Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.” Menurut istilah, ijma’ adalah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Jika ditinjau dari segi cara terjadinya maka ijma’ terdiri atas: 1. Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan maupun tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi; 2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ i’tibari. Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Ijma’ Qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. 2. Ijma’ Sukuti yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. Contoh Ijma’ 1. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat pada saat di Saqifah Bani Sai’idah. 2. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang dipelopori oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes ataupun menolak ijma’ yang dilakukan sahabat Utsman tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti. 3. Upaya pembukuan Kitab Suci Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a
2. Pengertian Qiyas berserta contohnya
Pengertian qiyas secara bahasa merupakan tindakan mengukur sesuatu atas sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Secara istilah qiyas adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya. Menurut Syaikh Muhammad al Khudari Beik disebutkan bahwa qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang atau persoalan baru yang tidak disebutkan nashnya karena adanya pertautan illat pada keduanya. Imam Syafi’i diketahui menjadi sebagai mujtahid pertama yang mengemukakan dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sejumlah patokan kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja, mujtahid sebelumnya juga diketahui pernah menggunakan qiyas namun belum membuat rumusan patokan dan asas. Jenis qiyas yang pertama adalah qiyas illat, yakni jenis qiyas yang sudah jelas illat dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga baik masalah pokok maupun cabang sudah jelas illat nya, sehingga para ulama secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang sedang dibandingkan dan diukur tadi. Jenis kedua dari qiyas adalah qiyas jali, yakni jenis qiyas yang illat suatu persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik kesimpulan nashnya namun bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk menyakiti kedua orang tua dengan perkataan kasar. Jenis ketiga adalah qiyas khafi, yaitu jenis qiyas yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan utamanya adalah haram maka persoalan yang menjadi cabang pokok tersebut juga haram, demikian jika sebaliknya. qiyas shabah, yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri bisa diambil dari yang disampaikan oleh Abu Hanifah mengenai mengusap atau menyapu kepala anak berulang-ulang. Berhubung qiyas adalah analogi atau perumpamaan, maka contohnya adalah menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak disebutkan dalam Al Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Maka para ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini sebagai khamr (minuman yang memabukan). Sebab sifat atau efek dari konsumsi narkotika sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding minuman memabukan tadi. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa narkotika hukumnya haram.
3. Pengertian Istihsan beserta contohnya
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Definisi istihsan menurut al-Ghazali al-Syafi’i adalah sesuatu yang menurut akal mujtahid dianggap baik. (Al-Ghazali, al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, hal. 317) Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. 1. Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan , yang termasuk diwaqafkan adalahhak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. 2. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. 3. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Secara kebahasaan, maslahah mursalah terdiri dari dua kata, yakni maslahah dan mursalah. Maslahah artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, dan mursalah berarti sesuatu yang terbebas atau lepas. Dengan demikian, maslahah berarti upaya mendatangkan kebaikan yang terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya untuk dilakukan. Imam Al-Ghazali sendiri dalam kitab al-Mustashfā’ merumuskan maslahah mursalah sebagai, segala sesuatu (kemaslahatan) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya. mam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Maslahah mursalah juga digunakan dikalangan non-Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Pernyataan dukungan terhadap maslahah mursalah yang paling menarik berasal dari Imam Syatibi yang mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat qat’i, sekalipun dalam penerapannya bersifat zhanni (relatif). Sementara dari kelompok ulama Hanafiyah, tidak ditemukan diantara mereka yang menggunakannya sebagai sebuah metode ijtihad. Hal ini bisa dipahami karena mereka telah menggunakan metode istihsan, metode yang secara konsep sedikit banyak mirip dengan maslahah mursalah. Sementara kelompok yang menentang menggunakan argumentasi kalau suatu maslahat sudah ada petunjuk syariat yang membenarkannya, maka ia telah termasuk bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syariat yang membenarkan, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu diluar petunjuk syariat, bagi mereka yang menentang penggunaan maslahah mursalah, berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al- Quran dan sunnah Nabi. Di sisi lain, timbul pula kekhawatiran bahwa maslahah mursalah ini akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menurut hawa nafsu.
Contoh paling nyata dari penggunaan metode maslahah mursalah dalam
kehidupan kita ialah pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi dari negara menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan lainnya.
5. Pengertian Sududz Dzariah beserta contohnya
Makna Secara Umum, Saddu Zariah adalah suatu yang mencakup perantara atau jalan untuk mencapai sesuatu, baik berupa kemaslahatan ataupun kerusakan. Makna Secara Khusus, Saddu Zariah adalah suatu perbuatan yang pada dasarnya mubah, namun menjadi jalan menuju perbuatan yang diharamkan. Menurut Imam Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Imam asy-Syathibi (wafat 790 H), munculnya metode saddudz dzari’ah tidak lepas dari perdebatan yang terjadi di antara ulama terdahulu. Perdebatan itu memunculkan dua pendapat yang sama-sama kuat. Pertama, ada yang mengatakan bahwa metode ini menjadi dalil syariat yang sudah kredibel dan layak untuk mencetuskan suatu hukum melalui kesepakatan di antara mereka. Pendapat ini sebagaimana dipedomani dan disepakati ulama kalangan mazhab Maliki, Hanbali, sebagian mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hanafi. Kedua, ada yang mengatakan bahwa saddudz dzari’ah tidak bisa dijadikan dalil secara khusus dan tidak bisa dikatakan sumber yang kredibel untuk menjawab dan mencetuskan sebuah hukum. Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama kalangan mazhab Syafi’i dan sebagian mazhab Hanafi. (Asy- Syathibi, al-Muwâfaqât lisy Syâthibi, [Maktabah Dârubnu ‘Affân: 1997], juz V, halaman 178). Para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan al dzariah sebagai salah satu pendekatan ijtihad dalam rangka penetapan hukum islam sebagai perwujudan bahwa hukum islam bertujuan untuk merealisasikan kesejahteraan manusia. Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Imam Malik menggunakan saddu zariah bukanlah seorang diri dan hanya khususiatnya, tetapi sebenarnya para ulama itu memakainya, hanya saja tidak dikatakan sebagai saddu zariah, melainkan menamakannya dengan izma. Abu Zuhra menyatakan bahwa saddu zariah adalah satu dasar pertimbangan imam malik dalam mendapati furu-furu yang kemudian ia nukilkan dalam tulisan-tulisannya. Pembahasannya meliputi, bahwa yang mendatangkan kepada yang haram itu hukumnya haram, sedangkan yang menjadi wasilah hukumnya halal itu hukumnya halal pula. Setiap hal yang diperintahkan itu mengandung kemaslihatan dan segala sesuatu yang mendatangkan kerusakan hukumnya adalah haram. Contohnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dijumpai kebanyakan orang. Dalam ranah ini, syariat membolehkannya karena jika tempatnya sudah jarang dijumpai, tentu sumur penggalian itu juga jarang ditemukan. Konsekuensinya juga tidak akan ada orang yang terjebak dengan adanya penggalian sumur tersebut. Hal itu diperbolehkan karena dalam ranah hukum taklifi dibangun atas dasar kebiasaan yang dianggap mendominasi, bukan melihat dampaknya yang masih sangat jarang. Contohnya, setiap pekerjaan yang lebih dominan berpotensi pada kerusakan dan bahaya, serta mendominasi menurut prasangka bahwa dampaknya berbahaya, maka hukumnya haram. Contohnya, menjual senjata tajam pada perampok, maling, dan lainnya; atau menjual minuman keras kepada para pemabuk, dan sesamanya
6. Pengertian Istishab beserta contohnya
Istishab menurut bahasa berarti ” mencari sesuatu yang ada hubungannya” . Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut. Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. a. Istishhab berdasar penetapan akal Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya. Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut: 1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).” 2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.” 3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.” b. Istishhab berdasarkan hukum syara’ Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan. Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah: 1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.” 2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.” 3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.” Contoh Istishab: 1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab. 2. “apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.” Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
7. Pengertian Urf beserta contohnya
Secara etimologi Kata ‘Urf berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan. Istilah ‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adad istiadat). Sedangkan dalam pandangan Ulama Ushul fiqh Urf adalah Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania) mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman. Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Diterimanya Urf oleh mereka sebagai landasan hukum adalah dengan beberapa alasan yang salah satunya terdapat dalam surah Al-A’raf Ayat 199 “Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al- ‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf 199) Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Contoh urf 1. misalnya, kebiasaan manusia mengenai istishna' (sudah dibayar harganya, tetapi barangnya masih akan dibuat), dan apa yang diserahkan oleh peminang kepada gadis pinangannya berupa perhiasan dan pakaian itu adalah hadiah bukan mahar. 2. Misalnya, jika terjadi dua orang berselisih tentaang hak, dan tiada seorang pun dari keduanya punya buktu atas haknya itu, maka yang dimenangkan ialah orang yang bisa didukung oleh adatnya. Dan barang sipa yang bersumpah : "Tidak akan makan daging", lalu ia makan ikan laut, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Karena menurut adat, ikan itu juga daging. Demikian pula wakaf dengan barang bergerak seperti kuda juga sah, jika sejalan dengan adat. 3. Misalnya, agama mentapkan untuk gandum, kurma dan garam, yang mau dijualbelikan/ditukar perlu ditakar dengan alat tertentu, seperti mud, sha ; rithl, dan sebagainya. Kemudian jika adat ini berubah dengan menimbangnya dengan alat timbangan lain, maka menurut Abi Hanifah dan Muhammad bin Al-Hasan, tetap memakai adat lama. sebab bila memakai adat baru, terjadilah riba. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan kebanyakan ulama non-Hanafi, harus menyusaikan dengan 'urf/adat yang baru.