Anda di halaman 1dari 12

Tugas Analisis Hukum Internasional

Hubungan Sengketa Wilayah Maritim Di Laut Tiongkok Selatan


(LTS) dengan konflik Natuna

Disusun oleh :

Fakhriza Rizqi Viyanto (1904551134)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

ILMU HUKUM

2020

BAB I
PENDAHULUAN

Konflik Laut Cina Selatan (LCS) yang hingga saat ini belum terselesaikan antara Cina,
Vietnam, Malaysia, Taiwan, Filipina dan Brunei, telah berdampak terhadap Indonesia sebagai
negara yang memiliki wilayah yurisdiksi nasional pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) Laut Natuna Utara. Aksi-aksi agresif para claimant states yang bertujuan untuk
menegaskan klaim kedaulatannya atas sebagian maupun seluruh wilayah perairan LCS dan
pulau-pulau yang terdapat di dalamnya semakin mengganggu yurisdiksi nasional Indonesia
pada ZEEI tersebut. Tidak hanya Cina yang melakukan aksi agresif terhadap Indonesia, tetapi
Vietnam dan Malaysia juga pernah melakukan hal yang sama. LCS sendiri adalah kawasan
perairan yang mengandung begitu banyak kekayaan alam dan perikanan. Diperkirakan
kawasan ini menyimpan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Vietnam,
Malaysia, Brunei, Filipina telah berabad abad menggantungkan keberlangsungan ekonominya
dari kawasan perairan ini. Di sisi lain, Cina juga mengklaim perairan tersebut secara historis
semenjak beberapaabad lamanya. Cina sebagai salah satu claimant state adalah great power
yang sering melakukan aksi agresif di LCS. Cina mengklaim lebih dari 95 persen LCS dan
mengandalkan kawasan tersebut untuk memasok 86 persen impor minyak mentah Cina.
Klaim juga dilakukan terhadap pulau-pulau kecil di LCS dan telah ada sekitar 1.300 hektar
pulau reklamasi untuk menopang aktivitas dan infrastruktur militernya.

Latar Belakang

Aksi Cina pada ZEEI Laut Natuna Utara bukanlah aksi yang pertama kali dilakukan.
Beberapa waktu yang lalu, kapal ikan Cina yang dikawal kapal penjaga pantainya melakukan
penangkapan di ZEEI tersebut tanpa seijin Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirimkan
nota protes diplomatik, namun Cina sebaliknya menegaskan klaim kedaulatannya atas
wilayah ZEEI tersebut. Menanggapi sikap Cina tersebut, Pemerintah Indonesia menegaskan
yurisdiksi nasionalnya atas ZEEI tersebut terhadap Cina. Penegasan sikap Pemerintah
Indonesia ditindaklanjuti oleh beberapa Kementerian dan Lembaga Negara yang terkait
dengan aksi-aksinya sesuai tugas dan tanggung jawabnya masingmasing, seperti penegasan
oleh KemenkoPolhukam RI, Kemenko Kemaritiman RI, Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI, Kementerian Pertahanan RI, Bakamla RI, BNPP, dan beberapa K/L lainnya
termasuk juga TNI dalam hal ini Kogabwilhan I yang telah menggerakkan beberapa KRI,
pesawat tempur, pesawat pengintai strategis, dan Satuan Operasional TNI lainnya ke Pulau
Natuna atas perintah langsung Panglima TNI untuk melaksanakan operasi siaga tempur laut
di perairan ZEEI Laut Natuna Utara dan sekitarnya. Sengketa perbatasan antara Indonesia
dan Cina di kawasan Laut Natuna Utara juga tidak dapat dipertemukan dalam sebuah meja
perundingan, yang membuatnya menjadi semakin kompleks dan pelik. Indonesia tidak
mengakui nine dash line, sedangkan Cina tidak mengakui ZEEI di Laut Natuna Utara. Oleh
karenanya, berunding dengan Cina mengenai kasus ini, adalah sama dengan
mengkompromikan hak berdaulat Indonesia. Ditambah lagi, klaim nine dash line Cina telah
gugur oleh putusan Permanent Court of Arbritation tahun 2016 dalam sengketa Filipina
melawan Cina. Hal ini karena Indonesia dan Cina dalam hal ini tidak dalam sengketa
kedaulatan, melainkan dalam hal hak berdaulat, yaitu hak untuk mendayagunakan sumber
daya perikanan di laut ZEE, di mana siapa saja boleh melewati wilayah tersebut namun tidak
boleh mengeksplorasi sumber daya alam di bawahnya. Di sisi lain, Menteri Pertahanan
Prabowo Subianto menilai bahwa perlu adanya kehati-hatian dalam menyikapi agresivitas
Cina di Laut Natuna Utara, yang mana perlu adanya pembicaraan. Indonesia bukanlah salah
satu dari claimant state dalam sengketa LCS.

Namun demikian, Indonesia mendukung penerapan kode etik LCS. Hal ini khususnya
termaktub dalam gagasan Visi Poros Maritim Dunia yang bertujuan untuk membangun
kembali budaya maritim Indonesia, menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan
pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama. Prioritas juga diberikankepada
infrastruktur dan konektivitas maritim. Selain itu, Poros Maritim Dunia juga bertujuan
membangun kekuatan maritim untuk menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.
Tentu pelanggaran dalam bentuk apapun yang terjadi di kawasan perairan Indonesia, akan
mencederai semangat dan tujuan tersebut. Mengingat aksi agresif Cina tersebut sangat terkait
dengan konteks strategis secara keseluruhan dari konflik LCS dan adanya hukum
Internasional (UNCLOS 82) yang mengatur yurisdiksi nasional di ZEE, serta tantangan
kelembagaan terkait permasalahan kelautan Indonesia, maka permasalahannya adalah strategi
apa yang terbaik dan efektif bagi TNI untuk mengatasi aksi agresif Cina di ZEEI tersebut,
sehingga tidak memicu eskalasi konflik dengan militer Cina menjadi konflik bersenjata
secara terbuka dan permasalahan bisa diselesaikan dengan cara damai serta berkelanjutan.
Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut, yang menjadi pokok bahasan dalam current issue ini
antara lain adalah :

1. Bagaimana perkembangan isu Laut Cina Selatan dan aksi agresif Cina ?
2. Bagaimana posisi Indonesia pada ZEEI di Laut Natuna Utara ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, yang menjadi tujuan dari pokok bahasan dalam current
issue ini antara lain adalah :

1. Memahami langkah-langkah strategis yang dapat dijadikan dasar dalam ikut serta
menciptakan perdamaian dilingkup internasional.
2. Memahami dasar hukum bagi Indonesia sebagai bahan diplomasi untuk
menyelesaikan pertikaian di Wilayah Laut Natuna Utara.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Metode ini dilakukan dengan mengkaji sumber-sumber kepustakaan, yaitu dengan
meneliti prinsip-prinsip dan sistem hukum.(Soekanto, 1985: 13-14). Setelah itu peneliti
mengkaji beberapa peraturan internasional yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
internasional khususnya yang terjadi di laut seperti Piagam PBB dan Statuta Mahkamah
Internasional tahun 1945, serta United Nations Convention on the Law of the
Sea(UNCLOS) tahun 1982. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan kajian kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum.
Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat,
mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut
melalui media internet(Fajar, 2007 : 113).

Metode analisis data dilakukan melalui cara menganalisis data secara sistematis dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sifat analisis deskriptif maksudnya adalah
peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas
subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya, peneliti
tidak melakukan justifikasi terhadap hasil penelitiannya tersebut. Sedangkan metode
kualitatif artinya peneliti hanya menganalisis terhadap data atau bahan-bahan hukum
yang relevan dan berkualitas saja.

