Anda di halaman 1dari 11

FAKHRIZA RIZQI VIYANTO

205010112111001
UTS HUKUM ACARA PERDATA

Jawaban Soal No.1

Hakim Bersifat Menunggu (iudex no procedat ex officio). Asas ini dapat ditemukan pada
pasal 10 ayat (1) UU No. 48 / 2009 dan pasal 142 RBg / pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1)
RBg menentukan bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya
menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya.
Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan beasal dari penggugat, hakim
(pengadilan)hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang mengajukan
tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan. Apabila tidak diajukannya gugatan atau
tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Hakim baru bekerja setelah tuntutan diajukan
kepadanya. Lebih lanjut Asas Ius Curia Novit memandang bahwa setiap hakim tahu akan
hukum sehingga harus mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga apabila
tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka pengadilan / hakim dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas. Penerapan Asas Ius Curia Novit menuntut kreatifitas hakim dalam
menggunakan alat-alat untuk mewujudkannya yang berupa metode penemuan hukum.

Pada praktiknya tidak semua hakim tahu akan hukum, namun karena sistem hukum di
Indonesia masih menganutnya maka dahulu untuk memaksa hakim menerapkan Asas Ius
Curia Novit bahkan ditambahkan sanksi pidana Pasal 22 Algemene Bepalingen Van
Wetgeving voor Indonesie (AB) atau Peraturan Umum mengenai Perundang-Undangan untuk
Indonesia yang menyatakan, “Hakim yang menolak untuk mengadakan keputusan terhadap
perkara, dengan dalih undang-undang tidak mengaturnya, terdapat kegelapan atau
ketidaklengkapan dalam undang-undang dapat dituntut karena menolak mengadili perkara”.
Sanksi pidana ini meskipun sudah ditiadakan dan hanya menyisakan asas Rechtweigening
(asas larangan menolak perkara) dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, namun ini menunjukkan tuntutan akan profesionalitas seorang
hakim, sekaligus menjadi tuntutan bagi hakim untuk menerapkan asas ius curia novit. Namun
Untuk menghindari kebebasan hakim yang tanpa kendali sehingga dikhawatirkan menjadi
sewenang-wenang hakim dilarang memutus diluar apa yang dituntut atau dimohonkan (ultra
petita);

Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter). Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim
didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau
luas pokok sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak
yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan cepat
sederhana dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) UU No. 48/2009).

Asas hakim bersifat pasif ini mengandung beberapa makna, di ataranya :


a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan
tidak pernah dilakukan oleh hakim.

b. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap
sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (pasal 189 RBg /
178 HIR).

c. Hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti- bukti
yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim.

d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan
upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan perdamaian.

Dengan demikian seorang hakim yang diajukan perkara kepadanya berkewajiban untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut hingga selesai meskipun apabila undang-
undangnya tidak lengkap atau tidak ada, ia wajib menemukan hukumnya dengan jalan
menafsirkan, menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Penerapan Asas Ius Curia Novit menuntut kreatifitas hakim dalam menggunakan
alat-alat untuk mewujudkannya yang berupa metode penemuan hukum.

Jawaban Soal No. 2

Sebelum Majelis Hakim sampai kepada pengambilan Putusan dalam setiap perkara perdata
yang ditanganinya, terlebih dahulu harus melalui proses dan tahapan pemeriksaan
persidangan, tanpa melalui proses tersebut, Majelis Hakim tidak akan dapat mengambil
keputusan. 
Pada garis besar, proses persidangan perdata pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan
Negeri terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut:

1.  Tahap Mediasi

Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim, Penggugat dan Tergugat (“Para
Pihak”) telah hadir, maka Majelis Hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan, wajib untuk
mengusahakan upaya perdamaian dengan Mediasi, yaitu suatu cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh
Mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu Para Pihak yang berperkara dalam
perundingan untuk mencari penyelesaian secara mufakat. Mediator dapat merupakan seorang
Hakim Pengadilan (yang bukan memeriksa perkara) dan dapat juga merupakan seseorang
dari pihak lain yang sudah memiliki sertifikat sebagai Mediator.

