Anda di halaman 1dari 12

Kewenangan pemerintah

Bahwa berdasarkan prinsip negara hukum sebagai asan fundamental dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara Republik Indonesia, kontrol yuridis adalah suatu keniscayaan mendasar, sehingga
dengan demikian penggunaan kewenangan oleh setiap penyelenggara pemerintahan, karena penegakan
hukum atau etika tidaklah berada di ruang hampa, maka penggunaan kewenangan dengan sendirinya
selalu diikuti pertanggung-jawaban hukum, sebagaimana didalilkan oleh Belifante bahwa hubungan
tanggung-jawab dengan pengunaan wewenang: “Niemand kan
bevoegheid uitoefenen zonder verantwoording schuldig te zijn of zonder dat op die uitoefening controle
bestaan” (tiada seorangpun dapat melakukan kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggung jawab
atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan).

Sejalan dengan itu, asas penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan diantaranya adalah (a) asas
legalitas; (b) asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan (c) asas-asas umum pemerintahan
yang baik (vide Pasal 5 UU No. 30 Tahun 2014).
Bahwa menurut Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., (Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan-Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara
dan Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Maret 2015, halaman 7, Makalah disampaikan dalam
Kuliah
Peradilan Administrasi Negara di Program Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun
2015; Bukti P-27), ”Didalam ilmu hukum bahwa suatu "keputusan" dikatakan sah menurut hukum
(rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh
hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. Sebaliknya apabila suatu keputusan
tersebut tidak memenuhi
persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi "tidak sah" yang
berakibat hukum menjadi "batal" (nietig). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus dipenuhi
agar ketetapan administrasi siebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat
menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah:
1. bevoedgheid (kewenangan) organ administrasi yang membuat keputusan;
2. geen juridische gebreken in de wilsvorming (tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan
kehendak);
3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat
menurut tata cara yang telah ditetapkan;
4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum
merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah.
Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat ang mengeluarkan ketetapan tersebut
memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek
prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang
disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya
menyangkut objek ketetapan atau keputusan tidak ada “Error in re
Aspek kewenangan perihal tugas, wewenang dan kewajiban
Aspek Prosedur perihal mekanisme atau tata cara

Aspek Substansi, artinya menyangkut objek ketetapan atau keputusan

Aspek Aspek Aspek


Kewenangan Prosedur substansi
Negara dibentuk dengan diberikan tugas, fungsi dan kewajiban untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Karenanya, untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut,
Pemerintah sebagai personifikasi negara diberikan hak untuk melakukan tindakan-tindakan
(bestuurhandelingen).

Pemerintah adalah subjek hukum, sebagai dragger van de rechten en pelichten atau
pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum, Pemerintah
sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan tindakan-tindakan.

Tindakan Pemerintah (bestuurhandelingen) adalah setiap tindakan atau perbuatan


yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuurorgan)
dalam menjalankan fungsi pemerintahan;
Dalam konsep hukum Pemerintahan, tindakan pemerintah tersebut dibedakan menjadi dua,
yaitu tindakan materiil/faktual (fietelijke handeling) dan tindakan hukum (rechthandeling).
Terhadap kedua jenis tindakan pemerintah tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa
pada umumnya pembedaan yang diberikan terhadap kedua perbuatan pemerintah itu
didasarkan pada terdapat atau tidaknya akibat hukum (rechtsgevolg) dari perbuatan
pemerintah yang bersangkutan. Fietelijke handelingen tidak melahirkan akibat hukum,
sedangkan rechtshandelingen justru dimaksudkan untuk melahirkan akibat hukum;
Salah satu bentuk tindakan hukum pemerintah adalah penetapan beschikking atau dalam
literatur hukum Indonesia disebut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Berdasarkan Pasal 1
angka 9 UU PTUN, diatur bahwa keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final yang mengakibatkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata;
Menurut Kuntjoro Purbopranoto, agar keputusan yang dibuat menjadi keputusan yang sah terdapat
syarat materiil sahnya keputusan yaitu: alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang
(berhak), dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan
yuridis (geen yuridische gebreken in de welsvoming), keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang
ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya, dan pembentukannya harus juga memperhatikan
prosedur membuat keputusan bilamana prosedur tersebut ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu
(rechtmatig). Isi dan tujuan keputusan tersebut juga harus sesuai isi dan tujuan yang hendak dicapai
(doelmatig);
Istilah wewenang memiliki padanan dengan istilah “authority, power, atau competence”
dalam bahasa Inggris, “bevoegd” dalam bahasa Belanda, dan “gezag” dalam bahasa
Jerman. Istilah authority dapat diartikan sebagai “The power delegated by a principal to his
agent; The lawful delegation of power by one person to another.” Dari pengertian tersebut
dapat diartikan bahwa wewenang merupakan kekuasaan untuk bertindak.
Namun demikian wewenang harus dibedakan dengan kekuasaan dan hak. Tidak semua
kekuasaan adalah kewenangan, namun semua kewenangan adalah kekuasaan. Kewenangan
adalah kekuasaan yang diformalkan dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan
kekuasaan tidak hanya diberikan oleh hukum, namun dapat juga karena politik, ekonomi,
kedudukan sosial dan sebagainya.
Begitupun kewenangan dan hak harus dibedakan, dimana kewenangan merupakan kekuasaan untuk
bertindak dalam ranah hukum publik, adapun hak adalah kekuasaan untuk bertindak dalam ranah
hukum privat. T erkait dengan kewenangan, Philipus M. Hadjon, berpendapat bahwa dalam Hukum Tata
Negara wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam
konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Selanjutnya Philipus M Hadjon
menyatakan “Sebagai konsep hukum publik, wewenang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga komponen,
yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh
ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum.
Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan
komponen konformitas hukum, mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard
umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)”
Wewenang merupakan syarat yang harus dipenuhi alam tindakan pemerintahan, artinya
tindakan pemerintahan harus didasarkan pada norma wewenang yang diterimanya, baik
yang diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat.

