Anda di halaman 1dari 6

Tugas 3

Tri Atmaja
Hukum Acara Perdata
030225598

1.Sebuah putusan harus memenuhi unsur-unsurnya, jika Anda mempunyai perkara perdata yang
sedang diputus, Anda harus tahu putusan itu harus memenuhi unsur-unsurnya, jika tidak putusan
itu bisa jadi tidak dapat di eksekusi, hal-hal apasajaka bagian putusan perdata yang harus
terpenuhi!
Jawab : dalam penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat sedemikian rupa agar prosesnya
dapat berjalan secara cepat, sederhana, mudah dimengerti dan tentunya dengan biaya yang
murah.

Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara
2. Penetapan / beschikking : suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan
yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair”

2. Akhir dari sebuah perkra perdata adalah eksekusi, jika Anda adalah pihak yang menang, Anda
harus tahu jenis eksekusi apa yang akan Anda ikuti, jadi kemukakan apasaja ruang lingkup
eksekusi riil, eksekusi membayar sejumlah uang!

Jawab : Jenis Putusan Hakim yang Dapat Dieksekusi

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 876-879) jenis putusan
hakim salah satunya dapat ditinjau dari sifatnya, yakni dibagi sebagai berikut:

a. Putusan Deklarator
Putusan declatoir atau deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) berisi pernyataan atau
penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Misalnya putusan
yang menyatakan ikatan perkawinan yang sah, perjanjian jual-beli sah, dan sebagainya.

Putusan deklarator adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang
dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau
titel maupun status dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum putusan. 1[1]

1
b. Putusan Constitutief
Putusan constitutief (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan
hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan
keadaan hukum baru.2[2] Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan
keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan antara suami dan istri sehingga putusan itu
meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan berbarengan dengan itu timbul keadaan
hukum baru kepada suami dan istri sebagai janda dan duda.3[3]

c. Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang memuat amar menghukum
salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian
yang tidak terpisah dari amar deklaratif atau konstitutif.4[4]

Penjelasan lebih lanjut tentang ketiga jenis putusan di atas dapat Anda simak Arti Putusan
Deklarator, Putusan Constitutief dan Putusan Condemnatoir.

Yahya Harahap dalam buku Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (hal. 14)
menjelaskan bahwa hanya putusan yang bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu
putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”. Putusan yang amar atau
diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi atau
“noneksekutabel”.

Mengganti Eksekusi Rill dengan Sejumlah Uang

Prof. Sudikno membagi jenis eksekusi dalam tiga kelompok:5[5]


1. Membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan
Pasal 208 Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBG”);
2. Melaksanakan suatu perbuatan, berdasarkan Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBG;
3. Eksekusi rill, berdasarkan Pasal 1033 RV.

5
Salah satu bentuk eksekusi rill adalah penghukuman pihak yang kalah untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Misalnya, pihak yang kalah dihukum untuk menyiapkan penyelesaian
pembangunan rumah, membuat kolam renang atau mengubah suatu lagu. Jika hukuman tersebut
tidak dipenuhi secara sukarela, bagaimana cara memaksanya memenuhi putusan pengadilan? 6[6]

Yahya menerangkan lebih lanjut, dari segi kenyataan, sangat sulit menjalankan eksekusi riil yang
berbentuk penghukuman melakukan suatu perbuatan tertentu. Untuk mengatasi kemungkinan
kesulitan dan kemacetan pelaksanaan menjalankan putusan suatu perbuatan tertentu secara fisik,
undang-undang memberikan jalan keluar sebagai alternatif, seperti yang diatur dalam Pasal 225
HIR:

Jika seorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukannya di
dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang dalam keputusan dapat
memohonkan kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua, baik dengan surat,
maupun dengan lisan, supaya kepentingan yang akan didapatnya, jika putusan itu
dipenuhi, dinilai dengan uang tunai, jumlah mana harus diberitahukan dengan tentu jika
permintaan itu dilakukan dengan lisan, harus dicatat.

