NEGARA
Disusun Oleh:
Nama: Khazanatul Huda
NIM: 2110111135
Dosen Pengampu: Frenadin Adegustara, SH.,MS
T.A.2021/2022
FAKULTAS HUKUM
Universitas Andalas
PERLINDUNGAN HUKUM
A. Hakikat Perlindungan Hukum
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana (instrument) untuk mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat
menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar, namun
hukum juga berfungsi sebagai instrument perlindungan bagi subjek hukum. Jika
dikaitkan dengan keberadaan suatu negara, hukum dapat difungsikan sebagai pelindung
warga negara dari Tindakan pemerintah yang tirani atau despotik, untuk melembagakan
perlindungan hukum bagi warga negara, maka diadakan Lembaga peradilan yang
berfungsi untuk menegakkan keadilan serta sebagai tempat untuk mencari keadilan.
Menurut Sudiko Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.1
Sementara menurut Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terbagi
dua macam, yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.2
Pada perlindungan hukum preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitive, dengan demikian perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan hukum bagi rakyat yang
bertujuan untuk penyelesaian sengketa, dengan kata lain pengertian ini penerapan
perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan umum termasuk peradilan administrasi
termasuk kategori perlindungan hukum represif.
3
Ridwan HR, op.cit., hlm. 270
untuk membayar ganti kerugian. Di samping itu, hakim perdata dalam berbagai hal
dapat mengeluarkan larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk melakukan
tindakan tertentu.
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum Pemerintah, dalam
kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum public, dilakukan melalui peradilan
umum. Kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda
dengans eseorang atau badan hukum perdata, yaitu sejajar, sehingga pemerintah
dapat menjadi tergugat maupun penggugat. Dalam konteks inilah prinsip kedudukan
yang sama di depan hukum (equality before law) yang menjadi salah satu unsur
negara hukum terimplementasi. Dengan kata lain, hukum perdata memberikan
perlindungan yang sama baik kepada pemerintah maupun seseorang atau badan
hukum perdata.
2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik
Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan yang berdasarkan sifatnya
menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan dan ketetapan pemerintah yang bersifat
sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum
pemerintahan itu bergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak
bergantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak
(wilsovereenstemming) dengan pihak lain.4
Keputusan dan ketetapan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum
terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan
kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga
negara. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap
tindakan hukum pemerintah. Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga
negara diberikan apabila sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian
terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara dilakukan
terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis.
4
Ridwan HR, op.cit.,hlm.274
C. Perlindungan Hukum dalam Lingkup Bestuur (pemerintahan)
Dalam hukum administrasi negara terdapat hubungan “hukum istimewa” yang
memungkinkan para penjabat (administrasi negara) melakukan tugas “khusus” yang
merupakan hukum “istimewa”. Seperti semua subjek hukum lain, administrasi negara
tunduk juga pada hukum privat, yang dapat disebut hukum biasa (gemene recht,
Hamaker, Scholten). Dalam menyelenggarakan sebagian tugasnya, administrasi negara
dapat menggunakan hubungan-hukum, misalnya peraturan-peraturan yang terdapat
dalam KUH Perdata tentang jual beli, sewa, dan sebagainya. Akan tetapi, untuk
menyelenggarakan (sebagian) tugas khusus, yang hanya diserahkan pada administrasi
negara, administrasi negara memerlukan wewenang istimewa. Administrasi negara dapat
menggunakan peraturan-peraturan tertentu yang tidak dapat digunakan oleh subjek
hukum swasta. Misalnya, peraturan-peraturan yang disebut dalam Pasal 27
UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950 (hak untuk mencabut milik,
onteigeningsrecht), dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 dan Pasal 33 UUD sekarang (wewenang pemerintah untuk mencampuri
dalam perekonomian), dalam Pasal 117 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
dahulu dan Pasal 23 ayat 2 UUD sekarang (hak untuk memungut pajak yang hanya dapat
dijalankan oleh pemerintah). Administrasi negara dapat memilih antara peraturan-
peraturan istimewa dan peraturan-peraturan biasa.5 Hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemerintah dengan warga negara adalah hukum administrasi negara atau
hukum perdata, bergantung pada sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum tersebut. Pemerintah memiliki dua kedudukan hukum, yaitu sebagai
wakil dari badan hukum publik (publick rechtspersoon, public legal entity) dan sebagai
pejabat (ambtsdrager) dari jabatan pemerintahan. Ketika pemerintah melakukan tindakan
hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, tindakan tersebut diatur dan
tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak
dalam kapasitasnya sebagai pejabat, tindakan itu diatur dan tunduk pada hukum
administrasi negara, baik tindakan hukum keperdataan maupun publik dari pemerintah
dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang
melanggar hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan
5
Dr. Sahya Anggara, M.,Si. “Hukum Administrasi Negara”, Bandung: Pustaka Setia,hlm.119
perlindungan hukum bagi warga negara. F.H. van Der Burg dan kawan-kawan
mengatakan bahwa kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum merupakan
hal penting ketika pemerintah bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap sesuatu yang karena tindakan atau kelalaiannya itu melanggar
(hak) orang-orang atau kelompok tertentu. Secara umum, ada tiga macam perbuatan
pemerintahan, yaitu perbuatan pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan
perundangundangan (regeling), perbuatan pemerintahan dalam penerbitan ketetapan
(beschikking), dan perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan (materiele daad).
Dua bidang yang pertama terjadi dalam bidang publik sehingga tunduk dan diatur
berdasarkan hukum publik, sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata
sehingga tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata. Atas dasar pembidangan
perbuatan pemerintahan ini, Muchsan mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum
oleh pemerintah yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya terbatas
pada perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk, tetapi juga perbuatan yang bersifat
publiekrechtelijk. Pemerintah dapat melakukan perbuatan melawan hukum karena
melanggar hak subjektif orang lain apabila:
1. melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar
ketentuan dalam hukum tersebut;
2. melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan
kaidah hukum tersebut.
Pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies ermessen, yang jika
dituangkan dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijaksanaan. Dengan
demikian, secara garis besar, sehubungan dengan perbuatan hukum pemerintah yang
dapat terjadi, baik dalam bidang publik maupun perdata, perlindungan hukum akibat dari
perbuatan pemerintah juga ada yang terdapat dalam bidang perdata ataupun publik.
D. Kekuasaan Kehakiman dan Syarat-Syarat Peradilan yang Baik
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Ketentuan tersebut dapat dikatakan sebagai penegasan dari
penjelasan pasal demi pasal atas pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebagai Undang-Undang
organic, UU No.14 Tahun 1970 juga mengatur hal-hal penting lainnya.
Walaupun menurut Undang-Undang dasar dan Undang-Undang kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dari campur tangan siapapun dalam
menyelenggarakan peradilan, akan tetapi dalam kenyataan hal itu tergantung pada
pribadi para hakim.6 Oleh karna itu dalam usaha melaksanakan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dari campur tangan siapapun, persyaratan tentang pengangkatan dan
pemberhentian hakim adalah penting. Kekuasaan kehakiman pasca amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 berpuncak pada dua kelembagaan, baik Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi, sebab kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini mengalami
bifurkasi, pemahaman bifurkasi lebih dimaknai bahwa puncak kekuasaan kehakiman
berada di dua lembaga negara yang memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda.
Mahkamah Agung diletakan sebagai lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman
dalam masalahmasalah umum atau peradilan konvensional ditambah dengan
kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
undang terhadap Undang-undang (the legitimate interpreter of the law and justice),
sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan ketatanegaraan yang diberikan
kewenangan dalam melakukan pengujian Undang-undang terhadap UUD, memeriksa
dan memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus
dakwaan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan umum.
UU No. 48 Tahun 2009 berperan penting dalam membahas kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan, Klarsifikasi Badan-badan peradilan yaitu:
1. MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung memiliki kewenangan kekuasaan kehakiman dalam mengadili
pada tingkat kasasi terhadap sebuah keputusan dan kewenangan lainnya untuk
menguji peraturan perundang-undangan. Fungsi mahkamah agung yaitu:
1. Fungsi Pengadilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
6
Philipus M.Hadjon dkk, “Pengantar Hukum Administrasi”,2001, Surabaya: Gadjah Mada Univesity Press
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan
kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa
dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
- semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
- permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
- semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-
undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal
apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2. Fungsi Pengawasan
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor
14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok
Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang
diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-
undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4. Fungsi Nasehat
a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung
No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah
Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun
demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada
pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-
undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14
Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada
dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan
tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. Fungsi Lain-lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
2. Peradilan Umum
Peradilan umum dibawah Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa, mengadili serta memutus sebuah perkara pidana sesuai dengan aturan-
aturan UU No.48 Tahun 2009. Peradilan Umum diatur dalam UU No. 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum
3. Peradilan Agama
Peradilan yang juga dibawah Mahkamah Agung ini memiliki kewenangan yang sama
dengan peradilan umum namun terhadap perkara pidana orang-orang yang beragama
islam. Peradilan Agama diatur dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
4. Peradilan Militer
Peradilan ini juga berada di bawah Mahkamah Agung, peradilan militer ini memiliki
wewenang untuk memeriksa, mengadili, memutus sebuah perkara terhadap tindak
pidana militer.
5. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini memiliki wewenang untuk
memeriksa, mengadili serta memutus sebuah sengketa tata usaha negara.
Syarat-syarat Peradilan Yang Baik
peradilan (rechtspraak atau judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan tugas negara dalam penegakan hukum dan keadilan, menurut Van Praag
bahwa peradilan merupakan penentuan berlakunya sesuatu aturan hukum terhadap
sesuatu peristiwa yang konkrit sehubungan dengan timbulnya suatu persengketaan.
Dengan demikian peradilan adalah instansi yang netral terhadap suatu peristiwa
hukum konkrit untuk kemudian melakukan proses memeriksa dan memasukkan
peristiwa konkrit itu dalam suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkan dalam
putusan.7
Untuk dapat disebut sebagai peradilan, khususnya peradilan administrasi harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya suatu instansi atau badan yang netral dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan;
b. Terdapatnya suatu peristiwa konkrit yang memerlukan kepastian hukum;
c. Terdapatnya suatu peraturan hukum yang abstrak dan mengikat umum;
d. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak, dan;
e. Adanya hukum formal, dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan
menemukan hukum (rechtsvinding) in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum
materiil.
Untuk suatu peradilan yang baik selanjutnya dibutuhkan:
1. Hakim-hakim yang berkualitas baik. Seleksi dan penggajian adalah penting
sekali
2. Kemungkinan bagi si warga untuk selalu mempunyai jalan (minta bantuan) ke
seorang hakim
3. Pemutusan dalam persengketaan itu dalam waktu yang wajar
4. Penetapan suatu hukum acara yang baik, yang mana dasar-dasar tata cara yang
elementer (seperti didengar dan mendengarkan) telah ditentukan
5. Kemungkinan-kemungkinan naik banding dan atau kasasi untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang mungkin ada dari hakim rendahan
7
Tanto Lailam, op.cit.,hlm.194
6. Jaminan-jaminan bahwa keputusan-keputusan para hakim juga sungguh-sungguh
dilaksanakan.8
E. Ombudsman
Sejak 1 Januari 1982 negeri Belanda mengenal Ombudsman Nasional.
Pendiriannya, kewenangan-kewenangannya dan cara kerjanya adalah berdasarkan UU
Ombudsman National 1981.Ombudsman tidak menyibukkan diri dengan perlindungan
hukum dalam arti yang sesungguhnya, namun ia menguji tindakan-tindakan (ini adalah
suatu istilah yang luas yang mengandung baik tindakan-tindakan hukum maupun
tindakan-tindakan nyata) atas norma-norma kepantasan.
Setiap orang mempunyai hak untuk meminta kepada Ombudsman secara tertulis
untuk memeriksa cara suatu organ administrasi telah bertindak dalam suatu keadaan
tertentu terhadap seseorang atau suatau badan hukum. Ombudsman juga berwenang
untuk/atas prasangka sendiri mengadakan suatu pemeriksaan. Dalam rangka
pemeriksaan itu ombudsman memiliki kewenangan tertentu. Misalnya ia dapat
memanggil badan administrasi itu, pegawai yang bersangkutan dari badan yang
melakukan perbuatan itu, saksi dan pemohon. Yang dipanggil itu berkewajiban untuk
memberi informasi (keterangan) kepada ombudsman itu, yang membutuhkannya untuk
kegunaan suatu pemeriksaan dan untuk hadir disana (ombudsman). Sesudah penutupan
pemeriksaan, ombudsman Menyusun suatu laporan, yang didalamnya diutarakan
pengalaman-pengalamannya dan pendapatnya. Laporan itu dikirimkan ke organ yang
bersangkutan dan dalam hal yang telah terjadi kepada pegawai itu, dan apabila dilakukan
permohonan, kepada si pemohon. Kepada setiap orang yang meminta diberikan kutipan
dari laporan itu. Setiap tahun dikirim laporan kepada ketua kamar dari staten general
kepada para Menteri.
Laporan dari Ombudsman tidak mengikat. Akan tergantung dari daya
meyakinkannya yang dia harus berusaha memperolehnya, sejauh mana laporan-
laporannya akan tetap aktif.9
Tugas Ombudsman
Fungsi
Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah
lewat,maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap
telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
10
Philipus M.Hadjon,op.cit.,hlm.316
Hukumacara dalam PTUN dibedakan atas :
a. Hukum acara materiil yang meliputi:
Kompetensi absolut dan relative
Hak gugat
Tenggang waktu menggugat
Alasan menggugat
Alat bukti
b. Hukum acara formal (hukum acara dalam arti sempit, berupa Langkah-langkah
atau tahapan yang terbagi atas:
Acara biasa
Acara cepat
Acara singkat11
b. Acara Cepat
Alur pemeriksaan acara cepat adalah sebagai berikut: