Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA

EKSEKUSI

Disusun Oleh:
Kelompok 9
Ismail Syarif Maulana (2110112223)
Khazanatul Huda (2110111135)
Redo Arifin (2110113109)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
T.A. 2022/2023
BAB I
RUMUSAN MASALAH

1.1 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian eksekusi?


2. Apa saja jenis-jenis eksekusi?
3. Hal-hal apa yang dapat dieksekusi?
4. Apa yang dimaksud perlawanan terhadap eksekusi?
5. Apa yang dimaksud penyanderaan ?
6. Apa yang dimaksud pelelangan ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Eksekusi

Eksekusi berasal dari kata “executie” yang artinya melaksanakan putusan hakim
(uitvoer leggig van vonnissen). Adapun yang dimaksud eksekusi adalah
melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum,
guna menjalankan putusan pengadilan yang telah diperoleh kekuatan hukum
tetap. Eksekusi putusan perdata berarti melaksanakan putusan dalam perkara
perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.
Prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban pihak yang dikalahkan dalam
putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan
hakim. Dengan kata lain, eksekusi terhadap putusan hakim yang sudah
berkekuatan hukum tetap (BHT) merupakan proses terakhir dari proses perkara
perdata maupun pidana di pengadilan.1

2.2 Jenis-Jenis Eksekusi

Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang
tercantum dalam putusan pengadilan, paling tidak ada 3 (tiga) bentuk eksekusi,
yaitu:
1. Eksekusi riil
Eksekusi riil yaitu penghukuman pihak yang kalah untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu, misalnya penyerahan barang, pengosongan sebidang tanah
atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain.
Eksekusi riil ini
dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan
tanpa memerlukan lelang.
2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang
Eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah
uang (Pasal 196 HIR/ Pasal 201 RBg). Ini kebalikan dari eksekusi riil di mana
eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa
pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain eksekusi yang hanya dijalankan
dengan pelelangan terlebih dahulu hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi
itu bernilai uang.
3. Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan
Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR
yang menyatakan “Jika seseorang yang dihukum akan melakukan suatu

1
Dian Latifiani, Permasalahan Pelaksanaan Keputusan Hakim, ADHAPER Vol.1 No.1 Januari-Juni, 2015
perbuatan, tiada melakukan perbuatan itu di dalam waktu yang ditentukan oleh
hakim, akan dibolehkan pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim itu meminta
kepada pengadilan negeri dengan pertolongan ketuanya, baik dengan surat, dengan lisan,
supaya kepentingan yang akan didapatnya jika putusan itu diturut, dinilai dengan uang
yang banyaknya harus diberitahukannya dengan tertentu, jika permintaan itu dilakukan
dengan lisan, maka hal itu harus dicatat”.2

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu:


1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang, Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.
Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR (Pasal 208 Rbg).
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Hal
ini diatur dalam Pasal 225 HIR (Pasal 259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksa untuk
memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi, pihak yang dimenangkan
dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai
dengan uang
3. Eksekusi riil. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan
kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung Jadi eksekusi riil itu adalah
pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi
riil, yang berhaklah yang menerima prestasi. Prestasi yang terutang seperti yang
kita ketahui misalnya: pembayaran sejumlah uang, melakukan suatu perbuatan
tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda. Dengan demikian eksekusi
mengenai ganti rugi dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil.

Di samping tiga jenis eksekusi tersebut di atas, masih dikenal apa yang
dinamakan "parate eksekusi" atau eksekusi langsung, Parate eksekusi yaitu hak
seorang kreditur untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri atau

2
Op.cit
seolah-olah miliknya sendiri, benda-benda yang telah dijaminkan oleh debitur
bagi pelunasan hutangnya, dimuka umum dengan syarat-syarat yang lazim
berlaku, dengan sangat sederhana karena tanpa melibatkan debitur dan tanpa
(fiat) izin hakim dan titel eksekutorial.
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam aspek jaminan khsusus dalam suatu
perikatan hutang-piutang (Pasal 1132-1133 KUHPerdata), kreditur memegang
hak istimewa atau hak-hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk
zekerheidsrechten)3, seperti gadai, hipotik, hak tanggungan dan fidusia. Hak-hak
jaminan yang bersifat perbendaan, berisi hak untuk pelunasan hutang saja
(verhaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya, namun
diberikan hak oleh undang-undang maupun hak untuk memperjanjikan kuasa
untuk menjual sendiri obyek jaminan tersebut, ketika dikemudian hari debitur
wanprestasi4

