Anda di halaman 1dari 13

KEWENANGAN

PEJABAT PELAKSANA HARIAN (Plh)


dan
PEJABAT PELAKSANA TUGAS (Plt)

Oleh:
Endi Purnomo
Staf Bidang Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung

I. Latar Belakang

Bahwa dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, kita sering mendengar


adanya istilah “Pejabat Pelaksana Harian” yang disingkat dengan “Plh” dan “Pejabat
Pelaksana Tugas” atau yang disingkat dengan “Plt”.

Bahwa penunjukan Pejabat sebagai Plh. atau Plt. dilakukan pada saat Pejabat
Pemerintahan (Pejabat Definitif) berhalangan dalam melaksanakan tugas, baik berhalangan
sementara, seperti: Cuti, Sakit, melaksanakan tugas lain seperti kunjungan ke daerah atau
ke luar negeri, mengikuti pendidikan dan pelatihan/kursus atau alasan lain yang serupa
dengan itu atau berhalangan tetap seperti: Pensiun, Mutasi, Meninggal Dunia dan lain-lain
sehingga berakibat terjaninya kekosongan suatu jabatan, dengan tujuan untuk
melaksanakan tugas jabatan struktural yang kosong dalam rangka kelancaran pelaksanaan
tugas dan fungsi organisasi sehingga tidak menghampat pelaksanaan administrasi
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Permasalahan sering timbul, mana kala pejabat yang ditunjuk sebagai Plh. atau Plt.
tidak mengetahui kewenangan yang dimiliki sampai di mana atau sebatas apa kewenangan
yang dimiliki sebagai pejabat Plh. atau Plt. dimaksud, sehingga dalam pelaksanaanya malah
menghapat pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi, seperti yang sering terjadi di
instasi Bandan Pertanahan Nasional, ada pejabat yang ditunjuk sebagai Plt. Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, karena yang bersangkutan tidak faham apa kewenangannya,
seringkali tidak berani atau tidak mau mengambil suatu tindakan atau keputusan, misal:
- Untuk Pejabat Plt.:
1. Tidak memberi keputusan izin cuti;
2. Tidak memberi penilaian DP3; dll.
Sementara di sisi lain berani menandatangani Keputusan Pemberian Hak, Menandatanani
Sertipikat Hak Atas Tanah dll. Sehingga timbul pertanyaan, apakah kedudukan Keputusan
Pemberian Hak dan Sertipikat lebih rendah dari memberi keputusan izin cuti dan memberi
penilaian DP3?
- Untuk Pejabat Plh.:
1. Tidak memberi disposisi surat masuk;
2. Tidak menandatangani Surat Tugas bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melaksanakan
tugas tertentu; dll
II. Pengertian dan Sumber Kewenangan

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam
setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam Sistem Hukum Eropa
Kontinental atau “Civil Law”. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan “Negara Hukum“
dan “Negara Demokrasi”. Demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan
berbagai keputusan hukum mendapat persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin
memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Sesuai dengan apa yang dituliskan J.J.
Rouseau, dalam bukunya yang berjudul “Du Contract Social“ mengatakan; “Manusia itu lahir
bebas dan sederajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari
kehendak umum (rakyat)”. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Sjachran Basah, seperti
yang dikutip Ridwan, HR, dalam buku: Hukum Administrasi Negara, UUI Press, Jakarta; 2003,
menjelaskan, bahwa Asas Legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara
harmonis antara paham kedaultan hukum dan paham kedaultan rakyat berdasarkan prinsip
monodualistis selaku pilar-pilar, yang bersifat hakikatnya konstitutif.

Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau
het beginsel van wetmatiggheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip itu tersirat bahwa
wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber
wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik,
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh
melalui tiga cara yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto dalam Hukum
Administrasi Negara oleh Ridwan HR, mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru.

Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah. Dengan kata lain, setiap
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan (authority, gezag) itu sendiri
adalah kekuasaan yang diformalkan untuk orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun dari
pemerintah. Memang hal ini tampak agak legalistis formal. Memang demikian halnya.
Hukum dalam bentuknya yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk
memungkinkan terjadinya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan
wewenang (bevoegdheid), ini adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum tertentu.

Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk memaksakan kehendak. Dalam
hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Menurut Bagir
Manan, sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR., dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang mengandung arti hak
dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.
Pendapat para ahli hukum tentang “kewenangan”:

1. S.F.Marbun, dalam Buku Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di Indonesia,


Cet.3, Yogyakarta; FH UII Press; 2011; menyebutkan, wewenang mengandung arti
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atausecara yuridis adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang itu dapat mempengaruhi terhadap
pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas wewenang tersebut sah, baru
kemudian tindak pemerintahan mendapat kekuasaan hukum (rechtskracht).

2. R.Wiyono, dalam Buku R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010 “Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan”
(authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang
pemerintah tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan
pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah
mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan hukum tertentu.

3. Philipus M. Hadjon, dalam buku “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, Gajah


Mada University Press, Yogyakarta, 1994, menjelaskan bahwa ”Istilah wewenang
disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Kedua istilah
ini terdapat sedikit perbedaan yang teletak pada karakter hukumnya, yaitu istilah
“bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep
hukum privat, sementara istilah wewenang atau kewenangan selalu digunakan dalam
konsep hukum publik. Sebagai konsep hukum publik, wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechsmacht), dimana konsep tersebut diatas,
berhubungan pula dalam pembentukan besluit (keputusan pemerintahan) yang harus
didasarkan atas suatu wewenang. Dengan kata lain, keputusan pemerintahan oleh
organ yang berwenang harus didasarkan pada wewenang yang secara jelas telah diatur,
dimana wewenang tersebut telah ditetapkan dalam aturan hukum yang terlebih dulu
ada.

4. H. D Stout, sebagaimana dikonstantir oleh Ridwan H.R, menyebutkan bahwa :


”Bevoedheid is een begrip uit bestuurlijke organisatierecht, watkan worden
omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en
uitoefening van bestuurscrechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in hetnbestuursrechtelijke rechtsverkeer”.
(Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan atura-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik);

5. Tatiek Sri Djatmiati, dalam buku “Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia”, Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, menjelaskan bahwa
“Sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberi suatu
legitimasi kepada badan-badan publik untuk dapat melakukan fungsinya. Perwujudan
dari fungsi pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas, itu nampak pada tindakan
pemerintahan (besturrshandelingen) yang dalam banyak hal merupakan wujud dari
tindakan yang dilakukan oleh organ-organ maupun badan pemerintahan

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan dijelaskan definisi Wewenang dan Kewenangan, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 1 angka (5) dan (6), yaitu:

“Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan” [Pasal 1 angka (5)]

“Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
bertindak dalam ranah hukum publik ” [Pasal 1 angka (6)]

Dalam melaksanakan fungsinya (terutama berkaitan dengan wewenang


pemerintahan), Pemerintah mendapatkan kekuasaan atau kewenangan itu bersumber dari
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, Ridwan, HR, mengutip pendapat H.D. van
Wijk/Willem Konijnenbelt, yang menyatakan bahwa:
“Wetmatigheid van bestuur: de uitvoerende mach bezit uitsluitend die bevoegdheden
welke haar uitdrukkelijk door de Grondwet of door een andere wet zijn toegekend”.
(Pemerintahan menurut undang-undang: pemerintah mendapatkan kekuasaan yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang atau undang-undang dasar)

Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat tiga cara utama memperoleh


wewenang pemerintahan, yaitu: melalui atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi,
delegasi, dan mandat, menurut pendapat H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt seperti yang
dikutip Ridwan, HR. dan Philipus M. Hadjon mendefinisikan Atribusi, Delegasi, dan Mandat
adalah sebagai berikut:

1. Atribusi;

(Attributie; toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een


bestuursorgaan = Atribusi: pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan)
Artibusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan.
Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan
(besluit). Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan
wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk
wewenang dalah organ yang berwenang berdsarkan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada
wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
2. Delegasi
(Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander
= Delegasi: pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya).
Pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi, Ridwan HR, berpendapat:
terdapat syarat-syarat sebagai berikut:
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian,
tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak meminta
penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

3. Mandat;
(Mandaat; een bestuursorgaan laat zinj bevoegheid names hem uitoefeen door een
ander = mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya)
Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n
Pejabat TUN yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan Pejabat TUN
yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap
pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan.

