Anda di halaman 1dari 14

Nama : Ferdinand Rizki Widya Dhana

NIM : 202010110311522
Kelas : H
Meresmue buku Bab 6
Bab 6 WEWENANG
A. Pengertian
Wewenang adalah bagian penting dari hukum administrasi. Indroharto
menyatakan bahwa wewnang merupakan pengertian pokok hukum tata negara
dan hukum tata usaha negara. Wewenang oleh Indroharto diartikan sebagai suatu
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah.
Rene Seerden dan Frits Stroink menyatakan bahwa ciri utama dari wewenang
adalah bahwa wewenang dilaksanakan secara sepihak dan memiliki akibat
berlaku untuk semua orang. Hal ini yang membedakan dari hukum privat, di
mana dua pihak atau lebih menciptakan kewajiban berdasarkan suatu
kesepakatan.
Menurut Bradley dan Ewing, ketika undang-undang memberikan wewenang
kepada badan atau pejabat pemerintahan, mungkin saja berarti memberikan
tugas/kewajiban yang luas kepada badan atau pejabat pemerintahan untuk
memenuhi tujuan kebijakan tertentu. Selanjutnya. Bradley dan Ewing
menyatakan bahwa dalam hukum administrasi, wewenang memiliki dua
pengertian yang tidak selalu dibedakan, yaitu :
1. kemampuan untuk melakukan tindakan dengan cara-cara tertentu.
2. wewenang untuk membatasi atau mengambil hak orang lain.
Menurut Peter Cane, wewenang memiliki tiga pengertian sebagai berikut.
1. Bahwa badan pemerintahan memiliki kewenangan (hukum) untuk melakukan
X, maka berarti bahwa badan pemerintahan tersebut (secara hukum) berhak
untuk melakukannya.
2. Perlu dibedakan antara kewenangan hukum dan apa yang disebut sebagai
kewenangan ‘de facto’. Kewenangan hukum dapat berasal dari undang-undang
maupun hukum kebiasaan.
3. Pengertian ketiga dari wewenang adalah diskresi. Diskresi adalah konsep yang
rumit, tetapi dapat dikatakan bahwa pokok atau intisari dari diskresi adalah
pilihan (choice).
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan menggabungkan ‘tugas’ dengan
‘wewenang’ dengan judul Tugas dan Wewenang. Penggabungan istilah tugas dan
wewenang adalah bersifat contradicto in terminis. Tugas selalu dikaitkan dengan
suatu kewajiban dan wewenang dikaitkan dengan hak. Tugas adalah suatu
keharusan untuk dilaksanakan sedangkan wewenang dapat dilakukan atau dapat
tidak dilakukan.
Menurut Philipus M. Hadjon, konsep kekuasaan lebih tepat dibandingkan dengan
tugas dan wewenang. Kekuasaan mengandung hak dan kewajiban namun tidak
perlu diadakan pemisahan antara tugas yang mengandung pengertian kewajiban
dan dari hak (wewenang).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
membedakan wewenang dengan kewenangan.
“Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 1 angka 5). Kewenangan
Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
bertindak dalam ranah hukum publik (Pasal 1 angka 6)”.
Dengan demikian, dalam persepektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan lebih luas daripada wewenang.
Kewenangan adalah kekuasaan yang berarti di dalamnya ada hak dan kewajiban
sementara wewenang adalah hak.
B. SUMBER WEWENANG
Menurut Rene Seerden dan Frits Stroink, wewenang dapat diperoleh secara
atribusi (attribution) atau delegasi (delegation). Pengertian atribusi dan delegasi
sendiri dijelaskan oleh mereka, dimana atribusi berarti memberikan kewenangan
asli, sementara delegasi berarti bahwa organ yang telah diberikan kewenangan
asli tersebut oleh ketentuan undang-undang diberikan kewenangan untuk
memindahkan atau mendelegasikan semua atau sebagian dari kewenangannya
kepada orang lain. Oleh karena itu, pada delegasi dipersyaraktkan adanya dasar
hukum dalam ketentuan undang-undang.
Atribusi berasal dari kata latin ‘tribuere’ yang berarti to give atau to distribute.