2.3 Hal-hal Yang Dapat Dieksekusi

1. Eksekusi (Pelaksanaan Putusan) Dijalankan Terhadap Putusan yang Telah


Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Inilah salah satu asas atau prinsip yang mesti diperhatikan pada saat
hendak melakukan eksekusi. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara dikatakan, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang dapat dilaksanakan. (Pasal 115 UU No. 5/86). Akan tetapi
terhadap asas tersebut ada pengecualian. Dalam kasus-kasus tertentu, undang-
undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh
kekuatan hukum tetap. Atau pelaksanaan putusan dapat dijalankan pengadilan
terhadap bentuk hukum tertentu di luar putusan, sehingga adakalanya eksekusi
bukan merupakan tindakan menjalankan putusan pengadilan, tapi menjalankan
3
Wirjono Prodjodikoro. "Hukum Perdata Tentang Hak Alas Benda". cet. ke-5, (Jakarta: Inlermasa, 1986), hal.
75
4
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, "Hukum Perdata: Hukum Benda", cet. ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 1981),
hal. 103.
pelaksanaan eksekusi) terhadap bentuk-bentuk hukum yang dipersamakan
undang andang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.
2. Eksekusi Dijalankan Terhadap Putusan yang tidak Dijalankan Secara
Sukarela
Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan
pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau
memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia
menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus
disingkirkan. Oleh karena itu harus dibedakan antara menjalankan putusan
secara sukarela dengan menjalankan putusan secara eksekusi
3. Putusan yang Dapat Dieksekusi Adalah Putusan yang Bersifat
Condemnatoir
Artinya mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang
amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu
dieksekusi atau dilaksanakan, karena begitu putusan-putusan yang
demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan
declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan
konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula. Putusan
condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk:

a) menyerahkan suatu barang;

b) mengosongkan sebidang tanah;

c) melakukan suatu perbuatan tertentu;

d) menghentikan suatu perbuatan/keadaan;

e) membayar sejumlah uang.


Dari kelima bentuk putusan condemnatoir, dari a s.d. d adalah
penghukuman yang berbentuk eksekusi riil, sedangkan e adalah eksekusi
pembayaran sejumlah uang. Pada umumnya eksekusi riil sangat sederhana dan
hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang yang menjadi sengketa adalah
sebidang tanah, maka eksekusi riilnya hanya terbatas pada pengosongan dan
penyerahan tanah yang menjadi sengketa Eksekusi riil tidak dapat berkembang
terhadap harta tergugat yang lain.5

Apa yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terutama adalah salinan


putusan yang dijatuhkan di Indonesia (Pasal 435 Rv, 224 HIR, 258 Rbg).
Putusan hakim asing pada asasnya tidak dapat dijalankan di Indonesia (Pasal 436
Rv).

Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang


Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award
(ditandatangani tanggal 10 Juni 1958 mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959) dengan
Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 (yang telah diberitahukan oleh Presiden
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan suratnya tanggal 5 Agustus
1981), putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di dalam wilayah Indonesia,
yang selanjutnya diatur dalam Pasal 65 dan 66 UU No. 30 tahun 1999).6

2.3 Perlawanan Terhadap Eksekusi

Pada azasnya suatu putusan hakim hanya mengikat para pihak yang
berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga, demikian ketentuan Pasal 1917
Burgerlijk Wetboek. Akan tetapi dalam praktik sering terjadi pelaksanaan
putusan hakim, yang dalam hal ini dimulai dengan melaksanakan sita eksekusi,

5
Prof. Moh. Taufik Makarao, S.H.,M.H, “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata” 2009, Rineka Cipta : Jakarta,
hal.
6
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia” Cahaya Atma Pustaka: Yogyakarta
hal. 214-216
ternyata mendatangkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai
hubungan dengan perkara yang dipersengketakan. Akibatnya timbul masalah
baru, yaitu adanya bantahan yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan alasan
bahwa barang yang disita itu diakui sebagai miliknya. Biasanya masalah ini
dapat timbul antara lain karena kurang sempurnanya pelaksanaan sita eksekusi
tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan kasus yang sering terjadi dalam praktek,
yaitu adanya barang-barang yang telah disita eksekusi oleh pengadilan, ternyata
sebelum sita eksekusi itu dilaksanakan dijual oleh pemiliknya yang dikalahkan
dalam putusan hakim kepada pihak ketiga.

