Anda di halaman 1dari 15

PENYALAHGUNAAN WEWENANG DITINJAU DARI HUKUM

ADMINISTRASI NEGARA
“KASUS AHOK”

Disusun oleh:
1. Nisrinada Zahirahaini Fajrin (18041010035)
2. Kumala Sukma Iskandar (18041010043)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyalahgunaan wewenang adalah tindakan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang yang terjadi di Indonesia. Salah
satunya adalah kasus tentang Ahok. Sejak Ahok bertugas kembali menjadi Gubernur
DKI dan maraknya perdebatan akademis terkait belum adanya pemberhentian
sementara Ahok yang sudah berstatus terdakwa penyalahgunaan wewenang, publik
bertanya - tanya mengenai pertanggungjawaban Pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan publik.
Pemerintah tidak bisa dengan senang hati membuat kebijakan tanpa
memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sudah ada ketentuan
yang mengatur bahwa pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang, harus
mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan harus selalu menaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada warga masyarakat
serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh
suatu negara hukum.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang - Undang Nomor 30 Tahun
2014 menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat
pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena -
mena.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang permasalahan
penyalahgunaan wewenang ditinjau dari hukum administrasi negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penyalahgunaan wewenang?
2. Bagaimana kedudukan pemerintah dalam hukum administrasi negara?
3. Dapatkah laporan terkait adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang
diperlukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan diperiksa tanpa melalui
proses pidana?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Administrasi Negara


Hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum
yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah
dengan warga negara / hubungan antar organ pemerintahan, dan dibedakan menurut
tujuannya yang memuat untuk menentukan tempatnya dalam negara, menentukan
kedudukan, mengatur tindakan – tindakan organ pemerintahan tersebut.
Hukum Administrasi Negara juga termasuk instrumen yuridis yang digunakan oleh
pemerintah untuk secara aktif terlibat dalam kehidupan kemasyarakatan dan disisi
lain, Hukum Administrasi Negara merupakan hukum yang dapat mempengaruhi dan
memperoleh perlindungan dari pemerintah.1

B. Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang


Kewenangan adalah Kewenangan (authority) adalah hak melakukan sesuatu
untuk mencapai tujuan tertentu. Kewenangan biasanya dihubungkan dengan
kekuasaan. Penggunaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi
efektevitas organisasi.
Penyalahgunaan wewenang adalah tindakan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Puspenkum Kejagung juga menjelaskan arti penyalahgunaan wewenang menurut
UU Pemberantasan Tipikor yaitu:
1. Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan;
2. Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai
dengan peraturan;
3. Berpotensi merugikan negara.2

C. Konsep Penyalahgunaan Wewenang Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara


1. Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan;
2. Abuse de droit atau sewenang-wenang.

1R. Ridwan H, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. Hlm. 30.
2https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54fbbf142fc22/arti-menyalahgunakan-
wewenang-dalam-tindak-pidana-korupsi
D. Kedudukan Pemerintah Dalam Hukum Administrasi Negara
Dalam perspektif hukum publik, negara adalah organisasi jabatan. Menurut
Logemann, "In zijn sociale verschijningsvorm is de staat organisatie, een verband van
functies. Met functie is dan bedoeld; een omschreven werkkring in verband van het
geheel. Zij heet, met betrekking tot de staat, ambt. De staat is ambtenorganisatie".3
(Dalam bentuk kenyataan sosialnya, negara adalah organisasi vang berkenaan
dengan berbagai fungsi. Pengertian fungsi adalah lingkungan kerja yang terperinci
dalam hubungannya secara keseluruhan. Fungsi-fungsi ini dinamakan jabatan.
Negara adalah organisasi jabatan). "Een ambt is een instituut met eigen werkkring
waaraan bij de instelling duurzaam en welomschreven taak en bevoegdheden zijn
verleend".4 (Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang
dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang). Menurut
Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang berisi fungsi-fungsi
tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu
organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan
berbagai fungsi untuk mencapai tujuan negara.5 Dengan kata lain, jabatan adalah
suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan
dan dilakukan guna kepentingan negara.6 Jabatan itu bersifat tetap, sementara
pemegang jabatan (ambtsdrager) dapat berganti-ganti, sebagai contoh, jabatan
presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, dan lain-lain, relatif bersifat tetap,
sementara pemegang jabatan atau pejabatnya sudah berganti-ganti.
Berdasarkan ajaran hukum (rechtsleer) keperdataan dikenal istilah subjek hukum,
yaitu de drager van de richten en plichten atau pendukung hak dan kewajiban, yang
terdiri dari manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Badan
hukum ini terdiri dari dua bagian yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik.
Menurut Chidir Ali, ada tiga kriteria untuk menentukan status badan hukum publik
yaitu:
 Dilihat dari pendiriannya, badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum
publik yang didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-
peraturan lainnya;
 Lingkungan kerjanya, yaitu melaksanakan perbuatan-perbuatan publik;

