Anda di halaman 1dari 20

POTENSI PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN OLEH PEJABAT

ADMINISTRASI NEGARA DALAM PENGAMBILAN DAN


PELAKSANAAN KEBIJAKAN PUBLIK
(POTENTIAL FOR ABUSE OF AUTHORITY BY
THE ADMINISTRATIVE OFFICERS
OF THE STATE OF PUBLIC POLICY MAKING AND EXECUTION)

Ujang Charda S.
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Subang (UNSUB)
E-mail : jurnal@sthb.ac.id

Abstract

The potential abuse of power that motivated malicious intent would be to have the perfection
that is attached to the power, because the positions of power can do anything with a plea for
and on behalf of its authority under the legislation. Therefore, the act of state administration
in upholding the rule of law requires for its implementation, otherwise the power itself is
determined by the legal limits. To that end, the law and the power of an absolute element in a
society of law in the sense of community that is governed by law and that any act or authority
is not misused.

Keywords : legitimasi – administrasi negara – kebijakan public

A. PENDAHULUAN bahwa semua ketentuan yang mengikat


Indonesia sebagai negara yang warga negara harus berdasarkan pada
3
berdasarkan Pancasila dan Undang- undang-undang”. Asas legalitas menjadi
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dasar legitimasi tindakan pemerintahan
Tahun 1945, maka segala aspek kehidupan dan jaminan perlindungan hak-hak rakyat
dalam bidang kemasyarakatan, yang dijamin dalam UUD 1945, oleh karena
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk penerapan asas legalitas akan menunjang
pemerintahan harus senantiasa berlakunya kepastian hukum dan
1 4
berdasarkan atas hukum. Hal ini kesamaan perlakuan.
merupakan perwujudan dari asas legalitas Dalam kaitan tersebut, pemerintah
di bidang hukum administrasi negara yang berwenang melakukan pembentukan
menurut H.D. Stout memiliki makna undang-undang dan peraturan
“pemerintah tunduk kepada undang- perundang-undangan di bawah undang-
undang”2 atau “asas legalitas menentukan, undang yang secara materiil mengikat

1
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
H. D. Stout dalam Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 65.
3
Ibid., hlm. 66.
4
Eni Rohyani, “Kriminalisasi Perbuatan Administrasi Negara”, Seminar Nasional Kriminalisasi Kebijakan,
Diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA, Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010, hlm. 1.

588 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


umum; penetapan beschikking yang oleh hakim, jaksa, polisi, dan KPK
5
bersifat individual, konkrit, dan final; dikualifikasikan sebagai tindak pidana
pelaksanaan tindakan administrasi yang korupsi, sehingga berakibat pada
nyata dan aktif; dan pelaksanaan fungsi penjatuhan sanksi pidana dan sanksi
administrasi dalam hal banding administratif berupa pemberhentian atau
6
administrasi. Di samping itu, pemerintah pemecatan pejabat pemerintah dari
memiliki kewenangan freis ermessen, yaitu kedudukannya sebagai pegawai negeri. Hal
kewenangan untuk membuat peraturan ini membawa implikasi yang sangat serius,
atas inisiatif sendiri terutama dalam karena menimbulkan fenomena
menghadapi persoalan genting yang belum ketakutan, keengganan, dan keraguan
ada peraturannya, serta kekuasaan untuk pejabat negara untuk melakukan tindakan
menafsirkan sendiri berbagai aturan yang atau perbuatan hukum administrasi,
bersifat enumeratif.7 sehingga mempengaruhi kinerja aparat
Kewenangan tersebut diberikan pemerintah dan mengganggu
dengan kesadaran, bahwa pembuat penyelenggaraan pemerintahan secara
undang-undang tidak mampu merinci atau keseluruhan.
mengkaji setiap masalah yang timbul Hal tersebut menimbulkan dua kubu
secara detail, sehingga pemerintah harus antara yang pro dan yang kontra. Kubu pro
mengembangkan inisiatif sendiri dan sikap mengatakan, bahwa sebuah kebijakan
visioner agar mampu menyelesaikan khususnya kebijakan pejabat administrasi
permasalahan yang dihadapi. Ukuran, negara tidak boleh atau tidak dapat
bahwa perbuatan atau tindakan yang dipidanakan, karena berada pada rezim
dilakukan oleh pemerintah daerah bukan hukum administrasi negara.9 Sementara
penyalahgunaan wewenang, berarti kubu yang kontra mengatakan, bahwa
perbuatan itu harus wetmatig, rechtmatig, sebuah kebijakan yang diambil oleh
8
dan doelmatig. seorang pejabat publik dapat saja
Di dalam praktik penyelenggaran dipidanakan dalam arti menjadi sebuah
negara, tidak jarang perbuatan atau tindak pidana apabila memang kebijakan
tindakan hukum administrasi negara yang yang diambil tersebut berpotensi
dilakukan oleh pejabat pemerintah yang merugikan keuangan negara atau memang
dimaksudkan untuk memberikan disengaja sebagai modus untuk melakukan
perlindungan terhadap masyarakat atau kejahatan, dalam hal ini misalnya
untuk mengatasi kegentingan yang melakukan tindak pidana korupsi dengan
memaksa, menimbulkan pelanggaran atau berlindung di balik legalitas pengambilan
penyimpangan dan/atau menimbulkan keputusan sebuah kebijakan tersebut.
kerugian terhadap keuangan negara yang Dengan kata lain, sebuah kebijakan dapat

5
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986.
6
Idem.
7
Idem.
8
Idem.
9
Edi Setiadi, “Kriminalisasi Kebijakan dan Bekerjanya Hukum Pidana”, Seminar Nasional Kriminalisasi Kebijakan,
Diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA, Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010, hlm. 1.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 589


dipidanakan apabila dapat ditemukan seiring dengan keberadaan negara hukum
10
criminal mind dari kebijakan tersebut. klasik atau negara liberal (de liberale
Membahas kebijakan negara rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh
(staatsbeleid), penyalahgunaan wewenang berkembangnya pemikiran hukum
( d e t o u r n e m e n t d e p o u v o i r ) ya n g legalistik-positivistik, terutama pengaruh
merupakan bahasan Hukum Administrasi aliran hukum legisme yang menganggap
Negara, kemudian dimanfaatkan oleh hukum hanya apa yang ditulis dalam
12
Hukum Pidana, misalnya tertuang dalam undang-undang. Oleh karena itu, undang-
unsur “menyalahgunakan wewenang” undang menjadi sendi utama
(Pasal 1 ayat (1) b Undang-Undang Nomor penyelenggaraan pemerintahan dengan
3 Tahun 1971 jo. Pasal 3 Undang-Undang asas legalitas sebagai sentral atau
Nomor 31 Tahun 1999), unsur “melawan fundamen dari negara hukum.
hukum” (Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang- Asas legalitas berkaitan erat dengan
Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 2 gagasan demokrasi dan gagasan negara
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun hukum. Gagasan demokrasi menuntut
1999), unsur “dapat merugikan keuangan setiap bentuk undang-undang dan
negara atau perekonomian Negara” Pasal 2 berbagai keputusan mendapat
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun persetujuan dari wakil rakyat dan
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun sebanyak mungkin memperhatikan
13
2001. kepentingan rakyat. Asas legalitas
Apabila melihat karakteristik dan menjadi dasar legitimasi tindakan
modus operandi dari suatu tindak pidana pemerintah dalam menjamin
korupsi, maka dapat dijelaskan bahwa perlindungan hak-hak rakyat, bahkan
kecenderungan seorang pejabat publik Sjachran Basah mengemukakan, bahwa
terkena kasus korupsi dapat saja terjadi a s a s l e g a l i t a s m e r u p a k a n u p a ya
karena tindak pidana korupsi salah satu mewujudkan duet integral secara
karakteristiknya adalah akal-akalan, harmonis antara paham kedaulatan
penyembunyian kenyataan, misleading hukum dan paham kedaulatan rakyat
dan pada dimensi kejahatan yang selalu berdasarkan prinsip monodualistis selaku
menggunakan kekuasaan dan pada ruang p i l a r - p i l a r ya n g s i fa t h a k i ka t nya
lingkup jabatan serta pekerjaannya.11 konstitutif14 dan penerapan asas legalitas
A. PEMBAHASAN akan menunjang berlakunya kepastian
1. Legitimasi Kewenangan Pejabat hukum dan kesamaan perlakuan.15
Administrasi Negara Setiap penyelenggaraan kenegaraan
Secara historis, asas pemerintahan dan pemerintahan harus memiliki
berdasarkan undang-undang itu berasal legitimasi, yaitu kewenangan yang
16
dari pemikiran abad ke-19 yang berjalan diberikan undang-undang. Dengan

10
Idem.
11
Idem.
12
Ridwan HR., Hukum … Op. Cit., hlm. 95.
13
Ibid., hlm. 96.

590 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


demikian, kewenangan tersebut pada kewenangannya dijalankan oleh organ lain
20
dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam atas namanya.
arti yang seluas-luasnya atau bebas tanpa Peraturan perundang-undangan harus
batas dalam suatu negara hukum. Oleh menjadi sumber wewenang bagi setiap
karena itu, substansi asas legalitas adalah tindakan pemerintah dan dasar bagi
wewenang, yaitu kemampuan untuk pemerintah untuk melakukan perbuatan
melakukan tindakan-tindakan hukum hukum publik adalah adanya kewenangan
17
tertentu. Ke we n a n g a n m e m i l i k i (bevoegdheids). Melalui kewenangan yang
kedudukan penting dalam kajian dalam bersumber pada peraturan perundang-
kajian Hukum Tata Negara dan Hukum undangan tersebut pemerintah melakukan
Administrasi Negara, sehingga F.A.M. tindakan hukum dan pemberian
Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya wewenang tersebut harus dinyatakan
sebagai konsep inti dalam Hukum Tata secara tegas dalam peraturan perundang-
18
Negara dan Hukum Administrasi Negara. undangan. Dalam Hukum Administrasi
Kewenangan di dalamnya terkandung hak Negara yang dilekati dengan kewenangan
19
dan kewajiban. atau penyandang hak dan kewajiban
Seiring dengan pilar utama negara hukum publik adalah jabatan, hal ini
hukum, yaitu asas legalitas, berdasarkan berbeda dengan hukum privat adalah
prinsip ini tersirat wewenang kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari
pemerintahan yang bersumber dari subjek hukum.
peraturan perundang-undangan, artinya Pengertian jabatan ini adalah fiksi
sumber wewenang bagi pemerintah dalam hukum, oleh karena jabatan
adalah peraturan perundang-undangan. dilaksanakan oleh pejabat, yaitu manusia
Secara teoritis, kewenangan yang yang menduduki jabatan itu agar berjalan
bersumber dari peraturan perundang- secara nyata. Jabatan merupakan subjek
undangan tersebut diperoleh melalui tiga hukum, yaitu pendukung hak dan
cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. kewajiban yang tidak terpisahkan dari
Atribusi adalah pemberian wewenang penjabat yang menjabat jabatan tersebut.
pemerintahan oleh pembuat undang- Jabatan diberikan wewenang adar dapat
undang kepada organ pemerintahan, menjamin kesinambungan hak dan
delegasi adalah adalah pelimpahan kewajiban. Tanggung gugat sehubungan
wewenang pemerintah dari satu organ dengan suatu perbuatan hukum publik
pemerintah kepada organ pemerintahan adalah pada jabatan. Dengan demikian,
lainnya, sedangkan mandat terjadi ketika gugatan dalam sengketa tata usaha negara
organ pemerintahan mengizinkan ditujukan kepada pejabat yang membuat

14
Sjachran Basah dalam Ibid., hlm. 97.
15
Indroharto dalam Idem.
16
Ibid., hlm. 100.
17
Ibid., hlm. 101.
18
Idem.
19
Ibid., hlm. 102.
20
Ibid., hlm. 105.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 591


keputusan. perundang-undangan yang berlaku, maka
Terkait dengan pengertian jabatan, yang bersangkutan melaksanakan
perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai kebijakan aparatur negara
subjek hukum yang bersengketa dalam (overheidbeleids) yang merupakan lingkup
perspektif Hukum Administrasi Negara hukum administrasi negara. Apabila
adalah orang atau badan hukum dengan terjadi sengketa dalam wilayah Hukum
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Administrasi Negara dengan merujuk pada
Pejabat disebut alat perlengkapan negara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yang bertindak untuk dan atas nama tentang Peradilan Tata Usaha Negara
jabatan, hal tersebut karena jabatan adalah sebagaimana diubah dengan Undang-
suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan Undang Nomor 9 Tahun 2004, maka semua
sendiri yang dibentuk untuk waktu lama a s p e k ke we n a n g a n , p e nye l e s a i a n
dan kepadanya diberikan tugas dan sengketa, proses pengajuan gugatan,
wewenang. Oleh karena jabatan pembuktian dan putusan pada prinsipnya
merupakan fiksi atau abstraksi yang oleh diatur dengan peraturan perundang-
hukum diangkat menjadi realita hukum undangan tersebut.
yang merupakan personifikasi yang W.F. Prins mengatakan, bahwa
diciptakan oleh hukum. pekerjaan pemerintahan sebagian besar di
Tindakan jabatan tersebut dilakukan luar ditujukan kepada usaha memenuhi
oleh wakil, yaitu seseorang yang pada satu kebutuhan nyata yang untuk sebagian
pihak sebagai manusia (natuurlijke bergerak di luar bidang hukum yang
persoon) yang tunduk pada hukum privat, disebut sebagai perbuatan materiel
pada pihak yang lain adalah untuk dan atas ( f e i t e l i j k e h a n d e l i n g ) . 2 1 Ku n t j o r o
nama jabatan sebagai pejabat yang tunduk Purbopranoto menyebut feitelijke
pada hukum publik. Jadi apabila Direktur handeling dengan tindak pemerintahan
22
Jenderal (Dirjen) pada saat yang berdasarkan fakta. Namun demikian
menandatangani keputusan adalah setiap tindakan pemerintah agar memiliki
sebagai pejabat yang mempunyai dua legitimasi harus mendasarkan pada
kedudukan, yaitu sebagai manusia wewenang yang diberikan oleh undang-
(natuurlijke persoon) dan dalam udang. Artinya pejabat administrasi dalam
k u a l i t a s n ya s e b a g a i D i r j e n ya n g penyelenggaraan pemerintahan dan
merupakan personifikasi dari alat penggunaan wewenang kekuasaannya
perlengkapan negara. terikat pada peraturan perundang-
Seseorang sebagai pejabat adalah undangan yang memberikan jaminan
ketika ia menjalankan kewenangannya terhadap hak-hak dasar rakyat.
untuk dan atas nama jabatan. Dalam hal Dengan kata lain, setiap
Dirjen sebagai pejabat menetapkan p e nye l e n g ga ra a n ke n e ga ra a n d a n
kebijakan teknis sesuai dengan pemerintahan memiliki legitimasi, yaitu
kewenangannya berdasarkan peraturan kewenangan yang diberikan oleh undang-

21
W.F. Prins dalam Philipus M. Hadjon, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2008, hlm. 175-176.

592 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


undang untuk melakukan tindakan- keputusan yang diambil oleh
23
tindakan hukum tertentu. Untuk pejabat yang berada di luar
memberi penilaian kewenangan seorang wilayahnya secara geografis.
pejabat dalam membuat suatu kebijakan c. Onbevoegdheid ratione temporis,
harus dilihat sumber kewenangan pejabat apabila keputusan dibuat oleh
yang membuat kebijakan. Kewenangan pejabat yang belum berwenang
dapat berasal dari atribusi, yaitu terjadinya atau tidak berwenang lagi untuk
pemberian wewenang yang baru oleh mengeluarkan keputusan.
suatu ketentuan dalam suatu peraturan Pemerintah atau administrasi negara
perundang-undangan. Dalam hal ini merupakan subjek hukum, sebagai
d i l a h i rka n a t a u d i c i p t a ka n s u a t u pendukung hak-hak dan kewajiban-
wewenang pemerintahan baru yang kewajiban. Pemerintah sebagai subjek
bersumber pada suatu delegasi atau hukum seperti halnya subjek hukum
24
mandat. Legislator yang kompeten untuk lainnya melakukan berbagai tindakan, baik
memberi atribusi wewenang dibedakan tindakan nyata (feitlijkhandelingan)
antara yang berkedudukan sebagai maupun tindakan hukum
original legislator dan delegated (rechtshandelingan).27 Tindakan nyata
25
legislator. adalah tindakan-tindakan yang tidak ada
B a g a i m a n a a p a b i l a ke p u t u s a n re l e va n s i nya d e n g a n h u k u m d a n
dikeluarkan oleh pejabat yang tidak karenanya tidak menimbulkan akibat-
berwenang (onvoegdheid)? Dalam hal akibat hukum, 28 sedangkan tindakan
dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang, hukum menurut R.J.M. Huisman, tindakan
maka disebut sebagai keputusan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan
cacat mengenai kewenangan akibat hukum tertentu atau een
(bevoegdheidsgebreken) yang meliputi :26 rechtshandeling is gericht op het scheppen
a. Onbevoegdheid ratione materiae, van rechten of plichten (tindakan hukum
apabila suatu keputusan tidak ada adalah tindakan yang dimaksudkan untuk
29
d a s a r nya d a l a m p e ra t u ra n menciptakan hak dan kewajiban).
perundang-undangan atau Muchsan mengemukakan, bahwa
dikeluarkan oleh pejabat yang tindakan hukum pemerintah memiliki
tidak berwenang. unsur-unsur sebagai berikut :30
b. Onbevoegdheid ratione loci, a. Perbuatan itu dilakukan oleh

22
Kuntjoro Purbopranoto dalam Idem.
23
Pejabat negara dalam melaksanakan kewajibannya tunduk pada hukum (undang-undang), sehingga berlaku asas
equality before the law, yaitu bahwa para pejabat penguasa negara di dalam dan pada waktu menjalankan kewajiban
untuk negara tidak kebal hukum, tidak boleh melanggar hukum, tidak boleh melanggar tata kesopanan, oleh karenanya
melanggar tata kesopanan pun sudah sama dengan melanggar hukum, dan tidak boleh melanggar kode etik. Lihat
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 23-24.
24
Ridwan HR., Op. Cit., hlm. 104.
25
Idem.
26
To t o k S o e p r i j a n t o d a l a m h t t p : / / w w w. g o o g l e . c o m / s e a r c h ? q = k r i m i n a l i s a s i +
kebijakan&hl=id&gbv=2&prmd=ivns&ei=uw8GUfCyCsTQrQflwYGgDA&start=0&sa=N, akses 17 Januari 2012, jam 14
: 35 WIB.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 593


aparat pemerintah dalam Perbuatan administrasi negara
kedudukannya sebagai penguasa tersebut dalam menegakan hukum
maupun sebagai alat memerlukan kekuasaan bagi
perlengkapan pemerintahan pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu
(bertuursorganen) dengan sendiri ditentukan batas-batasnya oleh
prakata dan tanggung jawab h u k u m . S e c a ra p o p u l e r, M o c h t a r
sendiri. Kusumaatmadja mengungkapkan sebuah
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan slogan : “Hukum tanpa kekuasaan angan-
dalam rangka menjalankan fungsi angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
33
pemerintahan. kelaliman”. Oleh karena itu, hukum dan
c. Perbuatan tersebut dimaksudkan kekuasaan merupakan suatu unsur yang
sebagai sarana untuk mutlak dalam suatu masyarakat hukum
menimbulkan akibat hukum di dalam arti masyarakat yang diatur oleh
bidang hukum administrasi. dan berdasarkan hukum agar setiap
d. Perbuatan yang bersangkutan perbuatan atau kewenangannya tidak
dilakukan dalam rangka disalahgunakan.
pemeliharaan kepentingan negara Pentingnya hukum sebagai batasan
dan rakyat. kewenangan agar tidak terjadi
Unsur-unsur yang dikemukakan oleh penyalahgunaan kewenangan secara
Muchsan ini perlu ditambah, terutama absolut yang oleh Lord Acton, seorang ahli
dalam kaitannya dengan hukum yang sejarah Inggris, dikatakan sebagai : “Power
mengedepankan asas legalitas atau tends to corrupt, but absolut power corrupts
wetmatigheid van bestuur, yaitu perbuatan absolutly” (terjemahan bebasnya adalah
hukum administrasi harus didasarkan kekuasaan cenderung disalahgunakan,
pada peraturan perundang-undangan yang tetapi kekuasaan yang mutlak pasti
31 34
berlaku. Oleh karena itu, pemerintah disalahgunakan). Di sisi lain,
hanya dapat melakukan perbuatan hukum penyalahgunaan kewenangan sering
jika memiliki legalitas atau didasarkan bermotifkan niat jahat, yang apabila
pada undang-undang yang merupakan dilekatkan dengan kekuasaan akan
perwujudan dari aspirasi warga negara. sempurna atau dengan kata lain kejahatan
Dalam negara hukum demokrasi, tindakan akan sempurna kalau dilekatkan dengan
35
pemerintahan harus mendapatkan kekuasaan, karena dengan kekuasaan
legitimasi dari rakyat yang secara formal pejabat dapat melakukan perbuatan
32
tertuang dalam undang-undang. dengan dalih demi dan untuk atas nama

27
Ibid., hlm. 113.
28
Idem.
29
Idem.
30
Muchsan dalam Ibid., hlm. 116.
31
Ibid., hlm. 117.
32
Ibid., hlm. 96.
33
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, Tanpa
Tahun, hlm. 35.

594 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


kewenangan yang dimilikinya berdasarkan ditasyarufkan untuk kepentingan rakyat
peraturan perundang-undangan. Pejabat mewujudkan keadilan dan kemakmuran
yang seperti itu dapat dikualifikasikan rakyat secara merata, dengan korupsi uang
sebagai manusia yang tidak mulia, karena negara tersebut diselewengkan oleh orang
memperoleh pendapatan dari kejahatan.36 yang punya jabatan/kewenangan untuk
Penyalahgunaan kekuasaan dalam memperkaya diri sendiri atau kroninya/
bidang ekonomi tentunya melibatkan jamaahnya, sehingga porsi untuk
pihak-pihak upper economic class (seperti kemakmuran dan keadilan rakyat tidak
misalnya konglomerat) maupun upper dapat diwujudkan. Apabila perilaku
power class (seperti misalnya pejabat korupsi bukan lagi sebagai perbuatan
tinggi) yang melakukan konspirasi dan dosa, tetapi sudah dianggap sebagai
bertujuan untuk kepentingan ekonomi sesuatu perbuatan yang lumrah, tidak
tertentu yang kemudian meluas, bersifat berdosa, tidak dilarang agama, tidak
sistemik dan terstruktural. Bentuk bertentangan dengan hukum, maka
kejahatan struktural ini memasukan korupsi akan menjadi suatu budaya. Jika
format korupsi sebagai bagian dari demikian keadaannya, maka sudah terjadi
kejahatan yang terorganisir.37 degradasi nilai kemanusiaan, merosotnya
Penyalahgunaan kewenangan yang jiwa kemanusiaannya dan kemungkaran
bermotifkan niat korupsi merupakan akan merajarela serta manusia tidak
38
penyakit jiwa yang berupa keinginan untuk memperdulikan lagi nilai ketuhanan yang
memiliki/menguasai harta yang tidak dapat digolongkan ke dalam perbuatan
dibenarkan oleh norma/aturan. Dengan dzolim, karena mengambil hak orang lain
istilah lain, upaya meraih sesuatu dengan yang memunculkan ekses negatif adanya
m e n g h a l a l k a n s e g a l a c a ra , t i d a k ketidakadilan dan menyengsarakan orang
mamperhatikan halal dan haram. Perilaku lain.
korupsi bertentangan dengan norma Tidak heran jika kemungkaran dari
apapun dan di manapun, korupsi boleh waktu ke waktu semakin menjadi-jadi,
dikatakan sebagai penyakit yang akan karena terjadinya degradasi moral oknum
menjalar dan merasuki tubuh manusia pejabat negara dan tidak lagi
apabila tidak dicegah atau diobati, memperhatikan seruan firman Allah SWT
membuat tubuh menjadi rusak, sakit, dalam Q.S. Ali-Imron ayat 104 yang artinya
kurus dan akhirnya mati, karena digerogoti :
oleh penyakit tersebut. ”Hendaknya ada di antara kamu
Ua n g n e ga ra ya n g s e m e s t i nya golongan umat yang menyeru kepada

34
Ujang Charda S., Disiplin Ilmu Hukum : Sebuah Pengembaraan dalam Memahami Fondasi, Struktur, Arsitektur &
Kesejarahan Ilmu Hukum, Bungo Abadi, Bandung, 2009, hlm. 135.
35
Subarsyah Sumadikara, Kejahatan Politik (Kajian dalam Perspektif Kejahatan Sempurna), Kencana Utama, Bandung,
2009, hlm. ii.
36
Prajudi Atmosudirdjo, Op. Cit., hlm. 176.
37
Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum dari Konstruksi Sampai Omplementasi, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2009, hlm. 163.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 595


kebajikan, menyerukan kepada yang meliputi para birokrat publik dihampir
makruf dan mencegah perbuatan semua sektor kelembagaan politik dan
mungkar dan mereka itulah orang- ketatanegaraan, baik yang independen
orang yang beruntung”. maupun yang terikat birokrasi
Polemik kekuasaan dan korupsi sudah kelembagaan.42 Political corruption sebagai
menjadi pasangan langgeng dalam suatu format korupsi kelembagaan sangat
birokrasi kekuasaan, bahkan Michael Levi mengganggu stabilitas politik
menunjukkan adanya suatu trend baru sebagaimana ditegaskan Stephen Rosoff,
berupa crimes by government dalam arti sebagai berikut :43
ekstensif, suatu kejahatan yang melibatkan ”Corrupt activities of public official can
pejabat publik sebagai karakteristik white destory a stability of the state and the
collar crime yang sulit tingkat potential effectivities of all types of
pembuktiannya, sulit pula menentukan governmental programmes, hinder
status pelakunya dan selalu dapat development and victimized individuals
berlindung dengan justifikasi lemahnya and groups”.
norma legislatif, bahkan beyond the law Atas dasar uraian tersebut, baik
dengan memanfaatkan norma di balik asas buruknya suatu kekuasaan tergantung
39
legalitas yang relatif. Hukum tidak lagi bagaimana kekuasaan tersebut
law as a tool of social engineering (hukum d i p e rg u n a ka n , a r t i nya ke ku a s a a n
sebagai sarana pembaharuan masyarakat) senantiasa harus diukur dengan
sebagaimana yang dikemukakan oleh kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan
40
Roscoe Pound, tetapi berubah menjadi yang sudah ditentukan atau disadari oleh
law as a tool crime. Kesemua ini sekaligus masyarakat lebih dahulu. Hal ini
mempertegas betapa korupsi telah merupakan suatu unsur yang mutlak bagi
merusak sistem katatanegaraan, baik kehidupan masyarakat yang tertib dan
eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif yang bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang
melibatkan polisi, jaksa, begitu pula hakim. teratur. Unsur pemegang kekuasaan
Hal ini membuktikan simbol mengakarnya merupakan faktor penting dalam hal
korupsi dalam sistem ketatanegaraan41 dipergunakan kekuasaan yang dimilikinya
yang dimaknai sebagai representasi itu sesuai dengan kehendak masyarakat.
korupsi kelembagaan yang sistemik. Oleh karena itu, di samping keharusan
Sebagaimana diakui oleh August adanya hukum sebagai alat pembatas, juga
Bequai, bahkan korupsi kelembagaan bagi pemegang kekuasaan ini diperlukan
merupakan karakteristik dan krisis di abad syarat-syarat lainnya, seperti memiliki
ke-20 dari kejahatan kerah putih yang watak yang jujur dan rasa pengabdian

38
Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (ed.), Op. Cit., hlm. 153.
39
Michael Levi dalam Ibid., hlm. 162-163.
40
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep­konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 88.
41
Idem.
42
August Bequai dalam Idem.
43
Stephen Rosoff dalam Idem.

596 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


terhadap kepentingan masyarakat. yakni tidak dapat dibatalkan begitu saja
Salah satu tindakannya adalah oleh pihak yang berkepentingan, pihak
dituangkan ke dalam keputusan yang ketiga, hakim, organ pemerintah yang
ditujukan untuk individu tertentu dan lebih tinggi, maupun organ yang membuat
memiliki sifat norma yang konkrit44 sesuai keputusan itu sendiri.47 Hal ini merupakan
dengan peraturan perundang-undangan. konsekuensi dari prinsip yang melandasi
Peraturan perundang-undangan adalah keputusan, yaitu prinsip praduga
dasar bagi pembuatan dan penerbitan rechtmatig, yaitu bahwa setiap keputusan
keputusan, dan tidak mungkin ada yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak
keputusan tanpa ada peraturan untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada
perundang-undangan, karena salah satu pembatalan (vernietiging) dari
48
unsur dan bahkan menjadi syarat pengadilan.
keputusan adalah berdasarkan peraturan Prinsip praduga rechtmatig ini
perundang-undangan. Itu sebabnya dalam diterapkan untuk memenuhi prinsip lain
rangkaian norma hukum publik, yang memiliki keterkaitan erat dengan
keputusan disebut sebagai norma keputusan, yaitu prinsip kepastian hukum
penutup, atau sebagai ujung tombak dari yang menghendaki keputusan yang telah
45
rangkaian norma. dikeluarkan itu tidak dapat begitu saja
Keputusan harus dibuat dengan dicabut tanpa alasan-alasan yang
memperhatikan syarat materiil berupa dibenarkan atau sah menurut hukum.
dibuat oleh organ pemerintah yang Keputusan yang telah dikeluarkan dan
berwenang, tidak boleh memuat selalu dianggap sah menurut hukum ini
kekurangan atau cacat hukum, tidak boleh bukan berarti keputusan yang
bertentangan dengan peraturan dasarnya, bersangkutan tidak dapat dicabut. Dapat
sedangkan syarat formil berupa dibuat saja keputusan tersebut dicabut, apabila
berdasarkan prosedur yang ditentukan ternyata ada kekeliruan atau mengandung
dalam peraturan dasarnya, diberi bentuk cacat lainnya dan diketahui dengan jelas.49
yang sudah ditentukan, penetapan waktu Ke p u t u s a n a d a l a h p e r nya t a a n
berlaku, pengumuman (bekendmaking) kehendak sepihak (enjizdige schriftelijke
atau pemberitahuan kepada yang terkena wilsverklaring) pejabat pemerintahan
keputusan, tanda tangan (ondertekening) (bestuursorgaan) berdasarkan
46
pejabat yang berwenang. kewenangan hukum publik
Jika syarat materiil dan formil tersebut (publiekbevoegdheid) yang ditujukan
telah terpenuhi, maka keputusan itu sah untuk peristiwa konkrit dan individual
menurut hukum (rechtsgeldig) dan dengan maksud untuk menimbulkan
memiliki kekuatan hukum material dan akibat hukum.50 Ciri inti dari keputusan
formil (materiel en formeel rechtskracht), adalah bahwa ketentuan diarahkan kepada

44
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII, Yogyakarta, 2009, hlm. 71.
45
Idem.
46
Ibid., hlm. 72.
47
Idem.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 597


diadakannya akibat hukum, menciptakan harus dibedakan dengan hukum pidana
hak dan kewajiban terhadap seseorang, yang mengatur sanksi atas perbuatan
kelompok orang atau objek. Ditinjau dari jahat. Bila kebijakan serta keputusan
segi sasarannya, keputusan ini ada dua dianggap salah dan pelakunya dapat
kemungkinan, ditujukan ke dalam (naar dipidana, maka ini berarti kesalahan dari
binnen gericht), yaitu keputusan berlaku ke pengambil kebijakan serta keputusan
dalam lingkungan administrasi sendiri, merupakan suatu perbuatan jahat (tindak
53
dan ditujukan ke luar (naar buiten gericht) pidana), ini tentu tidak benar. Oleh
yang berlaku bagi warga negara atau badan ka re n a nya ke b i j a ka n t i d a k b o l e h
hukum perdata. Atas dasar pembagian ini dipidanakan, tetapi kalau ada sisi-sisi lain
lalu dikenal dua jenis keputusan, yaitu dari kebijakan itu yang keluar dari yang
keputusan intern (interne beschikking) dan seharusnya, ada penyimpangan,
keputusan ekstern (externe beschikking).51 penyimpangannya itu yang dapat
Keputusan yang diambil oleh pejabat diperkarakan, bukan kebijakan, bukan
pemerintah bukan merupakan peristiwa beleid.54
biasa tetapi peristiwa hukum yang mana Pada prinsipnya kesalahan dalam
perbuatan, keadaan, kejadian yang pengambilan kebijakan atau keputusan
akibatnya diatur oleh hukum. Lebih lanjut tidak dapat dipidana, karena dalam hukum
Sudikno memberikan pengertian, bahwa administrasi negara tidak dikenal sanksi
peristiwa hukum pada hakikatnya adalah pidana. Sanksi yang dikenal dalam hukum
kejadian, keadaan atau perbuatan orang administrasi negara, antara lain teguran
yang oleh hukum dihubungkan dengan baik lisan maupun tertulis, penurunan
akibat hukum.52 Oleh karenanya pangkat, demosi dan pembebasan dari
perbuatan/kewenangan pejabat jabatan, bahkan diberhentikan dengan
pemerintah tersebut, baik sesuai dengan tidak hormat dari jabatan.55 Meskipun
hukum maupun tidak sesuai dengan demikian, terhadap prinsip umum bahwa
hukum (disalahgunakan) akibatnya tetap kebijakan serta keputusan yang salah tidak
berada dalam ruang lingkup aturan. dapat dikenai sanksi pidana, terdapat
1. Perlindungan Hukum Terhadap pengecualian yang paling tidak ada 3 (tiga),
56
Pejabat Negara sebagai Pengambil yaitu :
dan Pelaksana Kebijakan Publik a. Kebijakan serta keputusan dari
Hikmahanto Juwana mengemukakan, pejabat yang bermotifkan
bahwa dalam ilmu hukum bicara mengenai melakukan kejahatan
kebijakan, keputusan berikut para internasional atau dalam konteks
pelakunya, maka akan masuk dalam ranah Indonesia diistilahkan sebagai
hukum administrasi negara yang tentunya pelanggaran hak asasi manusia

48
Idem.
49
Ibid., hlm. 74.
50
Idem.
51
Ibid., hlm. 72.
52
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 42.

598 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


berat. Dalam doktrin hukum membuat kebijakan. Contohnya
internasional yang telah diadopsi adalah perjabat yang membuat
dalam peraturan perundang- kebijakan serta keputusan untuk
undangan di sejumlah negara, menyuap pejabat publik lainnya
kebijakan pemerintah yang atau kebijakan yang diambil oleh
bertujuan melakukan kejahatan pejabat karena ada motif untuk
internasional telah memperkaya diri sendiri atau
dikriminalisasikan. Adapun orang lain.
kejahatan internasional yang Dalam contoh terakhir ini, sebuah
dimaksud ada empat kategori, surat keputusan kepala daerah dapat saja
yaitu kejahatan terhadap menimbulkan perbuatan melawan hukum
kemanusiaan, genoside, kejahatan dan penyalahgunaan wewenang apabila
perang, dan perang agresi. memang perbuatan menerbitkan suatu
b. Meskipun suatu anomali, ke b i j a ka n te r s e b u t a d a h a l ya n g
kesalahan dalam pengambilan tersembunyi untuk melakukan suatu
kebijakan serta keputusan secara kejahatan. Fakta seperti ini hanya dapat
tegas ditentukan dalam peraturan diungkap dan diuraikan melalui teori
57
perundang-undangan. Contoh di kausalitas, bahwa antara kebijakan yang
Indonesia adalah ketentuan yang diambil oleh seorang kepala daerah dan
terdapat dalam Pasal 165 Undang- kejahatan yang dilakukan merupakan
Undang Pertambangan Mineral rangkaian yang menyebabkan terjadinya
58
dan Batubara. Ketentuan tersebut suatu tindak pidana. Jadi harus
memungkinkan pejabat yang terungkap, bahwa suatu akibat tertentu
mengeluarkan ini di bidang menjadi bestanddeel (bagian inti delik
pertambangan dikenai sanksi untuk unsur konstitutif yang dinyatakan
pidana. dengan tegas dalam undang-undang).
c. Kebijakan serta keputusan yang Selanjutnya untuk menilai apakah
bersifat koruptif atau pengambil suatu kebijakan yang diambil itu
kebijakan dalam mengambil merupakan suatu kejahatan, dalam hukum
ke b i j a k a n s e r t a ke p u t u s a n pidana sejak tahun 1930 dikenal asas
bermotifkan kejahatan. Di sini “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine
yang dianggap sebagai perbuatan strafe ohne schuld) hanya yang bersalah
jahat bukanlah kebijakannya, a t a u p e r b u a t a n y a n g
melainkan niat jahat (evil dipertanggungjawabkan kepada pembuat
59
entenst/mens rea) dari pengambil yang dapat dipidana, hal ini menurut
kebijakan serta keputusan ketika Idema, bahwa kesalahan dalam hukum

53
Hikmahanto Juwana dalam Dwidja Priyatno, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengambilan dan Pelaksanaan
Kebijakan”, Seminar Nasional Kriminalisasi Kebijakan, Diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA,
Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010, hlm. 5.
54
Ibid., hlm. 2.
55
Hikmahanto Juwana, “Ihwal Kriminalisasi kebijakan”, , akses tanggal 16 Pebruari 2010, jam 14 : 30 WIB.
56
Hikmahanto Juwana dalam Dwidja Priyatno, Loc. Cit.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 599


pidana merupakan jantungnya, 60 dan sebuah kebijakan dan akibat yang
sejalan dengan itu Sauer mengemukakan, ditimbulkan terdapat penyesatan untuk
bahwa dalam hukum pidana ada tiga terjadinya suatu kejahatan.64
pengertian dasar, yaitu sifat melawan Unsur yang terpenting dari suatu
hukum (unrecht), kesalahan (schuld), dan tindak pidana adalah melawan hukum
61
pidana (strafe). (wederrechtelijke) dalam hal ini
Adapun kesalahan mengandung unsur bertentangan dengan hukum yang
kesengajaan, kelalaian (culpa) dan dapat pengertiannya sama dengan Pasal 1365
d i p e r t a n g g u n g j awa b k a n . M e n u r u t BW yang dimulai pada tahun 1919, di mana
Hazewinkel Suringa mensyaratkan Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan
pengenaan pidana adalah adanya melawan hukum dalam arti luas pada
62
kesalahan dan melawan hukum. perkara Lindenbaum vs. Cohen dengan
Kesengajaan atau kelalaian merupakan mengatakan, bahwa perbuatan melawan
dapat dilihat dari sikap batin dari pelaku hukum harus diartikan sebagai perbuatan
(actus reus).63 Unsur actus reus ini sangat atau tidak berbuat yang bertentangan
sulit pembuktiannya, apakah keluarnya dengan hak subjektif, kaidah kesusilaan,
sebuah kebijakan itu ada indikasi sengaja kepatutan dalam masyarakat.65
atau lalai, untuk hal tersebut dapat Perbuatan melawan hukum dapat
digunakan teori kesalahan dan macam- dilakukan, baik oleh individu maupun
macam kesengajaan. Menurut Vos dan penguasa. Oleh karena itu, kebijakan yang
Z eve n b e r g e n , “ s e n ga j a” i t u t i d a k diambil penguasa untuk kepentingan
mensyaratkan pelaku “mengetahui”, umum tidak dapat digugat, bahwa soal
bahwa perbuatannya adalah melanggar perbuatan melanggar hukum oleh
hukum. Mengetahui atau tidak penguasa di samping harus diukur dengan
mengetahui, bahwa perbuatannya undang-undang, peraturan-peraturan
melanggar hukum bukan syarat adanya formal yang berlaku juga harus tetap
“sengaja”, begitu juga mengetahui atau diukur dengan batas kepatutan dalam
66
tidak mengetahui, bahwa kelalaian yang masyarakat. DUntuk itu, suatu kebijakan
dilakukannya adalah suatu perbuatan yang yang dikeluarkan oleh seorang pejabat
bertentangan dengan hukum, bukan syarat publik tidak boleh melanggar hukum
“kelalaian”. Dalam tataran empirik hakim dalam arti melanggar perundang-
tinggal membuktikan adanya kesesuaian undangan yang lain atau perundang-
fakta atau bukti yang kuat serta valid dari undangan yang berlaku di masyarakat.

57
Edi Setiadi, Op. Cit., hlm. 6.
58
Idem.
59
Andi Hamzah, Asas­asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 104.
60
Idema dalam Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, STHB, Bandung, 1991,
hlm. 55.
61
Sauer dalam Ibid., hlm. 55-56.
62
Totok Soeprijanto, Loc. Cit.
63
Kata tersebut diambil dari suatu maxim yang berbunyi : actus non est reus nisi mens sir rea, yang maksudnya adalah
suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah. Lihat Muladi & Dwidja
Priyatno, Op. Cit., hlm. 88.

600 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


Pembuktian ada tidaknya unsur melawan dikategorikan sebagai tindak pidana dan
67
hukum (dalam arti materill dan formil) terdapat perbuatan melawan hukum,
merupakan upaya perlindungan hukum maka kebijakan tersebut di samping tidak
terhadap pengambil dan pelaksana boleh melanggar undang-undang, juga
kebijakan.68 harus sesuai dengan asas kepatutan,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan proporsional, dan memenuhi prinsip-
Nomor : 003/PUU-IV/2006 menyatakan prinsip atau asas-asas umum
70
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang- pemerintahan yang baik. Sebuah
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang kebijakan yang diambil tidak boleh keluar
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari pelaksanaan kewenangan seorang
sebagaimana telah diubah dengan Undang- pejabat atau melampaui batas
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang kewenangan yang telah ditentukan oleh
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor undang-undang atau peraturan, maka
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan disitulah telah terjadi adanya
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara penyalahgunaan kewenangan.
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor Sebuah kebijakan yang diambil tidak
134, Tambahan Lembaran Negara boleh keluar dari pelaksanaan
Republik Indonesia Nomor 4150) kewenangan seorang pejabat atau
sepanjang frase yang berbunyi : melampaui batas kewenangan yang telah
”Yang dimaksud dengan secara ditentukan oleh undang-undang atau
melawan hukum dalam Pasal ini peraturan, maka disitulah telah terjadi
mencakup perbuatan melawan hukum adanya penyalahgunaan kewenangan.
dalam arti formil maupun dalam arti Pengertian penyalahgunaan
materiil, yakni meskipun perbuatan kewenangan dalam Hukum Administrasi
tersebut tidak diatur dalam peraturan Negara menurut Jean Rivero dan Waline
perundang-undangan, namun apabila dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud,
perbuatan tersebut dianggap tercela yaitu:71
karena tidak sesuai dengan rasa a. Penyalahgunaan kewenangan
keadilan atau norma-norma untuk melakukan tindakan-
kehidupan sosial dalam masyarakat, tindakan yang bertentangan
maka perbuatan tersebut dapat dengan kepentingan umum atau
dipidana tidak mempunyai kekuatan untuk menguntungkan
hukum mengikat”.69 kepentingan pribadi, kelompok
Dalam konteks kebijakan yang atau golongan.

64
Edi Setiadi, Op. Cit., hlm. 5.
65
Totok Soeprijanto, Loc. Cit.
66
Idem.
67
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Bandung,
1995, hlm. 151.
68
Suatu kebijakan yang diambil dengan melanggar peraturan lain merupakan perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum dalam doktrin hukum pidana sampai sekarang masih terbelah dua ajaran antara ajaran melawan
hukum formil dan ajaran melawan hukum materiil. Lihat Dwidja Priyatno, Op. Cit., hlm. 7.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 601


b. Penyalahgunaan kewenangan kebijakan publik) adalah perbuatan-
dalam arti, bahwa tindakan perbuatan yang sepertinya legal, tetapi
pejabat tersebut adalah benar mengandung unsur penyesatan dalam
ditujukan untuk kepentingan pengambilan keputusan/kebijakan
umum, tetapi menyimpang dari tersebut.
tujuan apa kewenangan tersebut Dalam rangka kepastian hukum dan
diberikan oleh undang-undang nuansa keadilan, serta perlindungan
atau peraturan-peraturan lain. hukum khususnya atas kriminalisasi
c. Penyalahgunaan kewenangan kebijakan, kepada pengambil dan
dalam arti menyalahgunakan pelaksana kebijakan menurut Dwidja
p ro s e d u r ya n g s e h a r u s nya Priyatno harus secara tegas dimuat dalam
dipergunakan untuk mencapai peraturan perundang-undangan dalam
tujuan tertentu, tetapi telah bentuk kebijakan legislasi. 72 Dengan
menggunakan prosedur lain agar mengacu pula pada tugas dan fungsi
terlaksana. keadministrasian serta peraturan yang ada
Bentuk ketiga yang dinamakan abuse of sesuai dengan kenyataan melalui freies
p r o c e d u r e ( a t a u p e nya l a h g u n a a n ermessen yang memberikan peluang
kewenangan dalam arti menyalahgunakan kepada pemerintah untuk membuat
prosedur yang seharusnya dipergunakan peraturan tentang hal-hal yang belum ada
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi pengaturan atas inisiatif sendiri dalam
m e n g g u n a ka n p ro se du r la i n a ga r menyelesaikan persoalan yang bersifat
terlaksana) ini seringkali dipergunakan mendesak berdasarkan asas keselamatan
penegak hukum untuk melakukan dan kesejahteraan umum sebagai hukum
73
kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan tertinggi (solus populi suprema lex).
dalam ruang lingkup/ranah kompetensi Agar freies ermessen dapat ditoleransi
Hukum Administrasi Negara dan Hukum menurut norma-norma hukum
Perdata sebagai koruptif. Jadi administrasi negara, maka tindakan
kesimpulannya, sebuah kebijakan dari pemerintah harus wetmatige atau
administrasi negara dapat merupakan rechtmatige, artinya sikap tindak
suatu tindak pidana apabila mekanisme pemerintah harus tetap berada dalam
seperti disebutkan di atas dilanggar. Oleh ruang lingkup batas-batas yang
karenanya perlu diketahui, bahwa entry dimungkinkan oleh hukum, bukan yang
point dari perbuatan korupsi (kejahatan dengan tegas dilarang oleh hukum, serta
74
yang selalu berhubungan dengan kebuah memenuhi kriteria sebagai berikut :

69
Cetak tebal oleh Penulis.
70
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, menyatakan bahwa Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah menjunjung tinggi norma
kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan menurut Pasal 3, bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, bahwa asas-asas
umum penyelenggaraan negara meliputi : 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3. Asas
Kepentingan Umum; 4. Asas Keterbukaan; 5. Asas Proporsionalitas; 6. Asas Profesionalitas; dan 7. Asas Akuntabilitas.
71
Jean Rivero dan Waline dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (ed.), Op. Cit., hlm. 169.

602 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


a.Tidak menyalahi atau normatif dalam berbagai undang-undang,
m e ny i m p a n g d a r i h i e ra r k i misalnya UU Tata Ruang, UU Jalan, UU
peraturan perundang-undangan, Sampah, UU Perlindungan dan
artinya peraturan perundang- Pengelolaan Lingkungan Hidup, oleh
undangan yang ditetapkan tidak karenanya seyogianya penerapan sanksi
boleh bertentangan dengan pidana harus merupakan upaya terakhir,
peraturan perundang-undangan hal ini dilihat dari sisi fungsi dan peranan
yang lebih tinggi tingkatannya (lex hukum pidana dengan hukum lainnya,
superiori derogate legi inferiori). maka sifat ultimum remedium tetap masih
b. T i d a k m e l a n g g a r h a k d a n harus dipertahankan dibandingkan
kewajiban asas warga negara. dengan sifat primum remedium76 dalam arti
c. Harus sesuai dengan tujuan penggunaan hukum pidana untuk
pemberian wewenang. mempertahankan ketertiban dalam
d. D i t e r a p k a n d a l a m r a n g k a masyarakat sebagai senjata terakhir
menyelenggarakan kepentingan setelah bidang-bidang hukum lain
7 7
umum dan mewujudkan digunakan dengan tetap
kesejahteraan rakyat. mempertahankan konsekuensi, bahwa
Untuk melindungi kedudukan hukum hukum harus ditegakkan meskipun dunia
pejabat administrasi negara yang tidak runtuh (fiat justitia et pereat mundus).78
boleh menolak mengambil keputusan dan Berdasarkan uraian di atas, apabila
adanya asas, bahwa keselamatan dan terdapat kesalahan sebagaimana asas
kesejahteraan rakyat adalah hukum yang “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine
tertinggi, selalu ada kemungkinan dalam strafe ohne schuld) hanya orang yang
pengambilan keputusan atau tindakan bersalah atau perbuatan yang
pemerintah, timbul kerugian negara, dipertanggungjawabkan kepada pembuat
namun sebetulnya hal tersebut dilakukan yang dapat dipidana dan adanya unsur
untuk mencegah kerugian atau risiko yang melawan hukum yang dirumuskan secara
jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, eksistensi jelas, sebagai inti delik (bestand delen)
freies ermessen yang dikriminalisasikan serta unsur-unsur tindak pidana, maka
dapat membahayakan sendi-sendi peradilan pidana mempunyai kompetensi.
penyelenggaraan negara dan pada tataran Namun apabila suatu dakwaan telah
yang lebih tinggi mengancam kehidupan dikaitkan dengan masalah kewenangan
bernegara yang sehat.75 ataupun jabatan dan kedudukan pejabat
Kriminalisasi perbuatan pejabat dalam kapasitasnya melaksanakan
administrasi negara tidak hanya dalam kewenangan dalam jabatan, maka hal
koridor persepsi atau penafsiran semata- tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-
mata, akan tetapi telah dikukuhkan secara pertimbangan hukum aspek Hukum

72
Idem.
73
Ujang Charda S., “Pendidikan Tinggi Hukum Mencetak Sarjana Hukum Homo Juridicus dan Homo Ethicus”, Jurnal
Wawasan Hukum Edisi Khusus, STHB, Bandung, September 2006, hlm. 75. Lihat juga Eni Rohyani, Op. Cit., hlm. 5.
74
Ibid., hlm. 6.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 603


Administrasi Negara (HAN), di mana pada kesejahteraan umum sebagai hukum
dasarnya berlaku prinsip tertinggi harus dilihat sebagai berfungsi
pertanggungjawaban jabatan yang harus dan berperannya pemerintah dalam
dibedakan dan dipisahkan dari prinsip menjalankan kewenangannya sebagai alat
pertanggungjawaban perorangan atau perlengkapan negara untuk dan atas
individu atau pribadi sebagaimana yang negara dalam bertindak, mengisi,
berlaku sebagai prinsip yang berlaku melengkapi, dan mengembangkan hukum
dalam hukum pidana. administrasi negara, agar tidak terjadi
Perlu kita sepakati bahwa, ranah kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam
hukum administrasi negara tidak dapat hukum administrasi negara, oleh
dicampur-adukan dengan hukum pidana, karenanya fungsi negara dan pemerintah
walaupun diakui bahwa tidak dapat makin luas, baik di bidang politik, ekonomi,
dihindari adanya titik singgung hukum sosial dan kultural.80 Hal ini tentu saja
pidana dengan hukum administrasi makin luas pula peranan Hukum
negara. Apabila perbuatan pemerintah Administrasi Negara untuk menciptakan
yang masih dalam koridor freies ermessen negara kesejahteraan, sehingga akhirnya
terdapat kekeliruan, maka lembaga- menjadi social service state, sebab negara
81
lembaga pengawas yang akan berperan dibebani tugas servis publik.
dengan alat uji berupa asas negara Kewenangan dari aparatur negara,
berdasarkan hukum, asas-asas umum baik perbuatan yang dilakukan sesuai
pemerintahan yang baik (kepastian dengan peraturan perundang-undangan
hukum, ketertiban penyelenggaraan (kewenangan mengikat) maupun
negara, kepentingan umum, keterbukaan, menyimpangi peraturan perundang-
proporsionalitas, profesionalitas, dan undangan (kewenangan aktif ), dan
akuntabilitas), moral, dan etika. dilakukan sesuai pula dengan asas-asas
Untuk itu, seyogianya pengaturan umum pemerintahan yang baik, dalam
mengenai pemberatan sanksi pidana kondisi yang mendesak, urgensi, dan atau
hanya untuk perbuatan pejabat darurat sifatnya merupakan
a d m i n i s t r a s i n e g a r a ya n g m u r n i overheidsbeleid dalam area Hukum
melakukan tindak pidana (korupsi Administrasi Negara yang tidak menjadi
misalnya), hal ini dilakukan agar tidak yurisdiksi dan makna penyalahgunaan
seorangpun dibiarkan menikmati apa yang kewenangan maupun melawan hukum
dihasilkan dari perbuatan jahat (ne malis (formal maupun materiil) dalam hukum
79
expediat esse malos), untuk perbuatan pidana, khususnya tindak pidana korupsi
yang mengikuti asas freies ermessen yang asalkan penyimpangan tersebut pada
mengutamakan kepentingan dan akhirnya sesuai dan dengan diarahkan

75
Ibid., hlm. 13.
76
Romli Atmasasmita, “Korupsi di Kalangan Legislatif”, Makalah pada Seminar Korupsi di Kalangan Legislatif, Ikadin
Cabang Bandung, 8 Juli 2004, hlm. 2.
77
Edi Setiadi, Op. Cit., hlm. 3.
78
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 140.

604 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


pada doelgerichte82 atau tujuan pidana, yaitu menghapuskan sifat
83
ditetapkannya dari kewenangan itu. Oleh melawan hukum (alasan pembenar)
karenanya, kewenangan yang keluar dari dengan sifat ultimum remedium tetap
doelgerichte merupakan penyimpangan, masih dipertahankan dibandingkan
maka di sinilah arena hukum pidana dengan sifat primum remedium dalam arti
84
menjadi pijakannya. penggunaan hukum pidana untuk
Hukum pidana merupakan salah satu mempertahankan ketertiban dalam
alat kontrol soaial yang formal, meliputi masyarakat, setelah bidang-bidang hukum
aturan-aturan yang ditafsirkan dan lain digunakan yang pelaksanaannya
ditegakkan oleh peradilan, dan secara mengacu pada asas-asas umum
umum dibuat oleh pembentuk undang- pemerintahan yang baik.
undang. Fungsinya membuat batasan- DAFTAR PUSTAKA
batasan perilaku warga negara, dan
menjadi tuntunan aparat serta Buku-buku :
menetapkan keadaan penyimpangan atau Andi Hamzah, Sistem Pidana dan
85
perilaku yang tidak dapat diterima. Pemidanaan Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1993.
C. PENUTUP
Suatu kebijakan tidak dapat dipidana, _______, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka
namun terhadap pembuat kebijakan dapat Cipta, Jakarta, 2008.
dikenakan pemidanaan apabila dibalik
kebijakan tersebut adanya potensi Astim Riyanto, Negara Kesatuan : Konsep,
penyalahgunaan wewenang atau Asas dan Aktualitanya, Yapendo,
mendapat keuntungan untuk dirinya Bandung, 2006.
sendiri atau orang lain yang telah
menimbulkan kerugian/perekonomian Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial, Rajawali
Negara, kecuali tidak dapat dimintakan Press, Jakarta, 1985.
pertanggungjawaban pidana apabila di
balik kebijakan tersebut tidak ada suatu Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan
kickback. Oleh karena itu, perlindungan Perkem b a n ga n Hu ku m da la m
hukum atas dugaan kriminalisasi Pembangunan Nasional, Binacipta,
kebijakan terhadap pengambil dan Bandung, Tanpa Tahun.
pelaksana kebijakan harus secara tegas
diatur dalam peraturan perundang- _______, Konsep-konsep Hukum dalam
undangan sebagai alasan penghapusan Pembangunan, Alumni, Bandung,

79
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 29.
80
A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Banyumedia, Malang, 2005, hlm. 28.
81
Ni'matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 8. Lihat Kirdi Dipoyudo,
Keadilan Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 145. Lihat Astim Riyanto, Negara Kesatuan : Konsep, Asas dan
Aktualitanya, Yapendo, Bandung, 2006, hlm. 11.
82
Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (ed.), Op. Cit., hlm. 169.
83
Idem.
84
Ibid., hlm. 177.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 605


2002. Bandung, 1995.

Mukhtie Fadjar, A., Tipe Negara Hukum, Subarsyah Sumadikara, T., Kejahatan
Banyumedia, Malang, 2005. Politik (Kajian dalam Perspektif
Kejahatan Sempurna), Kencana
Muladi & Dwidja Priyatno, Utama, Bandung, 2009.
Pertanggungjawaban Korporasi
d a l a m H u ku m P i d a n a , ST H B , Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum
Bandung, 1991. Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1996.
Ni'matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi
& Judicial Review, UII Press, Ujang Charda S., Disiplin Ilmu Hukum :
Yogyakarta, 2005. Sebuah Pengembaraan dalam
Memahami Fondasi, Struktur,
Philipus M. Hadjon, et. al., Pengantar Arsitektur & Kesejarahan Ilmu
Hukum Administrasi Indonesia, Hukum, Bungo Abadi, Bandung,
Gadjah Mada University Press, 2009.
Yogyakarta, 2008.
Jurnal dan Makalah :
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Dwidja Priyatno, “Perlindungan Hukum
Administrasi Negara, Ghalia Te r h a d a p P e n g a m b i l a n d a n
Indonesia, Jakarta, 1988. Pelaksanaan Kebijakan”, Seminar
Nasional Kriminalisasi Kebijakan,
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Diselenggarakan oleh Program
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA,
Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010.
_______, Tiga Dimensi Hukum Administrasi
dan Peradilan Administrasi, FH UII, Edi Setiadi, “Kriminalisasi Kebijakan dan
Yogyakarta, 2009. Bekerjanya Hukum Pidana”, Seminar
Nasional Kriminalisasi Kebijakan,
Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (ed.), Diselenggarakan oleh Program
Memahami Hukum dari Konstruksi Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA,
Sampai Omplementasi, RajaGrafindo Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010.
Persada, Jakarta, 2009.
Eni Rohyani, “Kriminalisasi Perbuatan
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana : Asas Administrasi Negara”, Seminar
Hukum Pidana Sampai dengan Nasional Kriminalisasi Kebijakan,
Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Diselenggarakan oleh Program

85
Ibid., hlm. 204.

606 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012


Doktor Ilmu Hukum PPs UNISBA,
Hotel Preanger Bandung, 5 Juni 2010.

Romli Atmasasmita, “Korupsi di Kalangan


Legislatif”, Makalah pada Seminar
Korupsi di Kalangan Legislatif, Ikadin
Cabang Bandung, 8 Juli 2004.

Ujang Charda S., “Pendidikan Tinggi


Hukum Mencetak Sarjana Hukum
Homo Juridicus dan Homo Ethicus”,
Jurnal Wawasan Hukum Edisi
Khusus, STHB, Bandung, September
2006.

Sumber lain :
Hikmahanto Juwana, “Ihwal Kriminalisasi
kebijakan”, , akses tanggal 16
Pebruari 2010, jam 14:30 WIB.

To to k S o e p r i j a n to d a l a m
http://www.google.com/search?q=k
r i m i n a l i s a s i +
kebijakan&hl=id&gbv=2&prmd=ivn
s&ei=uw8GUfCyCsTQr QflwYGg DA&
start= 0&sa=N, akses 17 Januari
2012, jam 14: 35 WIB.

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012 607

Anda mungkin juga menyukai