Akibatnya pihak ketiga yang tidak tahu sama sekali bahwa barang yang
dibelinya itu merupakan barang sitaan dalam perkara perdata merasa dirugikan
haknya. Sehingga pihak ketiga sebagai pihak yang beritikat baik perlu
mendapatkan perlindungan hukum untuk mendapatkan kembali haknya yang
dirugikan. Untuk itu hukum acara perdata menyediakan upaya hukum yang dapat
digunakan oleh pihak ketiga yang dirugikan untuk mendapatkan haknya kembali,
dengan jalan mengadakan perlawanan terhadap pelaksanaan sita eksekusi
(Derden Verzet)7.

Adapun hak perlawanan terhadap eksekusi antara lain8:

1) Perlawanan terhadap eksekusi dapat diajukan oleh orang yang terkena


eksekusi/tersita atau oleh pihak ketiga atas dasar hak milik, perlawanan mana
diajukan kepada Ketua Pengadilan yang melaksanakan eksekusi lihat Pasal 195
ayat (6) dan (7) HIR
2) Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 ayat (3)
HIR dan 227 RBg), kecuali apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut

7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur-Bandung,Bandung, 1982, h. 132
8
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, cet
ke-2, 2009, h. 441
benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidak tidaknya sampai
dijatuhkan putusan oleh Pengadilan
3) Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum.

2.5 Penyanderaan Eksekusi

Penyanderaan (gijzeling) diatur dalam Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR, di
dalam nya terdapat beberapa ketentuan khusus. Ketentuan tentang penyanderaan
(gijzeling) pernah dihapus oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran (SEMA)
No.2/1964 juncto SEMA No.4/19759. Melalui Surat Edaran tersebut maka
seorang debitur yang dihukum untuk membayar hutangnya berdasarkan putusan
pengadilan, tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak
keluarganya untuk melaksanakan pembayaran. Dalam Surat Edaran tersebut
Mahkamah Agung berpendapat bahwa sandera bertentangan dengan salah satu
sila dari Pancasila yaitu bertentangan dengan sila perikemanusiaan.
Akan tetapi dalam perkembangannya maka pengaturan tentang
penyanderaan (gijzeling) diberlakukan kembali melalui Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2000. PERMA No.1 Tahun 2000 ini menghapus ketentuan
SEMA No.2/1964 jo SEMA No.4/1975.10 Menurut PERMA tersebut,
penyanderaan tidak dapat dikenakan kepada setiap orang. Ada syarat khusus
untuk seseorang dapat dikenakan penyanderaan (gejzeling). Dalam PERMA ini,
penyanderaan hanya berlaku bagi debitur yang beritikad tidak baik yang
memiliki kewajiban bernilai Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Jangka
waktu penyanderaan minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 3 (tiga) tahun.
Ketentuan lain dalam PERMA tersebut adalah bahwa penyanderaan dapat

9
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata: dalam teori dan praktek,
Bandung, 2005, hal. 129
10
Pasal 10 PERMA No. 1 Tahun 2000
dikenakan kepada ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur yang
beritikad tidak baik. Penyanderaan tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang
beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun

2.6 Pelelangan Eksekusi

Lelang adalah penjualan barang-barang di muka umum di hadapan juru


lelang. Sedang lelang Eksekusi, yaitu lelang atau penjualan umum untuk
melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen lain yang
dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Lelang eksekusi terhadap benda jaminan dalam hal ini
karena debitor wanprestasi11. Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 menyebutkan bahwa
barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijual secara lelang. Dalam hal ini
benda jaminan yang dapat dijual dapat berupa benda bergerak maupun benda
tidak bergerak.
Pelelangan objek Hak Tanggungan oleh bank atau kreditur mempunyai dua
prosedur eksekusi Hak Tanggungan, yakni mengacu Pasal 6 Undang-undang
Hak Tanggungan dimana atas kekuasaan sendiri penjualan dilaksanakan secara
langsung (parate eksekusi) dan juga berdasarkan Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 26
Undang-undang Hak Tanggungan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan sebagi
title eksekutorial yakni eksekusi dimana perantaranya pengadilan. Pasal 6
Undang-undang Hak Tanggungan mengatakan jika cidera janji dilakukan
debitur, pemegang Hak Tanggungan pertama berhak melakukan penjualan objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri dengan cara pelelangan umum dan juga
dari hasil tersebut diambil biaya pelunas utang12.