BAB II

PEMBAHASAN I

Terdapat paling sedikit 3 hal yang membuat laut china selatan menjadi wilayah perairan yang
rawan konflik besar dewasa ini dan masa datang. Pertama, laut china selatan adalah sebuah
kawasan perairan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang kaya, terutama minyak dan
sumber energi lainnya, dengan beberapa gugusan pulau, yang tersebar di sekitarnya, yang
menjadi perebutan saling klaim beberapa negara di sekeliling kawasan, seperti china
(Republik Rakyat China-RRC), Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Kedua, karena letaknya yang berada dijalur perlintasan kapal-kapal internasional
yang melewati selat malaka, salah satu yang paling sibuk didunia, dan merupakan jalur
penghubung perniagaan dari eropa ke asia dan amerika ke asia dan sebaliknya, melalui
wilayah perairan negara-negara di paling sedikit di 3 kawasan penting, yakni asia tenggara,
asia timur dan asia-pasifik, maka, selain negara pengklaim itu, negara-negara yang terletak
disekitar laut china selatan tersebut, seperti indonesia dan singapura, bahkan amerika serikat
(AS), berkepentingan setiap saat atas terjaganya stabilitas dan keamanan di laut china selatan.

Aktivitas pelayanan yang meningkat yang menggunakan jalur lintas perairan internasional
laut china selatan dan perkembangan ekonomi yang sangat dinamis di negara-negara di ketiga
kawasan penting itu, membuat peran laut china selatan semakin penting, dan baik negara-
negara di kawasan penting itu, membuat peran laut china selatan semakin penting, dan baik
negara-negara pengklaim dan non-pengklaim di sekitarnya, serta negara-negara luar sekaligus
sensitif atas perubahan konstelasi kekuatan militer di berbagai negara tersebut dan juga
negara luar kawasan yang berkepentingan, yang secara khusus targetnya diarahkan ke sana.
Sehingga, setiap manuver kekuatan angkatan bersenjata, terutama angkatan laut, yang tampak
provokatif atau ofensif dari setiap negara, terutama yang dikategorikan sebagai negara besar
(big power) dan adidaya (super power), akan mengundang reaksi dari negara yangmerasa
terancam kepentingannya dewasa ini (rutin) dan jangka panjangnya.

Selanjutnya, ketiga, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia, terutama china, dan
sebaliknya pertumbuhan yang menurun terus di Eropa dan AS, membuat banyak negara
berupaya memperoleh kontrol atas atau memperebutkan kawasan perairan yang strategis dan
dinamis itu, yakni laut china selatan. Baik China maupun AS dalam hal ini berupaya
mengamankan kepentingan keamanan energi-nya, dengan berupaya menguasai kawasan
perairan yang dulunya bisa diterima secara kompromi melalui jalur-jalur diplomatik,
resmi/formal atau tidak resmi/informal, untuk dikontrol bersama lewat upaya pencegahan diri
menghindari provokasi dan ofensif kekuatan bersenjata di perairan laut itu, namun sekarang
ini cenderung dilanggar dengan inisiatif unjuk kekuatan dan keperluan memperlihatkan reaksi
yang berimbang dan bahkan, ada negara yang mulai mencoba menggunakan kekuatan fisik
(militer) dilapangan, secara sendiri-sendiri (sepihak) ataupun bersama dalam kelompok
(bersekutu).

Latihan militer sepihak ataupun bersama (bilateral) dilakukan di wilayah perairan laut china
selatan di tengah ketegangan yang muncul, sehingga semakin memanaskan ketegangan dan
memicu eskalasi konflik di kawasan. Walaupun eskalasi ketegangan dan memicu eskalasi
konflik di kawasan. Walaupun eskalasi ketegangan selama ini belum pernah menimbulkan
konflik bersenjata secara terbuka antara kekuatan militer negara pengklaim dan non-
pengklaim yang berkepentingan dari dalam dan luar kawasan, tetapi upaya saling unjuk
kekuatan dan provokasi, tampak semakin berani, dan semakin rawan sewaktu-waktu
mengarah pada perang terbuka. Memang belum dapat dijamin bahwa konflik yang pecah itu
akan bersifat terbatas atau berskala kecil, melainkan dapat meluas dan menjadi berskala besar
dan tidak terbatas, mengingat pentingnya posisi laut china selatan yang rawan konflik dan
implikasinya yang besar dikemudian hari bila pecah konflik bersenjata terbuka di perairan
tersebut, maka penelitian ini akan mengupas, membahas dan menganalisis beberapa
penyebab dan implikasi konflik yang rawan dan besar, yang diperkirakan diatas, secara
gamblang dan komprehensif.

Sengketa wilayah maritim di Laut Tiongkok Selatan saat ini masih terjadi karena wilayah
tersebut memiliki kekayaan alam yang sangat beragam, seperti yang telah diuraikan diatas,
yang terdiri dari minyak, gas bumi, dan sumber daya perikanan. Di samping kekayaan
sumber daya alamnya, wilayah ini juga digunakan sebagai jalur lintas perdagangan Sea
Lane of Transfortation dan Sea Lane of Communication kapal-kapal yang bergerak dari
wilayah Timur Tengah ke Asia, Amerika, dan sebaliknya, dan lebih kurang 40.000 kapal
melintas di wilayah ini setiap tahun. Negara-negara pengklaim, seperti RRT, Taiwan,
Filipina, Malaysia, dan Brunai Darussalam serta negara-negara lainnya yang
berkepentingan, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Korea Selatan, India, dan
Rusia juga memanfaatkan wialyah Laut Tiongkok Selatan sebagai jalur utama
transportasi, peredagangan, pasokan energi, navigasi internasional, dan penerbangan, serta
strategi keamanan global. Seperti telah diuraikan diatas bahwa Laut Cina Selatan
merupakan sebuah kawasan yang sangat memiliki nilai nature resources yang tinggi.
Bagaimana tidak, kawasan tersebut dipercaya memiliki cadangan minyak sebesar 213
Milliar barel dan memiliki 900 Trilliun kaki kubik gas alam. Laut Cina Selatan juga
merupakan sebuah arus lajur kelautan yang dilewati perkapalan perdagangan
internasional dan tidak kalah penting, laut tersebut merupakan sumber pencarian ikan
bagi para nelayan-nelayan dari China, Filiphina, Vietnam dan lain-lain.

Karena begitu banyak sumber daya alam yang sangat strategis dan kawasan ini yang sangat
kabur kepemilikannya, maka aksi saling claim yang dilakukan negara-negara menciptakan
sebuah konflik tersendiri dalam dinamika hubungan internasional. Dengan demikian,
wilayah ini menjadi perebutan kepentingan ekonomi, strategi, dan politik oleh negara-
negara tersebut. Konflik yang terjadi tidak hanya bersifat bilateral, namun menjadi
konflik multilateral, termasuk konflik yang diakibatkan oleh pelaku non government actor
yang memanfaatkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Laut Tiongkok Selatan.
Perebutan wilayah tidak hanya terfokus pada alasan sumber daya alam seperti minyak
bumi, gas dan sumber pangan dunia berupa 1/10 total tangkapan ikan dunia saja, namun
juga alasan kedaulatan atas wilayah yang sudah diperebutkan sejak ribuan tahun (kalim
sejarah) dan telah menjadi kebanggaan dari masa lalau yang ingin dipertahankan,
khususnya oleh RRT, Taiwan dan Vietnam. Adapun dasar utama klaim wilayah Laut
Tiongkok Selatan sebenarnya hanya terdiri dari dua aspek, yaitu aspek historis (sejarah)
dan hukum.

Jika dilihat dari aspek sejarah, maka negara pengklaim yang menggunakan dasar ini
hanya tiga pihak, yakni RRT, Taiwan, dan Vietnam. Bagi RRT, bermula pada masa
National Government of Chiang Kai-Shek pada tahun 1947 yang telah menetapkan nine
interrupted mark yang mencakup hampir seluruh wilyah Laut Tiongkok Selatan. Hal ini
ditegaskan kembali oleh Zhou En-Lai yang menegaskan klaim atas wilayah tersebut pada
tahun 1951, namun dalam klimnya, RRT tidak menjelasakan aspek hukum dari delimitasi
batas maritimnya. Penyelesaian sengketa wilayah maritim hanya dapat dilakukan
berdasarkan hukum internasional atau UNCLOS 1982, namun klaim sejarah tersebut
tidak dikenal di dalam UNCLOS. Dalam hukum internasional yang berlaku dewasa ini
dikenal prinsip “uti possidetis juris” yang secara sederhana berarti wilayah atau batas
suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah atau pendahulunya.
Penentuan wilayah yang didasarkan pada asas Uti Possidetis merupakan prinsip yang saat
ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional dalampenentuan wilayah baru, baik yang
lahir melalui proses kemerdekaan secara sepihak, maupun melalui penggunaan hak untuk
menentukan nasib sendiri.Uti Possidetis secara etimologi merupakan bahasa Latin yang
berarti “sebagai milik anda” (as you possess). Terminologi ini secara historis
berasaldari hukum Romawi yang berarti, bahwa wilayah dan kekayaan lainnya mengikuti
pemilik asal pada akhir konflik antara negara baru dengan penguasa sebelumnya yang
disajikan dalam sebuah perjanjian. Penggunaan prinsip ini menurut sebagian ahli hukum
internasional, seperti Paul R. Hensel Michael E. Allison, dan Ahmed Khanani,
akanlebih menciptakan stabilitas di perbatasan dibandingkan perbatasan negara-negara
yang tidak diwarisi oleh penjajah. Alasannya adalah, bahwapara penguasa kolonial telah
meletakkan dasar-dasar batas negara secara jelas dalam sebuah perjanjian, sehingga negara-
negara yang baru merdekadari penguasa penjajah tinggal meneruskan saja warisan
perbatasan yang ditinggalkan penjajah. Sehingga tujuan utama dari penggunaan prinsip ini
adalah untuk mencegah terjadinya konflik-konflik yang didasarkan pada perebutan
perbatasanoleh negara-negara baru. Prinsip ini telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan
internasional.

Oleh sebab itu, melalui penerapan prinsip inimaka tidak dimungkinkan lagi adanya klaim
suatu wilayah yang didasarkan pada terra nullis atau wilayah tak bertuan. Jika dilihat dari
pokok gugatan negara pengklim sebagian negara ASEAN menggunakan aspek hukum
sebagai dasar gugatan. Mereka menggugat bagian tertentu dari Kepulauan Spratly dan
menggunakan hukum internasional UNCLOS 1982 sebagai dasarnya. Filipina mengklim
sebagai besar Kepulauan Spratly, sebuah wilayah yang disebut dengan Kalayaan pada
tahun 1971 dan memperkuat klimnya dengan melahirkan Peraturan Presiden pada tahun
1978, dan Rule PRC Nomor 55 Tahun 1992 yang mengatur wilayah tersebut. Berbagai
upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik Laut Tiongkok Selatan
menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian konflik secara damai oleh semua
pihak yang terlibat sengketa.

Salah satu upaya menghindari potensi konflik tersebut adalah melalui pendekatan
perundingan secara damai baik secara bilateral maupun multilateral dan juga melakukan
kerjasama-kerjasama yang lazim digunakan mengelola konflik regional dan internasional.
Sedangkan pada tingkat kerjasama subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN telah
berfungsi sebagai forum yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi,
politik, sosial budaya dan banyak masalah keamanan. Keberhasilan ASEAN dicerminkan
oleh upaya mengatasi konflik-konflik bersenjata atau tindakan-tindakan provokatif sejak
organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga saat ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai
instrumen untuk menyelesaikan krisis-krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan
melalui dua pendekatan yaitu, mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara
negara-negara tetangga dan memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk
menunjang peningkatan ketahanan Regional secara kolektif.

Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu
kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah
regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara
ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara
kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina selatan menjadi penting
karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam
menangani bentuk-bentuk konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi
kepentingan nasional masing-masing negara anggota. Indonesia yang selama ini tidak
menjadi bagian dari negara yang mengklim bagian dari Laut Tiongkok Selatan, dan di lain
pihak RRT juga menyebutkan bahwa ada permasalahan klaim tumpang tindih wilayah
maritim dengan Indonesia.

Namun demikian, secara faktual klaim RRT atas wilayah ini didasarkan pada 9 dashed
lines (nine dotted line/nine dots line) dan apabila direkomendasikan akan memotong garis
batas landas kontinen Indonesia yang telah disepakati dengan Vietnam dan Malaysia, serta
memotong klaim batas ZEE Indonesia. RRT secara konsisten melakukan aktivitas yang
cukup provokatif, dengan mengirimkan kapal negara untuk melakukan pengawalan kapal
nelayannya, hingga ke selatan dan memasuki ZEE Indonesia.

BAB III

PEMBAHASAN II

Secara khusus indonesia, sekalipun bukan negara pengklaim memiliki kepentingan, namun
klaim mutlak yang dilancarkan china atas seluruh wilayah perairan laut china selatan, yang
meliputi seluruh kepulauan dan pulau didalamnya, pada tahun 2012 tersebut, turut
mengancam kedaulatan dan kepentingan indonesia sebagai sebuah negara kepulauan
berdasarkan konsep wawasan nusantara, yang dihormati eksistensinya berdasarkan United
Nations Convention on the law of the sea (UNCLOS) tahun 1982, khususnya hak-hak
pengelolaan wilayah zona ekonomi ekslusif (ZEE) hingga 200 mil laut. Padahal tanpa ini
saja, hak-hak tradisional nelayan indonesia di sekitar perairan kepulauan natuna sudah
terancam. Menurut perspektif hubungan antar negara, aksi agresif Cina sangat dipengaruhi
oleh kondisi sistem Internasional yang ada. Buzan menjelaskan bahwa pada dasarnya sistem
Internasional terdiri dari berbagai unit (aktor) yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Berdasarkan pandangan Buzan, maka dapat dipahami bahwa ZEEI Laut Natuna Utara
merupakan “ruang hidup” bagi multi independent actors yang memiliki kecenderungan
”goals seeking”, yaitu salah satunya Indonesia dan Cina, dan hidup dalam kondisi saling
terkait satu dengan lainnya (interdependency), sehingga sangat mungkin terjadi konflik satu
dengan lainnya. Disamping itu, aksi reaksi Indonesia dan Cina juga dipengaruhi oleh adanya
hukum, norma-norma, nilai nilai maupun organisasi Internasional yang berlaku, sehingga
untuk menjamin yurisdiksi nasionalnya, Indonesia dan Cina cenderung membangun kekuatan
militer atau kerjasama untuk mencegah penggunaan kekerasan.

Bila ditinjau dari perspektif kedaulatan, maka aksi agresif Cina adalah kurang tepat dalam
menegaskan ZEEI Laut Natuna Utara sebagai wilayah kedaulatannya. Prinsip utama
kedaulatan adalah hak eksklusif dan mutlak untuk mengatur semua objek, manusia dan
aktifitas apapun yang ada di dalam wilayah teritorialnya. Jika dihubungkan dengan perspektif
sistem Internasional, maka kedaulatan negara tidak sepenuhnya mutlak. Sifat mutlak hanya
berlaku di dalam wilayah teritorialnya, namun semakin berkurang pada daerah-daerah
perbatasan, seperti di ZEEI Laut Natuna Utara. Sifat mutlak tidak sepenuhnya dapat
diterapkan dengan adanya hukum internasional (UNCLOS 82) yang berlaku dan terhadap
organisasi internasional tertentu, seperti PBB.

Kesimpulan

Sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) merupakan sengketa di abad ke-21, dimana
Tiongkok, Amerika Serikat dan sebagian besar anggota ASEAN terlibat secara tak
langsung. Pada mulanya, Republik Rakyat Tiongkok menyatakan bahwa mereka punya
kedaulatan atas perairan Tiongkok Selatan dengan alasan bahwa nelayan tradisional
mereka telah menjelajahi kepulauan Spratly dan Paracel sejak tahun 200 SM. Bahkan
mereka mengklaim adanya pemukiman di kepulauan tersebut sejak dinasti-dinasti
terdahulu. Tiongkok juga mengklaim telah menemukan peninggalan purba berupa
tempayan dan mata uang kuno di kepulauan tersebut. Sengketa yang terjadi di Laut
Tiongkok Selatan merupakan sengketa antarnegara, karena aktornya bukan hanya
negara-negara pengklaim namun juga negara-negara lainnya yang berkepentingan diwilayah
tersebut. Oleh karena itu upaya penyelesaian sengketa maritim di Laut Tiongkok
Selatantidak saja pada aspek historis (sejarah) dan hukum tetapi juga melalui pendekatan
perundingan secara damai. Adapun dasar utama klaim wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Dengan memperhatikan hal diatas, maka dapat dikatakan bahwa wilayah Laut Tiongkok
Selatan merupakan wilayah perebutan kepentingan ekonomi, strategi, dan politik oleh
negara-negara tersebut. Konflik yang terjadi tidak hanya bersifat bilateral, namun
menjadi konflik multilateral, termasuk konflik yang diakibatkan oleh pelaku non
government actor yang memanfaatkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Laut
Tiongkok Selatan. ASEAN telah berfungsi sebagai forum yang efektif untuk
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial budaya dan banyak masalah
keamanan. Keberhasilan ASEAN dicerminkan oleh upaya mengatasi konflik-konflik
bersenjata atau tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi ini berdiri 1967. Dan hingga
saat ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai instrumen untuk menyelesaikan krisis-
krisis internal. Penyelesaian ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu,
mengurangi kemungkinan munculnya konflik diantara negara-negara tetangga dan
memaksimalkan proses pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan ketahanan
Regional secara kolektif. Negara-negara ASEAN tetap sepakat akan menjaga kerja sama
keamanan maritime regional, khususnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Mereka juga
sepakat akan tetap memegang prinsip-prinsip hukum internasional (UNCLOS 1982), dan
dokumen-dokumen yang telah disekapati oleh anggota-anggota ASEAN.

Ditinjau dari perspektif hukum Internasional, aksi agresif Cina adalah aksi sepihak sebagai
great power. Perkembangan isu Laut Cina Selatan memiliki kerumitan tersendiri yang
memiliki potensi besar terjadinya ketegangan antar negara, baik di dalam kawasan Asia
Tenggara, di Asia maupun di dunia. Kompleksitas ini didorong oleh aksi agresif Cina untuk
menegaskan klaim kedaulatannya di LCS dalam bentuk kebijakan tertulis, pernyataan-
pernyataan keras dan tindakan nyata yang berupa pengerahan kapal nelayan dikawal oleh
coast guard-nya. Pada dasarnya, Indonesia memiliki posisi baik dengan bargaining power
yang cukup besar dalam mengatasi aksi Cina di ZEEI, tetapi Indonesia hanya memiliki hak
berdaulat saja atas ZEEI tersebut. Strategi khusus dilakukan dengan memperbesar bentuk
bentuk OMSP TNI di ZEEI Laut Natuna Utara untuk memperkuat tugas Bakamla RI,
mendorong perluasan kehadiran nelayan Indonesia, mendorong kerjasama multi lateral dalam
upaya maritime security di LCS (seperti Latma Navy Indo Pasifik) dan membangun upaya
integrated diplomacy antar K/L terkait. Penguatan di Kepulauan Natuna harus menjadi
prioritas dalam upaya peningkatan stabilitas keamanan nasional, meliputi kuantitas dan
kualitas personil TNI; kualitas dan kualitas perlengkapan militer seperti persenjataan, kapal
perang dan pendeteksi kapal selam dan nuklir, dan pesawat tempur; serta kualitas dan
kuantitas diplomat Indonesia. Tentu semua itu disertai dengan anggaran pertahanan yang
mamadai.

Daftar Pustaka

Asnani, Usman & Rizal Sukma, 1997, “Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi
ASEAN”. Jakarta:

CSIS. Buszynski, Leszek, 2012. “The South China Sea: Oil, Maritime Slaims, and U.S. –
China Strategic Rivalry”.The Washington Quaterly, Spring.

Djalal, Hasim, 2012, “Thirty years after the adoption of UNCLOS 1982,” Jakarta Post,
21 August 2012.

Emmers, Ralf, 2012, “ASEAN, China and the South China Sea: an opportunity missed”,
IDSS Commentaries, 30/2012

Fajar, Mukti ND dan Yulianto Achmad, 2007, “Dualisme Penelitian Hukum”, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Press.

https://news.detik.com/kolom/d-4884800/kisruh-dan-potensi-konflik-di-laut-natuna

https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/politik/sengketa-di-kawasan-laut-
natuna-utara

Anda mungkin juga menyukai