Jadi, atribusi adalah wewenang yang diberikan yaitu diberikan oleh undang-
undnag dasar atau undang-undang kepada suatu jabatan. Sementara itu, delegasi
berasal dari kata Latin ‘delegatio’ yang berarti substitution. Jadi, delegasi
berarti pengganti. Delegasi adalah peralihan wewenang daris atu badan
pemerintahan ke badan pemerintahan lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, wewenang atribusi disebut”wewenang yang ada padanya”,sedangkan
wewenang delegasi adalah “wewenang yang dilimpahkan kepadanya”.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintaha
n, atribusi, delegasi, dan mandat diberikan pengertian sebagai berikut. “Atribusi
adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1
angka 22).
Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
sepenuhnya kepada penerima delegasi (Pasal 1 angka 23).
Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tunggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada
pemberi mandat (Pasal 1 angka 24).a
Beberapa contoh wewenang atribusi adalah sebagai berikut.
Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang.”
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang.”
Wewenang delegasi misalnya terdapat dalam beberapa peraturan perundang-
undangan sebagai berikut.
Pasal 24 UU No. 7 Tahun 2014
(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memiliki
perizinan di bidang Perdagangan yang diberikan oleh Menteri.
(2) Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberikan perizinan
kepada Pemerintah Daerah atau instansi teknis tertentu.
(3) Menteri dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban memiliki
perizinan di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan di bidang Perdagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengecualiannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan Chapter 10.1 (Mandate, delegation and conferral of powers)
General Adminitsrative Law Act (GALA) Belanda, perbedaan atribusi, delegasi,
dan mandat dapat diuraikan berikut.
Atribusi
Atribusi adalah wewenang badan/pejabat TUN yang bersumber pada
konstitusi/udang-undang
Delegasi
Delegasi pelimpahan wewenag dari satu badan/pejabat TUN kepada
badan/pejabat TUN lainnya, dan tanggung jawab atas wewenang itu ikut beralih
kepada badan/pejabat TUN yang menerima limpahan wewenang.
Delegasi tidak boleh keapda bawahan (no delegation to subordinates).
Delegasi hanya berdasarkan ketentuan udang-undang
Mandat
Mandat adalah wewenang untuk mengambil keputusan atas nama badan/pejabat
TUN yang memberikan mandat.
Pengambilan keputusan oleh penerima mandat (mandatory) berdasarkan
pertimbangan pemnberi mandat (mandator). Mandat dapat diberikan secara
umum (general mandate) atau secara khusus (special mandate).
Mandat umum diberikan secara tertulis. Mandat khusus diberikan secara tertulis
jika mandatory tidak bertanggung jawab kepada mandator.
Sebagai perbandingan, Peter Leyland dan Gordon Anthony mengemukakan
sumber wewenang pemerintahan menurut hukum administrasi Inggris sebagai
berikut.
1. Undang-undang . Sebuah undang-undang melegitimasi setiap tindakan yang
diambil oleh pemerintah, apakah itu berupa keputusan pembelian properti,
memungkinkan pencari suaka untuk tetap tinggal di negara, pemberian hibah
pendidikan, memberikan dukungan kepada mereka yang berpenghasilan rendah,
tunawisma, dan lain sebagainya. Selain itu, undang-undang menetapkan
parameter wewenang untuk bertindak, misalnya menentukan tujuan dari tindakan
tersebut, pertimbangan yang harus diambil pada saat akan melakukan tindakan,
serta prosedur yang harus diaati.
2.Di samping undang-undang, wewenang pemerintahan dapat bersumber dari apa
yang disebut the Royal prerogative. The Royal prerogative adalah kekuasaan
yang berasal dari the common law. Menurut sejarahnya, kekuasaan ini melekat
pada pribadi/raja kerajaan, tetapi pada saat sekarang dilakukan oleh pemerintah
atas nama Raja.
3. Selain yang telah dibahas sebelumnya, wewenang pemerintahan dapat
bersumber dari apa yang disebut third source of authority, yaitu wewenang untuk
mengambil keputusan yang tidak bergantung pada hukum positif, yang dalam hal
ini dapat dikatakan terdiri atas aturan-aturan hukum yang disetujui dan disahkan
oleh negara.