Khusus Mengenai rumusan pengertian dari mandat, Philipus M. Hadjon, kembali


menjelaskan bahwa:
”Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu
atribusi atau delegasi. Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang
kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan
untuk membuat keputusan a.n. pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu
merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung
jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat
merupakan hal rutin dalam hubungan intim-hirarkis organisasi pemerintahan”

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh


secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Organ
pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi Pasal tertentu dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan
tanggungjawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang didistribusikan sepenuhnya
berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada Delegasi, tidak ada penciptaan
wewenang, yang ada hanya pelimpahan dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya.
Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih
pada penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada
pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan pihak lain dari
pemberi mandat.

III. Kewenangan Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor: 30 tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan

Pembuat Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2014 memfokus pengaturan normatifnya


pada Kewenangan Pemerintahan, yang diatur pada Bab V, Pasal 8 sampai dengan Pasal 39
Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2014. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta
penyelenggara negara lainnya dalam mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan
(K.TUN) dan dalam hal Pejabat Pemerintahan melakukan (atau tidak melakukan) Tindakan
Administrasi Pemerintahan didasarkan pada wewenang (Bevoegdheden) yang dimilikinya.

Pasal 1. angka 5 UU Nomor: 30 Tahun 2014 merumuskan wewenang adalah hak yang
dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kewenangan dimaksud merupakan Kewenangan Pemerintahan. Pasal 1. angka 6 UU Nomor:
30 Tahun 2014 merumuskan Kewenangan Pemerintahan (selanjutnya disebut Kewenangan)
adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.

Kewenangan (bevoegdheden) melekat pada Jabatan (het ambt). Tanpa Jabatan tidak
bakal ada Kewenangan! Jabatan (het ambt) adalah badan (orgaan) hukum publik,
merupakan sumber keberadaan Kewenangan. Dalam menfungsikan Kewenangan yang
melekat padanya, Jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon),
lazim disebut Pejabat (ambtsdrager) atau Pejabat Pemerintahan. Badan Pemerintahan
adalah wujud badan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam
kementerian, instansi/jawatan yang dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili
oleh Pejabat (ambtsdrager).

Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (atau penyelenggara negara) yang


memiliki Wewenang, yang dapat mengeluarkan Keputusan (K.TUN), dan hanya Pejabat
Pemerintahan yang berwenang dapat melakukan (atau tidak melakukan) suatu Tindakan
Konkret/Faktual. Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau Jabatan Pemerintahan
ditentukan cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau daerah berlakunya
Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu.

UU Nomor: 30 Tahun 2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang yang


diatur di Pasal 17, 18 UU Nomor: 30 Tahun 2014, menetapkan: Larangan Penyalahgunaan
Wewenang berupa:
a. Larangan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
- Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
- Melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang;
- Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Larangan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang


dilakukan:
- Di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan;
- Bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

c. Larangan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang


dilakukan:
- Tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
- Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya Pasal 19 ayat (1), (2) UU Nomor: 30 Tahun 2014 menetapkan, Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang
serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-
wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan
ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan wewenang wajib


berdasarkan:
a. Peraturan perundang-perundangan.
b. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau Principle of Proper
Administration sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 1 angka (17) UU
Nomor: 30 Tahun 2014).

Sedangkan Pasal 11 UU Nomor: 30 Tahun 2014 menetapkan Kewenangan diperoleh


melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.

Bahwa badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui


Atribusi, tanggung jawab berada pada Pejabat dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor: 30 Tahun 2014, Atribusi adalah
pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.

Selanjutnya Delegasi (Delegation of Authority) adalah pelimpahan Kewenangan dari


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada
penerima delegasi. Tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui delegasi, pemberi
delegasi kehilangan kewenangan itu.

Sedangkan Pelimpahan Kewenangan yang diperoleh melalui mandatum, Mandataris


bertindak untuk dan atas nama mandator. Tanggung jawab dan tanggung gugat tetap
berada pada mandator. Dalam melaksanakan wewenangnya, mandataris wajib
mencantumkan dirinya selaku pelaksana on behalf of mandator. Pasal 66. ayat (1) UU
Nomor: 30 Tahun 2014, menetapkan Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat
cacat:
1. Wewenang;
2. Prosedur; dan/atau
3. Substansi.

IV. Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor: 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan

Perlu kiranya membubuhkan catatan kritis pada beberapa ketentuan prosedural,


pasal-pasal UU Nomor: 30 Tahun 2014 berikut ini:

1. Pasal 13. ayat (5) UU Nomor: 30 Tahun 2014 menetapkan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang
telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada umunya, tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui
Delegasi, pemberi Delegasi kehilangan kewenangan itu. Tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih seluruhnya pada penerima delegasi. Pemerintah Pusat tidak dapat
menggunakan lagi Kewenangan atas dasar delegation of authority kepada daerah-
daerah otonom.

