Anda di halaman 1dari 94

Kuliah

Eksekusi Putusan Hakim Pidana

Bambang Santoso, S.H. M.Hum


Pokok Bahasan
 Perbedaan Eksekusi Pidana dan Perdata
 Kekuatan putusan yang bisa dieksekusi
 Eksekusi putusan pemidanaan
 Eksekusi putusan pidana denda
 Eksekusi putusan perampasan barang
bukti
 Eksekusi putusan ganti kerugian
 Eksekusi putusan pidana mati
 Pengawasan dan pengamatan
pelaksanaan putusan
REFERENSI
• M. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan
KUHAP Jilid II
• KUHAP
• UU Grasi
No Indikator Pembeda Hukum Acara Pidana Hukum Acara Perdata

1 Inisiatif untuk beracara Negara yang diwakili Penuntut Mereka yang merasa haknya
Umum dilanggar pihak lain

2 Para pihak yang Jaksa Penuntut Umum (JPU) vs Tergugat vs Penggugat


berhadapan dalam sidang terdakwa
pengadilan
3 Penghentian proses Tidak dapat dihentikan Tergantung para pihak yang
beracara berperkara

4 Sikap hakim dalam Aktif Pasif


persidangan

5 Tujuan pembuktian Substantial truth Formal truth

6 Tingkat pemeriksaan Melalui dua tahapan tingkat Hanya melalui satu tahapan
pemeriksaan tingkat pemeriksaan, yaitu di
q Pendahuluan hadapan sidang pengadilan
q Sidang pengadilan
7 Beban pembuktian Menjadi tugas jaksa penuntut Di bagi antara para pihak yang
umum (JPU) bersengketa

8 Pelaksanaan eksekusi Jaksa Ketua pengadilan


putusan hakim
Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

• Jaksa  pejabat fungsional yg diberi wewenang


oleh UU utk bertindak sbg penuntut umum dan
pelaksana put pengadilan yg sdh berkekuatan
hkm tetap.
• Penuntut Umum  Jaksa yg diberi wewenang
oleh UU utk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim
Pengertian Eksekusi
 KUHAP  tdk memberikan definisi
 KBBI pelaksanaan putusan hakim; pelaksanaan hukuman badan
peradilan, khususnya hukuman mati: yg terhukum sudah menjalani --
nya; penjualan harta orang krn berdasarkan penyitaan
 Menurut M. Yahya H.  merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan
aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan
dari keseluruhan proses hukum acara perdata
 Prof.R. Subekti  pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat
diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di
dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah
mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga
putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.
Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu
militer (angkatan bersenjata
 R. Supomo  hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai
oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk
menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia
memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.
DEFINITION OF EXECUTION

 The carrying out of some act or course of conduct to its completion. In Criminal
Law, the carrying out of a death sentence.
 The process whereby an official, usually a sheriff, is directed by an appropriate judicial writ to seiz
e and sell as much of adebtor's nonexempt property as is necessary to satisfy a court's monetary j
udgment.
 With respect to contracts, the performance of all acts necessary to render a contract complete as
an instrument, whichconveys the concept that nothing remains to be done to make a complete an
d effective contract.
 With regard to seizures of property, executions are authorized in any action or proceeding in whic
h a monetary judgment isrecoverable and in any other action or proceeding when authorized by st
atute. For example, the victim of a motor vehicleaccident may institute a civil lawsuit seeking dam
ages from another party. If the plaintiff wins the lawsuit and is awardedmoney from the defendant
as a part of the verdict, the court may authorize an execution process to pay the debt to the
plaintiff.
 Ordinarily, execution is achieved through a legal device known as a writ of execution. The writ ser
ves as proof of the propertyowed by the defendant, who is called the Judgment
Debtor, to the plaintiff, or Judgment
Creditor. The writ of executioncommands an officer of the court, usually a sheriff, to take the prop
erty of the debtor to satisfy the debt. Ordinarily, a writ ofexecution cannot be issued until after an a
ppropriate court issues a judgment or decree determining the rights and liabilities ofthe parties inv
olved.
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
(Bab XIX KUHAP)
 Pasal 270 KUHAP  Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya.
 Pasal 271  Dalam hal pidana mati pelaksanaannya
dilakukan tidak dimuka umum dan menurut ketentuan
undang-undang  Penetapan Presiden No. 2/1964 LN. 1964
No. 38 tanggal 27 April 1964 tentang TATA-CARA
PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH
PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN
MILITER dan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-
006/J.A/4/1995 Tentang Pelaksanaan Buku Panduan
Penanganan Perkara Pidana Umum
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
(BAB X UU NO. 48/2009)
 Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh
jaksa.
 Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan
oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
 Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai
kemanusiaan dan keadilan.
 Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 Pasal 52 dalam perkara pidana, salinan putusan selain diberikan
kepada para pihak, juga kepada instansi yang terkait dengan
pelaksanaan putusan (lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan dan
kejaksaan)
 Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua pengadilan yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dari Ketua Mahkamah Agung
Pasal 36 ayat (4) UUKK

 Pelaksanaan keputusan hakim memperhatikan kemanusiaan dan


keadilan.
 Panitera membuat dan menandatangani surat keterangan bahwa
putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
 Kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan
pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan.
 Kalau Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh
karena surat putusan belum selesai pembuatannya, maka kutipan
itu dapat diganti dengan suatu keterangan yang ditandatangani oleh
Hakim dan Penitera dan yang memuat hal-hal yang harus
disebutkan dalam surat kutipan tersebut.
 Jaksa setelah menerima surat kutipan atau surat keterangan
tersebut diatas, harus berusaha, supaya putusan Hakim selekas
mungkin dijalankan.
Arti kata "Berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde)" menurut istilah Hukum Indonesia

 Arti kata Berkekuatan hukum tetap (inkracht


van gewijsde) menurut Istilah Hukum
Indonesia adalah :
 Satu perkara yang telah diputus serta tidak
ada lagi upaya hukum yang lebih tinggi
Kapan Putusan Berkekuatan Tetap
(inkracht van gewijsde) dalam Perkara Pidana
• Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi

• Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan
banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana
• Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan
kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana
• putusan kasasi.
Kesimpulan
Pengertian putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap
 Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding
setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah
putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir,
sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak),
putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts
vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-
putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67
KUHAP).
 Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi
dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245
ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
 Putusan kasasi
Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)?
Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap?

 Menurut M. Yahya Harahap, Selama putusan belum mempunyai kekuatan


hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan.
Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum
biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru
terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah
tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya
hukum banding dan kasasi.
 Putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
 Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan
banding atau kasasi.
 Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1]
KUHAP).
Pengertian Putusan Sudah Berkekuatan Hukum Tetap
dalam Perkara Perdata

 Penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang


Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di
Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
 Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah
memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya
maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-
undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan
hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak
ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka
peradilan akan tidak ada gunanya
 Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR bahwa putusan perdata
yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan
pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.
Eksekusi pidana tanggung jawab
kejaksaan atau pengadilan?
 Banyak putusan perkara korupsi belum bisa
dieksekusi
 Menimbulkan protes dari masyarakat
 Alasan kejaksaan pengadilan tidak segera
mengirimkan salinan putusan
 Dalam praktek pelaksanaan eksekusi tanpa
menunjukkan salinan putusan meimblkan
perlawanan terpidana
PIHAK-PIHAK YANG BERHAK
SALINAN PUTUSAN

 Pasal 226 ayat (2) KUHAP : ”salinan surat


putusan pengadilan diberikan kepada
penuntut umum dan penyidik, sedangkan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya
diberikan atas permintaan
Permasalahan
Pasal 270 KUHAP
 Waktu pelaksanaan eksekusi.  Pasal 270 KUHAP
memerintahkan jaksa melaksanakan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat
dikirimkan  Tidak ada patokan waktu berapa lama
salinan putusan itu harus diselesaikan.
 Apa yang dimaksud dengan salinan putusan dalam
pasal tersebut.  Pihak pengadilan telah beranggapan
bahwa sebenarnya jaksa cukup menggunakan petikan
putusan saja dalam melaksanakan putusan.
 Lambatnya penyelesaian putusan bukan merupakan
hambatan bagi jaksa.
Waktu pengiriman salinan
putusan
 Keterlambatan pengiriman salinan mengganggu jaksa dalam menyusun
memori banding atau kasasi
 SE Mahkamah Agung menegaskan, bahwa untuk perkara tolakan
(penolakan dakwaan) dalam waktu satu minggu pengadilan sudah harus
menyampaikan salinan putusan terkait kepada pihak kejaksaan.
 Batas waktu ini telah diterima pula oleh pimpinan kejaksaan
 tahun 1995 Kejaksaan mengeluarkan surat edaran yang mengacu pada SE
MA
 Tahun 2010, MA mengeluarkan SE Jangka waktu penyelesaian salinan
putusan pidana dalam waktu satu minggu tersebut, diubah menjadi empat
belas hari.
 Tahun 2011, menyesuaikan jangka waktu tersebut dengan ketentuan dalam
UU Paket Peradilan. Selain mengubah batas waktu pengiriman salinan
putusan, surat edaran juga mengatur bahwa petikan putusan (hanya
amarnya saja) sudah dapat dikirimkan segera setelah putusan diucapkan.
Petikan putusan sebagai dasar
eksekusi
 SE MA membedakan antara salinan putusan
dengan petikan putusan.
 Pada dasarnya, petikan putusan hanya berisi
amar putusan saja tanpa merinci lebih lanjut
dasar pertimbangan dari hakim dalam
memutus.
 Ada keberatan dari pihak (pengacara)
terpidana terhadap pelaksanaan eksekusi
yang hanya dilakukan berdasarkan petikan
putusan.
Beberapa Putusan MA terkait eksekusi
pidana
 Putusan No. 45/PK/Pid/2011  Kejaksaan
melaksanakan putusan pengadilan terlebih
dahulu tanpa dasar
 Putusan No. 1412 K/Pid/2006, No. 2534
K/Pid/2007, No. 782/K/Pid/2008)
No. 1485 K/Pid.Sus/2009

 Bahwa Judex Facti telah - keliru menerapkan Hukum


Acara Pidana yaitu Putusan Judex Facti pada saat
diucapkan masih dalam bentuk konsep dan setelah
dibacakan tidak ditandatangani oleh Majelis Hakim
maupun Panitera dan salinan nya tidak segera diberikan
kepada kami Penuntut Umum sehingga kami Penuntut
Umum dalam membuat memori kasasi mengalami
kesulitan dengan adanya keterlambatan pengiriman
salinan Putusan tersebut, hal tersebut jelas
bertentangan dengan asas Hukum acara cepat dan
sederhana dan melanggar pasal 200 KUHAP
Put. No. 643 K/Pid/2006
 Bahwa memori kasasi ini kami serahkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri Sampit sesuai tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh
undang-undang, meskipun foto copy Salinan Putusan Pengadilan Tinggi
Kalimantan Tengah baru dapat diterima oleh jaksa Penuntut Umum pada
tanggal 8 Nopember 2005, padahal berdasarkan surat Edaran Mahkamah
agung Nomor : SE-MA / 21 tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983 perihal
batas waktu pengiriman Salinan putusan pada Jaksa yang dalam alenia
ketiga pada pokoknya disebutkan : Untuk perkara-perkara tolakan ini
kiranya batas waktu paling lambat 1 (satu) minggu bagi pengiriman putusan
oleh Panitera pada Jaksa, dapat dianggap memadai. Keterlambatan
Pengiriman Salinan Putusan tersebut bertentangan deng- an ketentuan
Pasal 200 KUHAP sehingga sangat merugikan karena Jaksa Penuntut
Umum merasa kurang cukup waktu untuk mempelajari Putusan dimaksud
guna menyusun Memori Kasasi ini, padahal Pasal 284 ayat (1) KUHAP
menyatakan : Pemohon Kasasi wajib mengajukan Memori Kasasi yang
memuat alasan permohonan kasasinya dalam waktu 14 (empat belas) hari
setelah mengajukan permohonan tersebut
Putusan MK
Nomor 69/PUU-X/2012
 Tidak dicantumkannya perintah penahanan dalam putusan tidak mengakibatkan
putusan batal demi hukum
 Perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan
sebagai salah satu yang harus termuat dalam putusan pemidanaan sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981, yang menurut Pasal
197 ayat (2) tanpa mencantumkan perintah tersebut menyebabkan putusan batal
demi hukum, adalah ketentuan yang mengingkari kemungkinan hakim sebagai
hamba Tuhan yang tidak sempurna yang dapat membuat kekeliruan, baik disengaja
maupun tidak disengaja, dengan tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa
ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan
 dalam perkara pidana yang harus dibuktikan adalah kebenaran materiil, dan saat
kebenaran materiil tersebut sudah terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi
pidana, namun karena ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam
tahanan atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh
merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih mendekati
keadilan prosedural atau keadilan formal semata.
Analisis Kasus
Labora Sitorus
 Kejari Sorong kesulitan melakukan eksekusi
 Rutan Sorong mengeluarkan surat bebas
 Terpidana keluar Rutan untuk berobat
 MA memperberat pidana PT menjadi 15
tahun dan denda 5 milyar
Analisis Kasus
Teddy Tengko
 Upaya eksekusi berulang kali gagal.
 Putusan MA atas Teddy Tengko tidak bisa dieksekusi karena tidak
memenuhi Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP, yaitu tidak ada perintah
ditahan.
 Yusril melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan non-
executable atau non-eksekutorial (putusan tidak dapat dilaksanakan)
terhadap putusan MA.
 Pengadilan Negeri Ambon mengabulkan permohonan tsb.
 Kepala Kejaksaan Negeri Dobo kembali mengajukan permohonan
pembatalan penetapan Pengadilan Negeri Ambon ke MA
 MA akhirnya menyatakan bahwa penetapan Pengadilan Negeri Ambon
batal dan tidak berkekuatan hukum.
 Sesuai ketentuan Pasal 1 butir 6 (a) jo Pasal 270 KUHAP, maka putusan
MA telah berkekuatan hukum tetap dan wajib untuk dilaksanakan eksekusi
oleh jaksa.
Contoh amar putusan 1
 1. Menyatakan Terdakwa …………. tersebut di atas terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Melakukan
Kekerasan Memaksa anak Melakukan Persetubuhan Dengannya”.
 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak
dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
 3. Menetapkan bahwa masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
oleh Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
 4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.
 5. Menetapkan barang bukti berupa:
 • 1 (satu) potong celana panjang warna ungu bertuliskan SYARA; Dirampas
untuk dimusnahkan;
 1. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah).

 .
Amar putusan 2
 1 Menyatakan Terdakwa …………………… terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan ”TINDAK PIDANA KORUPSI” ;
 2 Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan pengganti pidana denda selama 2 (dua)
bulan ;
 3 Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan ;
 4 Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp
220.000.000,00 (dua ratus dua puluh juta rupiah) dan jika Terdakwa tidak
membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka
 dipidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan ;
 5 Menetapkan barang bukti berupa :


Amar putusan 3
 - Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum tersebut ;
 - Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Donggala Nomor 54/Pid.B/2015/ PN.Dgl,
tanggal 27 Mei 2015, sehingga amar putusan selengkapnya menjadi sebagai berikut :
 1. Menyatakan Terdakwa ……….. telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Dengan sengaja turut serta mengangkut hasil hutan kayu
yang tidak dilengkapi secara bersama-sama Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan ;
 2. Menjatuhkan pidana atas diri Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan denda
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan ;
 3. Menyatakan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
 4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan ;
 5. Menetapkan barang bukti berupa :
 - 21 (dua puluh satu) batang kayu berbentuk bantalan jenis rimba campuran ;
Dirampas untuk Negara ;
 - 1 (satu) unit Mobil Truck merek Mitsubishi Canter warna kuning kas
 merah nomor registrasi DN 8614 VD ; Dikembalikan kapada pemiliknya atas nama ….. ;
 6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah) ;
AMAR PUTUSAN
KASUS PERDAGANGAN ORANG

