Nim : 205190149
Mata Kuliah : Kapita Selekta Perdata
Kelas :C
o Jawaban Tergugat
Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan mengajukan
jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya. Jawaban
tergugat dapat dilakukan secara tertulis atau lisan ( Pasal 158 ayat (1) R.Bg).
Pada tahap jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan eksepsi (tangkisan)
atau rekonpensi (gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak perlu membayar
panjar biaya perkara.
o Replik Penggugat
Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat. Pada
tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa pula
merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.
o Duplik Tergugat
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya. Dalam tahap ini
dapat diulang-ulangi sampai ada titik temu antara penggugat dengan tergugat.
Apabila acara jawab menjawab dianggap cukup oleh hakim, dan masih ada hal-
hal yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak, maka hal ini dilanjutkan
dengan acara pembuktian.
o Pembuktian
Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama untuk
mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi secara
bergantian yang diatur oleh hakim.
o Kesimpulan
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama
untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil
pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing.
Kesimpulan yang disampaikan ini dapat berupa lisan dan dapat pula secara
tertulis.
o Putusan
Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada
tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut,
penggugat dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam
tenggang waktu 14 hari setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat atau
tergugat tidak hadir saat dibacakan putusan, maka Juru Sita Pengadilan akan
menyampaikan isi atau amar putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan
putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan diterima
oleh pihak yang tidak hadir itu.
o Revindicatoir Beslag (RB) atau Sita Pemilik (Ps. 226 (1) HIR),
Syarat atau alasan pokok sita revindikasi merujuk pada Alinea Pertama Pasal
226 HIR dan Pasal 714 Rv, yaitu:
▪ Objek sengketa adalah barang bergerak
Alinea Pertama Pasal 226 HIR menyatakan, objek sita revindikasi
adalah barang bergerak dan barang bergerak yang dimaksud berada di
tangan orang lain (tergugat).
o Marital beslag (MB) atau Sita Harta Bersama (Ps. 186 BW & Ps. 24 (2) huruf
c PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan).
Menurut Peraturan Pemerintah dalam pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengajuan maritale beslag ke pengadilan
hanya terbatas pada perkara perceraian saja. Jadi seolah olah tanpa adanya
perkara perceraian isteri tidak dimungkinkan mengajukan maritale beslag. Pasal
24 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 “ selama berlangsungnya
gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat menentukan
hal hal yang perlu unuk menjamin terpeliharanya barangbarang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Tujuan dari adanya sita
marital (maritale beslag) terhadap harta bersama adalah untuk mengamankan
keberadaan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan agar terhindar
dari penjualan sepihak selama dalam proses persidangan perceraian terjadi dan
juga merupakan salah satu tindakan untuk memberika upaya atau dapat
dikatakan sebagai tindakan prefentif atau jalan kepada istri terhadap posisi
suami yang bersifat menguasai (dominerend ) dan agar dapat menyelamatkan
sekurang-kurangnya sebagian dari keberadaan harta Bersama dalam
perkawinan mereka.
• Penyelesaian Sengketa Perdata Diluar Pengadilan
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya
penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang
dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternative Dispute Resolution adalah suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
a. Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang
mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta
untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama
ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.
b. Negosiasi
Menurut Ficher dan Ury, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan
apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa negosiasi ialah proses
tawar menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses
interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh
kedua belah pihak.
c. Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang
memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu
dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga
dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar Mediasi juga dapat diartikan
sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama
melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau
kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya
dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat
untuk tercapainya mufakat.
d. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi
konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam
mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para
pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan
menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para
pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu
kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa,
proses ini disebut konsiliasi.
e. Penilaian ahli
Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan
meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.
• Peran Advokat dan Konsultan Hukum (Dalam Litigasi) berkaitan dengan Permasalahan
Hukum
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat)
mengatakan, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-
undang Advokat. Saat berlakunya UU Advokat ini, yang namanya Advokat, penasihat
hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum dinyatakan sebagai Advokat (lihat
Pasal 32 ayat 1 UU Advokat).