Oleh:
Endi Purnomo
Staf Bidang Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung
I. Latar Belakang
Bahwa penunjukan Pejabat sebagai Plh. atau Plt. dilakukan pada saat Pejabat
Pemerintahan (Pejabat Definitif) berhalangan dalam melaksanakan tugas, baik berhalangan
sementara, seperti: Cuti, Sakit, melaksanakan tugas lain seperti kunjungan ke daerah atau
ke luar negeri, mengikuti pendidikan dan pelatihan/kursus atau alasan lain yang serupa
dengan itu atau berhalangan tetap seperti: Pensiun, Mutasi, Meninggal Dunia dan lain-lain
sehingga berakibat terjaninya kekosongan suatu jabatan, dengan tujuan untuk
melaksanakan tugas jabatan struktural yang kosong dalam rangka kelancaran pelaksanaan
tugas dan fungsi organisasi sehingga tidak menghampat pelaksanaan administrasi
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Permasalahan sering timbul, mana kala pejabat yang ditunjuk sebagai Plh. atau Plt.
tidak mengetahui kewenangan yang dimiliki sampai di mana atau sebatas apa kewenangan
yang dimiliki sebagai pejabat Plh. atau Plt. dimaksud, sehingga dalam pelaksanaanya malah
menghapat pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi, seperti yang sering terjadi di
instasi Bandan Pertanahan Nasional, ada pejabat yang ditunjuk sebagai Plt. Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, karena yang bersangkutan tidak faham apa kewenangannya,
seringkali tidak berani atau tidak mau mengambil suatu tindakan atau keputusan, misal:
- Untuk Pejabat Plt.:
1. Tidak memberi keputusan izin cuti;
2. Tidak memberi penilaian DP3; dll.
Sementara di sisi lain berani menandatangani Keputusan Pemberian Hak, Menandatanani
Sertipikat Hak Atas Tanah dll. Sehingga timbul pertanyaan, apakah kedudukan Keputusan
Pemberian Hak dan Sertipikat lebih rendah dari memberi keputusan izin cuti dan memberi
penilaian DP3?
- Untuk Pejabat Plh.:
1. Tidak memberi disposisi surat masuk;
2. Tidak menandatangani Surat Tugas bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melaksanakan
tugas tertentu; dll
II. Pengertian dan Sumber Kewenangan
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam
setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam Sistem Hukum Eropa
Kontinental atau “Civil Law”. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan “Negara Hukum“
dan “Negara Demokrasi”. Demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan
berbagai keputusan hukum mendapat persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin
memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Sesuai dengan apa yang dituliskan J.J.
Rouseau, dalam bukunya yang berjudul “Du Contract Social“ mengatakan; “Manusia itu lahir
bebas dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari
kehendak umum (rakyat)”. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Sjachran Basah, seperti
yang dikutip Ridwan, HR, dalam buku: Hukum Administrasi Negara, UUI Press, Jakarta; 2003,
menjelaskan, bahwa Asas Legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara
harmonis antara paham kedaultan hukum dan paham kedaultan rakyat berdasarkan prinsip
monodualistis selaku pilar-pilar, yang bersifat hakikatnya konstitutif.
Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau
het beginsel van wetmatiggheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip itu tersirat bahwa
wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber
wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik,
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh
melalui tiga cara yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto dalam Hukum
Administrasi Negara oleh Ridwan HR, mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru.
Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah. Dengan kata lain, setiap
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan (authority, gezag) itu sendiri
adalah kekuasaan yang diformalkan untuk orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun dari
pemerintah. Memang hal ini tampak agak legalistis formal. Memang demikian halnya.
Hukum dalam bentuknya yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk
memungkinkan terjadinya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan
wewenang (bevoegdheid), ini adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum tertentu.
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk memaksakan kehendak. Dalam
hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Menurut Bagir
Manan, sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR., dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang mengandung arti hak
dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.
Pendapat para ahli hukum tentang “kewenangan”:
2. R.Wiyono, dalam Buku R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010 “Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan”
(authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang
pemerintah tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan
pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah
mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan hukum tertentu.
5. Tatiek Sri Djatmiati, dalam buku “Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia”, Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, menjelaskan bahwa
“Sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberi suatu
legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat melakukan fungsinya. Perwujudan
dari fungsi pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas, itu nampak pada tindakan
pemerintahan (besturrshandelingen) yang dalam banyak hal merupakan wujud dari
tindakan yang dilakukan oleh organ-organ maupun badan pemerintahan
“Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan” [Pasal 1 angka (5)]
1. Atribusi;
3. Mandat;
(Mandaat; een bestuursorgaan laat zinj bevoegheid names hem uitoefeen door een
ander = mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya)
Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n
Pejabat TUN yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan Pejabat TUN
yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap
pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan.
Pasal 1. angka 5 UU Nomor: 30 Tahun 2014 merumuskan wewenang adalah hak yang
dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kewenangan dimaksud merupakan Kewenangan Pemerintahan. Pasal 1. angka 6 UU Nomor:
30 Tahun 2014 merumuskan Kewenangan Pemerintahan (selanjutnya disebut Kewenangan)
adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
Kewenangan (bevoegdheden) melekat pada Jabatan (het ambt). Tanpa Jabatan tidak
bakal ada Kewenangan! Jabatan (het ambt) adalah badan (orgaan) hukum publik,
merupakan sumber keberadaan Kewenangan. Dalam menfungsikan Kewenangan yang
melekat padanya, Jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon),
lazim disebut Pejabat (ambtsdrager) atau Pejabat Pemerintahan. Badan Pemerintahan
adalah wujud badan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam
kementerian, instansi/jawatan yang dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili
oleh Pejabat (ambtsdrager).
Selanjutnya Pasal 19 ayat (1), (2) UU Nomor: 30 Tahun 2014 menetapkan, Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang
serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-
wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan
ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
IV. Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor: 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
1. Pasal 13. ayat (5) UU Nomor: 30 Tahun 2014 menetapkan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang
telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada umunya, tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui
Delegasi, pemberi Delegasi kehilangan kewenangan itu. Tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih seluruhnya pada penerima delegasi. Pemerintah Pusat tidak dapat
menggunakan lagi Kewenangan atas dasar delegation of authority kepada daerah-
daerah otonom.
2. Pasal 64. ayat (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014 mencantumkan, Keputusan pencabutan
dapat dilakukan oleh Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan. Tidak lazim, Atasan
Pejabat mencabut Keputusan Pejabat bawahan. Pada umumnya, Atasan Pejabat yang
membatalkan Keputusan Bawahan melalui upaya banding administratif.
3. Pasal 66. ayat (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014 mencantumkan, Keputusan pembatalan
dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Tidak lazim,
Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan membatalkan Keputusan-nya
sendiri. Pejabat Pemerintahan dimaksud hanya dapat mencabut Keputusan yang
dikeluarkannya melalui prosedur keberatan (bezwaarschriften procedure) pada upaya
administrasi.
4. Pasal 76. ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014, menetapkan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.
Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada
Atasan Pejabat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian
banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 76. ayat (2) dan (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014, mensyaratkan penyelesaian upaya
administratif terbatas kepada Atasan Pejabat melalui banding administratif. Dalam hal
Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 51. ayat (3) dan (4) UU Nomor 5/1986, menetapkan bahwasanya penyelesaian
justisil bagi penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif
menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986, diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, dan selanjutnya dapat diajukan permohonan kasasi. Pembentuk UU Nomor
5/1986, memandang seluruh tahapan upaya administratif merupakan bagian
penyelesaian justisil, sehingga tahapan selanjutnya pada acara pemeriksaan peradilan
berada pada kewenangan (kompetensi) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Lebih
tepat kiranya hal dimaksud dipertanyakan guna diuji melalui upaya judicial review atau
legislative review.
V. Kewenangan Pejabat Pelaksana Harian (PLh.) dan Pejabat Pelaksana Tugas (PLt.)
Undang-Undang Nomor: 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(2) Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan
menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk
Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana
harian atau pelaksana tugas;
(3) Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) ditentukan bahwa:
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. Pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan sementara; dan
b. Pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan tetap.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan
atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat
tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan
alokasi anggaran.
VI. Kesimpulan
1. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
7. Bahwa Penunjukan Pejabat sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak perlu
ditetapkan dengan keputusan melainkan cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat
Pemerintahan yang memberikan mandat dan tidak perlu dilantik atau diambil
sumpahnya, serta tidak diberikan tunjangan jabatan struktural;
Referensi :
1. Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
2. Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
3. Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
4. SF.Marbun dan Moh Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta.
5. SF, Marbun 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
FH UII Press, Yogyakarta.
6. Titik Triwulan Tutik, 2012, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta.
7. Paulus JJ. Sipayung, 1994, Mencegah Pejabat Tata Usaha Negara Sebagai Tergugat
Dalam PTUN - (Analisis Hukum dan Peraturan Perundang-undangan), Departemen
Dalam Negeri, Jakarta.
8. Bambang Arumanadi dan Sunarto, 1990, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945,
IKIP Semarang Press, Semarang.
9. Moh. Mahfud. MD., 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali
Press, Jakarta