Karena mengemukakan perkara dalam persidangan pengadilan negeri yang menolak


perkara itu menurut pendapatnya dan menurut keadaannya, atau menilai permohonan
yang telah diperintahkan tetapi belum dijalankan, atau yang menilai di bawah
permohonan yang dikehendaki pemohon dan dalam hal ini yang berhutang dihukum
membayarnya.

Jadi, alternatif yang dapat ditempuh pihak yang menang guna memperoleh pemenuhan putusan
yang menghukum pihak yang kalah, yang enggan menjalankan perbuatan tertentu yang disebut
dalam amar putusan, dengan jalan:7[7]
1. Meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengganti hukuman tersebut;
2. Penggantinya berupa sejumlah uang;
3. Kepentingan perbuatan tertentu tadi dinilai dengan sejumlah uang.

Jadi bertitik tolak dari Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBG, kepentingan penghukuman
melakukan sesuatu dapat diganti dengan sejumlah uang. Pihak yang menang dapat mengajukan
permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri, agar putusan dinilai dengan sejumlah uang, apabila
pihak yang kalah tetap tidak mau menjalankan perbuatan yang dihukumkan kepadanya.8[8]
6

8
Jika Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permintaan penggantian bentuk eksekusi dari
melaksanakan perbuatan tertentu dengan sejumlah uang, maka beralihlah sifat eksekusi dari
“eksekusi riil” menjadi “eksekusi pembayaran sejumlah uang”.9[9]

Dengan peralihan sifat eksekusi rill menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang, kemacetan
eksekusi dapat diatasi dengan mempergunakan tata cara eksekusi yang berlaku terhadap eksekusi
pembayaran sejumlah uang, diatur dalam Pasal 197 HIR atau Pasal 208 RBG.10[10]

Pemenuhan putusan dapat dipaksakan terhadap pihak yang kalah melalui executoriale beslag
yang dilanjutkan dengan penjualan lelang terhadap harta kekayaan pihak yang kalah. Cuma
untuk memperoleh pemenuhan berdasarkan peralihan sifat eksekusi tersebut diperlukan proses
yang lebih panjang dibandingkan dengan eksekusi riil.11[11]

Jadi menjawab pertanyaan Anda, jika putusan hakim menghukum Tergugat untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu (dalam hal ini Tergugat harus mengganti dan menanam kembali pohon
kelapa yang sudah ditebang oleh Tergugat), Anda dapat mengajukan permintaan kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar mengganti hukuman tersebut dengan penggantian sejumlah uang, dengan
catatan, pihak yang kalah memang enggan menjalankan perbuatan tertentu tersebut yang
dihukumkan kepadanya.

3. Jika Anda dalam perkara perdata merasakan ketidak adilah terhadap sebuah putusan
memerintahkan eksekusi dan penyitaan, maka Anda mempunyai hak untuk melakukan upaya
hukum, upaya Hukum Melawan Eksekusi dan Penyitaan apasajakah yang dapat Anda lakukan
Jawab : Upaya hukum biasa
Adaalh upaya hukum yang dipergunakan bagi putusan yang belum memiliki hukum tetap. Upaya
hukum biasa yaitu:
a. Perlawanan/verzet
b. Banding
c. Kasasi