C. WEWENANG TERIKAT DAN WEWENANG DISKRESI
1. Wewenang Terikat
Wewenang yang disebut pertama adalah wewenang terikat, dimana badan atau
pejabat pemerintahan hanya melaksanakan atau tidak melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh undang-undang dan tidak ada ruang untuk memilih atau
menafsirkan lainnya.
Dalam hukum administrasi Perancis, wewenang terikat disebut competence liee,
yang secara harfiah berarti bound authority, yaitu wewenang yang di dalamnya
tidak ada ruang untuk memilijh sama sekali (that it has no discretion at all).
Wewenang terikat adalah wewenang yang didalamnya tidak ada ruang untuk
memilih sama sekali.
Menurut Timothy Edicott, wewenang terikat berarti badan atau pejabat
pemerintahan terikat kewajiban untuk menggunakan wewenangnya dengan cara-
cara tertentu. Jika undang-undang mewajibkan badan atau pejabat pemerintahan
untuk melaksanakan wewenangnya dengan cara tertentu, kemudian
membedakannya kewajiban hukum maka itu adalah wewenang terikat dan tidak
ada diskresi di dalamnya. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,
wewenang terikat misalnya terdapat pada Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup
yang menetapkan.

2. Wewenang Diskresi
Frydam mengemukakan bahwa wewenang diskresi (pouvir discretionnaire or
discretionary power) berarti that it has an absolute discretion to make such or
such decision. Misalnya, kebebasan memilih bagi Presiden Perancis untuk
memutuskan memberikan tanda jasa sebagai The legion of Honour bagi warga
negara. Hakim tidak akan melakukan pengujian jika Presiden melakukan
kesalahan dalam melakukan penilaian bagi warga negara yang memperoleh tanda
jasa.
Menurut Timothy Edicott, diskresi memiliki dua pengertian. Pertama, diskresi
adalah kebebasan memilih pada pihak pembuat keputusan. Kedua, diskresi
berarti memiliki makna yang sama dengan kepatutan dan kesusilaan. Dalam
diskresi terdapat dua aspek, yaitu pembuat keputusan memiliki pilihan untuk
membuat keputusan ; dan pengambilan keputusan bertindak secara tanggung
jawab dan tidak sewenang-wenang.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UUAP), Pasal 1 angka 9 menetapkan pengertian diskresi.
“Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal ini peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap
atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”
Di Indonesia, diskresi dapat ditemukan dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945
maupun berbagi undang-undang sebagai berikut.
Pasal dalam UUD/UU
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang.
Diskresi
Diskresi Presiden untuk menafsirkan makna hal ihwal kegentingan yang
memaksa sebagai syarat ditetapkannya peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
Pasal 44 ayat (2) UU No. 41 Tahun 2009 = Menafsirkan makna kepentingan
umum
Pasal 11 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 = Menafsirkan makna keadaan darurat.
Pasal 78 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 = Pilihan untuk melakukan kerja sama.
Pasal 331 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 “Daerah dapat mendirikan BUMD.”
= Pilihan untuk medirikan BUMD.
Penting untuk diperhatikan adalah bahwa wewenag diskresi baik yang wujudnya
pilihan-pilihan atau untuk menafsirkan konsep tertentu dalam undang-undang
(kepentingan nasional, keadaan darurat, dan lainnya) tidak dapat dilakulan
dengan sebebas-bebasnya tetapi berdasarkan batas-batas yang ada.
D. TINDAKAN TANPA WEWENANG
Tindakan tanpa wewenang dalam hukum administrasi Belanda dikenal sebagai
onbevoegdheid dan incompetence dalam hukum administrasi Perancis menurut
Peter Cane, incompetence berarti ketika badan atau pejabat pemerintahan
melakukan suatu tindakan tanpa wewenang sama sekali. Incompetence atau want
of authority berarti tindakan pejabat tanpa wewenang ( a public official acting
without authority). Hal ini dapat terjadi, misalnya ketika wali kota membuat
suatu keputusan yang faktanya wewenang untuk membuat keputusan tersebut
menjadi wewenang menteri terkait. Menurut Joseph Minattur, incompetence
terjadi ketika seorang pejabat bertindak tanpa kewenangan seperti ketika seorang
pejabat bertindak tanpa kewenangan seperti ketika seorang pegawai negeri sipil
diberhentikan oleh atasannya langsung tanpa delegasi wewenang dari menteri
terkait.