 M E N G A D I L I : 1. Menyatakan Terdakwa ………..tersebut diatas telah


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang”; 2.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) tahun ; 3. Menghukum terdakwa untuk
membayar denda sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ; 4. Menghukum
terdakwa untuk membayar restitusi kepada korban …………sebesar
Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak
membayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan ; 5.
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa,
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 6. Menetapkan agar
terdakwa tetap ditahan; 7. Menetapkan barang bukti berupa : • 1 (satu)
buah dokumen Paspor Nomor ……atas nama …….Dikembalikan
kepada…………; 8. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah)
RESTITUSI, KOMPENSASI &
GANTI KERUGIAN
 RESTITUSI
Ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau
pihak ketiga.” (Pasal 1 Angka 11 UU 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban).
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau
immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya” (Pasal 1 angka 1 PP 43/2017
 KOMPENSASI
Ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
(Pasal 1 Angka 4 PP 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi,
Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban).
 GANTI KERUGIAN
 Sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang harus
dikembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah
melakukan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 98
KUHAP)
Eksekusi Pidana Denda
(Fine Sentence)
• Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada
terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda
tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus
seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP).
• Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung/SEMA No. 2 Tahun 1983 tanggal
8 Desember 1983, yang dimaksud dengan perkataan “harus seketika
dilunasi” dalam Pasal 273 ayat (1) KUHAP harus diartikan :
a. Apabila terdakwa atau kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan
maka pelunasannya harus dilakukan pada saat diucapkan
b. Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan
diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan
itu oleh jaksa diberitahukan kepada terpidana.
Jika terdapat alasan yang kuat, maka jangka waktu pembayaran pidana
denda dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Dengan demikian
jangka waktu pembayaran pidana denda paling lama dua bulan.
apabila setelah dua bulan dendanya belum juga dibayar oleh terpidana, maka
eksekusi pidana dendanya diganti dengan pidana kurungan sebagai
pengganti denda (Pasal 30 ayat (2) KUHP)
HAKEKAT PIDANA DENDA
• Merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang
bersifat non-custodial, (bukan perampasan
kemerdekaan)
• Dianggap tidak menimbulkan stigmatisasi serta
secara ekonomis negara mendapat masukan berupa
uang atau setidak-tidaknya menghemat biaya sosial
dibandingkan dengan jenis pidana penjara
(Perampasan kemerdekaan)
• Pidana denda menjadi pusat perhatian karena
digunakan sebagai pengganti pidana penjara pendek
atau sebagai pidana yang berdiri sendiri,
Hakekat Pidana Denda
• Sebagai alat pendera, denda tidak bertujuan untuk
memperkaya negara atau mengembalikan kerugian
yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap negara atau
korban. Denda juga tidak bertujuan untuk membuat pailit
pelaku.
• Walaupun bisa saja dari penjatuhan denda terhadap seorang
pelaku negara menjadi diperkaya dan atau pelaku menjadi
pailit, namun ini hanya ekses bukan tujuan.
• Mengapa negara diperkaya, karena denda tentunya
dibayarkan kepada negara dan menjadi bagian dari
penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
KURUNGAN PENGGANTI
• Bagaimana jika terpidana tidak mau membayar denda
• jika terpidana tidak mau (baik karena memang tidak mau atau
karena hal lainnya) maka denda tersebut diganti dengan kurungan
pengganti maksimum 6 bulan,
• jika ada pemberatan (misalnya dihukum denda atas beberapa
perbuatan) maka bisa diperberat menjadi paling lama 8
bulan.
• Kurungan pengganti ini merupakan cara untuk memaksa
terpidana mau membayarkan denda, karena umumnya
memang orang lebih suka kehilangan uang dibanding kebebasan.
• Dalam beberapa kasus akan ada orang-orang yang lebih memilih
dikurung dibanding membayar denda, walaupun mampu.
KURUNGAN PENGGANTI PIDANA
DENDA
• Jika karena alasan tidak mampu membayar, maka
berlaku adagium Quinon potest solvere poenam in
aere, luat in corpore (siapa tidak mampu membayar,
maka ia harus melunasi dengan derita badan), yaitu
pidana kurungan/penjara pengganti denda.
• Pemahaman tersebut dihayati oleh masyarakat pada
umumnya, tercermin dari adagium Quaelibet poena
corporalis, quanvis minima, majorest quaelibet
poena pecuniaria (bagaimanapun ringannya suatu
pidana badan, akan lebih berat daripada pidana denda).
PIDANA KURUNGAN PENGGANTI DENDA DALAM BEBERAPA
UU PIDSUS
• UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatur sanksi
pidana denda sampai dengan 20 (dua puluh) milyar rupiah.
Pasal 148, : "Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur
dalam UU ini tidak dibayar, pelaku dijatuhi pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun
• UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Pasal 25 menyatakan: "Jika terpidana tidak
mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana
pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun".
• UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 8 menyatakan: "Dalam hal harta
terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut
diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat)
bulan"
Pembayaran
Setetelah Kurungan pengganti
• Bagaimana jika setelah Terpidana menjalani kurungan pengganti
tersebut ternyata ditengah masa kurungan ia berubah pikiran atau
baru dapat uang untuk membayar denda.
• Pasal 30 dan 31 KUHP  besarnya jumlah denda yang harus
dibayar dikurangi dengan masa kurungan yang telah dijalaninya,
dimana per hari masa kurungan disetarakan dengan sejumlah uang.
• Namun sayangnya nominal jumlah uang per harinya untuk
mengukur hal tersebut masih terlalu kecil, Rp. 7.5,00 (tujuh
setengah rupiah). Jumlah tersebut merupakan hasil penyesuaian
dengan Perpu 18 Tahun 1960. Jika disesuaikan dengan Perma tentu
menjadi Rp. 7.5 x 15 x 1000 = Rp. 107.500 / hari.
PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO : 02 TAHUN 2012
TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN
JUMLAH DENDA DALAM KUHP
• Kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 354, 373,379,384, 4O7
dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah)
• Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali
pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat l dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi
1.000 (seribu) kali.
• Dalam menerima pelimpahan perkara Pencurian, Penipuan, Penggelapan,
Penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatika nilai
barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan Pasal 1 di
atas.
• Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim
Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan
Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
• Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua
Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan
penahanan.
EFEKTIVITAS PIDANA DENDA
• Perkembangan untuk memperluas penggunaan pidana
denda dengan meningkatkan jumlah ancaman pidana
denda saja ternyata belum mencukupi untuk
meningkatkan efektifitas pidana denda. Diperlukan suatu
kebijakan yang menyeluruh baIk dalam bidang legislatif,
yudikatif, maupun eksekutif.
• Menurut Muladi dan Barda Nawawi arief, dalam pelaksanaan
pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai:
a. Sistem penerapan jumlah atau besarnya pidana.
b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda.
Problem Konversi
• Problem perhitungan konversi denda ke kurungan
pengganti ini mengalami beberapa kendala.
• Pertama, seperti terlihat di atas bahwa nilainya masih
terlalu kecil. Perma 2/2012 yang baru saja terbit
memang akan mampu mengatasi masalah tersebut,
namun ini hanya mengatasi permasalahan khusus untuk
denda yang diatur dalam KUHP, namun tidak akan
mampu mengatasi problem perhitungan kurungan
pengganti untuk denda-denda yang diatur di luar KUHP.
Solusi Permasalahan
Pidana Denda
• Denda jangan dikonversi dengan kurungan tapi dilakukan saja perampasan
barang agar pada akhirya denda terbayar
• Filosofi denda bukanlah untuk memperkaya negara maupun memiskinkan terpidana,
hanya sebagai pendera.
• Kurungan pengganti juga tetap perlu ada. Karena tidak semua pelaku tindak pidana
kaya atau memiliki aset sedemikian banyak sehingga aset tersebut jika dirampas
dapat menutupi denda.
• Cukup banyak dan mungkin mayoritas terpidana justru tidak memiliki aset yang
cukup banyak untuk dirampas, bahkan untuk pelaku tindak pidana korupsi pun.
• Dalam hal aset yang dirampas tidak juga menutupi kewajiban denda tentu harus ada
solusi lain untuk menggantikannya. Satu-satunya cara tentu dengan kurungan
pengganti.
• Usulan agar denda yang tidak dibayarkan terpidana diganti dengan perampasan aset
adalah usulan yang bias, yang menanggap semua pelaku kejahatan adalah orang
kaya.
Eksekusi Barang Rampasan untuk Negara
• Apabila putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti
dirampas untuk negara,selain pengecualian sebagaimana tersebut
pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda atau barang rampasan
tersebut kepada Kantor Lelang Negara dan dalam waktu 3 (tiga)
bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara
untuk dan atas nama jaksa (kejaksaan).
• Jangka waktu pelelangan tersebut dapat diperpanjang untuk paling
lama 1 (satu) bulan.
• Dengan demikian maka dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
bulan barang rampasan untuk negara itu sudah berhasil dijual
melalui Kantor Lelang Negara (Pasal 273 ayat (3) dan (4) KUHAP
Apakah Perampasan Aset Boleh Dilakukan Tanpa
Adanya Penyitaan Terlebih Dahulu?
• perampasan aset yang diputus oleh hakim di
pengadilan harus didahului dengan penyitaan.
Dengan kata lain, perampasan aset hanya boleh
dilakukan dengan adanya penyitaan terlebih
dahulu.
• Sudah barang tentu untuk dapat membawa harta atau aset koruptor
ke dalam sidang pengadilan, harus didahului dengan tindakan
penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor
yang disita penyidik itu oleh jaksa penuntut umum akan diajukan
sebagai barang bukti ke hadapan hakim dalam tahap penuntutan.”
• (LAPORAN BPHN RI)
Eksekusi Biaya Perkara
• Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka
biaya perkara dibebankan kepada mereka bersama-sama secara
berimbang.
• Berhubung terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam Pasal
275 bersama-sama dijatuhi pidana karena dipersalahkan
melakukan tindak pidana dalam satu perkara, maka adalah wajar
bilamana biaya perkara dan atau ganti kerugian ditanggung
bersama secara berimbang (Pasal 275 KUHAP dan penjelasannya).
• Siapapun yang dijatuhi pidana, dibebani membayar biaya perkara.
• Dalam hal dijatuhkan adalah putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, maka biaya perkara dibebankan kepada negara
(222 KUHAP).
Lanjutan Eksekusi Biaya Perkara
• Biaya perkara yang dibebankan kepada terpidana disebutkan
jumlahnya dalam putusan pengadilan dan pelaksanaan
penagihan/pemungutannya dilakukan oleh jaksa.
• Apabila terpidana tidak mau membayar biaya perkara, jaksa
dapat menyita sebagian barang milik terpidana untuk dijual
lelang guna melunasi biaya perkaranya.
• Sedangkan terpidana yang nyata-nyata tidak mampu dan
atau tidak diketahui alamatnya berdasarkan Surat
Keterangan Lurah/Kepala Desa, maka Jaksa/KAJARI
yang bersangkutan dapat mengajukan usul atau permohonan
penghapusannya kepada Jaksa Agung
Eksekusi Pidana Mati
• ,Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”) masih
menjadi pedoman untuk mengeksekusi pidana mati atau hukuman
mati bagi terpidana yang diputus pada pengadilan di lingkungan
peradilan umum dan militer.
• Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 pelaksanaan pidana mati yang
dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau
peradilan militer dilakukan dengan ditembak sampai mati.
• Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”)
Sejarah Cara Pelaksanaan
Hukuman Mati
• Hukuman cambuk: hukuman dengan cara dipukuli tali di punggung
• Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala
• Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian
dialiri listrik bertegangan tinggi
• Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan
• Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
• Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang,
biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak
melihat.
• Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
• Kamar gas: hukuman mati dengan cara disekap di dalam kamar yang berisi
gas beracun
• Dengan gajah: hukuman mati dengan cara diinjak oleh seekor gajah.
Hukuman ini diterapkan pada masa Kesultanan Mughal
Membandingkan Eksekusi Mati di
Dunia dan Indonesia
Kesalahan Vonis Mati
Pengadilan
• Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru
bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka.
• Dari jumlah itu 6 kasus pada tahun 2005 dan 1 kasus pada tahun 2006.
• Beberapa di antara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi.
• Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya
aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela
hukum yang baik.
• Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati,
sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat
yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber
Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan
adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman di dalam
pelaksanaannya,
• Dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati
tidak adalagi unsur politik yang dapat memengaruhi dalam penegakan hukum
dan keadilan dimaksud.
PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP
EKSISTENSI PIDANA MATI
(Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007)
• Polemik eksistenssi pidana mati
• Dianggap bertentangan dengan Pasal 28 A UUD 1945
dan Pasal 6 (1) International Convenant on Civil and
Political Rights (ICCPR)
• Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa Sanksi
Pidana Mati tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945
dan bersikap tetap mempertahankan Sanksi Pidana Mati
• Sanksi Pidana Mati di Indonesia yang akan datang
bersifat khusus dan diterapkan secara limitatif, perlu
adanya evaluasi yang memungkinkan penjatuhan pidana
mati dengan pidana mati bersyarat.
PIDANA MATI DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
• Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan,
atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden
memerintah. (KUHP Pasal 104),
• Membantu atau melindungi musuh negara Indonesia pada saat perang
(KUHP Pasal 123 & 124)
• Penipuan dalam pengiriman bahan militer pada saat perang (KUHP Pasal
127)
• Membunuh kepala negara dari negara sahabat (KUHP Pasal 140)
• Pembunuhan berencana (KUHP Pasal 340)
• Pencurian yang mengakibatkan kematian (KUHP Pasal 365)
• Pembajakan yang menyebabkan kematian (KUHP Pasal 444)
• Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan
atau desersi dikalangan Angkatan Perang. (KUHP)
• Pemerasan dengan kekerasan yang menyebabkan kematian (KUHP Pasal
377)
LANJUTAN PIDANA MATI DALAM HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
• Kepemilikan dan penyalahgunaan senjata api dan / atau bahan
peledak lainnya (UU Darurat No. 12/1951)
• Tindak pidana dalam penerbangan udara atau terhadap
infrastruktur penerbangan (UU No. 4/1976)
• Penyalahgunaan dengan memproduksi, menggunakan,
mengedarkan, mengimpor, dan kepemilikan obat psikotropika
golongan I secara terorganisasi (UU No. 5/1997 tentang
Psikotropika)
• Penyalahgunaan dengan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, atau
menukar narkotika golongan I (UU No. No. 22/1997 tentang
Narkotika)
LANJUTAN PIDANA MATI DALAM HUKUM
POSITIF DI INDONESIA
• Korupsi dalam "keadaan tertentu," termasuk korupsi yang dilakukan
berulang-ulang dan korupsi yang dilakukan selama masa darurat /
bencana nasional (UU No. 31/1999 tentang Korupsi)
• Pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
HAM)
• Aksi terorisme (UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme).
• Pasal 81 ayat 5 Perppu Perlindungan Anak, pelaku dapat dihukum
mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 10 tahun dan
paling lama 20 tahun apabila memaksa anak bersetubuh sehingga
mengakibatkan luka berat pada si anak. Hukuman mati juga diberikan
apabila anak sampai menderita gangguan jiwa, penyakit menular,
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan meninggal dunia.
ANCAMAN PIDANA MATI DALAM UU
PERLINDUNGAN ANAK
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
perjalanannya mengalami perubahan.
• Pertama dengan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
• Kedua dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang
dengan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.

REKOMENDASI INSTITUTE FOR CRIMINAL JUSTICE
REFORM (ICJR) TERKAIT HUKUMAN MATI TAHUN 2017
• Presiden Joko Widodo segera melakukan evaluasi atas kinerja Jaksa Agung, khususnya terkait
pelanggaran prosedur dan malasministrasi terhadap eksekusi gelombang ke-III berdasarkan putusan
Ombudsman RI. Selain itu, Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi terhadap dua eksekusi
sebelumnya untuk melihat adanya potensi pelanggaran lain.
• Dalam kondisi ketidakpastian dan keraguan terkait eksekusi mati, maka Pemerintah segera melakukan
moratorium eksekusi mati untuk menghindari semakin besarnya potensi pelanggaran hak asasi
manusia.
• Dalam kondisi peradilan dan penegakan hukum yang masih belum mampu menjamin fair trial dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka Pemerintah harus melakukan moratorium penuntutan
pidana mati dan Mahkamah Agung untuk melakukan moratorium terhadap putusan pidana mati. Jaksa
dan MA masih bisa menuntut dan menjatuhkan pidana tertinggi berikutnya yaitu penjara seumur hidup.
• Berdasarkan fakta munculnya pelanggaran hak asasi manusia dalam beberapa kasus pidana mati,
maka Pemerintah harus membentuk tim independen yang melakukan eksaminasi dan review terhadap
putusan-putusan terpidana mati untuk melihat adanya potensi unfair trial dan kesalahan dalam
menjatuhkan pidana mati.
• Meminta MA segera mencabut SEMA 7 Tahun 2014 yang berdampak pada terbatasnya hak
konstitusional terpidana mati untuk mengajukan PK. Serta meminta MA untuk mengevaluasi SEMA 1
Tahun 2012 yang telah membatasi akses terpidana mati untuk mengajukan PK.
• Meminta Presiden untuk memberikan pertimbangan yang layak dan tertulis dalam Keppres tentang grasi
untuk menjamin Presiden sejalan dengan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015 dan Pasal 11 ayat (1) UU
Grasi.
SEMA NO. 1 TAHUN 2012
TENTANG PENGAJUAN PERMOHONAN PENINJAUAN
KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA
• Permintaan penjinjauan kembali kepada
Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan oleh
terpidana sendiri atau ahli waris
• Permintaan peninjauan kembali yang diajukan
oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri
oleh terpidana harus dinyatakan tidak
dapat diterima dan berkas perkaranya tidak
dilanjutkan ke Mahkamah Agung
SEMA NOMOR 7 TAHUN 2014
TENTANG PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI DALAM
PERKARA PIDANA
• Merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU- XI/2013, yang menyatakan
bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang–Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
mengatur permohonan PK dalam perkara pidana hanya
dapat diajukan 1 (satu) kali bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
• Menurut SEMA Nomor 7 Tahun 2014 peninjauan
kembali dalam perkara pidana hanya dibatasi 1 kali.
Alasan-alasan penundaan
eksekusi pidana mati
• Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat
dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Psl 7)
• apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka
keterangan atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa
tersebut(Psl 6)
(Misal :minta bertemu keluarga, sementara keluarganya di luar sana
sakit sehingga minta waktu dan permintaan ini harus dipenuhi)
• karena masih diberikan hak-haknya sebagai terpidana,
• Hak-hak tersebut di antaranya upaya hukum Peninjauan Kembali
(PK) maupun permohonan pengampunan dari Presiden (grasi).
Setelah dilalui dan terpenuhi semua hak-hak terpidana, maka
eksekusi dilaksanakan.
Persiapan Eksekusi
Pidana Mati
• Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan
yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri),
dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana
mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden
• Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu
putusan perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan
tempat yang sama, kecuali ditentukan lain
• Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana Pengadilan Negeri
tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana
mati
• Untuk pelaksanaan pidana mati Kapolda membentuk sebuah regu
Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama,
di bawah pimpinan seorang Perwira, semuanya dari Brigade Mobile
(Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah
Jaksa
Lanjutan Persiapan
Eksekusi Pidana Mati
• Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan
dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk
oleh Jaksa
• Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati,
Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan
dilaksanakannya pidana mati tersebut.
• Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu
(keinginan/pesan terakhir), maka dapat disampaikan
kepada Jaksa tersebut
• Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati
baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya
dilahirkan
Pelaksanaan
Eksekusi Pidana Mati
• Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan
polisi yang cukup
• Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani
• Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian
yang sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut (Di
Jantung)
• Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal
menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana
tidak menghendakinya
• Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau
berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta
kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Misalnya diikat pada tiang atau kursi
• memeriksa terpidana untuk memastikan kematiannya.
Pelaksanaan
Eksekusi Pidana Mati
• Setelah terpidana sudah berada dalam posisinya, maka Regu
Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang
ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara 5
sampai 10 meter
• Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan
untuk memulai pelaksanaan pidana mati
• Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu
Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan
menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk
membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan
pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk
menembak.
• Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka Komandan Regu segera
memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan
pistol tepat di atas telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk
memastikan kematiannya
EKSEKUSI
PUTUSAN GANTI KERUGIAN
• Ganti kerugian merupakan hal baru dalam KUHAP
• Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1
butir ke-22 KUHAP)
• Pasal 95 ayat (1) KUHAP, tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut
ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan
tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
• Pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. Setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut
ganti kerugian dan rehabilitasi.
• Pelaksanaan atas suatu ganti kerugian dilakukan menurut tata cara
putusan perdata (Pasal 274 KUHAP).
PEMERIKSAAN TUNTUTAN GANTI
KERUGIAN
• Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di
sidang praperadilan (Pasal 95 ayat (2) KUHAP).
• Sedangkan jika perkara telah diadili di pengadilan, untuk
memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian
tersebut, ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim
yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang
bersangkutan (Pasal 95 ayat (4) KUHAP).
• Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan (Pasal
96 ayat (1) KUHAP). Ini berarti ganti kerugian tersebut dapat
diberikan setelah adanya tuntutan dari yang bersangkutan
(tersangka, terdakwa atau terpidana) atau ahli warisnya.
Cara Pengajuan Ganti Kerugian Korban
Tindak Pidana
• melalui Penggabungan Perkara Ganti
Kerugian,
• melalui Gugatan Perbuatan Melawan
Hukum
• melalui Permohonan Restitusi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92 TAHUN 2015
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27
TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA
• Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling
lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau
salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap diterima.
• Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan
terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan
atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan
dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan
praperadilan.
PETIKAN PUTUSAN GANTI KERUGIAN

• Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti


kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga)
hari setelah putusan diucapkan.
• Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian
diberikan juga kepada penuntut umum,
penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan.
BESARNYA GANTI KERUGIAN
MENURUT PP 92 tahun 2015
• Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
• Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga
tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling
sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
• Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian
paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
TATA CARA
PEMBAYARAN GANTI KERUGIAM
• Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan
pengadilan
• Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan.
• Ketentuan mengenai tata cara pembayaran ganti kerugian diatur
dengan Peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN (PMK) NO.
983/KMK.01/1983
tentang tata cara pembayaran ganti kerugian
• Telah lama menjadi mimpi buruk pencari keadilan karena
mekanismenya berbelit dan memiliki jangka waktu yang tidak pasti.
• PP No. 92 Tahun 2015, telah mengatur jangka waktu pembayaran
ganti kerugian yaitu selambat-lambatnya dalam jangka waktu
paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti
kerugian diterima oleh Menteri. Jangka waktu 14 hari tersebut
harus di tuangkan dalam revisi peraturan di Kementran keuangan
agar pemberian ganti rugi bisa lebih efektif dan efisian.
• ICJR mendorong agar Menteri Keuangan segera melakukan
penyesuaian dan mengeluarkan aturan baru menggantikan KMK
No. 983
Permasalahan pelaksanaan putusan
ganti kerugian
• Kepada siapa tuntutan ganti kerugian
ditujukan dan dibebankan  oleh
karena yang melakukan tindakan
adalah aparat negara  tuntutan
tersebut diajukan kepada
negara/pemerintah.
Lanjutan permasalahan pelaksanaan putusan ganti
kerugian

• Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti


kerugian  KUHAP tidak mengatur hal tersebut,
tetapi diatur dalam PP No. 92 Tahun 2015
CONTOH KASUS TUNTUTAN GANTI
KERUGIAN
• Tahun 2006 polisi Pasaman Barat Sumbar mendapatkan laporan tentang perusakan rumah yang
diduga dilakukan oleh Iwan Mulyadi. Sambil mengapit Aken –teman Iwan Mulyadi- yang sudah
lebih dulu ditangkap, polisi mencari Iwan Mulyadi. Pistol polisi meletus ketika Iwan Mulyadi
hendak turun dari pondok. Pelurunya memutus syaraf tulang belakang Iwan Mulyadi. Iwan
lumpuh. Polisi yang menembak Iwan divonis bersalah dan dipidana 1,5 tahun.
• Melalui Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumatera Barat,
menggugat secara perdata Ganti rugi sebesar Rp200,8 miliar. Pada Juni 2008 –dua tahun
setelah kejadian- PN Pesaman Barat mengabulkan gugatan itu dan menghukum Polri membayar
ganti rugi Rp300 juta. Putusan itu dikuatkan pengadilan tinggi maupun pada tingkat kasasi.
• Polri tidak merasa puas, mengajukan peninjauan kembali (PK). Mahkamah Agung menolak PK itu
pada tahun 2016, sepuluh tahun sejak kasus ini bermula. Dan ganti ragu pun tidak langsung
dibayarkan pada tahun yang sama.
• Iwan pernah membuat surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo yang meminta agar ganti rugi
yang menjadi haknya segera dibayarkan. Dalam keterbatasan dan kesulitan ekonominya,
Iwan pernah menjadi pengemis.
• Pembayaran ganti rugi kepada Iwan Mulyadi Selasa tanggal (6/11/2018 dipercepat atas
kebijakan Kapolda Sumatera Barat. Jika tidak, Iwan masih harus menunggu mekanisme
administrasi dan birokrasi lagi yang pasti akan membutuhkan waktu lagi.
Eksekusi terhadap Penggabungan Perkara
Gugatan Ganti Kerugian dalam Perkara
Pidana
• Pasal 98 KUHAP mengatur mengenai penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian dalam perkara pidana
• Tata cara bagaimana penggabungan gugatan ganti kerugian ataupun
pelaksanaan putusan hakim terhadap penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian tersebut, KUHAP tidak mengatur secara lengkap.
• Eksekusi terhadap penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam
perkara pidana dilaksanakan secara terpisah yakni mengenai perkara
pidananya diselesaikan menurut tata cara pidana sebagaimana
biasanya, sedangkan mengenai eksekusi gugatan ganti
kerugiannya dilaksanakan berdasarkan tata cara perdata.
• Pelaksanaan putusan ganti kerugian dalam penggabungan gugatan ganti
kerugian dalam perkara pidana dilaksanakan oleh panitera
berdasarkan tata cara pelaksanaan putusan perdata
PERMASALAHAN EKSEKUSI terhadap
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
dalam perkara pidana
• Terpidana orang tidak mampu
• Tidak ada sanksi apabila terpidana tidak mampu
membayar
• Tuntutan ganti kerugian hanya bersifat assesor
• Pemenuhan ganti kerugian yang hanya didasarkan pada
biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan,
• Ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan
dengan perkara pidana yang bersangkutan adalah dalam
hal pemenuhan biaya materiil yaitu penggantian biaya
yang telah dikeluarkan oleh korban, sedang biaya
immateriil harus dilakukan dengan mengajukan gugatan
perdata biasa
LANJUTAN PERMASALAHAN
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
dalam Perkara Pidana
• Kendala lain dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
tersebut adalah terbentur pada masalah kewenangan mengadili
• Pasal 101 KUHAP : ”Ketentuan dari aturan hukum acara perdata
berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-
undang ini tidak diatur lain”
• Pasal 99 ayat (1) KUHAP “apabila pihak yang dirugikan minta
penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri
menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut….dst”. Dengan demikian kalau berpedoman pada pasal
118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg maka gugatan harus
diajukan di mana tergugat berdomisili yang dalam perkara ini
adalah terdakwa  bertentang dengan asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya murah.
EKSEKUSI
PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI
(TP KORUPSI)
• Psl 34 hrf C UU No.3/1971, Psl 18 ayat 1 hrf b dan ayat 2
UU No. 31/1999
• Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
• (2). Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
• Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
Kelemahan UU No. 3 tahun 1971
• Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat
dipenuhi terdakwa, berlakulah ketentuan pidana
denda  bisa bertentangan dengan ketentuan Pasal 30
ayat (6) KUHP  menjadikan JPU ragu-ragu menuntut
pidana pembayaran uang pengganti
• Menrt Psl 30 (2) KUHP  jika denda tdk dibayar,
diganti dgn kurungan  tidak boleh lebih dari delapan
bulan
• Misalkan  terdakwa dijatuhi pidana  penjara,
denda dan pidana pembayaran uang pengganti
Kedudukan / status pidana pembayaran
uang pengganti