2. Pasal 64. ayat (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014 mencantumkan, Keputusan pencabutan
dapat dilakukan oleh Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan. Tidak lazim, Atasan
Pejabat mencabut Keputusan Pejabat bawahan. Pada umumnya, Atasan Pejabat yang
membatalkan Keputusan Bawahan melalui upaya banding administratif.

3. Pasal 66. ayat (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014 mencantumkan, Keputusan pembatalan
dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Tidak lazim,
Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan membatalkan Keputusan-nya
sendiri. Pejabat Pemerintahan dimaksud hanya dapat mencabut Keputusan yang
dikeluarkannya melalui prosedur keberatan (bezwaarschriften procedure) pada upaya
administrasi.

4. Pasal 76. ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014, menetapkan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.
Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada
Atasan Pejabat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian
banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.

Prosedur upaya administratif dimaksud berbeda dengan prosedur administratif


menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Ditetapkan, dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara
tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Pengadilan baru
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
dimaksud jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. UU
Nomor 5/1986 mensyaratkan penyelesaian upaya administratif secara menyeluruh dan
tuntas (uitputten).

Pasal 76. ayat (2) dan (3) UU Nomor: 30 Tahun 2014, mensyaratkan penyelesaian upaya
administratif terbatas kepada Atasan Pejabat melalui banding administratif. Dalam hal
Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 51. ayat (3) dan (4) UU Nomor 5/1986, menetapkan bahwasanya penyelesaian
justisil bagi penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif
menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986, diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, dan selanjutnya dapat diajukan permohonan kasasi. Pembentuk UU Nomor
5/1986, memandang seluruh tahapan upaya administratif merupakan bagian
penyelesaian justisil, sehingga tahapan selanjutnya pada acara pemeriksaan peradilan
berada pada kewenangan (kompetensi) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Lebih
tepat kiranya hal dimaksud dipertanyakan guna diuji melalui upaya judicial review atau
legislative review.

5. UU Nomor: 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah menjadi bagian


hukum administrasi, juga berdampak pada perkembangan kompetensi peradilan tata
usaha negara. Bagai pepatah, “De teerling is geworpen (dadu telah dibuang)!”, para
hakim peradilan administrasi seyogianya menyambut pemberlakuan UU Nomor: 30
Tahun 2014 dengan semangat Judges Made Law atau Penemuhan Hukum oleh Hakim.

V. Kewenangan Pejabat Pelaksana Harian (PLh.) dan Pejabat Pelaksana Tugas (PLt.)
Undang-Undang Nomor: 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan antara lain ditentukan bahwa:

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang menetapkan dan/atau


melakukan Keputusan dan/atau Tindakan terdiri atas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat
penyelenggaran pemerintahan terjadi; atau
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat seorang
individu atau sebuah organisasi berbadan hukum melakukan aktivitasnya;

(2) Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan
menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk
Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana
harian atau pelaksana tugas;
(3) Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) ditentukan bahwa:

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila :


a. Ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. Merupakan pelaksanaan tugas rutin

(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. Pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan sementara; dan
b. Pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang
berhalangan tetap.

(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan
atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.

(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat
tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan
alokasi anggaran.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (7) ditetapkan bahwa:


“Yang dimaksud dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis adalah
Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan
rencana strategis dan rencana kerja pemerintah”.
“Yang dimaksud dengan perubahan status hukum kepegawaian adalah melakukan
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai”

Bahwa menindaklanjuti ketentuan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor: 30


Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka Badan Kepegawaian Negara
menerbitkan surat tertanggal 5 Februari 2016, Nomor: K.26-3O/V.20-3/99, perihal:
Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas Dalam Aspek Kepegawaian, yang
ditujukan kepada:
1. Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat
2. Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Daerah
yang intinya menyampaikan kembali dan menjelaskan perihal pengangkatan Pejabat
Pelaksana Harian (PLh.) dan Pelaksana Tugas (PLt.) beserta batasan kewenangan yang
dimiliki oleh Pejabat “PLh.” dan “PLt.” sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 34
Undang-undang Nomor: 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Selanjutnya dalam surat tersebut juga disampaikan bebrapa hal sebagai berikut:
a. Apabila terdapat pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas paling kurang 7 (tujuh)
hari kerja, maka untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, agar Pejabat
Pemerintahan di atasnya menunjuk pejabat lain di lingkungannya sebagai Pelaksana
Harian.
b. Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas tidak berwenang mengambil keputusan
dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status
hukum pada aspek kepegawaian.
c. Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas tidak berwenang mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian yang meliputi pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
d. Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas memiliki kewenangan mengambil keputusan
dan/atau tindakan selain keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis dan
berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
e. Adapun kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas antara lain meliputi:
1) menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja;
2) menetapkan kenaikan gaji berkala;
3) menetapkan cuti selain Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN);
4) menetapkan surat penugasan pegawai;
5) menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan
6) memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/
administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
f. Pegawai Negeri Sipil yang diperintahkan sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas
tidak perlu dilantik atau diambil sumpahnya.
g. Penunjukan Pegawai Negeri Sipil sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak
perlu ditetapkan dengan keputusan melainkan cukup dengan Surat Perintah dari
Pejabat Pemerintahan yang memberikan mandat.
h. Surat Perintah sebagaimana dimaksud dibuat menurut contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Kepala Badan
Kepegawaian Negara ini.
i. Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas bukan jabatan definitif, oleh karena itu Pegawai
Negeri Sipil yang diperintahkan sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak
diberikan tunjangan jabatan struktural, sehingga dalam surat perintah tidak perlu
dicantumkan besarnya tunjangan jabatan.
j. Pengangkatan sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak boleh
menyebabkan yang bersangkutan dibebaskan dari jabatan definitifnya, dan tunjangan
jabatannya tetap dibayarkan sesuai dengan jabatan definitifnya.
k. Pegawai Negeri Sipil atau Pejabat yang menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan
administrator, atau jabatan pengawas hanya dapat diperintahkan sebagai Pelaksana
Harian atau Pelaksana Tugas dalam jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, atau
jabatan pengawas yang sama atau setingkat lebih tinggi di lingkungan unit kerjanya.
l. Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan pelaksana atau jabatan fungsional hanya
dapat diperintahkan sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas dalam jabatan
pengawas.
m. Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam menetapkan Keputusan dan/atau
tindakan sebagaimana dimaksud pada huruf dn di atas, harus menyebutkan atas nama
Pejabat Pemerintahan yang memberikan mandat.

VI. Kesimpulan

1. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan;

2. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
bertindak dalam ranah hukum publik;

3. Bahwa Hukum Administrasi Negara terdapat tiga sumber wewenang pemerintahan,


yaitu: melalui atribusi, delegasi, dan mandat;

4. Bahwa dalam hal suatu Pejabat Pemerintahan berhalangan menjalankan tugasnya,


maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang
memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana
tugas yang melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. Bahwa Pengangkatan Pejabat Pemerintah sebagai Pelaksana Harian (Plh.) dimaksud


melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara.
Sedangkan Pengangkatan Pejabat Pemerintah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) dimaksud
melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap, dan
kewenangan yang dimiliki bentuknya mandat dimana tanggung gugat dan tanggung
jawab tetap pada pejabat pemberi mandat;

6. Bahwa Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak


berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yaitu
Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan
perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah, dan yang berdampak
pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi
anggaran yaitu seperti melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
pegawai;

7. Bahwa Penunjukan Pejabat sebagai Pelaksana Harian atau Pelaksana Tugas tidak perlu
ditetapkan dengan keputusan melainkan cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat
Pemerintahan yang memberikan mandat dan tidak perlu dilantik atau diambil
sumpahnya, serta tidak diberikan tunjangan jabatan struktural;
Referensi :
1. Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
2. Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
3. Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
4. SF.Marbun dan Moh Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta.
5. SF, Marbun 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
FH UII Press, Yogyakarta.
6. Titik Triwulan Tutik, 2012, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta.
7. Paulus JJ. Sipayung, 1994, Mencegah Pejabat Tata Usaha Negara Sebagai Tergugat
Dalam PTUN - (Analisis Hukum dan Peraturan Perundang-undangan), Departemen
Dalam Negeri, Jakarta.
8. Bambang Arumanadi dan Sunarto, 1990, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945,
IKIP Semarang Press, Semarang.
9. Moh. Mahfud. MD., 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali
Press, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai