Anda di halaman 1dari 9

Nama : Mirza Mar’Ali

NPM : 110110180183

Tugas : Hukum Acara Perdata (Kelas D) Materi

Pembuktian

Dosen : Aam Suryama, S.H., M.H.

Pelaksanaan Putusan
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa putusan hakim memiliki kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan
itu secara paksa oleh alat-alat negara. Kekuatan eksekutorial pada putusan hakim
berasal dan diberikan oleh kepala putusan yang berbunyi, “Demi keadilan
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi, tidak semua putusan hakim
dapat dilaksanakan, hal ini dalam artian secara paksa oleh pengadilan. Putusan
declaratoir dan constitutive tidak memerlukan sarana pemaksa untuk
melaksanakannya karena tidak memuat adanya suatu ha katas suatu prestasi, dan
terjadinya akibat hukum tidak terbantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak
yang dikalahkan.

Suatu putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat


dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan. Apabila setelah keluarnya
putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan oleh salah satu pihak
secara sukarela, maka selesailah perkaranya tanpa mendapat bantuan dari pengadilan
dalam melaksanakan putusan tersebut. Akan tetapi, apabila pihak yang dikalahkan
tidak mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela, maka diperlukan bantuan
dari pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa. Pihak yang
dimenangkan dalam putusan dapat memohonkan pelaksanaan putusan (Eksekusi)
kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa (Excecution force).
Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya adalah sebagai realisasi

1
dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang termuat
dalam putusan tersebut.

A. Jenis-jenis Pelaksanaan Putusan

Terdapat beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu sebagai berikut:

1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar


sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah dengan cara membayar
sejumlah uang. Jenis eksekusi ini diatur di dalam Pasal 196 HIR (Pasal 208
RBg).
2) Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.
Jenis eksekusi ini diatur di dalam Pasal 225HIR (Pasal 259 RBg). Akan tetapi,
orang tidak dapat dipaksa untuk memenuhi prestasi berupa perbuatan, namun
pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang
akan didapatkannya itu dinilai dengan uang.
3) Eksekusi riil, dimana jenis eksekusi ini merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi,
eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama
seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan.
Melalui eksekusi riil, pihak yang berhaklah yang menerima prestasi.
Pemenuhan prestasi dapat meliputi pembayaran sejumlah uang, melakukan
suatu perbuatan tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda. Oleh karena itu,
eksekusi terkait ganti rugi dan uang paksa bukanlah bentuk eksekusi riil.
Pengaturan terkait eksekusi riil tidak diatur di dalam HIR, melainkan diatur di
dalam Pasal 1033 Rv. HIR mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang
yang diatur di dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal 218 ayat (2) RBg).
4) Eksekusi langsung, eksekusi ini terjadi apabila seorang kreditur menjual
barang-barang tertentu milik kreditur tanpa memiliki titel eksekutorial (Pasal
115, 1175 ayat (2) BW).

2
B. Hal-hal yang Dapat Dilaksanakan

Terkait hal-hal apa yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terutama adalah
salinan putusan yang dijatuhkan di Indonesia (Pasal 435 Rv, Pasal 224 HIR, Pasal
258 RBg). Putusan hakim asing pada hakikatnya tidak dapat dijalankan di Indonesia
(Pasal 436 Rv). Akan tetapi, sejak Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958
tentang Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,
yang ditandatangani pada tanggal 10 Juni 1958, dan mulai berlaku pada tanggal 7
Juni 19959 dengan KEPRES No.34 Tahun 1981, dimana putusan arbitrase asing
dapat dilaksanakan di dalam wilayah Indonesia, yang selanjutnya diatur di dalam
Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

Pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata dilakukan panitera dan juru
sita yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 54 ayat (2) UU No.48 tahun
2009, Pasal 195 ayat (1), Pasal 197 ayat (2) HIR, Pasal 206 ayat (1), Pasal 209 ayat
(1) RBg). Untuk dapat melaksanakan putusan itu secara paksa oleh Pengadilan
Negeri, pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis
kepada ketua Pengadilan Negeri yang besangkutan supaya tuntutan itu dapat
dilaksanakan. Selanjutnya, Ketua PN berdasarkan permohonan itu memanggil para
pihak yang dikalahkan untuk ditegur agar memenuhi putusan dalam waktu hari
setelah teguran tersebut (Pasal 196 HIR, Pasal 207 RBg). Dalam waktu 8 hari, pihak
yang dikalahkan diberi kesempatan untuk melaksanakan putusan tersebut secara
sukarela. Namun, apabla sudah lewat waktu 8 hari tersebut dan pihak yang
dikalahkan belum melaksanakan putusan secara sukarela, atau jika orang yang
dikalakan sudah dipanggil dengan patut tidak juga mengadap, Ketua PN karena
jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan agar disita barangbarang
bergerak milik pihak yang dikalahkan atau kalau tidak ada barang bergerak disita,

3
barang tetap sebanyak jumlah nilai uang yang tersebut dalam putusan untu
menjalankan putusan (Pasal 197 ayat (1), Pasal 208 RBg). Jadi, yang menjadi
prioritas untuk dilakukan penyitaan adalah barang-barang bergerak.

Secara konkret dapat dikatakan bahwa pelaksanaan putusan hakim atau


eksekusi berarti menguangkan bagian tertntu dari harta kekayaan pihak yang
dikalahkan atau debitur dengan tujuan untuk memenuhi putusan guna kepentingan
piihak yang dimenangkan atau kreditur.Untuk dapat menguangkan harta kekayaan
debitur, harta kekayaan tersebut haruslah terlebih dahulu dilakukan penyitaan.
Penyitaan ini disebut sita eksekutorial, yaitu suatu penyitaan yang didasarkan titel
eksekutorial.

Eksekusi putusan perdata dimulai dengan sita eksekutorial, kecuali apabila


sebelumnya telah ditiadakan sita conservatoir, dimana sita conservatoir ini setelah
putusan dijatuhkan memperoleh titel eksekutorial dikarenakan sita conservatoir itu di
dalam putusan tersebut dinyatakan sah dan berharga. Sedangkan sita eksekutorial
yang didasarkan atas titel eksekutorial, sehingga tidak peril dinyatakan sah dan
berharga. Oleh karena itu, sita conservatoir memiliki tujuan untuk menajdi
terlaksananya putusan, fungsi pembekuan harta debiturlah yang lebih penting,
sedangkan pada sita eksekutorial fungsi penjualanlah yang lebih penting. Pelaksanaan
putusan harus diminta oleh pihak yang bersangkutan dan tidak dapat dilakukan secara
ex officio (HR 4 Nop. 1955, N.J.1956, 117, HR 8 Oktober 1982, N.J.1984, 58).

C. Letters Rogatory

Letters Rogatory adalah surat yang dikirim oleh suatu pengadilan yang sedang
memeriksa suatu perkara kepada pengadilan asing yang isinya permintaan agar saksi
yang bertempat tinggal di wilayah pengadilan asing itu diperiksa dan kemudian
hasilnya dikirim kepada pengadilan yang memintanya guna keperluan pemeriksaan
perkara yang sedang berjalan. Hal ini sesuai dengan asas resiprositas, dimana
permohonan negara asing agar PN yang bewenang di Indonesia dapat mengadakan

4
pemeriksaan terhadap saksi yang ada di Indonesia pada asanya dapat disetujui,
walaupun tidak ada perjanjian tentang “International judicial cooperation in the field
of the taking evidence and the service of judicial documents”. Oleh karena asas
resiprositas inilah, letters rogatory dapat dilaksanakan.