3 Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht (Jakarta: Saksama, 1954), hlm 88.
4 N.E. Algra dan H..C.J.G. Janssen, op. cit.,hlm. 175.
5 Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung, Makalah,

hlm.1.
6 E. Utrecht, op. cit., hlm. 200.
 badan hukum itu diberi wewenang publik seperti membuat keputusan, ketetapan
atau peraturan yang mengikat umum. Termasuk dalam kategori badan hukum
publik, yaitu negara, provinsi, kabupaten dan kota praja, dan lain-lain.7
Kriteria yang dikemukakan oleh Chidir Ali ini perlu digarisbawahi. Pada saat badan
hukum publik itu melakukan perbuatan-perbuatan publik seperti membuat peraturan
(regeling), mengeluarkan kebijakan (beleid), keputusan (besluit), dan ketetapan
(beschikleing), kedudukannya adalah sebagai jabatan atau organisasi jabatan
(ambienorganisatie), yang tunduk dan diatur hukum publik dan diserahi kewenangan
publik (publiekbevoegdheid), bukan sebagai badan hukum (rechtspersoon), yang
tunduk dan mengikatkan diri pada hukum privat dan yang dilekati dengan kecakapan
(bekwaam) hukum.
a. Dalam Hukum Publik
Disebutkan lagi bahwa dalam perspektif hukum publik negara adalah
organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini ada jabatan
pemerintahan. Sebelum lebih jauhdibahas tentang jabatan pemerintahan, terlebih
dahulu perludikemukakan pendapat H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt yang
mengatakan bahwa; "Di dalam hukum mengenai badan hukum kita mengenal
perbedaan antara badan hukum dan organ-organnya. Badan hukum adalah
pendukung hak-hak kebendaan (harta kekayaan). Badan hukum melakukan
perbuatan melalui organ-organnya, yang mewakilinya. Perbedaan antara bdan
hukum dengan organ berjalan paralel dengan perbedaan antara badan umum
dengan organ pemerintahan. Paralelitas perbedaan itu kurang lebih tampak ketika
menyangkut hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan dari badan
umum (yang digunakan oleh organ pemerintahan).8 Indroharto menyebutkan
bahwa lembaga-lembaga hukum publik itu memiliki kedudukan yang mandiri
dalam statusnya sebagai badan hukum (perdata). Lembaga-lembaga hukum
publik yang menjadi induk dari badan atau jabatan TUN ini yang besar-besar
diantaranya adalah negara, lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara,
departemen, badan-badan nondepartemen, provinsi, kabupaten, kota madya, dan
sebagainya. Lembaga-lembaga hukum publik tersebut merupakan badan hukum
perdata dan melalui organ-organnya (Badan atau Jabatan TUN) menurut

7 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), (lanjutan)


8 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt,op.cit.,hlm. 97.
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan
atau tindakan hukum perdata.9
Meskipun organ atau jabatan pemerintahan dapat melakukan perbuatan
hukum perdata, mewakili badan hukum induknya, hal yang terpenting dalam
konteks hukum administrasi adalah mengetahui organ atau jabatan pemerintahan
dalam melakukan perbuatan hukum yang bersifat publik. Dalam hukum
administrasi yang menempatkan organ atau jabatan pemerintahan sebagai salah
objek kajian utama, mengenal karakteristik jabatan pemerintahan merupakan
sesuatu yang tak terelakkan. P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan beberapa
ciri atau karakteristik yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan yaitu
sebagai berikut:10
 Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab
sendiri, yang dalam pengertian modern, diletakkan sebagai
pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggung jawab
pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul
kewajiban tanggung jawab.
 Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma
hukum administrasi, organ pemerinhan dapat bertindak sebagai pihak tergugat
dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding, atau
perlawanan.
 Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil
menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat.
 Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri.
Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut
hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan bupati atau wali kota adalah
organ-organ dari badan umum "kabupaten". Berdasarkan aturan hukum,
badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ
pemerintahannya. Oleh karena itu, jika ada putusan hakim yang berupa denda
atau uang paksa yang dibebankan kepada organ pemerintah atau hukuman
ganti kerugian dari kerusakan, kewajiban membayar dan ganti kerugian itu
dibebankan kepada badan hukum (sebagai pemegang harta kekayaan).
Pendapat yang disebutkan P. Nicolai, khususnya pada cirri yang keempat,
dapat menimbulkan salah pengertian bagi sebagian orang, karena dalam praktik

9
Disarikan dari Indroharto, Usaha Memahame Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm. 65-66.
10 Ciri-ciri organ pemerintahan ini disarikan dari P. Nicolai, et.al., op.cit., hlm. 24-26
penyelenggaraan pemerintahan para pejabat itu terlibat dan menggunakan harta
kekayaan. Ada kesan kuat bahwa jabatan pemerintahan itu memiliki harta
kekayaan dan digunakan untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan. Jika
berpegang pada teori tentang badan hukum, yang salah satu unsurnya memiliki
harta kekayaan yang terpisah sebagaimana akan terlihat di bawah, maka apa
yang dikemukakan oleh Nicolai tersebut sejalan dengan teori ilmu hukum. Dengan
kata lain, jabatan tidak memiliki harta kekayaan, yang memiliki harta kekayaan
adalah badan umum yang menjadi induk dari jabatan tersebut. Hal yang
dikemukakan P. Nicolai sejalan dengan pendapat yang dikemukakan F.R.
Bothlingk, yakni "Dat een veroordeling tot schadevergoeding wordt uitgesproken
niet tegen het orgaan doch tegen het betreffende openbaar lichaam, want slecht
het openbaar lichaam kan betalen, is vermoegenssubject".11 (pembebanan untuk
membayar ganti kerugian itu tidak diucapkan terhadap organ, tetapi kepada badan
umum terkait karena hanya badan umum yang dapat membayar, [sebagai] subjek
harta kekayaan).
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau
diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, jabatan tidak dapat bertindak
sendiri. Jabatan hanyalah fiksi, yang perbuatan hukumnya dilakukan melalui
perwakilan (vertegenwoordiging) yaitu pejabat (ambisdrager). Pejabat bertindak
untuk dan atas nama jabatan. Menurut E. Utrecht, karena diwakili pejabat, jabatan
itu berjalan. Pihak yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh
jabatan ialah pejabat. Jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya. Jabatan
wali kota berjalan (menjadi konkret=menjadi bermanfaat bagi kota) karena diwakili
oleh wali kota.12 P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan bahwa; "Een
bevoegdheid die aan een bestuursorgaan is toegekend, moet door mensen (reele
personen) worden uitgeoefend. De handen en voeten van het bestuursorgaan zijn
de handen en voeten van degene (n) die is/zijn aangewezen om de functie van
orgaan uit te oefenen: de ambisdrager(s).13 (Kewenangan yang diberikan kepada
organ pemerintahan harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan pikiran organ
pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk untuk menjalankan
fungsi organ tersebut, yaitu para pejabat). Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat
hanya menjalankan tugas dan wewenang, karena pejabat tidak "memiliki"

