Anda di halaman 1dari 20

SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI

NEGARA

Disusun Oleh:
Nama: Khazanatul Huda
NIM: 2110111135
Dosen Pengampu: Frenadin Adegustara, SH.,MS

T.A.2021/2022
FAKULTAS HUKUM
Universitas Andalas
PERLINDUNGAN HUKUM
A. Hakikat Perlindungan Hukum
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana (instrument) untuk mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat
menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar, namun
hukum juga berfungsi sebagai instrument perlindungan bagi subjek hukum. Jika
dikaitkan dengan keberadaan suatu negara, hukum dapat difungsikan sebagai pelindung
warga negara dari Tindakan pemerintah yang tirani atau despotik, untuk melembagakan
perlindungan hukum bagi warga negara, maka diadakan Lembaga peradilan yang
berfungsi untuk menegakkan keadilan serta sebagai tempat untuk mencari keadilan.
Menurut Sudiko Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.1
Sementara menurut Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terbagi
dua macam, yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.2
Pada perlindungan hukum preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitive, dengan demikian perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan hukum bagi rakyat yang
bertujuan untuk penyelesaian sengketa, dengan kata lain pengertian ini penerapan
perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum termasuk peradilan administrasi
termasuk kategori perlindungan hukum represif.

B. Perlindungan Hukum Dalam Kerangka Sistem Hukum


1. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata
Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan bertindak dan
mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan dengan rakyat biasa. Oleh karena itu,
persoalan menggugat pemerintah di muka hakim tidak dapat dipersamakan dengan
menggugat rakyat biasa. Persoalan menggugat pemerintah ini dianggap sebagai salah
satu bagian yang sulit dari ilmu hukum perdata dan hukum administrasi. Secara
1
Ridwan HR, “Hukum Adiministrasi Negara”, Jakarta:Raja Grafindo Persada,hlm.266
2
Tanto Lailam, “Pengantar Ilmu Administrasi Negara”, Yogyakarta: Prudent Media,hlm.182
teoretis, Kranenburg memaparkan secara kronologis adanya tujuh konsep mengenai
permasalahan negara dapat digugat di muka hakim perdata, yaitu sebagai berikut:
a. Konsep negara sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan dengan konsep hukum
sebagai keputusan kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan menyatakan bahwa
tidak ada tanggung gugat negara.
b. Konsep yang membedakan negara sebagai penguasa dan negara sebagai fiscus.
Sebagai penguasa negara tidak dapat digugat dan sebaliknya sebagai fiscus dapat
saja negara digugat.
c. Konsep yang mengetengahkan kriteria sifat hak, yaitu suatu hak dilindungi oleh
hukum publik atau hukum perdata.
d. Konsep yang mengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang dilanggar.
e. Konsep yang mendasarkan pada perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
sebagai dasar untuk menggugat negara. Konsep ini tidak mempermasalahkan yang
dilanggar itu peraturan hukum publik atau peraturan hukum perdata.
f. Konsep yang memisahkan antara fungsi dan pelaksanaan fungsi. Fungsi tidak
dapat digugat, tetapi pelaksanaannya yang melahirkan kerugian dapat digugat.
g. Konsep yang mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa negara dan alat-alatnya
berkewajiban dalam tindak-tanduknya, apa pun aspeknya (hukum publik maupun
hukum perdata) memerhatikan tingkah laku manusiawi yang normal.3
Negara sebagai suatu institusi memiliki dua kedudukan hukum, yaitu sebagai
badan hukum publik dan sebagai kumpulan jabatan (complex van ambten) atau
lingkungan pekerjaan tetap, baik sebagai badan hukum maupun sebagai kumpulan
jabatan, perbuatan hukum negara atau jabatan dilakukan melalui wakilnya, yaitu
pemerintah. Berkenaan dengan kedudukan pemerintah sebagai wakil dari badan
hukum publik yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang
keperdataan, seperti jual beli, sewa-menyewa, membuat perjanjian, dan sebagainya,
dimungkinkan muncul tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum
(onrechtmatige overkeidsdaad). Berkaitan dengan perbuatan pemerintah yang
bertentangan dengan hukum ini disebutkan bahwa hakim perdata berkenaan dengan
perbuatan melawan hukum oleh pemerintah berwenang menghukum pemerintah

3
Ridwan HR, op.cit., hlm. 270
untuk membayar ganti kerugian. Di samping itu, hakim perdata dalam berbagai hal
dapat mengeluarkan larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk melakukan
tindakan tertentu.
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum Pemerintah, dalam
kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum public, dilakukan melalui peradilan
umum. Kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda
dengans eseorang atau badan hukum perdata, yaitu sejajar, sehingga pemerintah
dapat menjadi tergugat maupun penggugat. Dalam konteks inilah prinsip kedudukan
yang sama di depan hukum (equality before law) yang menjadi salah satu unsur
negara hukum terimplementasi. Dengan kata lain, hukum perdata memberikan
perlindungan yang sama baik kepada pemerintah maupun seseorang atau badan
hukum perdata.
2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik
Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan yang berdasarkan sifatnya
menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan dan ketetapan pemerintah yang bersifat
sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum
pemerintahan itu bergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak
bergantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak
(wilsovereenstemming) dengan pihak lain.4
Keputusan dan ketetapan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum
terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan
kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga
negara. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap
tindakan hukum pemerintah. Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga
negara diberikan apabila sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian
terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara dilakukan
terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis.

4
Ridwan HR, op.cit.,hlm.274
C. Perlindungan Hukum dalam Lingkup Bestuur (pemerintahan)
Dalam hukum administrasi negara terdapat hubungan “hukum istimewa” yang
memungkinkan para penjabat (administrasi negara) melakukan tugas “khusus” yang
merupakan hukum “istimewa”. Seperti semua subjek hukum lain, administrasi negara
tunduk juga pada hukum privat, yang dapat disebut hukum biasa (gemene recht,
Hamaker, Scholten). Dalam menyelenggarakan sebagian tugasnya, administrasi negara
dapat menggunakan hubungan-hukum, misalnya peraturan-peraturan yang terdapat
dalam KUH Perdata tentang jual beli, sewa, dan sebagainya. Akan tetapi, untuk
menyelenggarakan (sebagian) tugas khusus, yang hanya diserahkan pada administrasi
negara, administrasi negara memerlukan wewenang istimewa. Administrasi negara dapat
menggunakan peraturan-peraturan tertentu yang tidak dapat digunakan oleh subjek
hukum swasta. Misalnya, peraturan-peraturan yang disebut dalam Pasal 27
UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950 (hak untuk mencabut milik,
onteigeningsrecht), dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 dan Pasal 33 UUD sekarang (wewenang pemerintah untuk mencampuri
dalam perekonomian), dalam Pasal 117 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
dahulu dan Pasal 23 ayat 2 UUD sekarang (hak untuk memungut pajak yang hanya dapat
dijalankan oleh pemerintah). Administrasi negara dapat memilih antara peraturan-
peraturan istimewa dan peraturan-peraturan biasa.5 Hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah hukum administrasi negara atau
hukum perdata, bergantung pada sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum tersebut. Pemerintah memiliki dua kedudukan hukum, yaitu sebagai
wakil dari badan hukum publik (publick rechtspersoon, public legal entity) dan sebagai
pejabat (ambtsdrager) dari jabatan pemerintahan. Ketika pemerintah melakukan tindakan
hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, tindakan tersebut diatur dan
tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak
dalam kapasitasnya sebagai pejabat, tindakan itu diatur dan tunduk pada hukum
administrasi negara, baik tindakan hukum keperdataan maupun publik dari pemerintah
dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang
melanggar hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan

5
Dr. Sahya Anggara, M.,Si. “Hukum Administrasi Negara”, Bandung: Pustaka Setia,hlm.119
perlindungan hukum bagi warga negara. F.H. van Der Burg dan kawan-kawan
mengatakan bahwa kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum merupakan
hal penting ketika pemerintah bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap sesuatu yang karena tindakan atau kelalaiannya itu melanggar
(hak) orang-orang atau kelompok tertentu. Secara umum, ada tiga macam perbuatan
pemerintahan, yaitu perbuatan pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan
perundangundangan (regeling), perbuatan pemerintahan dalam penerbitan ketetapan
(beschikking), dan perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan (materiele daad).
Dua bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik sehingga tunduk dan diatur
berdasarkan hukum publik, sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata
sehingga tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata. Atas dasar pembidangan
perbuatan pemerintahan ini, Muchsan mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum
oleh pemerintah yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas
pada perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk, tetapi juga perbuatan yang bersifat
publiekrechtelijk. Pemerintah dapat melakukan perbuatan melawan hukum karena
melanggar hak subjektif orang lain apabila:
1. melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar
ketentuan dalam hukum tersebut;
2. melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan
kaidah hukum tersebut.
Pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies ermessen, yang jika
dituangkan dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijaksanaan. Dengan
demikian, secara garis besar, sehubungan dengan perbuatan hukum pemerintah yang
dapat terjadi, baik dalam bidang publik maupun perdata, perlindungan hukum akibat dari
perbuatan pemerintah juga ada yang terdapat dalam bidang perdata ataupun publik.
D. Kekuasaan Kehakiman dan Syarat-Syarat Peradilan yang Baik
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Ketentuan tersebut dapat dikatakan sebagai penegasan dari
penjelasan pasal demi pasal atas pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebagai Undang-Undang
organic, UU No.14 Tahun 1970 juga mengatur hal-hal penting lainnya.
Walaupun menurut Undang-Undang dasar dan Undang-Undang kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dari campur tangan siapapun dalam
menyelenggarakan peradilan, akan tetapi dalam kenyataan hal itu tergantung pada
pribadi para hakim.6 Oleh karna itu dalam usaha melaksanakan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dari campur tangan siapapun, persyaratan tentang pengangkatan dan
pemberhentian hakim adalah penting. Kekuasaan kehakiman pasca amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 berpuncak pada dua kelembagaan, baik Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi, sebab kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini mengalami
bifurkasi, pemahaman bifurkasi lebih dimaknai bahwa puncak kekuasaan kehakiman
berada di dua lembaga negara yang memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda.
Mahkamah Agung diletakan sebagai lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman
dalam masalahmasalah umum atau peradilan konvensional ditambah dengan
kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
undang terhadap Undang-undang (the legitimate interpreter of the law and justice),
sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan ketatanegaraan yang diberikan
kewenangan dalam melakukan pengujian Undang-undang terhadap UUD, memeriksa
dan memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus
dakwaan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan umum.
UU No. 48 Tahun 2009 berperan penting dalam membahas kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan, Klarsifikasi Badan-badan peradilan yaitu:
1. MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung memiliki kewenangan kekuasaan kehakiman dalam mengadili
pada tingkat kasasi terhadap sebuah keputusan dan kewenangan lainnya untuk
menguji peraturan perundang-undangan. Fungsi mahkamah agung yaitu:

1. Fungsi Pengadilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang

6
Philipus M.Hadjon dkk, “Pengantar Hukum Administrasi”,2001, Surabaya: Gadjah Mada Univesity Press
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan
kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa
dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
-     semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
-     permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
-     semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-
undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)

c.  Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal
apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

2. Fungsi Pengawasan
a.     Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor
14 Tahun 1970).
b.     Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
-     terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok
Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang
diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985).
-     Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

3. Fungsi Mengatur
a.     Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-
undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b.     Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

4. Fungsi Nasehat
a.     Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung
No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah
Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b.     Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada
pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-
undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

5. Fungsi Administratif
a.     Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14
Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada
dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b.     Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan
tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

6. Fungsi Lain-lain

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

2. Peradilan Umum
Peradilan umum dibawah Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa, mengadili serta memutus sebuah perkara pidana sesuai dengan aturan-
aturan UU No.48 Tahun 2009. Peradilan Umum diatur dalam UU No. 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum
3. Peradilan Agama
Peradilan yang juga dibawah Mahkamah Agung ini memiliki kewenangan yang sama
dengan peradilan umum namun terhadap perkara pidana orang-orang yang beragama
islam. Peradilan Agama diatur dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
4. Peradilan Militer
Peradilan ini juga berada di bawah Mahkamah Agung, peradilan militer ini memiliki
wewenang untuk memeriksa, mengadili, memutus sebuah perkara terhadap tindak
pidana militer.
5. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini memiliki wewenang untuk
memeriksa, mengadili serta memutus sebuah sengketa tata usaha negara.
Syarat-syarat Peradilan Yang Baik
peradilan (rechtspraak atau judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan tugas negara dalam penegakan hukum dan keadilan, menurut Van Praag
bahwa peradilan merupakan penentuan berlakunya sesuatu aturan hukum terhadap
sesuatu peristiwa yang konkrit sehubungan dengan timbulnya suatu persengketaan.
Dengan demikian peradilan adalah instansi yang netral terhadap suatu peristiwa
hukum konkrit untuk kemudian melakukan proses memeriksa dan memasukkan
peristiwa konkrit itu dalam suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkan dalam
putusan.7
Untuk dapat disebut sebagai peradilan, khususnya peradilan administrasi harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya suatu instansi atau badan yang netral dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan;
b. Terdapatnya suatu peristiwa konkrit yang memerlukan kepastian hukum;
c. Terdapatnya suatu peraturan hukum yang abstrak dan mengikat umum;
d. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak, dan;
e. Adanya hukum formal, dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan
menemukan hukum (rechtsvinding) in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum
materiil.
Untuk suatu peradilan yang baik selanjutnya dibutuhkan:
1. Hakim-hakim yang berkualitas baik. Seleksi dan penggajian adalah penting
sekali
2. Kemungkinan bagi si warga untuk selalu mempunyai jalan (minta bantuan) ke
seorang hakim
3. Pemutusan dalam persengketaan itu dalam waktu yang wajar
4. Penetapan suatu hukum acara yang baik, yang mana dasar-dasar tata cara yang
elementer (seperti didengar dan mendengarkan) telah ditentukan
5. Kemungkinan-kemungkinan naik banding dan atau kasasi untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang mungkin ada dari hakim rendahan

7
Tanto Lailam, op.cit.,hlm.194
6. Jaminan-jaminan bahwa keputusan-keputusan para hakim juga sungguh-sungguh
dilaksanakan.8
E. Ombudsman
Sejak 1 Januari 1982 negeri Belanda mengenal Ombudsman Nasional.
Pendiriannya, kewenangan-kewenangannya dan cara kerjanya adalah berdasarkan UU
Ombudsman National 1981.Ombudsman tidak menyibukkan diri dengan perlindungan
hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun ia menguji tindakan-tindakan (ini adalah
suatu istilah yang luas yang mengandung baik tindakan-tindakan hukum maupun
tindakan-tindakan nyata) atas norma-norma kepantasan.
Setiap orang mempunyai hak untuk meminta kepada Ombudsman secara tertulis
untuk memeriksa cara suatu organ administrasi telah bertindak dalam suatu keadaan
tertentu terhadap seseorang atau suatau badan hukum. Ombudsman juga berwenang
untuk/atas prasangka sendiri mengadakan suatu pemeriksaan. Dalam rangka
pemeriksaan itu ombudsman memiliki kewenangan tertentu. Misalnya ia dapat
memanggil badan administrasi itu, pegawai yang bersangkutan dari badan yang
melakukan perbuatan itu, saksi dan pemohon. Yang dipanggil itu berkewajiban untuk
memberi informasi (keterangan) kepada ombudsman itu, yang membutuhkannya untuk
kegunaan suatu pemeriksaan dan untuk hadir disana (ombudsman). Sesudah penutupan
pemeriksaan, ombudsman Menyusun suatu laporan, yang didalamnya diutarakan
pengalaman-pengalamannya dan pendapatnya. Laporan itu dikirimkan ke organ yang
bersangkutan dan dalam hal yang telah terjadi kepada pegawai itu, dan apabila dilakukan
permohonan, kepada si pemohon. Kepada setiap orang yang meminta diberikan kutipan
dari laporan itu. Setiap tahun dikirim laporan kepada ketua kamar dari staten general
kepada para Menteri.
Laporan dari Ombudsman tidak mengikat. Akan tergantung dari daya
meyakinkannya yang dia harus berusaha memperolehnya, sejauh mana laporan-
laporannya akan tetap aktif.9

Tugas Ombudsman

1. Menerima laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik


8
Philipus M.Hadjon, op.cit.,hlm.292
9
Philipus M.Hadjon,op.cit.,hlm.303
2. Melakukan pemeriksaan subtansi atas Laporan
3. Menindak lanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan ombudsman
4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan Pelayanan Publik
5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga Negara atau lembaga
pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan
6. Membangun jaringan kerja
7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik
dan
8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh Undang-Undang.

Fungsi

Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik yang diselenggarakan


oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintah baik Pusat maupun derah termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara serta badan Swasta atau perseorangan yang
diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.

F. Peradilan Tata Usaha Negara


1. Karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum
yang melandasinya, yaitu:
a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid =praesumptio iustae
causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu
harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan
tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini
berbeda dengan ketentuan pasal 1965 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU No.5
Tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100
c. Asas Keaktifan Hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha
negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan
asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal 58, 63 ayat 1, 2, 80,85..
d. Asas putusan pengadiuilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”
sengketa TUN adalah sengketa hukum public. Dengan demikian putusan
pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja , tidak hanya bagi para pihak yang
bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang intervensi
bertentangan dengan asas “erga omnes”
2. Subjek dan Objek Sengketa TUN
Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 pasal 4 dan pasal 3 UU No.5 tahun 1986,
Objek PTUN berupa sengketa tata usaha negara berupa:
a. Pasal 1 angka 3 Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;

b. Pasal 3 UU No.5/1986, antara lain:


 Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

 Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah
lewat,maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap
telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

 Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak


menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), maka
setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak di terimanya
permohonan,Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Bila memperhatikan objek  Sengketa PTUN di atas, subjek PTUN terdiri dari
para pihak yang berperkara, pihak yang berperkara adalah orang atau badan
hukum perdata yang merasa dirugikan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara.
3. Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Tidak semua keputusan KTUN dapat langsung digugat melalui peradilan Tata Usaha
Negara. Terhadap KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratif
disyaratkan untuk menggunakan saluran peradilan tata usaha negara/ gugatan
ditujukan kepada PTUN tingkat pertama. Sedangkan untuk KTUN yang
memungkinkan adanya upaya adminstratif, gugatan langsung ditujukan kepada
pengadilan tinggi tata usaha negara.
Ada dua macam upaya administratif, yaitu: “banding administrasi” dan prosedur
“keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi yang sama yaitu
badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN, maka prosedur
yang ditempuh “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi
atasan atau instansi lain, maka prosedu nya disebut “banding administratif”. 10
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
TUN jika seluruh upaya administrasi sudah digunakan. Setelah itu pihak penggugat
harus mengajukan gugatan. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan
terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan putusan. Sehingga yang menjadi tergugat adalah badan atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Setelah diajukan gugatan, maka akan dilakukan pemeriksaan dimissial atau
rapat permusyawaratan. Dalam rapat ini, ketua pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan itu dinyatakan diterima atau tidak.
4. Kualifikasi Acara dalam PTUN

10
Philipus M.Hadjon,op.cit.,hlm.316
Hukumacara dalam PTUN dibedakan atas :
a. Hukum acara materiil yang meliputi:
 Kompetensi absolut dan relative
 Hak gugat
 Tenggang waktu menggugat
 Alasan menggugat
 Alat bukti
b. Hukum acara formal (hukum acara dalam arti sempit, berupa Langkah-langkah
atau tahapan yang terbagi atas:
 Acara biasa
 Acara cepat
 Acara singkat11

Hukum Acara dalam PTUN yang materiil:


a. Kompetensi absolut PTUN
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Hak Gugat
Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 yang dapat bertindak sebagai
penggugat adalah:
 Orang atau badan hukum perdata
 Yang kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN
Dengan demikian yang bisa menggugat adalah pihak yang ada
hubungan kausal antara KTUN dngan kerugian atau kepentingan
seseorang.
c. Tenggang Waktu
Berdasarkan ketentuan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan
adalah :
11
Philipus M. Hadjon op.cit.,hlm.331
 Bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II) : 90 hari sejak
saat KTUN itu diterima.
 Bagi pihak III yang berkepentingan : 90 hari sejak saat KTUN itu
diumumkan.
d. Alasan menggugat
Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat 2, dasar pengujian oleh pengadilan
terhadap keputusan tata usaha negara (KTUN) yang digugat adalah :
1. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu mengeluarkan
keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud yang diberikannya wewenang tersebut.
3. Badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak
sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
e. Alat bukti
Pasal 100 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan alat bukti :
 Surat
 Keterangan ahli
 Keterangan saksi
 Pengakuan para pihak
 Pengetahuan hakim

Hukum Acara dalam PTUN yang Formal:


a. Acara Biasa
Pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara umumnya dilakukan
dengan acara biasa. Menurut Indroharto, pemeriksaan dengan
acara biasa adalah proses pemeriksaan normal yang seharusnya
dilalui oleh setiap gugatan yang diajukan (proses yang tidak
diterapkan secara khusus). Adapun alur pemeriksaan di Peradilan
Tata Usaha Negara dengan Acara Biasa adalah sebagai berikut:

1. Gugatan diajukan melalui kepaniteraan pengadilan.


Kepaniteraan pengadilan lalu menyerahkan berkas kepada
Ketua Peradilan Tata Usaha Negara untuk dilakukan proses
dismissal;
2. Pada proses dismissal, Ketua Peradilan Tata Usaha Negara
berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan
yang diajukan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 62 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
3. Jika suatu gugatan lolos dismissal, maka Ketua PTUN akan
menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksanya. Namun,
apabila gugatan tersebut tidak lolos (di-dismissal), Penggugat
yang keberatan dengan penetapan dismissal dapat mengajukan
upaya perlawanan yang akan diperiksa oleh Majelis Hakim
dengan acara singkat
4. Pada acara biasa, Ketua PTUN akan menunjuk Majelis Hakim
yang jumlahnya ganjil. Biasanya tiga orang;
5. Majelis Hakim mulai memeriksa perkara dengan melakukan
pemeriksaan, yakni suatu tahapan yang harus dilakukan oleh
Majelis Hakim sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memperbaiki dan
melengkapi gugatan Penggugatan. Dalam waktu 30 hari,
gugatan Penggugat harus sudah sempurna untuk dilakukan
persidangan terbuka untuk umum;
6. Tahap persidangan dimulai dengan pembacaan isi gugatan
oleh Majelis Hakim. Setelah itu, Tergugat dapat
menyampaikan jawabannya. Kemudian, Penggugat dapat
mengajukan replik, dan Tergugat dapat mengajukan duplik
terhadap replik;
7. Pembuktian (tiap pihak mengajukan surat, ahli, dan saksi)
8. Kesimpulan dari pada pihak
9. Pembacaan putusan.

b. Acara Cepat
Alur pemeriksaan acara cepat adalah sebagai berikut:

1. Penggugat memohon kepada Ketua PTUN dalam surat


permohonan (atau digabung dengan surat gugatan) untuk
melaksanakan pemeriksaan acara cepat dengan alasan terdapat
kepentingan penggugat yang cukup mendesak atau adanya
kegentingan yang memaksa;
2. Dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan
tersebut, Ketua PTUN harus mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkannya atau tidaknya permohonan dengan acara cepat
tersebut. Atas penetapan tersebut, tidak dapat dilakukan upaya
hukum;
3. Apabila permohonan tersebut dikabulkan, Ketua PTUN akan
menerbitkan penetapan yang berisi pengabulan permohonan
permiksaan dengan acara cepat. Namun, jika permohonan
tersebut tidak dikabulkan, pemeriksaan akan dilakukan dengan
acara biasa
4. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim
tunggal
5. Tenggang waktu persidangan untuk tahap jawaban dan
pembuktian bagi kedua belah pihak tidak melebihi 14 hari;
6. Setelah seluruh proses dilakukan, hakim mengakhiri
persidangan dengan pembacaan putusan;
c. Acara Singkat
Acara singkat merupakan salah satu acara persidangan di PTUN
yang secara khusus menyidangkan perkara perlawanan atas
penetapan dismissal.
Berikut adalah tata cara pemeriksaan acara singkat:

1. Pemeriksaan dilaksanakan oleh majelis hakim dalam


sidang yang tertutup untuk umum kecuali pembacaan
putusannya, dimana para pihak dalam pemeriksaan acara
singkat adalah sama dengan para pihak dalam gugatan
awal. Hanya penyebutannya saja yang berubah: dahulu
Penggugat sekarang menjadi Pelawan, sementara dahulu
Tergugat sekarang menjadi Terelawan;
2. Tenggang waktu mengajukan perlawanan adalah 14 hari
sejak penetapan tersebut diucapkan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum oleh Ketua PTUN, atau apabila
para pihak tidak hadir dalam persidangan tersebut, maka
tenggang waktu dihitung sejak pemberitahuan penetapan
kepada para pihak secara sah;
3. Pemeriksaan dengan acara singkat cukup sebatas dalil-dalil
perlawanan atas penetapan dismissal, tidak sampai
memeriksa materi gugatannya.

Anda mungkin juga menyukai