Panggilan dan pendengaran saksi dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum


acara perdata yang berlaku di Indonesia. namun, apabila ada pengacara asing ingin
mengajukan pertanyaan yang secara formil fiterima oleh pegadilan sebagai pengacara
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan adalah pengacara Indonesia yang dapat
membawa serta pengacara asing tersebut setelah memperoleh izin dari Mahkamah
Agung untuk keperluan tersebut. Setelah pemeriksaan saksi, seluruh berita acara
dikiri kembali kepada Mahkamah Agung untuk diselesaikan lebih lanjut.

D. Hal Apa saja yang Dapat Disita?

Dalam hal ini, yang dapat disita secara eksekutorial terutama adalah barang
bergerak milik pihak yang dikalahkan (Pasal 197 ayat (1) HIR, Pasal 206 RBg).
Barang bergerak yang berada di tangan orang lain juga dapat disita, tetapi tidak boleh
dijalanan atas hewwan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian
(Pasal 19 ayat (8) HIR, Pasal 211 RBg).Termasuk dalam barang bergerak adalah
uang, surat berharga, dan barangbergerak yang bertumbuh. Dalam hal penyitaan
barang tetap, berita acara penyitaan diberitahukan kepada lurah untuk diumumkan,
hal ini dimaksudkan agar barang yang disita tersebut tidak diperjual-belikan (Pasal
198 HIR, Pasal 213 RBg). Berdasarkan Pasal 30 PP 10/1961 mewajibkan panitera
Pengadilan Negeri untuk mendaftarkan penyitaan atas tanah kepada kepala kantor
pendaftaran tanah.Sejak berita acara penyitaan diumkan, pihak yang terkena sita tidak
boleh memindahkan, membebani, atau menyewakan barang tetap tersebut (Pasal 199
HIR, Pasal 114 RBg).

5
E. Perlawanan Terhadap SIta Eksekutorial

Terhadap sita eksekutorial, baik yang mengenai barang tetap maupun barang
bergerak, pihak yang dikalahkan dapat mengajukan perlawanan berdasarkan Pasal
207 HIR, Pasal 225 RBg. Perlawanan ini dapat diajukan baik secara tertulis maupun
lisan kepada Ketua PN yang bersangkutan dan tidak akan menghambat dimulainya
pelaksanaan putusan, kecuali apabila Ketua PN memberi perintah untuk
menangguhkan pelaksanaan. Suatu bantahan mengenai pokok perkara yang telah
diputuskan dalam putusan hakim tidak dapat digunakan untuk melawan sita
eksekutorial.

F. Penyanderaan

Apabila tidak ada atau tidak cukup barang milik debitur untuk menjalankan
putusan, atas permintaan pihak yang menang secara lisan atau tertulis. Ketua PN
memberi perintah dengan surat kepada orang yang berkuasa menjalankan surat juru
sita agar orang yang berutang disanderakan (Pasal 209 HIR, Pasal 242 RBg).
Penyanderaan atau gijzeling merupakan suatu tindakan memasukan orang yang sudah
dihukum oleh pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi Ia tidak memenuhi
putusan tersebut dan tidak juga memiliki barang-barang yang dapat disita ke dalam
Penjara.

Berdasarkan Psal 210 HIR (Pasal 243 RBg), orang dapat disandera selama 3
(Tiga) tahun lamanya apabila orang itu dihukum untuk membayar lebih dari
Rp.500,00. Segala biaya pemeliharaan orang yang disanderakan ditanggung oleh
orang yang mendapat izin untuk menyanderakan (Pasal 216 ayat (1) HIR, Pasal 250
ayat (1) RBg).. Terhadap penyanderaan ini dimungkinkan mengajukan perlawanan
dengan surat kepada Ketua PN apabila penyanderaan itu tidak sah (Pasal 213 ayat (1)
HIR, Pasal 247 ayat (1) RBg). Putusan hakim tentang penyanderaan ini dapat
dimintakan banding ke pengadilan yang lebih tinggi.