Menurut Alex Carrol, badan atau pejabat pemerintahan bertindak di luar
wewenang jika :
a. membuat keputusan atau tindakan di luar kewenangan hukumnya atau gagal
untuk melakukan sesuatu yang menjadi kewajibannya ;
b. membuat keputusan atau tindakan yang memang berdasarkan kewenangannya
akan tetapi berhubungan dengan materi yang salah ;
c. kesalahan menafsirkan hukum yang dipakai sebagai dasar untuk mengambil
keputusan.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa setiap wewenang dibatasi oleh materi
(substansi), ruang/wilayah (locus) dan waktu (tempus). Tindakan yang
melampaui batas-batas wewenang tersebut adalah tindakan tanpa wewenang.
Tindakan tanpa wewenang (onbevoegdheid) dapat berupa onbevoegdheid ratione
material (substansi), onbevoegdheid ratione loci (wilayah), atau onbevoegdheid
ratione temporis (waktu).
Menurut Peter Leyland dan Gordon Anthony, keputusan yang dibuat oleh badan
atau pejabat pemerintahan yang tidak memiliki wewenang untuk membuat
keputusan yang dibuat itu, maka keputusan tersebut tidak ada dan tidak pernah
ada atau void ab initio yaitu never having had legal validity; void from the
beginning. Keputusan dianggap tidak pernah ada sejak semula atau batal demi
hukum.
E. PENYALAHGUNAAN WEWENANG
Adrian Bedner menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang berdasarkan
prinsip bahwa wewenang pemerintah hanya dapat digunakan untuk mencapai
tujuan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
memberikan wewenang tersebut. Menurut Timothy Endicott, yang dimaksud
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) adalah menggunakan wewenang
untuk tujuan buruk, misalnya maliciously yaitu memenjarakan seseorang untuk ,
atau mencegah mereka agar tidak mengkritik pemerintah, atau menggunakan
weweanng untuk keuntungan pribadi bukan kepentingan publik. Penyalahgunaan
terjadi wewenang terjadi ketika pejabat pembuat keputusan melakukan tindakan
untuk tujuan yang menyimpang yaitu dalam hal pembuat keputusan memiliki
motif yang bertentangan dengan tujuan yang dikehendaki oleh undang-undang.
Mengenai tindakan penyalahgunaan wewenang, Alex Carrol menyatakan,
kewenangan menurut undang-undang harus digunakan sesuai dengan tujuan yang
tersurat maupun tersirat diberikannya kewenangan itu. Jika kewenangan itu
digunakan untuk tujuan yang tersembunyi, atau tidak sesuai dengan tujuan yang
diberikan oleh undang-undang, maka wewenang itu telah digunakan secara ilegal
atau tidak sah.
Misalnya, penyalahgunaan wewenang perkara Beauge, dimana keputusan wali
kota melarang berpakaian dan membuka baju di pantai yang seolah-olah
tujuannya untuk menjaga kesopanan publik namun pada kenyataannya untuk
memaksa orang-orang agar tidak mandi di pantai tetapi di tempat mandi yang
dibangun oleh pemerintah kota.
Penyalahgunaan wewenang terjadi karena kesengajaan bukan kealpaan atau
kelalaian, yaitu dengan sengaja mengalihkan tujuan wewenang sehingga
menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang tersebut. Tindakan
mengalihkan tujuan wewenang tersebut dilandasi interes pribadi yang negatif,
misalnya untuk memperoleh keuntungan pribadi atau orang lain.
Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir atau abuse of power)
menunjukan pada motif yang menjadi dasar badan atau pejabat pemerintahan
ketika membuat keputusan. Penyalahgunaan wewenang terjadi jika badan atau
pejabat pemerintahan tersebut menggunakan wewenangnya untuk membuat
keputusan untuk tujuan lain daripada tujuan diberikannya wewenang untuk
keputusan tersebut.
