1. LATAR BELAKANG
2. RUMUSAN MASALAH
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BATAS WILAYAH KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA
2.2 SEJARAH KEPULAUAN NATUNA
2.3 TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN KEPULAUAN NATUNA
BAB III
1. POSISI KASUS (LAMPIRAN SUMBER TERKAIT)
BAB IV PEMBAHASAN
1. MENJAWAB DARI RUMUSAN MASALAH
2. ANALISIS DARI SUDUT PANDANG MANAJEMEN
3. ANALISA DARI PANDANGAN ANGGOTA KELOMPOK
BAB V PENUTUP
1. KESIMPULAN JAWABAN DARI RUMUSAN MASALAH
2. SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa saja dampak dari klaim yang diajukan negara Indonesia terhadap
wilayah Laut Natuna
2. Mengetahui penyelesaian yang dilakukan oleh negara Indonesia dengan negara cina
dalam sengketa Laut Natuna
3. Mengetahui peranan pemerintah Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa
antara Indonesia dan Cina
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
POSISI KASUS
Johanes mencatat ketegangan antara Indonesia dan China di perairan Natuna Utara
terkait tumpang tindih klaim teritorial di Laut China Selatan, sengketa antara China,
Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Indonesia sendiri tidak termasuk negara
yang terlibat dalam sengketa di atas.
Namun, China mempresentasikan peta pada tahun 1993 dengan pernyataan yang
diklaim didukung oleh sejarah. Sembilan garis putus-putus, terkadang dikenal sebagai
"garis sembilan putus", digunakan untuk menunjukkan klaim geografis ini.
"Di sanalah problem antara Indonesia–China mulai muncul, salah satu garis putus-
putus tersebut berada di wilayah ZEE Indonesia di dekat kepulauan Natuna," kata Johanes
kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022).
Johannes mengatakan Indonesia sebenarnya berusaha menyangkal China. Namun
China hanya mengatakan bahwa Natuna adalah milik Indonesia dan China tidak memiliki
wilayah yang tumpang tindih dengan Indonesia. Namun, pengamatan Johannes terhadap
pernyataan China tersebut sangat berbeda dengan sikapnya di lapangan. Jonahes mencatat
sejak 2016, beberapa insiden yang meningkatkan ketegangan antara kedua negara terus
meningkat. Selain itu, setidaknya terjadi tiga insiden di tahun 2016. Sebaliknya, dalam 3
tahun terakhir, i. H. Peristiwa berulang pada tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 yang
meningkatkan ketegangan terkait perairan Natuna.
Johanes percaya bahwa China akan terus bekerja sama dengan kapal penjaga pantai
dan kelompok nelayan di perairan Natuna Utara untuk mempertahankan klaim China atas
wilayah yang terputus di ZEE Indonesia di perairan tersebut.
"Ini karena berbeda dengan pada masa lampau, China kini mengakui secara jelas
bahwa meski tidak memiliki sengketa wilayah kedaulatan, China memiliki tumpang
tindih dengan Indonesia dalam hak-hak kelautan dan kepentingan lainnya di perairan
yang kini bernama Laut Natuna Utara itu," ucap Johanes.
Selain itu, Johanes mengingatkan, kedatangan kapal nelayan dan Coast Guard China
hanyalah salah satu strategi negara untuk mempertahankan klaimnya. Strategi lainnya,
kata dia, antara lain upaya akademik dan penelitian untuk menyoroti peristiwa masa lalu
yang dapat mendukung klaim berdasarkan sejarah China dan upaya agar Indonesia
menyepakati adanya tumpang tindih antara Indonesia dan China di kawasan.
Oleh karena itu, Jonahes menawarkan opsi bagi Pemerintah Indonesia guna
mempertahankan kedaulatan di Natuna Utara. "Pemerintah harus menolak secara tegas
klaim China dalam hal apapun di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna Utara,
karena hak berdaulat Indonesia di wilayah itu sah berdasarkan UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea)," ucap Johanes.
"Mendorong berbagai upaya yang terkoordinasi dan seirama antara setiap lembaga
pemerintah untuk menjaga hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE tersebut," sebut
Jonahes.
Kehadiran Coast Guard dan kapal penangkap ikan China, yang dilaporkan nelayan
setempat pada 8 September 2022, diketahui berkontribusi pada ketegangan lama antara
Indonesia dan China di perairan kepulauan itu.
(https://www.republika.co.id/berita/riciih370/pemerintah-diminta-waspadai-ancaman-
kedaulatan-di-laut-natuna-utara)
BAB IV
PEMBAHASAN