Kewajiban Mediasi ini diatur secara umum dalam Pasal 130 HIR dan secara khusus diatur
secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 01
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kesempatan Mediasi diberikan oleh
Majelis Hakim selama 40 hari, dan apabila masih belum cukup dapat diperpanjang selama 14
hari. Pada kesempatan tersebut Para Pihak akan mengajukan apa yang menjadi tuntutannya
secara berimbang untuk mendapatkan titik temu dalam penyelesaian sengketa secara win-win
solution. Apabila dalam proses ini telah tercapai kesepakatan, maka dapat dituangkan dalam
suatu akta perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan diketahui oleh Mediator.
Akta kesepakatan ini disampaikan kepada Majelis Hakim untuk mendapatkan Putusan
Perdamaian. Akan tetapi sebaliknya, jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai
perdamaian dan kesepakatan, maka Mediator akan membuat laporan kepada Majelis Hakim
yang menyatakan Mediasi telah gagal dilakukan.

2.  Tahap Pembacaan Gugatan (termasuk Jawaban, Replik, dan Duplik)


 

Apabila Majelis Hakim telah mendapatkan pernyataan Mediasi gagal dari Mediator, maka
pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2 yaitu pembacaan surat Gugatan.
Kesempatan pertama diberikan kepada pihak Penggugat untuk membacakan surat
Gugatannya. Pihak Penggugat pada tahap ini juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki
surat Gugatannya apabila terdapat kesalahan-kesalahan, sepanjang tidak merubah pokok
Gugatan, bahkan lebih dari itu pihak Penggugat dapat mencabut Gugatannya. Kedua
kesempatan tersebut diberikan sebelum Tergugat mengajukan Jawabannya.

Setelah pembacaan surat Gugatan, maka secara berimbang kesempatan kedua diberikan
kepada pihak Tergugat atau kuasanya untuk membacakan Jawabannya. Jawaban yang
dibacakan tersebut dapat berisikan hanya bantahan terhadap dalil-dalil Gugatan itu saja, atau
dapat juga berisikan bantahan dalam Eksepsi dan dalam pokok perkara. Bahkan lebih dari itu,
dalam Jawaban dapat berisi dalam rekonpensi (apabila pihak Tergugat ingin menggugat balik
pihak Penggugat dalam perkara tersebut).

Acara jawab-menjawab ini akan berlanjut sampai dengan Replik dari pihak Penggugat


dan Duplik dari pihak Tergugat. Replik merupakan penegasan dari dalil-dalil Penggugat
setelah adanya Jawaban dari Tergugat, sedangkan Duplik penegasan dari bantahan atau
Jawaban Tergugat setelah adanya Replik dari Penggugat. Dengan berlangsungnya acara
jawab-menjawab ini sampai kepada duplik, akan menjadi jelas apa sebenarnya yang menjadi
pokok perkara antara pihak Penggugat dan Tergugat. Apabila Jawaban Tergugat terdapat
Eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu pengadilan yang mengadili perkara tersebut
tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal
136 HIR atau Pasal 162 Rbg Majelis Hakim akan menjatuhkan Putusan Sela terhadap
Eksepsi tersebut. Putusan Sela dapat berupa mengabulkan Eksepsi dengan konsekuensi
perkara dihentikan pemeriksaannya, dan dapat pula Eksepsi tersebut ditolak dengan
konsekuensi pemeriksaan perkara akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya.

Dalam tahap ke-2 ini sudah dapat kita lihat, bahwa semua pihak diberi kesempatan yang
sama dalam mengemukakan sesuatu untuk mempertahankan dan membantah suatu Gugatan
terhadapnya. Kesempatan yang sama juga akan kita lihat ketika nanti dalam tahap
Pembuktian.

3.  Tahap Pembuktian

Tahap Pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua proses pemeriksaan
perkara, karena dari tahap ini nantinya yang akan menentukan apakah dalil Penggugat atau
bantahan Tergugat yang akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan Para Pihak, Majelis
Hakim dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat
sehingga terjadi perkara. Dari peristiwa hukum yang terbukti tersebut nantinya Majelis
Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan diterapkan dalam perkara dan
memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara tersebut.

Untuk membuktikan suatu peristiwa yang diperkarakan, Hukum Acara Perdata sudah
menentukan alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh Para Pihak di persidangan, yaitu
disebutkan di dalam Pasal 164 HIR atau Pasal 284 Rbg yaitu:

A. Surat;
B. Saksi;
C. Persangkaan;
D. Pengakuan; dan
E. Sumpah.

4.  Tahap Kesimpulan

Pengajuan Kesimpulan oleh Para Pihak setelah selesai acara Pembuktian tidak diatur dalam
HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan Kesimpulan ini timbul dalam praktek
persidangan. Dengan demikian, sebenarnya jika ada pihak yang tidak mengajukan
Kesimpulan, merupakan hal yang diperbolehkan. Bahkan terkadang, Para Pihak menyatakan
secara tegas untuk tidak mengajukan Kesimpulan, akan tetapi memohon kebijaksanaan
Hakim untuk memutus dengan seadil-adilnya. Sebenarnya, kesempatan pengajuan
Kesimpulan sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa hukum Para Pihak, dikarenakan melalui
Kesimpulan inilah seorang kuasa hukum akan menganalisis dalil-dalil Gugatannya atau dalil-
dalil Jawabannya melalui Pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Dari analisis
yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu Kesimpulan apakah dalil Gugatan terbukti atau
tidak, dan kuasa Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar gugatan dikabulkan.
Sebaliknya kuasa Tergugat memohon kepada Majes Hakim agar gugatan Penggugat ditolak. 

Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, Kesimpulan sangat membantu dalam
merumuskan pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai analisis hukum
Kesimpulan yang dibuat oleh kuasa hukum Para Pihak, dan akan dijadikan bahan
pertimbangan dalam Putusan, apabila analisis tersebut cukup rasional dan beralasan hukum.

5.  Tahap Putusan

Setelah melalui beberapa proses dan tahapan persidangan, maka sampailah pada proses dan
tahapan terakhir, yaitu pembacaan Putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo, Putusan Hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau sengketa antara Para Pihak. Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu putusan
Hakim terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:

A. Kepala Putusan;
B. Identitas Para Pihak;
C. Pertimbangan; dan
D. Amar.

Setiap Putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas Putusan yang
berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala Putusan ini
memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan. Selain kepala Putusan pada halaman pertama
dari Putusan, juga dicantumkan Identitas Para Pihak, yaitu pihak Penggugat dan pihak
Tergugat secara lengkap sesuai dengan surat Gugatan dari Penggugat.

Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan. Pertimbangan ini dibagi
menjadi dua yaitu, Pertimbangan tentang duduknya perkara dan Pertimbangan tentang
hukumnya. Dalam rumusan Putusan sering dibuat dengan huruf kapital dengan judul
“TENTANG DUDUKNYA PERKARA dan TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM“.
Didalam Pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi surat Gugatan Penggugat, isi
surat Jawaban Tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di
persidangan, baik alat bukti dari pihak Penggugat maupun alat bukti dari pihak Tergugat. Jika
terdapat saksi yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut
dicantumkan dalam Pertimbangan ini, sedangkan Pertimbangan hukum suatu putusan perkara
perdata adalah merupakan pekerjaan ilmiah dari seorang Hakim, karena melalui
Pertimbangan hukum inilah Hakim akan menerapkan hukum kedalam peristiwa konkrit
dengan menggunakan logika hukum. Biasanya Pertimbangan hukum ini diuraikan secara
sistematis, dimulai dengan mempertimbangkan dalil-dalil Gugatan yang sudah terbukti
kebenarannya karena sudah diakui oleh Tergugat atau setidak-tidaknya tidak dibantah oleh
Tergugat. Setelah merumuskan hal yang telah terbukti tersebut, lalu akan dirumuskan pokok
perkara berdasarkan bantahan Tergugat.

Pokok perkara akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan oleh Para pihak. Pertama
akan diuji dengan bukti surat atau akta otentik/dibawah tangan yang diakui kebenarannya.
Bukti Surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan keterangan saksi-saksi yang sudah
didengar keterangannya. Dengan cara demikian, maka Hakim akan mendapatkan Kesimpulan
dalam pokok perkara, mana yang benar diantara dalil Penggugat atau dalilnya Tergugat. Bila
yang benar menurut Pertimbangan hukum adalah dalil Penggugat, maka Gugatan akan
dikabulkan, dan pihak Penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya berdasarkan
Pertimbangan hukum putusan dalil-dalil Gugatan Pengugat tidak terbukti, dan justru dalil
Jawaban Tergugat yang terbukti, maka Gugatan akan ditolak, sehingga pihak Tergugat yang
menang dalam perkara tersebut.

Jadi, bila ditinjau dari menang-kalahnya Para Pihak, maka Putusan perkara perdata dapat
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Gugatan dikabulkan dan Gugatan ditolak, selain kedua Putusan
tersebut, terdapat 1 (satu) jenis Putusan lain, yaitu karena kurang sempurnanya Gugatan
dikarenakan tidak memenuhi formalitasnya suatu gugatan yaitu Putusan Gugatan tidak dapat
diterima. Setelah Putusan diucapkan oleh Hakim, maka kepada Para Pihak diberitahukan
akan haknya untuk mengajukan upaya hukum jika tidak menerima Putusan tersebut.

Jawaban Soal No.3

Perbedaan Acara Biasa, Acara Istimewa dan Acara Sederhana


Philipus (hal. 331 - 332) memberikan perbedaan antara acara biasa, acara Istimewa, dan acara
sederhana sebagai berikut:
 
Acara Biasa Acara Istimewa Acara Sederhana
1.    Diawali dengan 1. Dilakukan karena 1. Dilakukan terhadap
pemeriksaan persiapan kepentingan perlawanan 
dengan majelis hakim 3 mendesak dengan 2. Penundaan pelaksanaan
orang hakim tunggal TUN ,tidak untuk
2.    Tahapan penanganan 2. Dalam hal menyelesaikan pokok
sengketa: permohonan sengketa
a.    Prosedur dismisal dikabulkan, 3.    Bentuk akhir:
b.    Pemeriksaan pemeriksaan acara penetapan
persiapan cepat dilakukan  
c.    Pemeriksaan di tanpa melalui
sidang pengadilan prosedur
3.    Bentuk akhir: putusan pemeriksaan
(vonis) persiapan.
3.    Bentuk akhir:
putusan (vonis)
 

Jawaban Soal No. 4

Bentuk gugatan adalah surat. Oleh karenanya harus memenuhi syarat sebagai surat, seperti:
tempat dan tanggal gugatan itu dibuat kepada siapa / kemana gugatan itu ditujukan isi
gugatan, ditutup dengan mencantumkan siapa yang membuat / mengirim gugatan atau
kuasanya dan ditandatangani.
Ditinjau dari isi gugatan , pasal 8 Rv menentukan bahwa gugatan memuat :

(1). Identitas para pihak;

Dalam perkara perdata biasanya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak
tergugat. Para pihak dapat beracara secara langsung di depan pengadilan atau dapat
mewakilkannya kepada seorang kuasa dengan kuasa khusus. Para pihak itu dibedakan atas:
pihak materiil dan pihak formil. Pihak materiil adalah pihak yang berkepentingan secara
langsung, yaitu penggugat dan tergugat. Pihak formil yaitu pihak yang secara formil tampil
dan beracara di depan pengadilan, yaitu penggugat, tergugat dan kuasa hukum. Identitas para
pihak tiada lain adalah jati diri atau ciri-ciri masing-masing pihak baik penggugat maupun
tergugat, terutama nama dan alamat / tempat tinggal / domisili / tempat kedudukan. Di
samping itu untuk menambah kelengkapan dan kejelasannya biasanya perlu dicantumkan
pula umur, pekerjaan, status perkawinan. Untuk perkara perkara tertentu, perlu pula
dicantumkan agama, seperti dalam perkara perceraian.

(2). Posita (fundamentum petendi, middelen van eis) ; dan

Posita (fundamentun petendi) adalah dalil dalil dari penggugat yang menjadi dasar-dasar atau
alasan alasan gugatan penggugat. Posita ini memuat dua hal pokok dalam uraiannya, yaitu:

1) Dasar-dasar atau alasan alasan yangmenguraikanmengenai fakta-fakta atau peristiwa


peristiwa atau kejadian kejadian yang medeskripsikan duduknya masalah.
2) Dasar-dasar atau alasan-alasan yang menguraikan mengenai hukumnya, yaitu memuat
hubungan hukum antara pengugat dengan tergugat, hubungan hukum penggugat dan / atau
tergugat dengan materi atau obyek sengketa.
Dalam penyusunan posita dikenal adanya 2 teori terkait dengan luasnya uraian dalam posita,
yaitu:

1)  Substantierings theorie,menurut teori ini, penyusunan posita tidaklah cukup hanya


menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan,
melainkan harus diuraikan pula bagaimana sejarahnya sampai terjadi peristiwa dan hubungan
hukum itu.
2)  Individualiseringtheorie,teori ini mengajarkan bahwa dalam menyusun suatu posita adalah
sudah dipandang cukup dengan menguraikan peristiwa dan hubungan hukum tanpa
menguraikan secara detail sejarah dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut.

(3).Petitum (tuntutan, onderwerp van den eis met een didelijke en bepaalde conclutie).

Petitum adalah apa yang dimohonkan atau dituntut supaya diputus demikian oleh pengadilan.
Dalam putusan pengadilan, petitum ini mendapat jawaban dalam amar atau dictum putusan
pengadilan. Petitum gugatan haruslah dirumuskan dengan jelas dan cermat karena
berimplikasi luas baik dalam proses persidangan maupun nanti setelah putusan dimohonkan
eksekusi. Perumusan petitum harus mempunyai keterkaitan yang jelas dengan perumusan
posita. Setiap tuntutan dalam petitum haruslah dapat dicarikan dasarnya dalam posita.
Dengan kata lain tidak ada bagian dari tuntutan dalam petitum yang tidak ada uraiannya
dalam posita. Tuntutan / petitum dibedakan menjadi tuntutan primer dan tuntutan subsider /
tuntutan pengganti / tuntutan alternatif. Tuntutan primer dalam perkara perceraian:
menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian.Tuntutan
subsidernya: menyatakan hubungan penggugat dan tergugat tidak dalam hubungan
perkawinan yang sah.

Jawaban Soal No. 5

Gugatan Rekonvensi atau gugatan balik atau gugatan balasan diatur dalam Pasal 157

dan 158 RBg, Pasal 132 a dan 132 b HIR.


Pasal 157 RBg menentukan : Tergugat berwenang untuk mengajukan gugatan balik dalam
segala hal, kecuali:

 Bila penggugat dalam konvensi bertindak dalam suatu kedudukan, sedangkan gugatan
balik mengenai diri pribadinya dan sebaliknya.

 Bila pengadilan negeri yang menangani gugatan asalnya tidak berwenang mengadili
persoalan yang menjadi inti gugatan balik yang bersangkutan.

 Tentang perselisihan mengenai pelaksanaan keputusan hakim.


Akan tetapi dalam tiga hal komulasi itu tidak dibolehkan (Sudikno Mertokusumo, 1982: 47)

1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus,

sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa, maka kedua

untutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugtan.

2. Demikian pula apabila hakim tidak wenang (secara relatif) untuk memeriksa salah

atu tuntutan yang diajukan bersama sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lain ,
maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama sama dalam satu gugatan.

3. Tuntutan tentang “bezit” tidak boleh diajukan bersama sama dengan tuntutan tentang
“eigendom” dalam satu gugatan.

Anda mungkin juga menyukai