ISLAM KE DUA • Al-sunnah secara lughah adalah kebiasaan atau jalan atau dijalani. • Artinya: “Kebiasaan yang baik atau yang jelek”. Berkaitan dengan hukum Islam, Al-Sunnah adalah segala sesuatu yang diperhatikan, dilarang atau dianjurkan oleh rasulullah SAW. baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li) maupun ketetapannya (taqriry). KEHUJJAHAN AS-SUNAH Semua ulama sepakat bahwa AS-SUNAH MERUPAKAN SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA Sabda Rasulullah : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian,yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh kepada keduanya (yaitu) kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.” Hubungan Al-Quran dan As-Sunnah
1. Sunnah sebagai penjelas dan merinci ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam pelaksanaannya belum ada batasan. 2. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam Al-Qur’an. 3. Sunnah memperkuat ketentuan- ketentuan yang telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an. 3. IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA • Ijma’ bearti sepakat, setuju atau sepandapat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud ijma’ adalah: Kesamaan pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu tentang suatu masalah tertentu. Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan tiga cara, yaitu: 1. Dengan ucapan (qauli) yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah. 2. Denagan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan mujtahid dalam mengamalkan sesuatu. 3. Dengan diam (sukut), yaitu tidak ada diantara mujtahid yang membanta terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suiatu masalah. Macam-macam ijma' 1. Ijma’ Sharih, yaitu: Apabila semua mujtahid menyatakan persdetujuannya atas hukum yang meraka putuskan, dengan lisan maupun tulisan. 2. Ijma’ Sukuti, yaitu: apabila sebagian mujtahid yang memutuskan hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan. Melainkan mereka hanya diam. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sunber Hukum
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat
dijadikan hujjah dan sumber hukum islam dalam menetapkan suatu hukum dengana nilai kehujjaan bersifat zhanny. Golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’ ini sebagai hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama-ulama hanafi dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum, baik ijma’ qath’iy maupun zhanny. Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegang iijma’ qath’iy dalam menetapkan hukum. Sebab-Sebab Dilakukan Ijma’
1. karna adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status
hukumnya, sementara di dalam nas Al-Qura’an dan Al-sunnah tidak ditemukan hukumya. 2. Karna nas baik yang berupa Al-Quran maupun Al-sunnah sudah tidak turun lagi atau berhenti. 3. Karna pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan untuk melakukan kesepakatan dalam menetukan status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada pada saat itu. 4. Diantara mujtahid belum tinbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan. 4. QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEEMPAT Qiyas menurut bahasa bearti mengukur, memperbandingkan atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash. RUKUN QIYAS 1. Ashl ; suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan temapat mengqiyaskan . 2. Far’u ; peristiwa yang tidak nashnya 3. Hukum ashl ; yang ditetapkan oleh suatu nash 4. Illat ; suatu sifat yang terdapat pada ashl Adapun macam-macam qiyas ada empat: 1. Qiyas Aulawi, yakni mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah ada namun sifatnya/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contoh, keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan pada memakinya saja sudah haram. 2. Qiyas Musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya kasus kesamaan keharaman hukum membakar harta harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama menghilangkannya. Lanjutan……
3. Qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena
ada persamaan diralat al-hukm ( penunjukan hukumnya), seperti kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa. Karna keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembag (al-nama’) 4. Qiyas Syubhat, yakni terjadinya keraguan dalam mengqiyaskan, keasal mana illat di tunjukan; kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, atau barang yang bisa diperjual belikan. Kedudukan Qiyas Dalam Sumber Hukum Islam Menurut para ulama kenamaan, bahawa qiyas itu merupakan hujjah Syar’iyyah terhadap hukum akal. Qiyas ini menduduki tingkat ke empat hujjah syar’iy, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang bedasarkan nas, maka peristiwa itu dinamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam nas. Mereka mendasarkan hukumnya dalam nas. 5. ISTIHSAN Menurut bahasa istihsan bearti mengaggap baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Menurut istilah ahli ushul yang dimaksud denagn istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar- samar) atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat khusus istina’i (pengecualian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu. Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu: 1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jally dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Quran berdasarkan istihsan tapi haram menurut qiyas. Qiyas: Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junup dengan illat sama-sama tidak suci. Istihsan: Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Quran. Sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat. Lanjutan…. 2. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara’ melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan adalah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam 1. Jumhur ulama menolak berhujah dengan istihsan, sebab berhujah dengan istihsan menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu. 2. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujah dengan istihsan, menurut mereka, berhujah dengan istihsan hanyalah dengan berdalilkan qiyas khafy yang kuat terhadap qiyas jally atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully. 6. ISTISHAB Dilihat dari segi bahasa kata istishab artinya “selalu menyertai”. Istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam 1. Menjadikan istishab sebagai sebagai pegangan dalam menetukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Quran , Al- Sunnah, maupun Ijma’ 2. Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama syafi’iyah. Mereka menyatakan bahwa istishab dengan pengertian seperti diatas adalah tanpa dasar 7. MASLAHAH AL-MURSALAH Mashalih artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah bearti terlepas. Makdusnya adalah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka, sedangkan dalam syara’ (nas) belum atau tidak ada ketentuannya Kedudukannya Sebagai Sumber hukum Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan: 1. Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan syariiat melalui petunjuknya. 2. Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat yang tidak didukung dengan dalil-dali dari nash bearti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu. 3. Akan melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan wilayah/negara, bahkan pendapat perorangan dalam satu perkara, karena perbedaab masyarakat tadi. LANJUTAN….. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam syafi’i boleh berpegang kepada mashalih al- mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dali juz’i dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan: 1. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinbaan hukum hanya dibatasi kepada maslahat-masalahat yang ada petunjuknya dari syari’ (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda. 2. Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari’. Misalnya mebuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Quran dan sebagainya. Syarat-Syarat Berpegang Kepada Mashalih Al- Mursalah
1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan
bukannya hanya berdasarkan kepada prasangka. 2. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi. 3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma’. 8. AL-’URF Dilihat dari segi bahasa, kata ‘urf berarti sesuatu yang dikenal. Kata lain yang sepadan dengannya adalah adat
‘Urf ialah segala sesuatu yang sudah dikenal dan
dilajankan oleh suatu masyarakat secara turun temurun dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan maupun perbuatan Macam-macam Al-‘Urf dan hukumnya
1. ‘Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal
orang tersebut tidak bertetangan dengan syariat, tidak menghalakan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban 2. ‘Urf Fasid, yaitu apabila apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara’. Orang mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan unag sogokan (risywah) 9. SYAR’U MAN QABLANA
Syar’u man qablana adalah syariat yang
diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datngnya ajaran agama Islam. Secara garis besar syariat sebelum kita dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu; 1. apa yang disyariatkan kepada kita umat Nabi Muhammad SAW. baik penepatannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash. 2. apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat ini tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut”. Terhadap syariat jenis kedua ini para ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syariat kita telah menghapusnya. 3. Apa yang disyariatkan terdahulu itu dikisahkan dalam Al- Quran, akan tetapi tidak dinyatakan secara jelas oleh syariat Nabi Muhammad SAW. bahwa syariat terdahulu itu wajib diikuti umat Islam atau tidak, maka ulama berbeda pendapat.