Anda di halaman 1dari 10

Kelompok 4

Wewenang Pemerintahan

Oleh:

Ketua: Stefanus Loghe Gela (41120037)


Anggota: 1. Desiderius Jadu (41120025)
2. Cornelius Efandrim Pen Timung (41120056)
3. Dionisius Gunawan Tala (41120075)
4. Angelina mariana Mumut (41120043)
5. Maria Bengan Tupen (41120053)
6. Rasalia Wendi Prada (41120089)
WEWENANG PEMERINTAHAN
1. PENGANTAR 2. ISTILAH

3. SIFAT WEWENANG

4. SUMBER WEWENANG 5. PEMBATASAN WEWENANG


1. PENGANTAR

Dalam membicarakan bagaimana kedudukan wewenang pemerintahan terhadap penyelenggaraan


pemerintahan tidak bisa di lepaskan kaitannya engan penerapan asa legalitas dalam sebuah konsepsi nega
hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.
keberadaan asas legalitas menurut H. D. van wijk/ willem konijnebelt ( 1995) pada mulanya dikenal
dalam hal penarikan pajak oleh negara sehingga di inggris terkenal adanya sebuah ungkapan yang
menyatakan bahwa tidak adanya penarikan pajak tanpa adanya suatu representasi atau persetujuan dari
parlementer (no taxation without repesentation of parleament).
Hal yang sama dikenal pula di amerika dengan satu ungkapan yang menegaskan bahwa pentingnya
sebuah dasar penarikan pajak yakni, bahwa pajak tanpa disertai dengan persetujuan adalah sebuah
perampokan (taxation without representation is robbery)
Terkait dengan hal hal diatas, maka pemerintah dalam hal ini diharuskan atau diwajibkan bilamana dalam
melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang memberikan beban atau kewajiban kepada warga
masyarakat haruslah dilandasi dengan suatu dasar kekuasaan yang sehingga tindakan atau perbuatannya
tersebut dianggap sah.
Dalam perkembangannya lebih lanjut penerapan dari asas legalitas ini kemudian digunakan pula dalam
bidang hukum administasi (negara) sebagaimana yang dikemukakan oleh H.D Stout (1994) bahwa
pemerintah harus tunduk kepada UU (is dat het bestuur aan de wes is onderwerpen).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan asas legalitas menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam bertindak
atau berbuat. Dalam arti, bahwa pemerintahan harus dijalankan berdasarkan ketentuan UU. Oleh karena itu,
UU dijadikan sebagai sendi utama dalam konsep penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain,
penerapan asas legalitas dalam konsep atau gagasan negara hukum liberal memiliki kedudukan yang sentral,
atau sebagai suatu fundamen dari sebuah konsepsi negara hukum (als een fundamenten van de rechtssaat).
Prinsip dalam sebuah konsepsi negara hukum menetapkan, bahwa setiap tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh pemerintah (bestuurshandelingen) harulah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
atau berdasarkan pada adanya suatu legitimasi atau kewenangan, sehingga tindakan atau perbuatan
pemerintahan tersebut dipandang apa adanya.
Penerapan dari asas legalitas tidak hanya berkaitan erat dengan gagasan konsepsi negara hukum saja, akan
tetapi berkaitan dengan konsep gagasan negara demokrasi (het democratische rechsstaat).
Kepentingan untuk meminta persetujuan dari rakyat merupakan esensi dari keberadaan rakyat sebagai subjek
pemilik negara yang memiliki kedaulatan sehingga setiap aspirasi dan kepentingan yang berkembang di dalam
negara haruslah diapresiasi oleh pemerintah sebagaimana disebutkan oleh Rosseau dalam H.D Stout (1994),
bahwa UU merupakan personifikasi dari akal sehat manusia dan aspirasi masyarakat ( vorm de wet de beli
caming van de rationele, algemene will la d’rasion humaine manifestee par la volounte generale).
Pelaksanaan dari konsep tersebut diatas, harus tampak dalam prosedur atau mekanisme pembentukan UU yang
harus melibatakan atau memperoleh persetujuan rakyat. Tanpa adanya persetujuan dari rakyat dala setiap
pembentukan UU, maka hal ini dianggap bertentangan dengan konsepsi negara hukum yang demokrasi.
2. ISTILAH