10

11
a. Upaya Hukum Perlawanan/verzet
Ialah Suatu upaya hukum terhadap suatu putusan di luar hadirnya pihak tergugat ( disebut
putusan verstek). Yang terdapat dalam pasal 129 HIR. Verzet tersebut dapat dilakukan pada
tenggang waktu atau tempo 14 hari (termasuk juga hari libur) setelah suatu putusan putusan
verstek tersebut telah diberitahukan dan disampaikan kepada pihak tergugat karena pihak
tergugat tidak menghadiri persidangan.
Syarat-syarat verzet yaitu dalam Pasal 129 ayat (1) HIR:
1. keluarnya suatu putusan verstek
2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan ialah tidak boleh lewat dari empat belas(14) hari
dan jikalau adanya eksekusi tidak boleh lebih dari delapan(8) hari
3. Verzet tersebut dimasukan dan juga diajukan kepada Ketua PN di dalam wilayah hukum
dimana pihak penggugat telah mengajukan gugatannya tersebut.
b. Upaya Hukum Banding
ialah suatu upaya hukum yang dilakukan bilamana ada salah satu pihak yang tidak puas terhadap
suatu putusan Pengadilan Negeri. Yang berdasar pada UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Pokok Kekuasaan dan juga pada UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.
Permohonan banding tersebut harus diajukan dan ditujukan kepada panitera Pengadilan Negeri
yang telah menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding bedasarkan pada Pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 yang mana
mencabut ketentuan dari pasal 188-194 HIR, ialah:
1. adanya pernyataan ingin banding
2. panitera membuat suatu akta banding
3. Telah dicatat dalam register induk perkara
4. pernyataan banding harus telah di terima oleh pihak terbanding paling lama empat belas(14)
hari sesudah suatu pernyataan banding tersebut dibuat.
5. Pihak pembanding juga dapat membuat suatu memori banding, terbanding juga bisa
mengajukan suatu kontra memori banding.
c. Upaya Hukum Kasasi
Bedasarkan pada pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi ialah suatu
pembatalan putusan atas sautu penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan pada
tingkat peradilan akhir.
Dalam Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi ialah merupakan putusan banding. Adapun
alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan di dalam pasal 30 UU No
14/1985 jo. UU No 5/2004 yaitu:
1. tidak berwenang (baik itu merupakan kewenangan absolut maupun kewenangan relatif) untuk
melampaui batas suatu wewenang;
2. salah menerapkan ataupun melanggar hukum yang berlaku;
3. lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang telah diwajibkan oleh peraturan perUU yang dapat
mengancam kelalaian dengan batalnya suatu putusan yang bersangkutan atau berkaitan.

2. Upaya hukum luar biasa


Adalah suatu upaya hukum dilakukan atas putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
dan juga dalam asasnya upaya hukum ini tidaklah menangguhkan eksekusi.
Yang di dalamnya mencakup antara lain:
a. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial
b. Peninjauan kembali (request civil)
a. Denderverzet (Perlawanan pihak ketiga)
Perlawanan pihak ketiga ini terjadi bilamana dalam putusan pengadilan yang telah merugikan
kepentingan dari pada pihak ketiga, oleh karenanya pihak ketiga itu bisa mengajukan perlawanan
atas suatu putusan tersebut. Bedasarkan di dalam Pasal 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR.
Dapat Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa oleh pada dasarnya suatu putusan tersebut
hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (antara pihak penggugat dan pihak tergugat
tersebut) dan tidak mengikat kepada pihak ketiga (akan tetapi di dalam hal ini hasil putusan
tersebut juga akan mengikat orang lain atau pihak ketiga, oleh karenanya dapat dikatakan luar
biasa).
Denderverzet tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri yang telah memutus suatu perkara pada
tingkat pertama pengadilan.

b. Peninjauan Kembali (request civil)


Yang dimaksud dengan penjauan kembali ini adalah apabila terdapat hal-hal ataupun keadaan
yang ditentukan oleh undang-undang, terhadap suatu putusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum tetap dan dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung di
dalam perkara perdata dan pidana oleh para pihak-pihak yang memiliki kepentingan. [pasal 66-
77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Adapun alasan dalam peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004,
ialah:
a. adanya novum atau disebut bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang telah
didasarkan kepada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang telah dinyatakan palsu;
b. apabila setelah suatu perkara diputus, ditemukannya surat-surat bukti yang memiliki sifat yang
menentukan pada waktu perkara diperiksa tidak bisa ditemukann;
c. apabila setelah dikabulkannya hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang telah dituntut
tersebut;
d. bilamana mengenai sesuatu bagian dari suatu tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
terlebih dahulu sebab-sebabnya;
e. bilamana dalam satu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan hakim yang
nyata.
Batas tenggang waktu di dalam pengajuan (seratus delapan puluh)180 hari setelah putusan
memiliki kekuatan hukum tetap (bedasarkan dalam Pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung
telah memutus suatu permohonan dalam peninjauan kembali dalam tingkat pertama dan juga
terakhir (Bedasarkan dalam Pasal 70 UU no 14/1985).

Anda mungkin juga menyukai