11 Frederik Robert Bothlingk, Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing op


Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed &
Zoon’s-Gravenhage, 1954, hlm. 36.
12 E. Utrecht, loc. Cit. hlm. 202
13 P. Nicolai, et. al., op. cit.,hlm. 89.
wewenang. Pihak yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam
kaitan ini, Logemann mengatakan, "Het is dan door het ganse staatsrecht heen
het ambi, waaraan plichten worden Opgelegd, dat tot rechtshandelingen wordt
bevoegd gemaakt. Plichten en rechten werken door, ongeacht de wisseling der
ambtsdragers".14 (Berdasarkan hukum tata negara, jabatanlah yang dibebani
dengan kewajiban, yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan
kewajiban berjalan terus, tidak perduli dengan pergantian pejabat).
Di atas telah disebutkan bahwa jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap,
sementara pejabat dapat berganti-ganti. Pergantian pejabat tidak memengaruhi
kewenangan yang melekat pada jabatan. F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek
memberikan ilustrasi mengenai perbuatan hukum dari jabatan dan pejabat ini, "De
overheidsbevoegdheden (rechten en plichten) zijn verbonden aan het ambt. Indien
bij voorbeeld een burgemeester en bepaalde beschikleing afgeeft, wordt rechtens
die beschikeing afgegeven door het ambt burgemeester, en niet door de naturlijke
persoon die op datmoment dat ambt bekleedt, de ambtsdrager".15 (Kewenangan
pemerintahan (hak-hak dan kewajiban-kewajiban} itu melekat pada jabatan. Jika-
sebagai contoh-bupati/wali kota memberikan keputusan tertentu, maka
berdasarkan hukum keputusan itu diberikan oleh jabatan bupati/wali kota, dan
bukan oleh orang yang pada saat itu diberi jabatan, yakni bupati/wali kota).
Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara
keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan
diatur dengan hukum yang berbeda. F.R. Bothlingk memberikan ilustrasi
mengenai perbedaan kedudukan hukum ini sebagai berikut.
“(Bila tuan P seorang menteri, maka dalam hal ini dapat diterapkan pendapat yang
membedakan antara tuan P selaku pribadi dan tuan P dalam kualitasnya {sebagai
menteri. pen.}. Kedudukan tuan yang terakhir ini kita namakan "organ". Jadi kita
mengenal seorang P dengan 2 kepribadian, yaitu di sisi personifikasi P selaku
pribadi (manusia pribadi) dan di sisi lain personifikasi P dalam kualitasnya selaku
(menteri), dan kedudukan terakhir ini merupakan personifikasi organ)”.16
b. Dalam Hukum Privat
Negara, provinsi, kabupaten, dan lain-lain dalam perspektif hukum perdata disebut
sebagai badan hukum publik. Badan hukum (rechtspersoon) adalah; "Personen, al
wat (buiten den enkelen mensch) zich in het maatschappelijk leven door

14
Logemann,op.cit., hlm. 89.
15
F.A.M. Stoink danJ.G. Steenbeek, op. cit., hlm. 36.
16
Frederik Robert Bothlingk, op. cit., hlm. 35.
wetsbepaling als een persoon voordoet, als zodanig rechten heeft en
bevoegdheden bezit, zedelijk lichaam, naamloze vennotschap, rederij,
vereeniging, enz”. (kumpulan orang, yaitu semua yang di dalam kehidupan
masyarakat (dengan beberapa perkecualian} sesuai dengan ketentuan undang-
undang dapat bertindak sebagaimana manusia, yang memiliki hak-hak dan
kewenangan-kewenangan, seperti kumpulan orang {dalam suatu badan hukum),
perseroan terbatas, perusahaan perkapalan, perhimpunan {sukarela}, dan
sebagainya).17
Bila berdasarkan hukum publik negara, provinsi, dan kabupaten adalah organisasi
jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan dan pemerintah, maka
berdasarkan hukum perdata negara, provinsi, dan kabupaten adalah kumpulan
dari badan-badan hukum yang tindakan hukumnya dijalankan oleh pemerintah.
Menurut J.B.J.M. ten Berge, “Pemerintah sebagaimana manusia dan badan
hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum. Pemerintah menjual dan
membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan menggadaikan, membuat
perjanjian, dan mempunyai hak milik).18
Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada
peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum,
bukan wakil dari jabatan. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah dalam pergaulan
hukum keperdataan tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat,
tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa
keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum
perdata (equality before the law) dalam peradilan umum. Dengan demikian,
kedudukan pemerintah dalam hukum privat adalah sebagai wakil dari badan
hukum keperdataan.

E. Kasus Penyalahgunaan Wewenang (Masalah)

F. Pemeriksaan Laporan Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Badan Pemerintahan


DJKN merupakan bagian dari pemerintah yang bertugas menyelenggarakan
fungsi pemerintahan. Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut salah
satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

17
R.K. Kuipers, Geillusteerd Woordenboek Nederlandsche Taal, Maatscahappy “Elseiver”, Amsterdam, 1901,
hlm. 1133.
18
J.B.J.M. ten Berge, op. cit., hlm. 85.
Pemerintahan. Undang – Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak
dasar dan memberikan pelindungan kepada warga masyarakat serta menjamin
penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum
sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan
ketentuan tersebut, warga masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang
aktif terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat
pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-
mena. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 maka warga
masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-
Undang ini merupakan transformasi Asas – asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB) yang telah dipraktikkan selama berpuluh tahun dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang mengikat.
Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada asas legalitas, asas
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan AUPB khususnya dalam hal ini asas
tidak menyalahgunakan kewenangan. Asas tidak menyalahgunakan wewenang
sendiri diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 yaitu Pasal 10 ayat (1) huruf e dan
penjelasannya. Asas ini mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan
untuk tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan
tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak
mencampuradukkan kewenangan.
Menurut ketentuan Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014, badan dan/atau pejabat
pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan
melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan
bertindak sewenang-wenang.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan melampaui wewenang
apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau
batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang;
dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan
dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila
keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi
wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang
diberikan. Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-
wenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar
kewenangan, dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2014, maka pengawasan dan
penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang terlebih dahulu dilakukan
oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Hasil pengawasan APIP terhadap
dugaan penyalahgunaan wewenang berupa tidak terdapat kesalahan, terdapat
kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan
kerugian keuangan negara.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh hasil pengawasan APIP dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 21
UU Nomor 30 Tahun 2014. PTUN berwenang untuk menerima, memeriksa dan
memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang
dalam keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum dilakukan proses
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur
Penyalahgunaan Wewenang. Lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan bahwa PTUN
baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan penilaian setelah
adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah. Putusan atas
permohonan dimaksud, harus diputus dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh
satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut dapat diajukan
banding dalam jangka waktu 14 hari kalender dihitung keesokan hari setelah putusan
diucapkan bagi pihak yang hadir atau 14 hari kalender setelah amar pemberitahuan
putusan dikirimkan bagi pihak yang tidak hadir saat pembacaan putusan. Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak penetapan susunan Majelis. Atas putusan tersebut tidak
dapat dilakukan upaya hukum lain karena putusan tersebut bersifat final dan
mengikat.
Dalam kegiatan Focuss Group Discussion pada tanggal 21 Maret 2016, bertempat
di Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Dr. Dian Puji Simatupang, S.H.,
M.H., Pakar Hukum Administrasi Negara Hukum dari Universitas Indonesia
menyatakan bahwa dengan terbitnya UU Nomor 30 Tahun 2014, maka terkait dengan
dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan seharusnya dapat diselesaikan terlebih dahulu secara administrasi,
kemudian, apabila berdasarkan putusan pengadilan telah terbukti bahwa
penyalahgunaan wewenang tersebut mengandung 3 (tiga) unsur yang termasuk
dalam ranah pidana yaitu ancaman, suap, dan tipu muslihat untuk memperoleh
keuntungan yang tidak sah, maka atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut
diselesaikan melalui proses pidana. Disampaikan kembali oleh Dian dalam FGD pada
tanggal 18 Mei 2016 bertempat di Kantor Wilayah DJKN Bali dan Nusa Tenggara
bahwa, “Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara sudah dilekatkan
kewenangan publik, artinya dalam diri ASN dan Pejabat tersebut melekat wewenang
dan kewenangan sehingga ketika pihak lain menganggap ada pelanggaran yang
dilakukan ASN dan Pejabat Negara yang menyalahi wewenangnya maka
penyelesaian yang utama adalah penyelesaian administrasi terlebih dahulu,” ujar
Dian. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 Undang-undang No. 30/2014 yang menjelaskan
“Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)”.
Lebih lanjut disampaikan oleh Dian bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas,
apabila Pejabat Pemerintahan dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum (APH),
misalnya Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, atas dugaan
penyalahgunaan wewenang maka atasan langsung Pejabat Pemerintahan dapat
menyampaikan surat ke APH yang pada intinya menyampaikan bahwa terhadap
dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut sedang dilakukan penyelidikan oleh
APIP. Terkait dengan hal tersebut maka Atasan Pejabat Pemerintahan harus
mendasarkan semua tindakannya pada standar operasional prosedur pembuatan
keputusan dan/atau tindakan.
Dengan demikian, laporan terhadap adanya dugaan penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan tidak seharusnya diperiksa melalui proses
pidana karena sesuai dengan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 selama
penyalahgunaan wewenang tersebut tidak mengandung unsur tindak pidana maka
hal tersebut merupakan ranah administrasi yang penyelesaiannya dilakukan oleh
atasan pejabat yang bersangkutan dan sanksi terhadap pejabat yang telah terbukti
melakukan penyalahgunaan wewenang berupa pencabutan kewenangan, sanksi
tegoran atau pemberhentian.19

19https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11296/Penyalahgunaan-Wewenang-Ditinjau-dari-
Hukum- Administrasi-Negara.html
BAB III
KESIMPULAN
(Kumala)
DAFTAR PUSTAKA

A
B
Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung,
Makalah, hlm.1.
C
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1987), (lanjutan)
Ciri-ciri organ pemerintahan ini disarikan dari P. Nicolai, et.al., op.cit., hlm. 24-26
D
Disarikan dari Indroharto, Usaha Memahame Undang-undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku I (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm. 65-66.
E
E. Utrecht, op. cit., hlm. 200.
E. Utrecht, loc. Cit. hlm. 202
F
F.A.M. Stoink danJ.G. Steenbeek, op. cit., hlm. 36.
Frederik Robert Bothlingk, Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing op
Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A.
Jongbloed & Zoon’s-Gravenhage, 1954, hlm. 35-36.
G
H
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt,op.cit.,hlm. 97.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11296/Penyalahgunaan-Wewenang-
Ditinjau-dari-Hukum- Administrasi-Negara.html
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54fbbf142fc22/arti-menyalahgunakan-
wewenang-dalam-tindak-pidana-korupsi
I
J
J.B.J.M. ten Berge, op. cit., hlm. 85.
K
L
Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht (Jakarta: Saksama, 1954), hlm
88-89.
M
N
N.E. Algra dan H..C.J.G. Janssen, op. cit.,hlm. 175.
O
P
P. Nicolai, et. al., op. cit.,hlm. 89.
Q
R
Ridwan H, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Halaman 30.
R.K. Kuipers, Geillusteerd Woordenboek Nederlandsche Taal, Maatscahappy “Elseiver”,
Amsterdam, 1901, hlm. 1133.
S
T
U
V
W
X
Y
Z

Anda mungkin juga menyukai