Dalam literatur hukum administrasi dijelaskan bahwa istilah wewenang seringkali disepadankan dengan
istilah kekuasaan. Padahal istilah kekuasaan tidak sepadan dengan istilah wewenang.
Kata “ wewenang “ berasal dari kata “ authority “ (inggris) dan “ gezag” (belanda). Adapun istilah
kekuasaan beasal dari kata “ power “ (inggris) dan “macht” (belanda). Dari kedua istilah ini jelas
tersimpul perbedaan makna dan pengertian sehingga dalam penempatan kedua istilah ini haruslah
dilakukan secara cermat dan hati-hati.
Adapun beberapa para ahli yang menjelaskan pengertian wewenang seperti:
 P. Nicolai (1994)
 Bagir Manan (2000)
 H. D Stout (1994)
 Huisman dalam Ritwan HR (2006)
 P. de Haan (1986)
3. SIFAT WEWENANG
Selanjutnya, dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat pembagian mengenai sifat wewenang
pemerintahan, yakni terdapat wewenang pemerintahan yang bersifat terkait, fakultatif, dan bebas, terutama
dalam kaitannya dengan kewenangan untuk membuat dan menerbitkan keputusan yang bersifat mengatur
(besluiten) dan keputusan yang bersifat menetapkan (beschikkingen) oleh organ pemerintahan.
Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada
badan atau pejabat pemerintah untuk menentukan endiri mengenai isi keputusan yang akan dikeluarkannya
atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan pejabat kepada pemerintah untuk mengambil
suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan.
Philipus M. Hadjon (19994) dengan mengutup pendapat dari N.M Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge, membagi
kewenangan bebas pemerintahan dalam dua kategori, yakni kebebasan dalam kebijaksanaan (beleidsvrijheid)
dan kebebasan dalam penilaian (beoordelingsvrijheid).
Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila
peraturan undang-undangan memberi wewenang tertentu kepada orang pemerintahan, sedangkan orang
tersebut bebas untuk tidak menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.
Adapun kebebasan dalam melakukan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya),
menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah
syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.
4. SUMBER WEWENANG

Berdasarkan prinsip tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan
dengan artian bahwa sumber wewenang bagi pemerintahan ada di dalam peraturan perundang-undangan.
Secara teoritis kewenagan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan ini diperoleh melalui tiga
cara yakni, atribusi delegasi, dan mandat.
Dari tiga cara diatas kami akan menjelaskan satu persatu kepada kita semua yakni:
 Atribusi yang dimaksud disini adalah terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh satu
ketentuan dalam satu peraturan perundang-undangan.
 Delegasi yang dimaksud adalah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada (wewenang asli) oleh badan
atau jabatan pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan
atau jabatan pemerintahan lainnya.
 Mandat yang dimaksudkan adalah pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain
atas namanya.
5. PEMBATASAN WEWENANG

Penggunaan wewenang pemerintahan dalam penyelenggaraan peran dan fungsi serta tugas pemerintahan
pada hakikatnya perlu dilakukan pembatasan. Hal ini penting untuk dilakukan dalam tindakan atau
perbuatan pemerintah yang didasarkan pada adanya wewenang pemerintahan selalu dikhwatirkan jangan
sampai terjadi suatu tindakan atau perbuatan pemerintah yang menyalahgunakan kewewenangannya dan
melanggar hukum (detounement de pouvoir en onrechmatige overheidsdaad). Oleh karena itu tindakan
atau perbuatan pemerintahan haruslah terbebas dari tindakan atau perbuatan pemerintahan yang dapat
menyimpang dari kewewenangan yang diberikan kepadanya oleh hukum.
kepentingan untuk membatasi wewenang pemerintahan yang dijadikan sebagai dasar dalam melakukan
tindakan atau perbuatan pemerintahan tidak lain dimaksudkan untuk mencegah agar tindakan atau
perbuatan pemerintahan tersebut tidak disalah gunakan atau menyimpang dari wewenang pemerintahan
yang telah diberikan kepadanya.
Menurut Pradjudi Atmosudirdjo bahwa dengan adanya wewenang pemerintahan tersebut merupakan
kekuasaan luar biasa yang dimiliki oleh pemerintah (administrasi negara) sehingga tidak dapat dilawan
secara biasa. Hal tersebut sejalan pula dengan pendapat dari Kuntjoro Purbopranoto tahun 1981 bahwa
pembatasan tindakan atau perbuatan pemerintahan harus mengingat bahwa tindakan atau perbuatan
pemerintahan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau kepentingan
umum, dan tidak boleh melawan hukum (orenchtmatig) baik formal maupun material dalam artian luas.
Kepentingan melakukan pembatasan terhadap penggunaan wewenang pemerintahan tidak lain
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan atau perbuatan penyalahgunaan kewewenangan
maupun perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai