Disusun oleh :
Nama : Charisa Afanda
NIM : 2202056014
2023
1
A. Istilah dan pengertian negara hukum
1
Manan Sailan, "Istilah Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Negara", MASALAH-MASALAH HUKUM,
vol. 40 no. 02 (Juni 2011), hal 229, Semarang.
2
Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta 1983, hal. 153.
2
warga negara harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Hukum yang
berlaku dalam sebuah negara berbeda-beda karena secara sosiologis, ekonomi,
dan budaya masing-masing negara berbeda.
Negara hukum menurut F.R Bothlingk adalah “De taat waarin de
wilsvrijheid van gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht” (negara,
dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh suatu kehendak
hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka merealisasikan
pembatasan pemegang kekuasaan tersebut maka diwujudkan dengan cara,
“Enerzijds in een binding van rechter administatie aan de wet, anderjizds in een
begrenzing van de bevoegdheden van de wetgever”, (disatu sisi keterikatan hakim
dan pemerintah terhadap undang-undang, dan disisi lain pembatasan kewenangan
oleh pembuat undang-undang).3 A.Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burkens,
mengatakan bahwa negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara
yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan
hukum. Menurut Sudargo Gautma (1983) bahwa ada 3 (tiga) ciri-ciri atau unsur-
unsur dari Negara Hukum, yakni:
a) Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya
negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi
oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat
mempunyai hak terhadap penguasa.
b) Azas Legalitas. Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang
telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah
atau aparaturnya.
c) Pemisahan Kekuasaan. Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung
adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan
perundang-undangan, melaksanakan, dan mengadili harus terpisah satu
sama lain tidak berada dalam satu tangan.
3
Ridwan HR, 2014, Hukum Administasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 21
3
B. Tipe negara hukum
4
penyelengaraan kepentingan rakyat. Ini merupakan bentuk negara yang
sangat berlawanan dengan bentuk negara polisi (polizei staat). Akan tetapi
tuntutan masyarakat menghendaki faham liberalisme itu tidak dipertahankan
lagi, sehingga negara pada waktu itu terpaksa harus ikut campur tangan dalam
urusan kepentingan rakyat. Hanya saja campur tangan ini masih menurut
saluran-saluran hukum yang sudah ditentukan oleh, sehingga lahirlah negara
hukum formal.
Dikatakan sebagai negara Nachtswakerstaat atau negara dalam arti sempit
(sebagaimana dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Ficte) karena negara
bertindak sebagai penjaga malam, artinya bahwa negara hanya menjaga
keamanan saja, negara baru bertindak apabila keamanan dan ketertiban
terganggu. Dalam negara hukum yang sempit ini dipisahkan dengan tegas
antara negara dan masyarakat. Negara tidak mencampuri segi-segi kehidupan
masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya,
sebab dengn turut campurnya negara kedalam segi-segi kehidupan
masyarakat, dapat, mengakibatkan berkurangnya kemerdekaan seorang
individu.
Tipe Negara hukum Liberal ini menghendaki supaya Negara berstatus
pasif artinya bahwa warga Negara harus tunduk pada peraturan-peraturan
Negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Disini kaum Liberal
menghendaki agar penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan dalam
bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi penguasa.
5
Negara Hukum Materiil sebenarnya merupakan perkembangan lebih
lanjut dari Negara Hukum Formil; tindakan penguasa harus berdasarkan
undang-undang atau berlaku asas legalitas yaitu dalam negara hukum Materiil
tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga Negara
dibenarkan bertindak menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas
Opportunitas.
Tipe negara hukum ini sering juga disebut sebagai negara hukum dalam
arti yang luas atau disebut pula sebagai negara hukum modern. Negara dalam
pengertian ini bukan saja menjaga keamanan saja tetapi secara aktif turut serta
dalam dalam urusan kemasyarakatan demi mensejahterakan rakyat. Oleh
sebab itu pengertian negara hukum dalam arti luas sangat erat hubungannya
dengan pengertian negara kesejahteraan atau (welfare state).
4
Manan Sainan, Masalah-masalah Hukum,233.
7
sebab buat menghindari kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan
diskriminasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara.
8
Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:5
a. Pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(grondrechten)
b. Penyelenggaraan negara berlandaskan pada trias politika (pemisahan
kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial)
(scheiding van machten)
c. Pemerintahan diselenggarakan berdasar atas undang-Undang
(wetmatigheid van het bestuur)
d. adanya peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah ( administratieve
rechtspraak).
5
Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor
J. Saunders.
9
Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya
‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil
yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel
yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan
terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum
itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel.6
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan
perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh
Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan
bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian
keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap
‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup
dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang
Negara Hukum di zaman sekarang.
Namun demikian, terlepas dari perkembangan pengertian tersebut di atas,
konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih
sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada
abad ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur
pengertian Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan
empat unsur ‘rechtsstaat’, dimana unsurnya yang keempat adalah adanya
‘administratieve rechtspraak’ atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok
6
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 3.
10
Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum
Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara.
Jawabannya ialah karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat)
sebagaimana banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi
intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan Administrasi Negara itu
sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan Mahkamah Konstitusi baru
dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping Mahkamah Agung atas
jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di
Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha Negara
merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah fenomena
abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara
Hukum kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali
untuk merumuskan secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk
kebutuhan praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.7
7
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Ketua Asosiasi Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara Indonesia.
11
REFERENSI
12