• Sebagai pidana tambahan


• Perluasan Pasal 10b KUHP
• Proyeksi ke depan
Dualisme dalam Penerapan Penjatuhan
Pidana Pembayaran Uang Pengganti
• Putusan kasasi nomor 2631 K/Pid.Sus/2009 yang menafsirkan
pembayaran uang pengganti sebagai hal yang wajib, di mana judex
facti telah salah menerapkan hukum, salah satunya karena judex facti tidak
membebankan pidana pembayaran uang pengganti kepada terdakwa.
• Putusan kasasi nomor 161 K/Pid.Sus/2008 yang menafsirkan
pembayaran uang pengganti sebagai fakultatif. Dalam putusan tersebut
majelis hakim berpendapat: (a) bahwa dari Pasal 17 UU 20/2001 jo UU
31/1999 dapat disimpulkan pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 tidak bersifat imperatif,
• Dijatuhkan tidaknya pidana tambahan pembayaran uang pengganti”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (b) adalah merupakan
kewenangan hakim/diskresi hakim, bukan merupakan suatu “keharusan“
dan “tidak bersifat imperartif” sebagaimana dapat disimpulkan dari
kata “dapat”, dengan kata lain hal tersebut “bersifat fakultatif.
Jumlah/besarnya pembayaran uang
pengganti
• SE Jaksa Agung 17 Januari 1991  sebesar kerugian
negara yg ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa
• Dalam praktek :
 sebesar kerugian negara, dengan
pertimbangan peranan pihak lain dan
besarnya kepemilikan saham
 jumlah riil uang yg dikuasai oleh
terdakwa atau besarnya yg telah
dinikmati oleh terdakwa
PROSEDUR EKSEKUSI
• Batas waktu pelaksanaan  1 bulan
Inkracht
• Pihak yang berkewajiban membayar 
terpidana
• Penetapan pidana penjara sbg pengganti
pidana pembayaran uang pengganti
• Kapan dapat dieksekusi  setelah inkracht
TAHAPAN EKSEKUSI
• TAHAP PENAGIHAN
• TAHAP PELELANGAN
• TAHAP PEMBAYARAN UANG
PENGGANTI
• TAHAP GUGATAN PERDATA
DATA EKSEKUSI PIDANA
PEMBAYARAN UANG PENGGANTI
• Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Mei 2015 dari
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2012 dan 2013. Kejagung
diketahui belum mengeksekusi tunggakan uang pengganti sebanyak Rp 13,1
triliun yang berasal dari unit tindak pidana khusus serta unit perdata dan
tata usaha negara.
• Belakangan ada juga terpidana membayar uang penggganti seperti
dilakukan terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) Samadikun Hartono pada 2018.
Samadikun yang ditangkap Tim Gabungan di Tiongkok pada April 2016
setelah buron sejak 2003 telah membayar uang pengganti sebesar Rp169,4
miliar dengan cara dicicil. Pertama Rp 40 miliar, kedua Rp 41 miliar, ketiga
Rp 1 miliar dan ke empat Rp 87 miliar.
• LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menantang Kejaksaan
Agung untuk dapat segera mengeksekusi uang pengganti yang lebih besar
yaitu Rp1,3 triliun dari kasus korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) yang
sudah lama inkracht dan menjadi tunggakan.
PROBLEMATIKA EKSEKUSI PIDANA
PEMBAYARAN UANG PENGGANTI
• Eksekusi putusan pidana pembayaran uang pengganti belum
maksimal
• Tersendatnya eksekusi pembayaran uang pengganti terjadi
disebabkan antara lain minimnya aturan mengenai pembayaran
uang pengganti. Sehingga menimbulkan kerancuan dan
inkonsistensi pada implementasinya.
• UU 31/1999 jo. UU 20/2001 hanya mengatur pidana tambahan
pembayaran uang pengganti dalam satu pasal, yaitu Pasal 18, yang
hanya mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, bagaimana
menghitung besaran uang pengganti; kedua, kapan uang pengganti
selambatnya dibayarkan; dan ketiga, bagaimana
konsekuensinya jika uang pengganti tidak dibayar.
CONTOH EKSEKUSI PIDANA PEMBAYARAN
UANG PENGANTI
• Kokos divonis hukuman empat tahun penjara atas kasus korupsi pengadaan
batubara di Muara Enim Sumatera Selatan.
• Kasus ini berawal saat Kokos menawarkan cadangan batubara untuk PT PLN
Batubara di Muara Enim Sumatera Selatan pada 2011 lalu.
• Namun rupanya batubara yang dijanjikan tidak sesuai spesifikasi. Kokos juga
tidak melakukan kajian teknis. Akibat perbuatannya, negara dirugikan sebesar
Rp477 miliar.
• Terdakwa Kokos Leo Lim dijatuhi pidana tambahan berupa membayar uang
pengganti sebesar Rp 477.359.539.000. Hal itu tertuang dalam putusan
Mahkamah Agung nomor 3318 K/Pid/Sus Tahun 2019, tanggal 17 Oktober
2019.
• Kejaksaan Agung telah mengeksekusi uang pengganti kerugian negara sebesar
Rp 477.359.539.000 dari terpidana korupsi Kokos Jiang alias Kokos Leo Lim.
• Uang pengganti tersebut telah disetor ke kas negara oleh jaksa eksekutor
melalui sistem informasi PNBP online atau simponi Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan.
Hakim Pengawas
dan Pengamat (Kimwasmat)
• Diatur dalam Pasal 277 KUHAP
• Setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi
tugas khusus untuk membantu Ketua
Pengadilan Negeri dalam melakukan
pengawasan dan pengamatan terhadap putusan
yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana
bersyarat
TUGAS UTAMA HAKIM
• Hakim adalah pejabat peradilan negara yang mempunyai
wewenang untuk memeriksa dan mengadili semua perkara yang
wilayah hukumnya meliputi daerah kekuasaannya (kompetensi
absolut).
• Memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan tugas pokok
hakim yang kesemuanya itu diatur dalam undang-undang.
• Di samping tugas mengadili, hakim mempunyai tugas lain yaitu
untuk melaksanakan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 277-283
• Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Dalam praktek peran Hakim Pengawas dan
Pengamat kurang maksimal
• Hakim yang ada di tiap-tiap pengadilan sering kali sudah
disibukkan dengan tugas-tugas rutin peradilan, sehingga tugas
sebagai Kimwasmat terabaikan,
• Kurangnya personil Hakim yang ada pada pengadilan, sehingga
tugas sebagai Kimwasmat tidak dapat dijalankan,
• Kurangnya koordinasi dan kooperasi antar berbagai aparat pe
negak hukum,.
• Dalam hal ini tiap-tiap institusi penegak hukum sering kali
masih mementingkan terlaksananya tugas masing-
masing tanpa memikirkan kebutuhan institusi penegak hukum
yang lain berkaitan dengan proses peradilan pidana.
Tujuan Kimwasmat
• Hakim Pengawas dan Pengamat mempunyai
tugas khusus selama 2 tahun
• Tujuannya untuk memperoleh kepastian
bahwa putusan pengadilan telah dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
• Digunakan untuk bahan penelitian demi ket
etapan yang anfaabermanfaat bagi pengaruh
pemidanaann dan tibal balik dengan melihat
tingkah laku narapidana
SIFAT KIMWASMAT DALAM
BEKERJA
• Dalam menjalankan pengawasan dan
pengamatan putusan pengadilan
Kimwasmat lebih bersifat administratif
dan Pasif yaitu menunggu laporan dari
jaksa berkaitan dengan pelaksanaan
putusan pengadilan
SEMA
RI Nomor 7 Tahun 1985 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas
Hakim Pengawas Dan Pengamat
• Kimwasmat harus datang ke LP) Lembaga
Permasyarakatan untuk mengadakan checking on the
spot paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali untuk
memeriksa kebenaran berita acara pelaksanaan putusan pengadilan.
• Hakim Pengawas dan Pengamat ini sangat dibutuhkan
dan penentuannya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, minimal 1
(satu) orang Hakim Pengawas dan Pengamat di sebuah Pengadilan
Negeri,
• Selebihnya tergantung pada volume dari putusan pengadilan yang su
dah mempunyai kekuatan hukum tetap.
• Hakim Pengawas dan
pengamat berada di Pengadilan Negeri dengan masa jabatan maksimal
selama 2 (dua) tahun, yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan
memberhentikannya.

Obyek Pengawasan dan Pengamatan oleh
Kimwasmat
• Pelaksanaan putusan dan narapidana.
• Pasal 54 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
• Hakim Pengawas dan Pengamat melakukan pengamatan terhadap
narapidana selama mereka menjalani masa pidananya terutama
mengenai perilaku mereka masing-masing maupun perlakuan para
petugas dari Lembaga Pemasyarakatan terhadap diri narapidana itu
sendiri.
• Dengan demikian, hakim selain akan dapat mengetahui sampai
dimana putusan pengadilan tampak hasil baik buruknya pada diri
narapidana yang bersangkutan, juga penting bagi penelitian yang
bermanfaat bagi pemidanaan

Anda mungkin juga menyukai