Philipus M Hadjon berpendapat bahwa setiap tindakan pemerintahan harus bertumpu pada
kewenangan yang sah dan diperoleh melalui tiga sumber yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Definisi kewenangan atribusi adalah kewenangan yang melekat pada jabatan yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang, sedangkan kewenangan
delegasi dan mandat bersumber dari pelimpahan. Pada prinsipnya dalam menjalankan
kewenangannya, badan/pejabat yang berwenang tidak diperkenankan bertindak melampaui
kewenangannya (ultra vires). Karena setiap penggunaan kewenangan selalu dibatasi oleh
materi (materiae), ruang (locus), dan waktu (tempus). Di luar batas-batas tersebut maka dapat
dikatakan tindakan pemerintahan yang melampaui batas-batas wewenang (onbevoegdheid),
oleh karenanya tindakan pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang sah
Prof. Kuntjoro Purbopranoto, S.H. dalam bukunya Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara,
terbitan Alumni, pada halaman 48 s/d halaman 50, menyatakan:
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar supaya keputusan itu sebagai keputusan yang sah ialah sebagai
berikut :
(1)Syarat-syarat materiil
(a) Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak);
(b) Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis
(geen juridische gebreken in de wilsvorning);
(c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan
pembuatannya harus juga memperhatikan procedure membuat keputusan, bilamana prosedur itu
ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechmatig);
(d) Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig).
Penjelasan: Harus “doelmatig” = menuju sasaran yang tepat. Sifatnya “doelmatig bestuur” berarti
tindakan-tindakan langsung terarah kepada sasaran yang ingin dicapai, harus efisien, hemat, cermat,
tetapi berhasil. Jika kewenangan dilakukan tidak sesuai dengan tujuan yang seharusnya hendak dicapai
hal itu disebut “detournament de pouvoir” (menyimpang dari tujuan, menyeleweng);
Prof. Kuntjoro Purbopranoto, S.H. dalam bukunya Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara,
terbitan Alumni, pada halaman 48 s/d halaman 50, menyatakan:
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar supaya keputusan itu sebagai keputusan yang sah ialah sebagai
berikut :
2)Syarat-syarat formil
(a)Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung
dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
(b) Harus diberi bentuk yang telah ditentukan;
(c) Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan tu dipenuhi;
(d) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal
yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan;
Selanjutnya Indroharto, S.H. dalam dalam bukunya Usaha Memahami Undang-Undang
Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, terbitan
Pustaka Sinar Harapan, pada halaman 165 s/d halaman 166, menyatakan: “Sebagaimana
diketahui pengujian suatu keputusan yang dipersoalkan itu dapat dibedakan antara
pengujian::
(1) Yang Lengkap, artinya keputusan yang bersangkutan itu diuji baik mengenai segi kebijaksanaan
yang ditempuh maupun mengenai hukum yang diterapkan;
(2) Hal ini dilakukan dalam prosedur keberatan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan serupa
maupun oleh instansi banding administratif (pengujian oleh instansi dalam lingkungan pemerintah sendiri
atau instansi yang berlaku sebagai instansi pengawas administratif). Disitu yang diuji
adalah ketetapan kebijaksanaan yang ditempuh apakah cukup efektif dan efisien atau tidak di samping
juga apakah penerapan hukumnya sudah tepat atau tidak (benar menurut hukum atau tidak).”
Bahwa substansi dari asas doelmatigheid adalah kemanfaatan, efektifitas, dan efisiensi
penerbitan suatu Keputusan TUN. Kemanfaatan pada dasarnya adalah salah satu bentuk asas
yang perlu diperhatikan dalam penerbitan Keputusan TUN. Sehingga dalam menilai suatu
penerbitan Keputusan TUN tidak hanya dinilai dari sisi asas rechtmatigheid semata
tetapi juga harus dinilai dari sisi doelmatigheid
Majelis Hakim seharusnya dalam membuat pertimbangan hukum juga menggunakan asas
doelmatigheid, tetap harus mempertimbangkan alasan materiil dan formil. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan
dan Peradilan Administrasi Negara yaitu menjadi kewenangan Majelis Hakim untuk menilai suatu
keputusan TUN dianggap sah baik dari segi rechmatigheid maupun doelmatigheid ataupun
menggunakan kedua-duanya;

Anda mungkin juga menyukai