F. TINDAKAN SEWENANG-SEWENANG
Sewenang-wenang dalam bahasa Belanda willekuer yang kemudian dikenal
sebagai kennelijke on redelijke dan bahasa inggris unreasonaleness atau
irrationality. Indroharto menggunakan istiliah menyimpang dari nalar yang sehat
untuk menyebut sewenang-wenang. Perbuatan sewenang-wenang adalah
perbuatan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan
kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar sehingga tampak atau terasa
oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) ada ketimpangan.
Indroharto mengemukakan bahwa tindakan sewenang-wenang meliputi dua aspek
berikut.
1. Tidak dilakukannya perbuatan menimbang-nimbang terhadap semua
kepentingan yang terkait dengan keputusan yang dikeluarkan. Atau
2. Telah dilakukan perbuatan menimbang-nimbang tersebut yang sedemikian
tidak masuk akal, sehingga mengakibatkan dikeluarkannya keputusan yang sama
sekali tidak bisa diterima/dibenarkan.
Menurut Timothy Edicoti, tindakan sewenang-wenang terjadi ketika tidak
menggunakan semua pertimbangan-timbangan yang menjadi pedoman dalam
penggunaan wewenang (does not respond at all to the considerations that ought
to guide it). Dalam rangka menghindari tindakan sewenang-wenang, tindakan
badan atau pejabat pemerintahan harus berdasarkan penilaian objektif atas dasar
keseimbangan kepentingan sehingga kepentingan tersebut tidak diabaikan, atau
sebaliknya berdasarkan kepentingan yang tidak masuk akal.
G. MALAADMINISTRASI
Malaadministrasi berasal dari gabungan dua kata, yaitu ‘mala’ dan
‘administrasi’. ‘Mala’ adalah kata adjektif yang dalam Hukum Perancis diartikan
sebagai buruk atau salah. Bahasa Latin dapat juga berarti wrong in and of itself.
Sementara kata ‘administrasi’ berarti pelaksanaan kewajiban pemerintah.
Dengan demikian, malaadministrasi berarti pelaksanaan kewajiban pemerintah
yang buruk atau salah dan pelaksanaan kewajiban pemerintah yang berhubungan
dengan pelayanan publik kepada warga negara. Malaadministrasi adalah
pelayanan publik yang buruk atau salah.
Malaadministrasi disebut juga misadministrasi yang keduanya berarti wrong
administration. Bryan Garner mengartikan malaadministrasi sebagai managen
atau regulasi yang tidak baik, misalnya karena kapatis pegawai (poor
management or regulation, especially in an official capacity).
Menurut Departmen for Work and Pensions, malaadministrasi tidak
didefinisikan. Namun, istiliah ‘malaadministrasi’ kadangkala digunakan untuk
menggambarkan ketika tindakan kita tau ketika kita tidak akan bertindak
berakibat pada pelayanan terhadap konsumen yang tidak sesuai dengan
komitmen yang kita berikan. Hal ini berlaku dalam keadaan dimana kita tidak
bertindak dengan baik atau menyediakan pelayanan yang buruk.
Malaadministrasi misalnya, adalah saran yang salah, ketidaksopanan, kesalahan
dan penundaan.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Undang-Undang Ombudsman)
mendefinisikan malaadministrasi sebagai berikut.
“Malaadministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggaraan Negara
dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang-perseorangan.”
H. DAPAT DIBATALKAN, BATAL, DAN BATAL DEMI HUKUM
Pemahaman mengenai konsep ‘dapat dibatalkan’, ‘batal’, dan ‘batal demi
hukum’ sangat penting karena ketiganya tidak saja memiliki makna yang tidak
sama tetapi juga memiliki akibat hukum yang berbeda. Suatu keputusan yang
diambil oleh badan atau pejabat pemerintahan dapat berakibat dapat dibatalkan,
batal, atau batal demi hukum, dapat terjadi karena dari cacat isi keputusan,
ketiadaan wewenang dari badan atau pejabat pembuat keputusan, atau dari
ketidaktaatan untuk mengikuti prosedur dalam pengambilan putusan.
