Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ferdinand Rizki Widya Dhana

NIM : 202010110311522
Kelas : G
UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM ISLAM 3
SOAL

Jelaskan dan berikan masing-masing 3 contoh macam sumber hukum dibawah


ini:

1. Ijma’
2. Qiyas
3. Istihsan
4. Maslahah Murshalah
5. Sududz Dzariah
6. Istishab
7. Urf
Jawaban

1. Pengertian Ijma’ berserta contohnya


Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu
hal, seperti perkataan seseorang yang berati “kaum itu telah sepakat
(sependapat) tentang yang demikian itu.” Menurut istilah, ijma’ adalah
kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Jika ditinjau dari segi cara terjadinya maka ijma’ terdiri atas:
1. Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas
dan tegas, baik berupa ucapan maupun tulisan. Ijma’ bayani disebut juga
ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi;
2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri
saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang
telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini
disebut juga ijma’ i’tibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Ijma’ Qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini
benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa
atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang
dilakukan pada waktu yang lain.
2. Ijma’ Sukuti yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’
yang dilakukan pada waktu yang lain.
Contoh Ijma’
1. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang
imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan
Daulah Islamiah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh
para Sahabat pada saat di Saqifah Bani Sai’idah.
2. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang dipelopori
oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat
lainnya tidak ada yang memprotes ataupun menolak ijma’ yang dilakukan
sahabat Utsman tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda
menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’
sukuti.
3. Upaya pembukuan Kitab Suci Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah
Abu Bakar as Shiddiq r.a

2. Pengertian Qiyas berserta contohnya


Pengertian qiyas secara bahasa merupakan tindakan mengukur sesuatu atas
sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Secara istilah qiyas adalah
menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya dan
didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya.  
Menurut Syaikh Muhammad al Khudari Beik  disebutkan bahwa qiyas adalah
memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang
atau persoalan baru yang tidak disebutkan nashnya karena adanya
pertautan  illat  pada keduanya.  
Imam Syafi’i diketahui menjadi sebagai mujtahid pertama yang mengemukakan
dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sejumlah patokan
kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja, mujtahid sebelumnya juga diketahui
pernah menggunakan qiyas namun belum membuat rumusan patokan dan asas.  
Jenis qiyas yang pertama adalah qiyas illat, yakni jenis qiyas yang sudah
jelas illat   dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga baik
masalah pokok maupun cabang sudah jelas  illat nya, sehingga para ulama secara
mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang sedang dibandingkan
dan diukur tadi.  
Jenis kedua dari qiyas adalah qiyas jali, yakni jenis qiyas yang  illat  suatu
persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik kesimpulan nashnya namun
bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk menyakiti
kedua orang tua dengan perkataan kasar.  
Jenis ketiga adalah qiyas khafi, yaitu jenis qiyas yang  illat   suatu persoalan
diambil dari illat   masalah pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan utamanya
adalah haram maka persoalan yang menjadi cabang pokok tersebut juga haram,
demikian jika sebaliknya.  
qiyas shabah, yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok
persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri bisa diambil dari yang
disampaikan oleh Abu Hanifah mengenai mengusap atau menyapu kepala anak
berulang-ulang.  
Berhubung qiyas adalah analogi atau perumpamaan, maka contohnya adalah
menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak disebutkan
dalam Al Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi Muhammad
SAW.
Maka para ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini
sebagai khamr  (minuman yang memabukan). Sebab sifat atau efek dari konsumsi
narkotika sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding minuman memabukan
tadi. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa narkotika hukumnya haram.

3. Pengertian Istihsan beserta contohnya


Menurut bahasa, istihsan  berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama  ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar dalil syara’. Jadi singkatnya,  istihsan   adalah tindakan meninggalkan
satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Definisi istihsan menurut al-Ghazali al-Syafi’i adalah sesuatu yang menurut akal
mujtahid dianggap baik. (Al-Ghazali,  al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, hal. 317)
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada
suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab
Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada
rasa yang lebih enak.
1. Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka dengan menggunakan  istihsan , yang termasuk diwaqafkan
adalahhak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya.
Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh,
karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
2. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak
milik itu.
3. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf
itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan
hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.

4. Pengertian Maslahah Murshalah beserta contohnya


Secara kebahasaan, maslahah mursalah terdiri dari dua kata, yakni maslahah dan
mursalah. Maslahah artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, dan mursalah
berarti sesuatu yang terbebas atau lepas. Dengan demikian, maslahah berarti
upaya mendatangkan kebaikan yang terlepas atau bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidaknya untuk dilakukan. Imam Al-Ghazali sendiri
dalam kitab   al-Mustashfā’  merumuskan maslahah mursalah sebagai, segala
sesuatu (kemaslahatan) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.
mam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas
menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Maslahah mursalah
juga digunakan dikalangan non-Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut
mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash,
bukan dari nash rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Pernyataan dukungan
terhadap maslahah mursalah yang paling menarik berasal dari Imam Syatibi yang
mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat qat’i,
sekalipun dalam penerapannya bersifat zhanni (relatif).
Sementara dari kelompok ulama Hanafiyah, tidak ditemukan diantara mereka
yang menggunakannya sebagai sebuah metode ijtihad. Hal ini bisa dipahami
karena mereka telah menggunakan metode istihsan, metode yang secara konsep
sedikit banyak mirip dengan maslahah mursalah.
Sementara kelompok yang menentang menggunakan argumentasi kalau suatu
maslahat sudah ada petunjuk syariat yang membenarkannya, maka ia telah
termasuk bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syariat yang
membenarkan, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu maslahat.
Mengamalkan sesuatu diluar petunjuk syariat, bagi mereka yang menentang
penggunaan maslahah mursalah, berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-
Quran dan sunnah Nabi. Di sisi lain, timbul pula kekhawatiran bahwa maslahah
mursalah ini akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada
sekehendak hati dan menurut hawa nafsu.

Contoh paling nyata dari penggunaan metode maslahah mursalah dalam


kehidupan kita ialah pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi dari negara
menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian
harta bersama, waris dan lainnya.

5. Pengertian Sududz Dzariah beserta contohnya


Makna Secara Umum, Saddu Zariah adalah suatu yang mencakup perantara atau
jalan untuk mencapai sesuatu, baik berupa kemaslahatan ataupun kerusakan.
Makna Secara Khusus, Saddu Zariah adalah suatu perbuatan yang pada dasarnya
mubah, namun menjadi jalan menuju perbuatan yang diharamkan.
Menurut Imam Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami, atau yang lebih
dikenal dengan panggilan Imam asy-Syathibi (wafat 790 H), munculnya
metode saddudz dzari’ah tidak lepas dari perdebatan yang terjadi di antara ulama
terdahulu. Perdebatan itu memunculkan dua pendapat yang sama-sama kuat.
Pertama, ada yang mengatakan bahwa metode ini menjadi dalil syariat yang
sudah kredibel dan layak untuk mencetuskan suatu hukum melalui kesepakatan
di antara mereka. Pendapat ini sebagaimana dipedomani dan disepakati ulama
kalangan mazhab Maliki, Hanbali, sebagian mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab
Hanafi. Kedua, ada yang mengatakan bahwa saddudz dzari’ah tidak bisa
dijadikan dalil secara khusus dan tidak bisa dikatakan sumber yang kredibel
untuk menjawab dan mencetuskan sebuah hukum. Pendapat ini adalah pendapat
sebagian ulama kalangan mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hanafi. (Asy-
Syathibi, al-Muwâfaqât lisy Syâthibi, [Maktabah Dârubnu ‘Affân: 1997], juz V,
halaman 178).
Para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan al dzariah sebagai salah satu
pendekatan ijtihad dalam rangka penetapan hukum islam sebagai perwujudan
bahwa hukum islam bertujuan untuk merealisasikan kesejahteraan manusia.  
Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Imam Malik menggunakan saddu zariah
bukanlah seorang diri dan hanya khususiatnya, tetapi sebenarnya para ulama itu
memakainya, hanya saja tidak dikatakan sebagai saddu zariah, melainkan
menamakannya dengan izma.   
Abu Zuhra menyatakan bahwa saddu zariah adalah satu dasar pertimbangan
imam malik dalam mendapati furu-furu yang kemudian ia nukilkan dalam
tulisan-tulisannya. Pembahasannya meliputi, bahwa yang mendatangkan kepada
yang haram itu hukumnya haram, sedangkan yang menjadi wasilah hukumnya
halal itu hukumnya halal pula. Setiap hal yang diperintahkan itu mengandung
kemaslihatan dan segala sesuatu yang mendatangkan kerusakan hukumnya adalah
haram.
Contohnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dijumpai kebanyakan
orang. Dalam ranah ini, syariat membolehkannya karena jika tempatnya sudah
jarang dijumpai, tentu sumur penggalian itu juga jarang ditemukan.
Konsekuensinya juga tidak akan ada orang yang terjebak dengan adanya
penggalian sumur tersebut. Hal itu diperbolehkan karena dalam ranah hukum
taklifi dibangun atas dasar kebiasaan yang dianggap mendominasi, bukan
melihat dampaknya yang masih sangat jarang.
Contohnya, setiap pekerjaan yang lebih dominan berpotensi pada kerusakan dan
bahaya, serta mendominasi menurut prasangka bahwa dampaknya berbahaya,
maka hukumnya haram. Contohnya, menjual senjata tajam pada perampok,
maling, dan lainnya; atau menjual minuman keras kepada para pemabuk, dan
sesamanya

