Menjalankan putusan pengadilan secara paksa dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah /tereksekusi tidak mau menjalankan secara sukarela.
Sumber Hukum Eksekusi.
Pasal 195 s.d. 224 HIR dan 206 s.d 258 RBG Pasal 209 s.d. 223 HIR dan 242 s.d. 257 mengatur Sandera SEMA No. 2 Tahun 1964 menghapus Sandera. PERMA No. 1 Tahun 2000 dapat disandera hutang 1 Milyar.
ASAS ASAS EKSEKUSI.
1. Menjalankan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
a. Asas atau Aturan Umum (General Rules )
Pada prinsipnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Inkracht van gewijsde) yang dapat dijalankan. Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi ialah : - Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap(res judicata ) - Karena hanya dalam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti antara pihak yang berperkara. - Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, yang harus ditaati dan dipenuhi yang dihukum. - Cara mentaati dapat dilakukan : a. Secara sukarela b. Dengan cara paksa.
2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
Ekseakusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak Tergugat tidak bersedia mentaati dan menjalankan secara sukarela.
3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat Kondemnatoir.
Yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman.
Ada dua sifat putusan .
a. Putusan yang bersifat Kondemnatoir Umumnya putusan yang bersifat kondemnatoir terwujud dalam perkara yang berbetuk kontentiosa ( contetiosa) atau contentieuse rectspraak. Yakni : - Berupa sengketa atau perkara yang persifat party - Ada pihak penggugat dan pihak tergugat. - Proses Pemeriksaannya berlangsung secara kontrak - Pada pokoknya dictum putusan memuat penghukuman. Penghukuman itu bisa berupa pengosongan, pembongkaran , melakukan perbuatan, mengadaakan pembagian harta warisan, membayar sejumlah uang , menhentikan suatu perbuatan atau keadaan, dan sebgainya.
b. Putusan yang bersifat Deklaratoir.
Pada putusan yang bersifat Deklaratoir amar atau dictum putusannya hanya mengandung pernyataan hukum tanpa dibarengi dengan hukuman. Umunya terdapat pada perkara yang berbentuk valuntair, yakni perkara yang berbentuk permohonan secara sepihak. - Seseorang mengajukan permohonan keapada Pengadilan secara sepihak - Permohonan tidak mengandung sengketa dengan pihak lain, oleh karenanya dalam perkara tersebut tidak ada pihak yang digugat.
4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri
Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri, yang dulu memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama. ( Pasal 195 ayat 1 HIR atau Pasal 206 RBG ). Satu-satunya factor penentu kewenangan eksekusi didasarkan pada pengajuan dan penjatuhan putusan pada peradilan tingkat pertama, dengan tanpa mengurangi hak dan kewenangnnya untuk melimpahkan delegasi eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang lain apabila obyek yang hendak dieksekusi terletak diluar daerah hukumnya ( Pasal 195 ayat (2) atau Pasal 206 ayat (2) RBG ).
Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 mengaktualkan Sistem
Parate Eksekusi yang digariskan Pasal 1178 KUHPerdata.
Menurut penjelasan umum angka 9 , salah satu ciri
HT yang kuat adalah mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya : Untuk HT dalam UU Ini mengatur Lembaga Parate Executie sebagaimana yang dimaksud Pasal 224 HIR, Pasal 256 RBG ; Sehubungan dengan hal irtu Sertifikat Hak Tanggungan ( SHT ) dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata ” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai landasan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap ( BHT ). Dengan demikian mengenai pelembagaan parate executie selain diatur pada Pasal 6, juga diatur pada penjelasan umum UUHT tersebut.
Pasal 6 bukan hanya mengatur mengenai Lembaga
Parate Executie , tetapi juga Menjual Atas Kekuasaan Sendiri ( Eigenmachtige verkoop) Pasal 6 berbunyi : ‘’Apabila debitur cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut ”
Pelaksanaan parate executie tunduk pada Pasal 224
HIR apabila tidak diperjanjikan kuasa untuk menjual sendiri :
- Penjulan lelang harus diminta kepada Ketua
Pengadilan ‘ - Untuk menentukan adanya cedera janji merujuk ketentuan Pasal 1243 KHUPerdata.atau apabila ada kesepakatan Bahwa menjual Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu kedudukan kreditor yang diutamakan atas hak preferen. Hasil penjualan kredtor berhak mengambil pelunasan seluruh utang dari hasil penjualan lebih dahulu pelunasan mengesampingkan kreditor yang lain.
Eksekusi Riil, tunduk kepada Ketentuan Pasal 200
ayat ( 1) HIR.
Mengenai eksekusi riil atas obyek HT yang telah
dijual,baik hal itu melalui PN berdasarkan Pasal 224 HIR, atau melalui kekuasaan sendiri berdasakan penjelasan Pasal 6 Tidak diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 Karenanya pelaksanaan eksekusi riilnya tunduk kepada ketentuan umum Pasal 200 ayat ( 1 ) HIR Dengan demikian jika Pemberi HT tidak mau atau enggan mengosongkan /meninggalkan obyek HT yang telah dijual lelang kepada pembeli lelang - Pemegang HT semula atau pembeli lelang, dapat meminta kepda Ketua PN untuk mengosongkannya ; - Berdasarkan permintaan itu, Ketua PN mengeluarkan/menerbitkan surat penetapan berisi perintah kepada jurusita supaya melakukan eksekusi riil berupa pengosongan obyek tersebut, jika perlu dengan bantua polisi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 200 HIR ayat ( 1 )
tersebut , eksekusi untuk mengosongkan obyek HT yang dijual lelang : - Cukup dalam bentuk permintaan kepada Ketua PN - Tidak perlu dalam bentuk gugatan perdata.