Pemikiran mengenai Negara hukum dimulai sejak abad XIX s/d abad XX, pada hakekatnya
Negara hukum berakar dari konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi didalam suatu Negara adalah hukum, oleh sebab itu
seluruh alat perlengkapan Negara apapun namanya termasuk warganegara harus tunduk dan
patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali
Dalam teori Negara hukum terdapat dua sistem hukum yaitu rechtstaat dan rule of law.
Burkens, et.al., mengemukakan pengertian Rechtsstaat secara sederhana seperti yang dikutip
A. Hamid S. Attamimi, yaitu negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan
negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah
kekuasaan hukum. Dalam Rechtsstaat, menurutnya adalah ikatan antara negara dan hukum
tidaklah berlangsung dalam ikatan yang lepas atau pun bersifat kebetulan, melainkan ikatan
yang hakiki. Dari pandangan tersebut, mengandung arti bahwa kekuasaan pemerintahan
dalam suatu negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara harus berdasarkan kekuasaan.
Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, et.al., yang dikutip oleh
Philipus M. Hadjon,adalah :
a. Asas legalitas; setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan
perundang-undangan (wetterlijke grondslag). Dengan landasan ini, Undang-
undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak
pemerintahan. Dalam hal ini pembentuk undang-undang merupakan bagian
penting negara hukum;
b. Pembagian kekuasaan; syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara
tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan;
c. Hak-hak dasar (grondrechten); hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan
hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-
undang;
d. Pengawasan pengadilan Administrasi; bagi rakyat tersedia saluran melalui
pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan
(rechtmatigheids toetsing)
Sementara itu, The rule of law dalam pengertian ini pada intinya adalah common law sebagai
dasar perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa
atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban
untuk mentaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa
dan menolak kehadiran peradilan administrasi.
E.C.S. Wade dan Godfrey Philips mengidentifikasi lima aspek the rule of law sebagai
berikut:
a. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.
b. Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi.
c. Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh
pengadilan yang murni independen dari eksekutif
d. Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara.
e. Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan menurut
undang-undang.
Dengan demikia, sebuah Negara dikatakan sebagai Negara hukum adalah Negara yang
mendasarkan berbagai kebijakan dan tindakannya harus berdasarkan hukum tanpa ada
pembatasan berdasarkan golongan, kedudukan, agama, ras, maupun suku bangsa tertentu.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dan
bergaul dengan orang yang ada disekitarnya. Manusia yang satu (individu) dengan manusia
yang lain jika bergaul dan berkelompok akan membentuk komunitas masyarakat. Dalam
masyarakat, manusia selalu berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan
interaksi atau kontak. Akibat adanya kontak atau interaksi tersebut dapat menimbulkan
konflik. Untuk itu, dalam proses interaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, perlu
semacam norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan tersebut. Kaidah-kaidah
itulah yang menentukan hal yang boleh dilaksanakan dan hal yang tidak boleh dilakukan.
Kaedah sosial pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku
atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau yang seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang
dijalankan atau yang dianjurkan dijalankan. Kaedah-kaedah sosial yang berlaku didalam
masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada kaedah yang lemah, yang
sedang sampai yang kuat daya mengikatnya yang membuat anggota masyarakat pada
umumnya tidak berani untuk melanggarnya.
Kaedah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu pelaku pelanggaran
yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban
masyarakat agar masyarakat lebih tertib, agar jangan jatuh korban kejahatan, serta agar tidak
terjadi kejahatan.
Berbicara mengenai hukum maka terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan
untuk melihat hukum. Menurut Soekarno Aburaera dkk, bahwa hukum dapat dilihat sebagai
hukum positif yaitu hukum yang berlaku didalam sebuah negara. Dalam konteks tersebut,
hukum merupakan penetapan oleh pemimpin yang sah dalam suatu negara sebagaimana juga
yang dimaknai oleh para ahli hukum[19]. Hal ini sejalan dengan pandangan Austin yang
menyatakan bahwa hukum merupakan perintah dari yang berdaulat.
Sementara itu, dalam pandangan masyarakat biasa, hukum dikonstruksikan sebagai suatu
kehidupan bersama dalam masyarakat yang diatur secara adil. Jadi, nilai-nilai keadilan dalam
hukum yang dipandang sebagai norma yang lebih tinggi dibandingkan dengan norma hukum
dalam suatu undang-undang.
Hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan Satjipto Rahardjo, maka titik temunya adalah
bagaimana membuat hukum dapat memberikan kebahagiaan (keadilan) bagi rakyat dalam
suatu konsep hukum untuk manusia. Dimana, hukum tidak hanya dilihat sebagai bangunan
peraturan perundang-undangan sebagai produk atau perintah penguasa semata, tetapi hukum
harus dibuat ibarat suatu organis yang mampu berpikir, merencanakan dan sekaligus
bertindak sesuai dengan hati nuraninya yang dilandasi pada nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.
Berdasarkan berbagai uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah:
a. Hukum dalam arti ketentuan penguasa: hukum diartikan sebagai perangkt peraturan
yang dibuat oleh penguasa dlam hal ini adalah pemerintah. Misalnya UU
b. Hukum dalam arti petugas: hukum dideskripsikan dlam wujud petugas yang
berseragam yang bertugas menegakan hukum
c. Hukum dalam arti sikap tindak: hukum di gambarkan sebagai perilaku yang ajeg atau
sikap tindak yang teratur. Misalnya: A sewa kamar dari B, dengan kewajiban setiap
bulan A membayar uang sewa. Maka secara teratur setiap bulan A membayar sewa
kamar pada B
d. Hukum dalam arti system kaedah: hukum digambarkan sebagai perilaku masyarakat
yang menuruti norma atau kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Apabila tidak
menaatinya maka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.
Menurut Jack Donelly, hak asasi manusia itu melakat pada kodrat manusia sendiri. Oleh
karena itu landasan hak asasi manusia adalah :
“ Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia “.
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal
dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai
warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa
membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Maka dapat diketahui bahwa hukum merupakan suatu system yang terdiri dari:
a. Struktur, yang terkait dengan sarana penegak hukum, dalam hal ini institusi
hukum
b. Substansi, yang terkait dengan apa saja yang dihassilkan oleh institusi hukum,
serta
c. Kultur, yang terkait dengan perilaku masyarakat maupun aparatur penegak
hukumnya.
Dengan demikian, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, materi
yang diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan maupun perilaku masyarakatnya.
Faktor-faktor tersebut memberikan andil terhadap terjadinya keterpurukan hukum di
Indonesia. Sementara itu, Achmad Ali menyebutnya sebagai penyakit hukum, yaitu penyakit
yang diderita oleh hukum sehingga hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya. Penyakit
hukum dapat menyerang struktur, substansi atau kultur hukumnya, yang merupakan suatu
kesatuan sistem hukum dalam pandangan Lawrence Friedman.
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan lain-lain. Permasalahan umum terkait dengan struktur hukum, adalah :
Terkait dengan substansi hukum, maka persoalan yang berhubungan dengan substansi hukum
adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang yang tidak bisa mengakomodasi
berbagai kepentingan masyarakat.
Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat
mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan
perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana
hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Sementara itu, Soerjono Soekanto menterjemahkan budaya hukum sebagai nilai-nilai dasar
bagi berlakunya hukum, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, biasanya merupakan
pasangan nila-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Terkait dengan itu, Pemaknaan tentang hukum sekarang dalam kondisi tertentu seakan tidak
mengikat lagi, semua boleh diatur karena yang mengatur bukan lagi hukum itu sendiri tetapi
kekuasaan dan harta. Ini akibat frustasinya para pencari keadilan di meja hijau yang harus
kandas dan kalah akibat putusan pengadilan yang berpihak kepada pemilik modal dan
kekuasaan.
Hal tersebut membuat secara individu, seseorang gampang mencurigai seorang yang lain,
gampang berperilaku seenaknya seolah-olah tidak ada aturan yang dapat dijadikan pegangan
dan kebenaran sudah dianggap mati. Secara komunal, prinsip kehidupan komunal yang
bersifat anarkisme semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan persoalan individu dianggap
sebagai persoalan kelompok yang melahirkan konflik antar kelompok. Sementara itu, pada
tataran institusional terlihat dari lemahnya lembaga-lembaga hukum dalam melakukan
proses penegakan hukum.
Perilaku tersebut bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif tersebut.
Lebih lanjut dalam Terkait dengan diskriminasi, maka didalam Pasal 1 angka 3 UU No 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
1) Struktur
Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi pembuat dan
penegakan hukum[30], seperti DPR, Eksekutif, Legislatif, kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan. Terkait dengan ini, maka perlu dilakukan seleksi yang objektif dan transparan
terhadap aparatur penegakan hukum.
Selain itu, keanggotaan lembaga pembuat produk peraturan perundang-undangan juga perlu
mendapat perhatian dalam proses pemilihannya, sehingga kualitasnya dapat memberikan
pengaruh terhadap kualitas produk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat.
2) Substansi
Substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan
dan ketetapan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup
dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.
Selain itu, substansi suatu peraturan perundang-undangan juga dipengaruhi sejauh mana
peran serta atau partisispasi masyarakat dalam merumuskan berbagai kepentingannya untuk
dapat diatur lebuh lanjut dalam suatu produk peraturan perundang-undangan.
Partisipasi berarti ada peran serta atau keikutsertaan (mengawasi, mengontrol dan
mempengaruhi) masyarakat dalam suatu kegiatan pembentukan peraturan, mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan UU. Adanya partisipasi masyarakat dalam
pembentukan suatu undang-undang memungkinkan substansi dari suatu undang-undang
berasal dari pemikiran atau ide yang berkembang didalam masyarakat yang akan digulirkan
masuk kedalam lembaga atau badan legislatif, dan didalam lembaga inilah pemikiran atau ide
tersebut kemudian dirumuskan untuk dijadikan sebagai undang-undang.
3) Kultur
Sedangkan kultur hukum menyangkut apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan,
yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.
Untuk itu diperlukan membentuk suatu karakter masyarakat yang baik agar dapat
melaksanakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai yang terkandung didalam suatu peraturan
perundang-undangan (norma hukum). Terkait dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-
norma lain diluar norma hukum menjadi salah satu alternatif untuk menunjang
imeplementasinya norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya,
pemanfaatan norma agama dan norma moral dalam melakukan seleksi terhadap para penegak
hukum, agar dapat melahirkan aparatur penegak hukum yang melindungi kepentingan rakyat,
maupun sebagai norma pelengkap dalam rangka menegakkan hukum.
Secara umum, jika ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum perlu
diperbaiki secara keseluruhan dan diisi oleh komponen yang benar-benar ingin memperbaiki
hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan
kelompoknya.
Selain persoalan system hokum yang harus diperbaiki, maka kesadaran hokum juga memiliki
peranan dalam proses penegakan hokum dan HAM. Menurut Krabe hukum tidak bergantung
pada kehendak manusia, tapi telah ada pada kesadaran hukum setiap orang. Kesadaran
hukum tidak datang, apalagi dipaksakan dari luar, melainkan dirasakan setiap orang dalam
dirinya. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya hukum dan HAM dari setiap
masyarakat diperlukan untuk mendukung efektifitas hukum dan HAM.
Daftar Pustaka :
https://fh.unpatti.ac.id/problematika-penegakan-hukum-dan-ham-di-indonesia/