6. Pengertian Istishab beserta contohnya


Istishab menurut bahasa berarti ” mencari sesuatu yang ada hubungannya” .
Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum
tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa
lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang
telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu
peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy
Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau
dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
a. Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu
ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah
untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana
dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian
halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan,
dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum
mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau
mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum
muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan
meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari
benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishhab berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang
dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu
lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal
atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri.
Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai)
walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang
kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku
bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang
pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh
(hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku,
menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”
3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku
menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”
Contoh Istishab:
1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena
telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B
belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A
dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah
lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
2. “apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena
keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.” Maka orang yang
yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal,
maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian
berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib
berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah
menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut
tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh
keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan
kebatalannya.

7. Pengertian Urf beserta contohnya


Secara etimologi Kata ‘Urf berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang
dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak
asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan. Istilah ‘Urf dalam
pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adad istiadat).
Sedangkan dalam pandangan Ulama Ushul fiqh Urf adalah Kebiasaan mayoritas
kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa
Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania)
mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum
dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang
didaerah tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah
kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul
dari sesuatu pemikiran dan pengalaman.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa
mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
Diterimanya Urf oleh mereka sebagai landasan hukum adalah dengan beberapa
alasan yang salah satunya terdapat dalam surah Al-A’raf Ayat 199  
“Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-
‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf 199)  
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya,
oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Sebagaimana yang telah dinyatakan
bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah
‘urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.   
Contoh urf
1. misalnya, kebiasaan manusia mengenai istishna' (sudah dibayar harganya,
tetapi barangnya masih akan dibuat), dan apa yang diserahkan oleh peminang
kepada gadis pinangannya berupa perhiasan dan pakaian itu adalah hadiah bukan
mahar.
2. Misalnya, jika terjadi dua orang berselisih tentaang hak, dan tiada seorang
pun dari keduanya punya buktu atas haknya itu, maka yang dimenangkan ialah
orang yang bisa didukung oleh adatnya. Dan barang sipa yang bersumpah :
"Tidak akan makan daging", lalu ia makan ikan laut, maka ia dipandang telah
melanggar sumpahnya. Karena menurut adat, ikan itu juga daging. Demikian
pula wakaf dengan barang bergerak seperti kuda juga sah, jika sejalan dengan
adat.
3. Misalnya, agama mentapkan untuk gandum, kurma dan garam, yang mau
dijualbelikan/ditukar perlu ditakar dengan alat tertentu, seperti  mud, sha ; rithl,
dan sebagainya. Kemudian jika adat ini berubah dengan menimbangnya dengan
alat timbangan lain, maka menurut Abi Hanifah dan Muhammad bin Al-Hasan,
tetap memakai adat lama. sebab bila memakai adat baru, terjadilah riba.
Sedangkan menurut Abu Yusuf dan kebanyakan ulama non-Hanafi, harus
menyusaikan dengan 'urf/adat yang baru.

Anda mungkin juga menyukai