Mahendra P. Singh menyatakan bahwa keputusan yang dapat dibatalkan berarti
keputusan itu terus berlaku efektif sampai ditetapkan sebaliknya oleh badan atau
pejabat yang berwenang atau oleh pengadilan, atau kehilangan berlakunya
karena habis jangka waktunya atau karena cara-cara lainnya. Untuk keputusan
yang batal demi hukum bukanlah keputusan. Sejak kelahirannya, keputusan
tersebut dianggap dapat pernah ada dan sama sekali tidak pernah berlaku
mengikat. Suatu tindakan atau keputusan yang dapat dibatalkan berarti is stands
unless and until it s set aside, sedangkan tindakan atau keputusan yang batal
demi hukum there is no need for an order to quash it.
Dalam hukum administrasi Perancis, batal demi hukum disebut inexistence, yang
berarti keputusan yang dibuat badan atau pejabat pemerintahan benar-benar
tidak ada (non-existent) oleh karena tidak adanya beberapa unsur/elemen
penting. Misalnya, prefect menyatakan batal terhadap pemilihan umum tingkat
lokai dan kemudian menyelenggarakan pemilihan umum lagi tanpa mengikuti
putusan pengadilan yang mensyaratkan penyelenggaraan pemilihan umum harus
berdasarkan undang-undang pemilu. Mahkamah agung Perancis (Conseil d’Etat)
menyatakan bahwa karena prosedur penting tidak diikuti, keputusan prefect
mengenai pemilihan umum adalah batal demi hukum. Dalam hal keputusan batal
demi hukum maka tidak diperlukan tindakan pembatalan dan pengadilan akan
menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak ada yaitu keputusan itu tidak
memiliki eksistensi dalam hukum (there is no need for an annulment; all that the
court does is to declare the non-existence of administrative act, that is, that the
act has no existence in law).
Berdasarkan paparan diatas, perbedaan ‘dapat dibatalkan’ dengan’batal demi
hukum’ dapat dirumuskan dalam tabel berikut.
Keputusan Sejak Kekuatan Mengikat dan Tindakan Pembatalan
Akibat Hukum
Batal demi hukum Sejak semula Tidak pernah, memiliki Tidak diperlukan tindakan
tindakan/keputusan kekuatan mengikat dan pembatalan/dengan
dilakukan/dibuat akibat hukum sendirinya secara hukum
Dapat dibatalkan Sejak tindakan/keputusan Tidak mengikat dan Harus ada tindakan
dinyatakan batal memiliki akibat hukum pembatalan
sampai ada pembatalan

1. UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAN PUTUSAN


PENGADILAN
Pada sebab ini diuraikan mengenai konsep tindakan tanpa wewenang,
penyalahgunaan wewenang, dan batal demi hukum dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, Penjelasan Pasal (1) huruf e menetapkan pengertian
asas tidak menyalahgunaan kewenangan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan ‘asas tidak menyalahgunakan kewenangan’ adalah asas
yang mewajibkan setiap Badan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan
kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak
sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak
menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.”
Pengertian asas tidak menyelahgunakan kewenangan sebagaimana terdapat pada
penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
sudah tepat dengan berdasarkan pada asas spesialitas. Badan atau pejabat
pemerintahan dilarang menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain yang
menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan tersebut. Namun demikian,
menjadi membingungkan ketika di dalamnya terdapat unsur tidak melampaui
wewenang atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
Penggunaan wewenang yang melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya wewenang atau melampui batas wilayah berlakunya wewenang bukan
tindakan penyalahgunaan wewenang tetapi tindakan tanpa wewenang. Dengan
demikian, rumusan tentang asas tidak menyalahgunakan kewenangan dalam
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huru e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan telah menjadikan rancu antara tindakan
penyalahgunaan wewenang dengan tindakan tanpa wewenang.
Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 diatur tentang larangan
penyalahgunaan wewenang sebagai berikut.
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. larangan melampaui wewenang;
b. larangan mencapuradukkan wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Penjelasan Pasal 17 hanya menyatakan cukup jelas. Tanpa penjelasan apa yang
dimaksud dengan larangan penyalahgunaan wewenang, Pasal 17 ayat (2)
menetapkan 3 macam larangan penyalahgunaan wewenang, yaitu : larangan
melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan larangan
sewenang-wenang.
Kesalahan memahami konsep tindakan sewenang-wenang juga terdapat pada
Pasal 32 ayat (1) yang menetapkan :
“Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.”
Diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang adalah tindakan
tanpa wewenang dan bukan tindakan sewenang-wenang.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan hanya membedakan dua akibat hukum dari tindakan atau
keputusan oleh badan atau pejabat pemerintahan, yaitu tindakan atau keputusan
tidak sah dan tindakan atau keputusan yang dapat dibatalkan. Tindakan atau
keputusan yang tidak sah terjadi dalam hal:
1. Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan
melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a
dan Pasal 18 ayat (1).
2. Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara
sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan
Pasal 18 ayat (3).
Lalu apa yang dimaksud dengan keputusan dan/atau tindakan yang tidak sah?
Mengenai keputusan dan/atau tindakan tidak sah, Suparto Wijoyo
mengemukakan pendapatnya.
“Tidak sah-‘niet recht gelding’ mengandung pengertian lebih luas dari pada
batal sebab di dalam tidak sah tidak hanya termasuk batal-‘nietig atau batal
mutlak-absolute nietig’ saja, melainkan juga termasuk batal demi hukum-‘van
rechtsege nietig’ dan dapat dibatalkan-‘vernietigboar’ yang masing-masing
mempunyai makna yuridis tersendiri…Batal (nietig) berarti perbuatan yang
dilakukan dianggap tidak pernah ada, jadi dapat disebut batal mutlak (absolute
nietig). Batal demi hukum (van rechtswege nietig) berarti akibat perbuatan
dianggap ada tanpa perlu adanya suatu putusan hakim atau keputusan badan
pemerintah lain yang berkompeten yang membatalkan perbuatan tersebut,
sedangkan dapat dibatalkan (vernietigbaar) berarti perbuatan yang dilakukan dan
akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan
pemerintahan lain yang berkompeten.”
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) menjelaskan pengertian ‘tidak sah’ sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “tidak sah” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Peerintahan yang
tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada
keadaan semula sebelum Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau
dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah
ada.”
Mengenai pengertian ‘dapat dibatalkan’ dijelaskan oleh penjelasan Pasal 19 ayat
(2) yaitu pembatalan keputusan dan/atau tindakan melalui pengujian oleh atasan
pejabat atau badan peradilan. Jadi, keputusan dan/atau tindakan yang dapat
dibatalkan harus berdasarkan keputusan atasan pejabat yang melakukan tindakan
atau mengeluarkan keputusan atau oleh putusan peradilan. Sebelum ada
pembatalan tersebut maka keputusan dan/atau tindakan berlaku sah.
Ketidakjealsan mengenai konsep ‘batal demi hukum’ ditemukan juga dalam
ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian dan Tanaman Pangan yang menetapkan:
“Segala bentuk perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).”
Penjelasan Pasal 50 ayat (1) hanya menyatakan cukup jelas. Semua keputusan
(perizinan) batal demi hukum jika itu dibuat oleh badan dan/atau pejabat
pemerintah yang tidak berwenang (tindakan tanpa wewenang).
Pada intinya, dalil penggugat menyatakan bahwa tergugat melakukan tindakan
tanpa wewenang dalam hal ini tindakan tanpa dasar hukum dan melampaui
wewenang. Jika dalil penggugat sebelumnya menyatakan bahwa tergugat
bertindak tanpa wewenang, maka dalil gugatan selanjutnya menyatakan tergugat
bertindak sewenang-wenang dan bertindak tanpa wewenang. Jadi,
mencapuradukkan konsep tindakan sewenang-wenang dan bertindak tanpa
wewenang.
Jadi, menurut majelis hakim karena keputusan diambil oleh pejabat yang tidak
berwenang maka putusan itu batal demi hukum, yang berarti keputusan tersebut
menurut hukum dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dicabut. Hal ini
sudah tepat, karena seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa keputusan
dan/atau tindakan oleh badan atau pejabat pemerintahan yang tidak berwenang
berakibat keputusan atau tindakan tersebut batal demi hukum. Keputusan sejak
semula dianggap tidak pernah ada serta tidak pernah menimbulkan akibat hukum
tanpa perlu ada tindakan pembatalan.

Anda mungkin juga menyukai