6
Namun, setelah dikeluarkannya SEMA nomor 1 tahun 200, dimana istilah
penyanderaan diganti menjadi istilah paksa badan, yang diatur di dalam Pasal 580 Rv.
Paksa badan menurut SEMA No.1 tahun 2000 merupakan upaya paksa tidak
langsung dengan memasukkan seorang debitur yang beritikad baik ke dalam rumah
tahanan yang ditetapkan oleh pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan
memenuhi kewajiban. Pelaksanaan dalam hal ini pada dasarnya tetap megikuti pasal
209 sampai dengan pasal 224 HIR (Pasal 242-258 RBg).

G. Penjualan

Setelah barang-barang disita, kemudian barang-barang sitaan tersebut dijual.


Penjualan ini terdapat dua macam, yaitu:

1) Penjualan dengan perantara kantor lelang (Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal 215
ayat (1) RBg).
2) Penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang yang ditetapkan
secara khusus oleh Ketua PN (Pasal 200 ayat (2) HIR, Pasal 215 ayat (2)
RBg), yaitu apabila penjualan itu berhubungan dengan eksekusi putusan yang
isinya menghukum membayar sejumlah uang yang jumlahnya tidak lebih dari
Rp.300,00 di luar biaya perkara. Dalam kedua hal tersebut, peraturan yang
dipakai sebagai pedoman lain adalah Peraturan Lelang (A.1908 No.189 dan S.
(40 No.56 jo S.1941 No.3).

Penjualan barang begerak dilakukan sesudah diadakan pengumuman dan tidak


boleh dilakukan sebelum hari ke-8 sesudah barang disita (Pasal 200 ayat (6) HIR,
Pasal 217 ayat (1) RBg). Namun apabila barang bergerak itu hendak dijual
bersama-sama dengan barang tetap dan barang bergerak itu tidak lekas rusak,
penjualannya dilakukan sekaligus pada satu waktu sesudah diumumkan 2 kali
yang berselang 15 hari (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 ayat (2) RBg). Barang
tetap yang harganya lebih dari Rp.1000,00 harus diumumkan satu kali di dalam

7
surat kabar dari tempat barang tetap itu dijual selama-lamanya 14 hari sebelum
penjualan (Pasal 200 ayat (9), Pasal 217 ayat (4)).

Ketua menentukan pembagian hasil penjualan diantara jreditur sesudah


debitur dan para kreditur dipanggil dan didengar. Terhadap putusan hakim dalam
hal ini dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Hak rang yang dijual
barangnya pindah kepada pembeli setelah pejanjian jual beli ditutup. Kantor
Lelang harus memberi surat keterangan kepada pembeli. Orang yang barang
tetapnya dijual harus meninggalkan barang tersebut, kalau Ia tidak melakukannya
maka Ketua PN membuat surat perintah kepada orang yang berkuasa
menjalankan surat juru sita supaya dengan bandungan PN, jika perlu dengan
bantuan polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan olehnya beserta
keluarganya (Pasal 200 ayat (11) HIR, Pasal 218 ayat (2) RBg). Setelah penjualan
mencapai jumlah yang tersebut dalam putusan dan ditambah dengan biaya
melaksanakan putusan, maka penjualan dapat dihentikan (Pasal 2000 ayat (5)
HIR, Pasal 216 ayat (2) RBg).

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa hakikatnya hukum eksekusi


merupakan hukum yang mengatur terkait cara seseorang melaksanakan atau
merealisasikan haknya trhadap orang lain dengan jalan menjual barang-barang
milik orang lain. Hukum eksekusi ini meliputi hukum tentang penyitaan, yang
menuju kepada penjualan bagian tertentu dari harta kekayaan milik debitur untuk
kepentingan seorang kreditur atau lebih dan hukum tentang kepailitan yang
meliputi penjualan seluruh harta kekayaan debitur guna kepentingan para
kreditur.

8
Daftar Pustaka

Buku

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam


Teori dan Praktek, Bandung:Mandar Maju, 2009.
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2013.

Anda mungkin juga menyukai