11
Rachmadi Usman, Hukum Lelang, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal. 20
12
Hidayah, Hikmah Nurul, and Siti Malikhatun Badriyah. "Prosedur Eksekusi Objek Lelang Hak Tanggungan
Dimana Objek Masih Dikuasai Pihak Lain." Notarius 15.1: 350-364.
Lelang berdarakan titel eksekutorial dilaksanakan di bawah pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri yang selanjutnya akan bertindak sebagai Penjual.
Pelaksananya antara lain melalui tahapan-tahan anmaning, penetapan sita, sita
dan penetapan lelang sesuai Hukum Acara Perdata. Selanjutnya Ketua
Pengadilan akan menerbitkan penetapan lelang serta mengajukan permohonan
waktu pelaksanaan lelang kepada KPKNL.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan
bantuan kekuatan hukum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah
diperoleh kekuatan hukum tetap. Ada 3 (tiga) bentuk eksekusi, yaitu: Eksekusi
riil, yaitu penghukuman pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, Eksekusi pembayaran sejumlah uang ksekusi yang menghukum pihak yang
dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/ Pasal 201 RBg) dan
Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR.
Hal-hal yang dapat dieksekusi antara lain yaitu eksekusi dijalankan
terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dijalankan
terhadap putusan yang tidak dijalankan secara sukarela, dan putusan yang dapat
dieksekusi adalah putusan yang bersifat condemnatoir
Dalam eksekusi dikenal adanya perlawanan terhadap eksekusi, dalam hal ini hak
perlawanan terhadap eksekusi antara lain: 1. Perlawanan terhadap
eksekusi/tersita atau oleh pihak ketiga atas dasar hak milik, perlawanan mana
diajukan kepada ketua pengadilan, 2. Perlawanan yang menangguhkan eksekusi,
3. Terhadap putusan dapat diajukan upaya hukum.
Penyanderaan (gijzeling) diatur dalam Pasal 209 sampai Pasal 223
HIR, di dalam nya terdapat beberapa ketentuan khusus. Ketentuan tentang
penyanderaan (gijzeling) pernah dihapus oleh Mahkamah Agung melalui Surat
Edaran (SEMA) No.2/1964 juncto SEMA No.4/1975. Lelang adalah penjualan
barang-barang di muka umum di hadapan juru lelang. Sedang lelang Eksekusi,
yaitu lelang atau penjualan umum untuk melaksanakan putusan atau penetapan
pengadilan, dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

Latifiani, Dian, 2015 “Permasalahan Pelaksanaan” Keputusan Hakim, ADHAPER Vol.1


No.1 Januari-Juni
Mahkamah Agung RI, “Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah,” cet ke-2
Makarao , Moh. Taufik , 2009,“Pokok-pokok Hukum Acara Perdata” , Rineka Cipta :
Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, “Hukum Acara Perdata Indonesia” Cahaya Atma Pustaka:
Yogyakarta
Nurul, Hidayah Hikmah dan Siti Malikhatun Badriyah. "Prosedur Eksekusi Objek Lelang
Hak Tanggungan Dimana Objek Masih Dikuasai Pihak Lain." Notarius 
Prodjodikoro , Wirjono. 1986 "Hukum Perdata Tentang Hak Alas Benda". cet. ke-5,
Jakarta: Inlermasa.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata: dalam teori
dan praktek,” Bandung.
Sofwan , Sri Soedewi Masjchoen, 1981,"Hukum Perdata: Hukum Benda", cet. ke-4,
Yogyakarta: Liberty.
Usman, Rachmadi, 2016. “Hukum Lelang”, Sinar Grafika, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai